Thursday, October 03, 2019

Mengenang Mei 1998 (Upaya Melampaui Romantisasi Subyek dan Glorifikasi Maskulinitas)




(Foto dalam narasi ini milik Lexy Lambadetta / Aliansi Jurnalis Indonesia)

Mei 1998 tidak akan pernah saya lupakan, mengapa? Karena peristiwa itu melekat dan mengubah hidup saya, baik sebagai seorang perempuan maupun sebagai seorang intelektual. 

Dalam sebuah diskusi kecil dengan mahasiswa-mahasiswa “kiri” di Yogya, pada 18 Mei 2019 lalu, sambil ngabuburit untuk berbuka puasa, saya memenuhi undangan teman lama saya, seorang feminis dan aktivis PRD di tahun 90-an, Ernawati. Saya berterimakasih Erna merancang acara itu, meskipun hanya sebuah forum kecil, bersama Nining, seorang feminis yang juga aktivis PRD di tahun 90an, ia juga seorang seniman. Catatan-catatan Nining tentang bagaimana pergerakan PRD di masa Orde Baru begitu penting, sesuatu yang menurut saya seharusnya dibukukan, diarsipkan. Itu penting sebagai suatu upaya merawat ingatan, terutama ingatan kolektif tentang gerakan mahasiswa.

Berbeda dengan Nining yang mengalami begitu dekat teror Orde Baru di masa mahasiswa di UGM pada tahun 1990-an, saya pada saat itu tidak punya nyali “sebesar” mereka, sebesar kawan-kawan lain di PRD (Partai Rakyat Demokratik). Saya hanya simpatisan, pada mulanya. Itu karena ketika saya masuk ke UGM, kelompok pertama yang meraih simpati saya justru kelompok “kanan” - di gerakan mahasiswa Islam. Mungkin karena waktu muda pencarian identitas menjadi pertanyaan paling lugu, dan karena kelompok-kelompok itu “lebih agresif” di UGM ketimbang kelompok-kelompok kiri yang hanya berani sembunyi-sembunyi.

Tetapi, “buah tidak jatuh dari pohonnya”. Misteri di dalam keluarga sayalah yang mengalami “ambiguitas” sejak rezim Orde Baru menindas dan mencerai-beraikan banyak anak bangsa semenjak peristiwa pembantaian 1965, yang membuat saya akhirnya memilih menjadi “kiri” - hanya dua tahun sebelum Suharto jatuh. Yakni setelah peristiwa penyerangan markas PDI di Jakarta, 27 Juli 1996 (Peristiwa Kudatuli).  Pada momen-momen kritis itulah saya menyaksikan sendiri dari dekat bagaimana perubahan sosial terjadi.

