Showing posts with label Seni Kontemporer Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Seni Kontemporer Indonesia. Show all posts

Saturday, March 06, 2021

Sastra Banding dalam Wacana Relasi Kekuasaan dan "Perjuangan Identitas"

Sastra Banding dalam Wacana Relasi Kekuasaan dan "Perjuangan Identitas" 

(Pengantar untuk Sastra Modern Indonesia menurut Kajian Budaya)

oleh Arie Setyaningrum Pamungkas

 

Di dalam pengantar buku “Sastra Interdisipliner” ada penekanan bahwa sastra banding merupakan suatu metode memahami karya kesusastraan sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari ekspresi kemanusiaan. Dari sini, kita melihat relasi yang erat antara sastra sebagai suatu narasi dengan sejarah. Bahwasanya narasi memberi pengaruh pada perjalanan sejarah manusia maupun sebaliknya sejarah memberikan pengaruh pula pada perkembangan narasi dan wacana.  Meski demikian, komentar di dalam makalah ini tidak akan melihat secara spesifik manakah yang memiliki legitimasi pengaruh yang paling kuat; apakah pengaruh narasi terhadap perubahan sejarah; ataukah pengaruh perjalanan sejarah terhadap perkembangan narasi. Ini tidak lain karena perdebatan semacam itu seringkali menjadi wilayah pemuasan intelektual semata dan kadangkala mengabaikan persoalan esensial yakni bagaimana narasi yang dihadirkan melalui karya kesusastraan berperan secara signifikan bagi perubahan sosial. Karenanya, sependapat dengan Julia Kristeva (1986) diskusi dalam makalah ini merupakan bagian dari menghadirkan perdebatan wacana lewat interpretasi yang beragam atas teks dan bagaimana interpretasi yang beragam tersebut di dalam pembahasan sosiologis mampu menghadirkan peta relasi kekusaan, karena wacana merupakan wilayah pertentangan mengenai suatu kebenaran relatif (discourse is a field of competing a relative truth). Pendapat ini didasari oleh suatu argumen, bahwa pengetahuan tidak seharusnya diperlakukan sebagai suatu kebenaran obyektif, melainkan pengetahuan lahir sebagai suatu produk kita mengkategorisasikan dunia melalui apa yang disebut sebagai “discursive analytical terms”.

 Pengaruh studi kesusastraan (literary studies) terhadap wacana mengenai relasi kekuasaan dan  perjuangan identitas mengemuka akhir-akhir ini melalui perkembangan teori poskolonial (postcolonial theory) yang awal mulanya dibangun melalui studi interpretatif terhadap karya kesusastraan “Barat” (Western) yang memfokuskan setting narasinya pada konteks Asia (Orientalism). Edward Said (lewat studi atas novel-novel Barat seperti yang dihasilkan antara lain oleh Flaubert, Austen, Conrad, de Nerval) menggagas teori mengenai Orientalisme dengan asumsi bahwa ada kaitan erat antara imperialisme Barat dengan unsur-unsur yang didukung oleh kebudayaan Barat. Melalui analisa Foucaldian tentang relasi kekuasaan, Said (1995) mencoba memetakan bagaimana “Timur” telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek imperialisme Barat, dimana kehendak untuk menguasai (dominasi) dijalankan secara manipulatif bahkan seringkali melalui proses inkorporasi (incorporated) budaya hegemonik Barat dengan unsur perbedaan yang secara laten dimiliki oleh kelompok sub-ordinan (Timur). Tesis Said mengenai Orientalisme ini dianggap terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan “Timur” sebagai subyek pasif yang sama sekali tidak memiliki ruang ataupun bentuk-bentuk artikulatif dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi peradaban Barat, meski begitu setidaknya studi Said telah membuka suatu cakrawala baru mengenai “bagaimana kita mengkategorisasikan dunia melalui pengalaman kita melihat dunia”.

