Jalan Ketiga: Menjawab Kegagalan
Globalisasi dan Kapitalisme Neoliberal Abad 21
(Memahami Gagasan Leo Panitch:
“Merebut Kembali Sosialisme Demokratik”)
A. Pengantar: Siapakah Leo Panitch?
Artikel ini adalah pembacaan saya atas karya almarhum Leo Panitch. Seorang sosiolog dan aktivis pergerakan lintas bidang (intersections) yang hingga akhir hayatnya selalu berjuang melawan kapitalisme dan penindasan kemanusian serta eksploitasi alam yang mencerabut manusia dan tata kelola kehidupan yang co-eksistensi dari pencapaian modernitas tingkat lanjut sebagai dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi yang hanya memperbesar konsumsi dan mengakibatkan system reproduksi sosial, ekonomi, dan politik menghancurkan ikatan-ikatan solidaritas dan keragaman budaya di muka bumi.
Nama Leo Panitch seakan nyaris “sunyi” bahkan banyak sosiolog di Indonesia hampir tidak mengenal namanya. Mengapa? Itu dikarenakan sesungguhnya telah terjadi penghancuran atas keberadaan wacana mengenai “sosialisme” di Indonesia khususnya pasca peristiwa 1965. Sosialisme memang dipelajari di Indonesia baik di masa Orde Baru dan sesudahnya (era Reformasi), akan tetapi wacana yang mengemuka dan juga agensi sosial yang dibangun hanya melanjutkan sistem reproduksi intelektual khususnya di dunia akademik yang melanggengkan sistem kapitalisme yang eksploitatif dan bahkan melanggengkan sistem patriarkhi yang seksis dan bersembunyi di dalam beragam agensi organisasi-organisasi masyarakat sipil. Penghancuran organisasi-organisasi yang berbasis secara organis telah lama dimusnahkan sejak bahkan sebelum 1965, yakni tepatnya sebagai upaya para kapitalis dunia yang rasis untuk menggagalkan inisiatif baik hasil Konferensi Asia Afrika yang ditujukan untuk pemuliaan hidup manusia yang beragam di muka bumi, serta upaya untuk mendialogkan perdamaian dan kerjasama antar negara-negara bangsa yang baru beroleh kemerdekaan.
Leo Panitch adalah seorang aktivis buruh, bukan hanya sekedar “sosiolog” yang sangat dihormati dari tradisi sosiologi kritis dan marxisme yang memberi penghargaan atas keberadaan masyarakat sipil yang berdaulat termasuk bagi komunitas adat aseli (indigenous or native people). Ia juga seorang feminis yang mendorong pentingnya kaum perempuan untuk dapat memperoleh pendidikan dan kesempatan setara, serta “melek teknologi” (technologically well informed). Atas dasar itulah mengapa penting untuk saya menuliskan gagasan almarhum tentang upaya “merebut kembali sosialisme demokratik” sebagai “jalan ketiga untuk menjawab kegagalan globalisasi dan kapitalisme neoliberal abad 21” yang melahirkan begitu banyak ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan penghancuran bumi serta perubahan iklim dunia yang berdampak pada “gelombang disrupsi” baik secara ekonomi, politik bahkan secara kultural yang mempengaruhi sistem ekologi kebertahanan bumi dan penghuni-penghuninya. Leo Panitch wafat di Kanada 19 Desember 2020 karena sesak nafas (pneumonia) sebagai dampak Covid19.