Dalam catatannya dan juga presentasinya, Nining menyampaikan bahwa Peristiwa 98 tidak bisa ia glorifikasikan sebagai “Reformasi”. Hal itu karena istilah tersebut datang dari segelintir elit yang sebenarnya masih terkontaminasi oleh kapital politik Orde Baru. Amien Rais, misalnya, adalah salah satu “tokoh” yang mempopulerkan istilah tersebut. Bahkan dalam catatan Nining, PRD bahkan menyatakan bahwa semua tokoh “Ciganjur” yang membawa lokomotif bernama “Reformasi” terkontaminasi kapital Orde Baru. Saya sepakat dengan Nining. Tetapi ada perbedaan penjelasan mengapa. Pertama, Nining sebagai aktivis PRD mengalami langsung tekanan dan teror terutama semenjak penangkapan - penangkapan para aktivis mahasiswa (PRD) yang dituduh oleh rezim Suharto sebagai “dalang kerusuhan” Juli 1996. Kedua, saya sebagai aktivis “bingung” pada saat itu di masa Orde Baru di tahun 90-an menyaksikan sisi lain, bahwa peristiwa 1998 dan upaya “menggulingkan Suharto” sudah lama dirancang, bahkan sebelum PRD berdiri di tahun 1996. Saya menyebut diri saya “aktivis bingung” di tahun 1990-an itu karena jejaring saya ada di dua kaki. Pertama jejaring kelompok-kelompok mahasiswa Islam di Indonesia yang mayoritas didominasi kelompok-kelompok kanan, dan kedua jejaring mahasiswa-mahasiswa kiri melalui pers kampus (saya pertama di kader di pers mahasiswa Sintesa Fisipol UGM tahun 1994). Hal tersebut saya lakukan awalnya adalah pencarian jati diri  meskipun pada akhirnya pilihan saya adalah untuk memperoleh jalan keselamatan. Bahkan di organisasi Jamaah Shalahuddin pada saat itu pun masih ada “sayap kiri” -nya, sesuatu yang justru musnah semenjak runtuhnya Orde Baru. Saya masih ingat, pada tahun 1994, untuk pertama kalinya saya justru membawa tokoh-tokoh “kiri” musuh Orde Baru ke acara kegiatan di Jamaah Shalahuddin dan di Fisipol UGM. Misalnya mengundang Romo Mangun untuk bercerita tentang pengalamannya di Kedung Ombo, acara di bulan Ramadhan di tahun 1994. Juga mengundang bang Coki (Bonar Tigor Naispospos) di acara serupa, sampai-sampai untuk pertama kalinya, saya harus mengalami “dikejar-kejar” intel semenjak acara-acara itu. Saya mencoba mengingat, mengapa pada saat itu “tokoh-tokoh kiri musuh Orde Baru” juga disukai teman-teman yang ada di komunitas mahasiswa Islam (seperti Jamaah Shalahuddin). Menurut saya itu karena mereka pun mengalami “kebingungan” tentang sejarah mereka masing-masing, terutama berkenaan dengan isu ketidakadilan sosial, isu tentang identitas mereka sebagai “bangsa Indonesia”, juga selain propaganda kelompok-kelompok Islamis pada saat itu juga yang “anti Suharto” (misalnya lewat glorifikasi peristiwa Tanjung Priuk). Pada tahun 1995, ketika saya masih di Jamaah Shalahuddin, saya mendapatkan tawaran untuk membangun jaringan aktivis “anti Suharto” dari aktivis-aktivis mahasiswa Islam di ITB dan UIN - Hidayatullah Jakarta (Formaci: Forum Mahasiswa Ciputat, yang kemudian tokoh-tokohnya menjadi embrio Jaringan Islam Liberal, misalnya, Ahmad Sahal). Kegiatan pertama yang dimulai pada saat itu, adalah “Pesantren Wawasan Nasional” - di tahun 1995 yang diadakan di Ciputat - kampus UIN-Syarif Hidayatullah Jakarta dimana kami mengadakan training dan pelatihan, termasuk sesi kelas-kelas dan seminar yang bahkan Romo Frans Magnis ikut hadir sebagai salah satu narasumbernya. Salah satu “agenda bawah tanah Pesantren 1995” justru SAMA dengan agenda PRD, yaitu “menggulingkan Suharto” lewat gerakan mahasiswa. Sayang, pada saat itu aktivis mahasiswa Islam di UI (Universitas Indonesia) menolak bergabung. Jadi hanya kami dari UGM, ITB, UIN-Jakarta, UIN-Yogya, dan ITS.

Tetapi semenjak peristiwa 26 Juli 1996, aktivis-aktivis mahasiswa alumni Pesantren Wawasan Nasional “TERPECAH” menjadi dua. Yaitu apakah akan mendukung kawan-kawan PRD yang dipersekusikan Orde Baru ataukah “pura-pura” tidak tahu alias “diam. Saya memilih yang pertama, yaitu “mendukung kawan-kawan PRD” dan menolak represi Orde Baru pada kawan-kawan PRD yang diculik, dipenjarakan, bahkan ada yang dibunuh atau hilang tanpa jejak. Pada momen kritis itulah hidup saya berubah, semenjak 1997 - saya lebih sering “dikuntit intel-intel” - terutama semenjak saya menolak bergabung dengan teman-teman Jamaah Shalahuddin yang “pura-pura diam” dan bahkan lewat Forum Silaturahmi Dakwah Kampus (FS LDK) di sekitar akhir 1996 dan awal tahun 1997 bersama beberapa aktivis HMI bersepakat untuk membentuk “organisasi mahasiswa anti Suharto” untuk menyaingi popularitas PRD di kalangan mahasiswa di PTN-PTN di Indonesia. Benar saja, mereka akhirnya membuat “KAMMI” - Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia, ormas mahasiswa Islam yang dipengaruhi ideologi Ikhwanul Muslimin Mesir, sebagai embrio PK (Partai Keadilan) yang kemudian berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Semenjak “konflik” dengan beberapa aktivis Jamaah Shalahuddin di tahun 1997 itulah, akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dengan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) bersama beberapa teman-teman yang lain, yang melihat bagaimana “sektarianisme” dan “dukungan dana” cukup besar diberikan pada kelompok-kelompok mahasiswa Islam itu. Disini catatan pentingnya, yaitu awal bagaimana “gerakan pro demokrasi yang digerakkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia dibajak” - bahkan hanya setahun sebelum Suharto dijatuhkan. Merekalah yang sejak awal mula “dekat” dengan tokoh seperti Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan beberapa politisi Islam lainnya - yang juga menentang Suharto, tetapi membawa agenda politik dan kepentingan yang berbeda. Agenda itu adalah yang saya sebut sebagai “glorifikasi maskulinitas”.