Homi Bhabha dan Gayatri Spivak, kemudian mengembangkan gagasan mengenai studi poskolonial dengan fokus pada studi representasi, yakni apa yang kini dihadirkan sebagai bagian dari wajah dunia. Bhaba menekankan bahwa, apa yang dihadirkan saat ini di dunia merupakan perwujudan representasi dari budaya hybrid (cultural hybrids). Hybridity mendeskripsikan bagaimana wacana mengenai kolonial dan imperial secara inheren bersifat tidak stabil bahkan “split”, sehingga  setiap praktek dari dominasi,  bahasa menjadi wujud dari  hibridity itu sendiri (Bhabha, 1994). Analisis Bhabha ini didasari oleh studinya mengenai stereotipe kolonial dimana dalam konteks persebaran otoritas imperial, misalnya stereotipe kekejaman kebangsawanan (the nobel savage) dan kecurangan timur (the wily oriental) dikonstruksikan sebagai suatu “sifat yang alamiah” dan konstruksi ini dikonfirmasikan terus-menerus oleh para kolonialis (coloniser). Dalam penjelasan yang lain, Bhabha menggambarkan streotipe tersebut seringkali bersifat kontradiktif, dimana subyek kolonial (colonial subject) yang “kejam” digambarkan sebagai “para abdi yang patuh dan taat”(karena mereka adalah the bearer of food), mereka seringkali berjiwa mistis dan berfikir secara primitif sehingga karenanya adalah subyek yang tidak berdosa (innocent) 

 Ambivalensi relasi yang dilahirkan dalam konteks kolonialisme ini melahirkan struktur agensi baru sebagaimana yang ditegaskan oleh Spivak sebagai suatu transformasi yang memungkinkan kondisi dari suatu yang mustahil menjadi niscaya (the transformation of condition of impossibilty into possibilty). Suatu gambaran menarik mengenai bagaimana suatu kondisi yang mustahil menjadi suatu yang mungkin terjadi diilustrasikan oleh Bhabha dalam interpretasi-nya terhadap sekelompok orang-orang desa di luar kota Delhi pada tahun 1817. Para penduduk desa bertahan pada tradisi vegetarian meskipun mereka telah masuk Kristen, dikarenakan argumen bahwa mereka hanya layak menerima sakramen apabila mereka beriman pada hari akhir (evangelical utterance), dan mereka yang beriman bukan muncul dari sekelompok orang pemakan daging (Bhabha, Signs Taken for Wonders, 1994, p.102). Bhabha menggambarkan situasi ini sebagai suatu perlawanan yang luar biasa, karena ketika penduduk lokal (native) menginginkan Gospel yang bersifat lokal (an Indianised Gospel), mereka menggunakan unsur hibridity sebagai cara mempertahankan kekristenan mereka; yang ini diartikan sebagai suatu transformasi dari bentuk konversi yang mustahil menjadi niscaya. Dari konteks ini teori mengenai hidridity dipahami bukan hanya sebagai suatu peralihan dua wujud yang berbeda menjadi suatu wujud baru, melainkan juga melahirkan bentuk-bentuk resistensi baru dan juga bentuk-bentuk negosiasi baru (Spivak, sebagaimana yang dikutip dalam Bart Moore dan Gilbert, 1997). Melalui struktur agensi baru ini, relasi kekuasaan tidak lagi dikacamatai sebagai bentuk hegemoni lama dimana unsur budaya dominan secara represif memaksakan pengaruhnya secara total terhadap unsur budaya subordinan, karena relasi kekuasaan didalamnya bersifat dinamis sehingga kompetisi antara unsur-unsur kebudayaan memustahilkan absolutisme  dalam praktek kebudayaan.