B. Gagasan Awal Leo Panitch: Politik Kelas Pekerja (Upaya Memahami Proses Globalisasi dan Kapitalisme neoliberal serta dampaknya bagi masyarakat sipil di Global North dan Global South)
Gagasan awal Leo Panitch sesungguhnya berangkat dari pengembangan pemikiran tradisi sekolah Frankfurt di Eropa dan Amerika Serikat, khususnya bagaimana Eropa mencoba membangun kembali dirinya pasca holocaust dan perang dunia kedua yang melahirkan perang “dingin” blok timur dan blok barat sehingga melahirkan suatu tatanan global baru melalui kelembagaan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) atau United Nations yang secara kelembagaan memfasilitasi dialog dan praktik pembangunan di seluruh dunia. Menurutnya, sebagai suatu lembaga dunia yang berpengaruh, PBB ikut menjadi perantara (intermediaries) bagi kemunculan kapitalisme transnasional yang muncul melalui Multi National Corporations (MNCs) di seluruh dunia. Hal itu berdampak secara signifikan pada bagaimana pelembagaan solidaritas khususnya di kalangan kelas menengah ke bawah terutama kaum buruh dan petani kecil dalam melangsungkan kehidupan mereka. Transformasi kapitalisme melalui revolusi industri telah mengubah banyak ikatan-ikatan kolektif yang secara lokal melembaga sebagai bentuk-bentuk solidaritas. Oleh karena itulah, Leo Panitch menganggap penting suatu tatanan sosial dimana kelas pekerja sebagai warga dominan di muka bumi mengkonsolidasikan demokrasi dan bentuk-bentuk partisipatoris lainnya untuk mengatasi hegemoni dan dominasi kaum kapitalis dunia yang menggunakan cara-cara untuk terus melanggengkan “privilege” mereka melalui intervensi atas persebaran wacana pengetahuan dan praktik sosial termasuk melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada awalnya, Leo Panitch adalah seorang pendukung model negara kesejahteraan klasik dimana tanggung-jawab atas kesenjangan sosial menjadi tugas politik dari kelembagaan administratif negara. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ia mulai menentang gagasan klasik dari “Welfare State” yang berakar pada pertautan ideologi kiri dalam sistem ekonomi Schumpetarian (kapitalisme, inovasi dan kemampuan kreatif untuk mendaur-ulang) dan ideologi libertarian (yang memandang penting individualisme sebagai basis maksimalisasi kedaulatan politik). Pada kenyataannya, globalisasi yang berlangsung secara cepat dan berdampak pada ketercerabutan banyak komunitas atas reproduksi sosial-ekonomi yang secara kolektif mereka miliki, melahirkan gelombang migrasi manusia ke wilayah-wilayah yang lebih mampu menyediakan kesempatan sejahtera terutama ke wilayah dimana praktik negara kesejahteraan berlangsung juga mengubah komposisi baru agensi dalam perkembangan kapitalisme dunia khususnya di Eropa tahun 1960an. Leo Panitch menganggap bahwa Amerika Serikat khususnya “the rulling elites” nya telah terlalu banyak mengambil keuntungan dari keberadaan korporasi international yang melintasi batasan-batasan geospatial dan identitas kolektif budaya sehingga menghancurkan basis-basis solidaritas dan mempengaruhi bagaimana konsolidasi demokrasi dilakukakn terutama melalui intervensi partai politik dan sistem perniagaan secara global yang melahirkan ideologi baru yang disebut sebagai “korporatisme”. Korporatisme adalah ideologi politik yang menganjurkan organisasi masyarakat oleh kelompok perusahaan, seperti pertanian, buruh, militer, ilmiah, atau asosiasi serikat pekerja, atas dasar kepentingan bersama berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat melalui suatu sistem perwakilan dan agensi yang difasilitasi oleh dua aktor penting yakni khususnya negara dan pasar, sedangkan masyarakat sipil ditempatkan hanya sebagai pengawas. Dalam konteks korporatisme inilah muncul agensi sosial "baru" pasca perang dunia kedua apa yang kemudian disebut sebagai "non governmental organizations" dan kemudian asosiasi yang dianggap lebih bebas kepentingan negara bangsa atau apa yang disebut sebagai “civil society organizations” (CSO) termasuk yang mengonsolidasikan diri dalam kelembagaan internasional yang disebut sebagai non-governmental organizations (NGO). Leo Panitch mengakui bahwa keberadaan NGO berperan penting dalam mengawasi kinerja administrasi negara yang rentan korupsi akan tetapi ternyata NGO juga menjadi wilayah kepentingan intervensi kapitalisme global dalam mengatur tata ekonomi dunia khususnya. Dampak dari keberadaan ideologi korporatisme inilah yang menyulut konflik sosial yang sesungguhnya berakar dalam sistem ekonomi politik akan tetapi menggunakan basis-basis identitas politik dan kultural sebagai bentuk mobiliasinya. Contoh penghancuran ini dimulai ketika terjadi perang Vietnam, juga pergolakan di Timur Tengah yang dimulai pada saat terjadinya Revolusi Iran pada tahun 1979. Kemudian berdampak pada gelombang baru migrasi manusia termasuk agensi sosial dan kapital yang dimilikinya. Masuknya Cina ke dalam sistem pasar bebas pada tahun 1980an menandai momentum penting tentang pengaruh gagasan negara sosialis ke dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi politik global. Era inilah yang kita sebut sebagai dimulainya kapitalisme neoliberal. Kemudian pengaruh yang paling penting dalam konteks ini adalah bagaimana eksploitasi atas pengorganisasian tenaga kerja manusia dan sumberdaya alam terus berlangsung dan ditujukan bagi akumulasi kapital yang bermuara pada percabangan dan reproduksi kelas menengah baru yang mengalami stagnasisasi khususnya dalam mengakses kesempatan setara termasuk ke dalam sistem kesejahteraan dimana resiko-resiko sosial dibebankan pada ongkos-ongkos yang bersifat individual. Salah satu yang paling penting adalah akses pada kesehatan dan juga kemampuan untuk dapat hidup layak secara stabil (resilient).