Apakah glorifikasi maskulinitas itu dalam konteks gerakan sosial termasuk gerakan mahasiswa? Yaitu suatu perayaan dan bahkan “pemujaan” yang bersifat maskulin - dimana gerakan sosial dengan sengaja “difragmentasikan” melalui hubungan patronase termasuk dengan “dukungan dana” (uang) dan persebaran narasi yang membenarkan maskulinitas beracun yang didasari oleh nilai moralitas “sektarian” (terutama ideologi Islam politik yang menglorifikasikan konstruksi ideologi kepemimpinan secara ‘maskulin’) sebagai satu-satunya cara untuk mendorong perubahan politik. Dan benar saja, justru inilah yang mengemuka dan secara hegemonik “punya ruang tumbuh” di masa pasca kejatuhan Suharto pada 21 Mei 1998.

Bahkan 21 tahun kemudian, peristiwa Mei 1998 yang sering diperingati sebagai “Mengenang Reformasi” - itu pun diperingati dengan logika meneguhkan “glorifikasi maskulinitas." Sebagian mahasiswa milineal bahkan ada yang “tidak tahu” bahwa “demonstrasi menentang Suharto di akhir kekuasaannya yang pertama-tama, semenjak kerusuhan 26 Juli 1996 membuat banyak aktivis “bergerak" - adalah “Demonstrasi Suara Ibu Peduli” pada bulan November 1997 - dimana sekelompok feminis memprotes “kenaikan harga susu” - untuk menentang rezim Orde Baru yang telah membebankan ongkos ekonomi dan politik - pada bangsa Indonesia sehingga terjadi krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1996 (dan sesudahnya). Generasi milineal banyak yang hanya mengingat “peristiwa 1998” lewat gambaran tentang “kerusuhan” - dan jatuhnya “korban” - mereka acapkali tidak cukup terliterasikan dengan baik - mengapa hal-hal buruk tersebut dapat terjadi. Sebelumnya bahkan ketika saya pribadi mempertaruhkan jalan keselamatan yang saya ingin percayai, pengetahuan dan pembebasan bagi kesetaraan, masa depan yang lebih baik bagi kaum muda Indonesia. Saya mengalami tragedi yang saya alami sendiri, pada tanggal 13 Mei 1998 di UGM (lihat ilustrasi foto dalam artikel blog ini). 

Setelah itu terjadi peristiwa yang lebih naas lagi di Jakarta. Dimana bahkan ada yang sama sekali tidak tahu bahwa pada Mei 1998  terjadi serangkaian “pemerkosaan” terhadap kaum perempuan, terutama etnis Tionghoa! Sejarah yang menimpa kaum perempuan seakan-akan “terlupakan” - yang muncul adalah “heroisme maskulin”.

Justru disitulah poinnya. Pada aksi demo partisan pasca Pilpres 2019 di depan gedung Bawaslu Jakarta dan sekitarnya (Tanah Abang) yang berakhir rusuh pada  21-22 Mei 2019 yang lalu, kita menyaksikan “bagaimana glorifikasi maskulinitas” itu dirayakan secara ironis! Polarisasi politik sebagai dampak menguatnya “politik identitas” - justru memberi ruang bagi pelembagaan kontrol patronase yang militeristik!