Ambivalensi relasi dalam konteks poskolonialisme juga melahirkan bentuk-bentuk baru wacana mengenai “perbedaan” sebagai suatu medan bagi perjuangan identitas (a field of identity struggle).  Perspektif poskolonial secara metodologis telah memungkinkan (enabling) dikotomi kategori orientalis mengenai “majikan-budak (master-slaves), penjajah-yang dujajah (coloniser-colonised), kulit putih-hitam (white-black), mereka yang beradab-tidak beradab (civilised-uncivised)” dimana kategori “the other” yakni mereka yang marginal secara artikulatif merupakan fokus bagi analisa kritis dimana konteks modernitas lebih dimaknai sebagai wilayah pertentangan bagi eksistensi kelompok marginal (subaltern group). Spivak menggambarkan “subaltern group” sebagai  orang-orang biasa yang jauh dari pusaran pertentangan wacana dimana kepentingan artikulatif mereka senantiasa dimediasi oleh kelompok-kelompok lain yang lebih dominan misalnya, kalangan intelektual (akademisi), politisi, para administrator dan institusi lain (Spivak, Can the Subaltern speak?, 1988). Dalam studi-nya mengenai “disenfranchised women” (kaum wanita yang kehilangan suara/hak-nya), Spivak mengilustrasikan bahwa dalam sekelompok perempuan India “Sati” (yakni para janda yang mengorbankan dirinya melalui kematian / bunuh diri), seringkali diam dan tidak berdaya, tidak lain karena suara mereka tidak pernah diberdayakan. Dari sini, ada suatu mata rantai yang hilang dimana kepentingan artikulasi seringkali terdistorsi dan bahkan lenyap dari wacana dominan karena tergantikan oleh media-media artikulasi lain (intelektual, institusi patriarkhis, administrator, politisi dan lain-lain) yang memiliki kepentingan kekuasaan terhadap kompetisi wacana dominan. Studi Spivak inilah yang kemudian menginisiasi wacana mengenai kritik poskolonial untuk “merekam suara mereka yang diam” (to record the silence) sehingga “perbedaan”  memiliki  ruang artikulatif bukan hanya untuk dipahami  tetapi juga untuk diakui, pada konteks inilah perjuangan bagi identitas dimunculkan.

Sumbangan teori poskolonial telah memungkinkan penelusuran lebih jauh mengenai bagaimana wacana dominan atau sebaliknya wacana kelompok subaltern (penulis lebih sepakat dimaknai sebagai kelompok orang pinggiran) diartikulasikan melalui karya sastra. Perspektif sosiologi budaya yang menekankan pada bagaimana suatu makna diciptakan “meaning making process” menurut Spillman (2002) telah memungkinkan kajian sosiologis bagi proses pembentukan makna melalui setidaknya tiga metode. Pertama, “meaning making process on the ground”, dimana makna tercipta melalui interaksi individual dalam keseharian. Kedua, “meaning making process within the field of network or institution of cultural producer”, dimana dalam proses ini produk-produk sosial misalnya karya sastra diuji (examined) pada konteks sosial tertentu ketika karya tersebut diciptakan. Dalam metode ini, pendekatan sosiologi historis diperlukan untuk penelusuran dampak dari konteks yang melatarbelakangi dan yang secara institusional melahirkan wujud kebudayaan. Ketiga, “meaning making on the text” yang memfokuskan analisa tekstual yang menjelaskan struktur internal dimana “makna” diproduksikan.