Perang Iraq-Iran yang berlagsung pada tahun 1990an telah berdampak signifikan bukan hanya di negara-negara selatan melainkan juga di “global north” (utara) dimana pasca perang itulah muncul upaya untuk merevitalisasi intervensi pengaruh pasar dalam tatanan politik dunia. Runtuhnya “tembok Berlin” pada tahun 1989 menandai aspek penting dalam transformasi arus kapital dalam globalisasi khususnya pada bagaimana pengorganisasian kelas pekerja dipengaruhi oleh bentuk-bentuk pengawasan dan disiplin melalui ruang teknologi yang melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai “otomatisasi birokrasi” dimana birokrasi bukan hanya dimaknai sebagai penyelenggara sipil negara bangsa semata, melainkan juga mereka yang mengamankan sumber daya ekonomi politik dunia atau kekuasaan “sekuritas”. Era ini menandai apa yang kemudian kita sebut sebagai “privatisasi”.
Privatisasi berdampak pada bagaimana individu ditandai sebagai “kapital” dan seberapa besar nilainya bagi reproduksi ekonomi dan politik semata. Hal ini berdampak pada kemunculan struktur baru dalam peta globalisasi dunia, yakni munculnya new feudals (neofeodal) yang beroleh manfaat dari jejaring kapitalisme neoliberal dan melakukan ekspansi ekonomi politik dengan mengabaikan esensi hak asasi manusia dan eksplotasi sumberdaya alam yang berlangsung secara lokal. Pekerjaan-pekerjaan baru muncul melalui struktur yang sesungguhnya bersifat “rentan” dimana informasi dikomodifikasikan, bahkan menjadi “pertukaran” bagi keberlangsungan hegemoni para kapitalis dunia. Oleh karena itulah, Leo Panitch mengajukan kembali suatu usulan untuk merevitalisasi “gagasan utopia” tentang internasionalisme baru khususnya bagi kelas pekerja. Bukan bagi para elit atau mereka yang memiliki akses pada pemanfaatan sumberdaya ekonomi khususnya sumberdaya ekonomi ekstraktif yang menghancurkan ekologi sosial budaya dan lingkungan hidup dengan mengabaikan ikatan-ikatan kolektif yang bersifat organis di dalam komunitasnya masing-masing.
Kemunculan gerakan-gerakan
politik yang bersifat partisipatoris khususnya yang muncul dan ditandai melalui
keberadaan akses terbuka pada sumber-sumber pengetahuan publik misalnya melalui
internet dan akhirnya melalui kemunculan beragam platform dalam media sosial
telah mendorong terjadinya perubahan sosial ekonomi dan politik yang luar biasa
cepat terutama pada awal abad ke 21. Permasalahannya adalah, meskipun bentuk-bentuk
politik partisipatoris itu ditujukan pada tujuan yang sama yakni “akses setara”
khususnya bagi kelas pekerja dan masyarakat bawah akan tetapi bentuk-bentuk
pengorganisasiannya tidak selalu bermuara pada tujuan mulia yakni mencapai
kesetaraan. Upaya itu dikarenakan
masuknya kapital dan pengakumulasiannya melalui sistem politik yang berbasis
pada seberapa banyak individu dapat mengakumulasikan kapital yang dimilikinya.
Dampak ini memperbesar lingkaran dalam sistem reproduksi sosial dan ekonomi dimana
“konsumsi” jauh lebih besar, sedangkan produksi ekonomi terus bermuara pada
bentuk-bentuk singularitas yang monopolitistik. Tercerabutnya para petani dari
lahan yang mereka miliki, serta kemunculan industri pangan global yang
beroperasi melintasi batasan geopolitik telah melahirkan ketimpangan sosial
terutama bagi pembangunan pedesaan. Revolusi industri yang mapan tidak
sepenuhnya tercapai khususnya di dunia belahan selatan (global south),
sedangkan pengakumulasian kapital telah berdampak pada gentrifikasi sosial dan
kultural di wilayah-wilayah dimana kapitalisme secara kuat berpengaruh pada
bentuk privatisasi yakni di dunia belahan utara (global north).