Hal itu semua dimungkinkan karena sesungguhnya “Reformasi” tidak pernah sungguh-sungguh terjadi di Indonesia, pun pasca jatuhnya Suharto. Meskipun gerakan-gerakan pro demokrasi tetap punya ruang - tetapi yang memperoleh kesempatan dan ruang tumbuh yang pesat justru “ideologi-ideologi kanan” yang sektarian dan bahkan cenderung membenarkan “rasisme” - dimana etnisitas baru dikerangkai dengan sentimen keagamaan. Ini semua karena sesungguhnya, justru sejak jatuhnya Suharto, kita mengadopsi sistem ekonomi neoliberal - sehingga berdampak pada setidaknya tiga elemen dasar sistem politik yaitu:

(1) Sistem elektoral yang kaderisasinya bersifat elitis dan membolehkan masuknya kapital untuk pembiayaan kegiatan Parpol sehingga membuka peluang terjadinya praktik korupsi

(2) Privatisasi di dunia pendidikan sehingga membuat reproduksi gerakan mahasiswa seakan-akan “macet” secara alamiah - padahal sesungguhnya tidak. Perguruan Tinggi berubah menjadi “korporasi’ - dan menerapkan sistem kinerja dan budaya korporasi, sehingga jikapun masih ada kegiatan mahasiswa, maka makna “produktivitas” harus dimaknai sebagai “upaya menumbuhkan kapital” - padahal manfaatnya hanya menjangkau segelintir orang saja.

(3)  Orientasi pada pencapaian material dan individualisme sebagai “motivasi” beberapa mahasiswa memasuki “gerakan sosial” - dimana medan aktivisme bukan dipandang sebagai ‘ranah belajar’ - apalagi ranah pergerakan, melainkan sebagai bagian dari “membangun portofolio personal” - sehingga mereka yang memasuki gerakan mahasiswa sejak awal bahkan sudah membangun “impian” untuk menjadi “politisi” - yang mapan secara ekonomi dan sukses (populer). Ini pula yang berlangsung di organisasi-organisasi mahasiswa di kampus (baik kanan maupun kiri!).

Peristiwa 1998 sungguh membekas dalam untuk saya pribadi yang bahkan pada saat demonstrasi bersama kawan-kawan lain, ketika UGM diserbu aparat keamanan pada 13 Mei 1998, saya pun mengalami peristiwa yang memilukan, yaitu mengalami kekerasan seksual. Sesuatu yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk “melepaskan hijab” saya dan sejak saat itulah hidup saya berubah. Saya menolak glorifikasi maskulinitas termasuk pada ingatan sejarah tentang 1998. Sejarah 1998 juga milik KAUM PEREMPUAN. Saya ingat betul, pada Desember 1998, dalam keadaan saya masih berusaha untuk “pulih” - saya yang pada saat itu bekerja untuk sebuah NGO internasional, menyempatkan untuk datang ke Konggres Perempuan. Konggres yang baru diadakan kembali setelah jatuhnya pemerintahan otoriter Suharto. Konggres itu menyepakati suatu poin penting yang hingga kini masih kita perjuangkan, yaitu “bagaimana suara dan pengalaman hidup kaum perempuan berpengaruh penting bagi perubahan politik di Indonesia dan masa depan kita sebagai bangsa Indonesia?”

Saya ingin mengucapkan terimakasih pada kawan-kawan aktivis perempuan di UGM terutama yang generasinya mengalami 1998 seperti saya, mereka yang telah ikut membawa perubahan: Dhyta Caturani, Damairia Pakpahan, Lita Anggraini, Didien Tri Susdinarti, Nining Wahyuningsih, Ernawati, dan masih banyak lainnya. Perjuangan kita belum selesai. Bagaimana kita mampu melampaui “romantisasi subyek” untuk terus mengawal dan menumbuhkan gerakan-gerakan pro demokrasi. Terimakasih saya ucapkan pada generasi berikutnya, alumni dan mahasiswa UGM yang menumbuhkan gerakan perempuan.

Yogyakarta, 31 Mei 2019.

Tia Pamungkas
(Disampaikan pada diskusi mahasiswa API KARTINI di Yogyakarta)

***
Diedit-ulang pada Selasa 29 September 2020 (pk. 09: 18 WIB) di Yogyakarta
RIP guruku, Cornelis Lay (Wafat 05.08.2020 di Rs. Panti Rapih Yogyakarta, dimakamkan 06.08.2020 di Pemakaman Guru-Guru Besar UGM, Sawitsari Sleman Yogyakarta)

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...