Melalui pendekatan sosiologi budaya (cultural sociology), budaya dapat dipandang sebagai suatu relasi konsensus dan sekaligus relasi kekuasaan. Melalui kajian sosiologi budaya, misalnya kita bisa menganalisis karya-karya sastra Indonesia posmodern, seperti yang dihadirkan dalam novel-novel Ayu Utami, atau penulis pop culture seperti Dee. Konteks perubahan global dan juga paradoks kebudayaan yang dihasilkan oleh globalisasi melalui wujud global di ranah lokal dan sebaliknya wujud lokal di ranah global menjelaskan dimensi mengenai bagaimana relasi kekuasaan, yang direpresentasikan melalui ekspansi pasar. Dalam novel Dee, “Supernova” dan “Bodhi”, misalnya memunculkan pertentangan-pertentangan mengenai identitas kelompok “subculture” yang lahir sebagai wujud ambiguitas modernitas sebagai sebuah proyek kemanusiaan yang gagal melakukan pencerahan (teknologi dan pengetahuan bukan lagi sebagai alat pembebasan dari penindasan, melainkan muncul sebagai sekrup-sekrup kapitalis mutakhir yang menindas ekspresi kemanusiaan). Atau Ayu Utami yang memunculkan seksualitas sebagai hasrat tersembunyi kaum perempuan dalam Saman, misalnya,merupakan wilayah “tabu” dalam wacana tentang perempuan Asia (Indonesia) karena wilayah pembicaraan ini acapkali lebih merupakan apa yang Spivak katakan sebagai wacana kelompok yang diam karena stigmatisasi sosial membuat wacana ini mustahil dimunculkan secara terbuka.  Karya sastra dengan demikian, merupakan kajian sosiologis yang merupakan wujud ekspresi kebudayaan atas perubahan sosial yang demikian deras memunculkan suatu bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan baru (dalam pengertian hibridity) dan ruang-ruang artikulatif baru yang seringkali tidak hanya berhenti pada proses refleksi semata, melainkan juga bagaimana bentuk-bentuk kebudayaan mampu memotivasi perubahan sosial.

Referensi:

Bhabha, Homi, 1994. The Location of Culture, Routledge, London

Hall, Stuart, 1996. Who Needs Identity, in Hall and Du gay, Questions of Culture Identity, Sage, London.

Jorgensen and Philips, 2003. Discourse Analysis as Theory and Method, Sage publication, London.

Kristeva, Julia, 1986. Word, Dialogue and Novel, in Moi (ed), The Kristeva Reader, Oxford Blackwell, Oxford. 

Moore-Gilbert, 1997. Postcolonial Theory, Verso, London

Spillman, Lynn, 2002. Cultural Sociology, Blackwell Readers in Sociology, Massachusetts.

Spivak, Gayatri, 1988. Can Subaltern Speak, in Nelson and Grossberg (eds), Marxism and the Interpretation of Culture, University of Ilinois Press, Chicago.

Spivak, Gayatri, 1988. In Other World, Routledge, New York.

 

Saturday, February 13, 2021

Seni dan Modernitas Cair: Menjejak Karya Titarubi

 


Seni dan Modernitas Cair: Menjejak Karya Titarubi

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Mata Jendela Edisi IV, 2014)

oleh Arie Setyaningrum Pamungkas


Seni dan Modernitas Cair Apakah itu?

 

"Fluidity is the quality of liquids and gases, what distinguishes both of them from solids? As the Encyclopaedia Britannica authoritatively informs us is that, they cannot sustain a tangential, or shearing, force when at rest and so undergo a continuous change in shape when subjected to such a stress" 

 

(Zygmunt Bauman, 2000. 'Foreword: On Being Light and Liquid,’ dalam Liquid Modernity, hal.1)

 