Sistem reproduksi sosial semacam itu didasari atas daur-ulang yang disokong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dampaknya adalah pada semakin membesarnya partisipasi politik orang-orang biasa (ordinary) sehingga dukungan ‘populer” menjadi komoditas baru, baik secara ekonomi maupun secara politik. Ironisnya, pengorganisasian politik yang mengatasnamakan isu-isu populer seperti persoalan kesenjangan sosial, kemiskinan, akses bagi pendidikan dan kesehatan, menjadi wilayah yang disuburkan oleh agensi pemodal-pemodal besar khususnya yang memfasilitasi teknologi informasi dan komunikasi. Slogan “data adalah kekayaan baru” digunakan untuk menjustifikasi agenda ekspoitasi manusia dan sumberdaya alam sehingga menjadi tujuan utama dari “lobi-lobi politik” para elit politik dan ekonomi dari tingkat global hingga tingkat regional dan lokal. Hal ini menimbulkan polarisasi dimana konsumsi atas identitas kultural dan politik menjadi “komoditas” bagi pencapaian tujuan-tujuan korporatisme yang pragmatis. Dalam konteks itulah entitas “negara-bangsa” memudar, karena dukungan populisme menjadi bagian dari pertukaran informasi atas bentuk-bentuk daur-ulang konsumsi massa sebagai “komoditas baru” dan karenanya perhatian pada industri yang mengutamakan ekploitasi sumberdaya alam (industri ekstraktif) kurang banyak menjadi perhatian publik pada awal abad ke 21. Hal ini bahkan diperantarai oleh bentuk-bentuk “industri baru dalam penyampaian informasi” dimana seakan-akan perubahan iklim tidak dapat dipercayai, meskipun itu adalah suatu fakta. Warga di belahan bumi subtropis mengalami dampak signifikan perubahan iklim ini, begitupula warga di wilayah tropis yang mengalami musim kering berkepanjangan, atau bahkan siklon tropis yang berdampak pada kehancuran infrastruktur. Kenyataan semacam itu masih sulit difasilitasi oleh agensi sosial yang mengupayakan perubahan keadilan sosial dan ekonomi secara signifikan dikarenakan munculnya struktur baru yang turut membiayai bentuk-bentuk politik persebaran ketakutan misalnya melalui hoax, ancaman atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, bahkan ancaman terhadap bentuk-bentuk berserikat dan berorganisasi yang berusaha melepaskan diri dari kontaminasi kapital ekonomi politik yang korup.
Semua itu dibahas oleh Leo
Panitch dalam karya-karyanya yang semuanya ditujukan untuk terus mengupakan “Sosialisme
Demokratik” sebagai bentuk pengetahuan dan praktik yang membumi. Sayangnya, upaya
semacam itu acapkali mendapat tantangan dari korporasi-korporasi dan jejaring
sosial ekonomi politiknya. Hal ini terlihat nyata dalam sistem parlementer dan
bahkan yuridiksi hukum internasional mengenai tata kelola dunia baru yang mengupayakan
penghapusan kemiskinan dan juga perubahan iklim. Upaya memukul mundur gagasan-gagasan kritis dan pengorganisasian internasionalisme baru bahkan mendapat
tantangan dari infiltrasi ideologi fascisme yang berbasis pada rasisme (white
supremacy). Dampak konkritnya adalah pada terjadinya gelombang protes secara
massif di seluruh dunia yang melahirkan bentuk-bentuk gerakan sosial baru.
Adalah fitnah bahwa gagasan utopia mengenai internasionalisme baru khususnya
bagi kelas pekerja secara global hanya menjadi agenda orang kulit putih semata.
Wacana semacam itu digunakan untuk memukul bentuk-bentuk solidaritas global
yang berlangsung di seluruh dunia termasuk yang difasilitasi oleh beragam
platform ICTs (Informasi Teknologi dan Komunikasi) yang mengupayakan
ruang-ruang alternatif bagi wacana dan praktik demokrasi yang memberi
penghargaan bagi esensi kemanusiaan, keberagaman identitas dan konteksnya serta
lanskap ekonomi politik yang melatarbelakanginya.
Leo Panitch dalam hemat saya, bukan hanya sekedar seorang sosiolog yang konsisten memperjuangkan kemanusiaan. Ia melampaui semuanya. Leo Panitch mengajarkan pada kita apa artinya “politik progresif” bagi para intelektual di seluruh dunia. Politik progresif yang ditujukan sebagai “jalan ketiga” yakni jalan keselamatan, dimana kita mampu menyelamatkan eksistensi manusia dan menyelamatkan bumi dari kehancuran. Hari ini, 1 Mei 2021, saya mengenang alm Leo Panitch, yang adalah “guru sejati” buat saya, meskipun saya belum sempat bertatap-muka langsung dengan beliau semasa hidupnya. Tetapi almarhum sangatlah berpengaruh pada gagasan-gagasan saya sebagai seorang sosiolog dari “dunia belahan selatan”.
Ia mendorong saya untuk menghargai pencapaian-penacapaian yang telah saya upayakan dengan susah payah, khususnya melalui pendidikan, gerakan sosial, dan bahkan lewat berkesenian. Kami berkomunikasi melalui dunia maya yaitu lewat internet semenjak saya masih bersekolah di bangku sarjana di Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM pada sekitar pertengahan tahun 1990-an. Beliau bahkan memasukkan nama saya ke dalam grup sosiologi pemikir tradisi teori kritis (modernisme dan potsmodernisme), meskipun saya merasa belum memiliki prestasi luar biasa sebagai seorang intelektual. Tetapi jasa beliau pada saya khususnya, membangunkan semangat saya tentang apa arti pentingnya merebut kembali jalan sosialisme demokratik, khususnya bagi peran-peran intelektual yang terpinggirkan seperti saya, di dunia belahan selatan (global south). Upaya itu tidak mungkin saya lakukan sendirian, sebagaimana yang disarankan oleh almarhum. Tentu untuk itu saya tetaplah memiliki sikap independen dari bias kepentingan-kepentingan yang bias eksploitasi atas HAM dan juga upaya para kapitalis dan kelompok-kelompok feodal yang hanya memikirkan keuntungan diri semata.
Berikut adalah kutipan dari buku terakhir almarhum yang ia tulis bersama Sam Gindin dan Stephen Maher. Kutipan dari paragraf terakhir yang menjadi pekerjaan rumah (homework) khususnya untuk saya juga para pendukung Sosialisme Demokratik di seluruh dunia:
“Political hopes are
inseparable from notions of what is possible. And possibility itself intimately
related to working class-formation - and
indeed refirmation of the broadest possible kind – and the role of socialist
politics in that information” (Panitch,
Gindin, Maher, 2020. “The Socialist Challenge Today.” Halifax & Winnipeg:
Fernwood Publishing: 86).
Terjemahan saya adalah
sebagai berikut.
“Harapan politik tidak
dapat dilepaskan dari gagasan tentang apa yang
dapat dimungkinkan (bagi perubahan sosial). Dan kemungkinan itu sendiri
adalah dengan cara penguatan (kembali)
kelas pekerja - dan kemungkinan-kemungkinan dimana politik sosialis harus dapat
terlibat dalam peran untuk menginformasikannya (sebagai pengetahuan dan praktik
bersama)."
Rest in power, Leo Panitch.
Selamat Hari Buruh Internasional 1 May 2021.
Referensi
Panitch, Leo. 1986.
"Working Class Politics in Crisis: Essays on Labour and the State”.
London: Verso.
Panitch, Leo. 2001. “Renewing
Socialism: Democracy, Strategy and Imagination.” Cambridge: Westview Press.
Panitch, Leo and Swartz,
Donald. 2003. "From Consent to Coercion: The Assault on Trade Union
Freedoms." Toronto: University of Toronto Press.
Panitch, Leo and Konings,
Martijn. 2008. “American Empire and the Political Economy of Global Finance.” NY:
Palgrave McMilan.
Panitch, Leo and Gindin,
Sam. 2012 (1973). “The Making of Global Capitalism.” London: Verso.
Albo, Gregory and Panitch,
Leo. 2017. “Rethinking Democracy.” New York: New York University Press.
Panitch, Leo, Albo, Greg.
2019. “The World Turns Upside Down?”. New York: Montly Review Press.
Panitch, Leo, Gindin, Sam, and Maher, Stephen . 2020. “The Socialist Challenge Today: Syriza, Sanders, Corbyn.” Halifax and Winnipeg: Fernwood Publishing.
No comments:
Post a Comment