Kutipan diatas menunjuk pada apa yang membedakan zat cair (fluidity) seperti 'cairan dan gas' dari zat lain yang bersifat solid, yakni pada kualitas perubahan wujud dan komposisi zat tersebut ketika kita berusaha memisahkan komponen-komponen yang membentuknya (endapan-endapan) sehingga zat cair akan berubah bentuknya khususnya ketika zat tersebut mengalami tekanan (stres).  Zygmunt Bauman adalah seorang sosiolog yang menggunakan metafora 'liquid modernity' untuk menjelaskan bagaimana modernitas tingkat lanjut berjalan dalam kehidupan sehari-hari kita, dimana perubahan merupakan suatu fenomena yang biasa terjadi akibat dari berlangsungnya kehidupan moderen - sebagaimana tekanan atas kehidupan sehari hari membentuk endapan-endapan yang kemudian muncul dalam bentuk atau formasi yang dapat kita bedakan wujudnya. Dalam pengertian inilah modernitas tingkat lanjut merupakan suatu obsesi manusia untuk mencapai peradaban yang berdasarkan rasionalitas - suatu upaya membebaskan manusia dari keterbatasannya atas kondisi fisik melalui pengetahuan (khususnya ilmu pengetahuan) - sehingga pencapaian perbaikan kualitas hidup juga dibarengi oleh pencapaian secara material. Tetapi pada kenyataannya, modernitas juga membentuk endapan lain yang justru menjauhkan cita-cita pencerahan peradaban manusia, seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan, masalah kesetaraan, dan lain sebagainya. Kritik atas paham modernisme (yang menggunggulkan pencapaian modernitas melalui semata-mata rasionalitas) inilah yang melahirkan wacana postmodernisme. Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya kritik pun muncul atas wacana postmodernisme yang seakan akan hanya memiliki agenda metanarasi - bagi kepuasan intelektual belaka (intellectual exercise) yang bertujuan pada dekonstruksi wacana modernitas - tanpa memberi jejak bagi agenda partisipatoris bagi tujuan pencapaian pembebasan manusia (peradaban yang lebih manusiawi dan memanusiawikan manusia).

Oleh karena itu, Bauman beranggapan bahwa peradaban manusia dalam konteks modernitas perlu diuraikan komponen-komponennya sehingga kita bisa mengenali endapan endapan apa saja yang bersifat contagious (menular) - sehingga mengubah formasi dan wujud dari modernitas itu sendiri. Secara khusus mengenai seni sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari praktek sosial kita, Zygmunt Bauman mencontohkan bagaimana seni rupa menjadi medium penyampaian pesan komunikatif dalam pewacanaan kritis atas modernitas. Dalam bukunya, ‘Liquid Modernity’, Zygmunt Bauman mencontohkan karya 'Auto Destructive Art' oleh seniman Gustav Metzger  yang adalah seniman perupa  yang mempelopori karya berbasis metode pengkaryaan kritis di dunia seni rupa moderen. Metzger pada tahun 1960 sebagaimana dibahas oleh Zygmunt Bauman, mempengaruhi banyak seniman bahkan intelektual postmoderen lainnya khususnya melalui karya-karya instalasinya yang memuat kritik atas konsumerisme masyarakat kapitalis tingkat lanjut. Pada periode tahun 60an, di Eropa khususnya, dimulai masa booming budaya populer lewat industri hiburan sebagai dampak dari Amerikasasi dalam kebudayaan global. Transisi masyarakat yang menggunggulkan konsumerisme inilah yang melandasi karya-karya Gustav Meztger, bahkan yang kemudian ikut mempengaruhi tulisan-tulisan akademik Jean Baudrillard tentang hyperreality. Pada pameran instalasinya di Temple Gallery, London yang diberi judul ‘Auto Destructive Art’ pada tahun 1960, Gustav Metzger menyusun suatu instalasi atas karya fotografinya tentang kota London di tepi sungai Thames dan menutupi foto itu dengan medium kain nylon diatas panel kaca yang yang ia pasang seperti papan tulis dimana ia bersembunyi dibalik panel itu kemudian dengan kuas ia menuangkan cairan asam hydrocolic (HCL), sehingga ketika cairan asam HCL itu mengenai kain nylon penutup foto itu kemudian kedua materi tersebut menyatu berubah mengkeret seperti karet perekat, dan kemudian perlahan lahan nampaklah dari balik kaca wujud Gustav Metzger. Pada kesempatan itulah, pertama kalinya seorang perupa menggabungkan medium seni fotografi dengan suatu bentuk seni pertunjukkan (performing art) melalui cairan asam HCL yang seolah-olah berfungsi seperti cat lukis.  Gustav Metzger melakukan ini sebagai bentuk kritik dan protes sosialnya pada industri budaya pop yang menjadikan fashion sebagai suatu komoditas yang didiktekan kepada publik.

Lantas bagaimana mengkaitkan konteks 'modernitas cair' ini dengan seni? Khususnya seni rupa? Dalam konteks feodalisme, seni seakan-akan memiliki tugas 'adiluhung' suatu beban kebudayaan tinggi yang biasanya mencakup hubungan bersifat patron-klien antara penguasa (elit) dan seniman. Akibatnya, banyak karya seni khususnya seni rupa yang ditujukan untuk mengabadikan 'kemolekan'; pun ketika sebuah tragedi memilukan direpresentasikan melalui kemolekan yang pada gilirannya bertujuan untuk melegitimasi suatu kekuasaan. Berakhirnya masa feodalisme yang ditandai oleh arah peradaban masyarakat moderen yang rasional juga mempengaruhi praktek pengkaryaan seniman. Hal inilah yang pada gilirannya mengubah pengertian mengenai seni visual (visual art) yang semula hanya dimaknai sebagai seni untuk menggambar, melukis, atau seni yang semata-mata hanya dapat dilihat oleh mata manusia. Pengertian mengenai 'visual art' menjadi lebih luas yakni suatu espresi visual yang dapat kita saksikan dan melahirkan sensasi mental (termasuk emosi) bagi setiap orang yang menyaksikannya. Hal ini mencangkup pula berbagai ekspresi visual diluar seni visual konvensional seperti menggambar atau melukis misalnya, yakni mencakup seni instalasi, gambar bergerak (film), dan bahkan seni pertunjukan yang juga memasukkan unsur-unsur penataan desain artistik secara visual sebagai bagian dari suatu pertunjukkan. Dalam konteks inilah, pengalaman menyaksikan yang mendorong sensori visual kita dan kesadaran kognitif atas pengalaman menyaksikan suatu obyek seni rupa menjadi hal yang penting dalam suatu pameran seni rupa. 

Oleh karena itu, narasi atau pembacaan atas suatu karya seni menjadi sangat penting dan bersifat 'monumental' di dalam pameran seni rupa moderen. Jadi dapat dikatakan bahwa sifat monumental (memiliki arti mendalam, pemaknaan yang bersifat penting atau menyejarah) merupakan obsesi bagi setiap seniman di dalam pengkaryaannya, sehingga muncullah pepatah yang mengatakan 'Ars Longa Vita Brevis' (Seni itu abadi, meskipun usia manusia pendek). Mentalitas yang berakar dan diturunkan melalui tradisi filsafat Hipokrates - seorang filsuf di bidang kedokteran yang pertama-tama meyakini bahwa setiap penyakit ada obatnya atau cara penyembuhannya melalui eksplorasi ilmu pengetahuan, bukan disebabkan oleh hal-hal gaib atau semata mata bersifat kehendak Ilahiah. Inilah yang menjadi akar rasionalitas berkesenian di dalam konteks moderen pula. Dalam dunia berkesenian, tak terkecuali seni rupa, para seniman dituntut untuk terus menerus melahirkan proses-proses kreatif yang dibebani oleh hasrat untuk menciptakan karya seni yang bersifat monumental itu tadi. Akibatnya, relasi seniman dengan agensi kesenian pun berubah, menjadi jauh lebih kompleks dan melibatkan perluasan mekanisme praktek berkesenian yang melibatkan aktor-aktor penggerak lain seperti kurator, pengamat dan kritikus seni, kolektor dan pasar seni rupa, galeri, museum, dan pers atau jurnalisme yang meliput peristiwa kesenian. Tuntutan untuk menjadikan suatu pengkaryaan sebagai proyek monumental inilah yang pada gilirannya bukan hanya dikritisi oleh para pengamat seni seperti para intelektual, melainkan juga muncul dari kalangan seniman seniman sendiri dikarenakan tujuan untuk menciptakan karya monumental bukan berarti semata-mata ditentukan oleh nilai ekonomis atas suatu karya seni menurut ukuran selera pasar. 

 

Seni Rupa dan Metode Pengkaryaan Moderen: Tinjauan Ulang

Kritik atas pengaruh modernisme dalam di dunia seni rupa juga melahirkan generasi baru seniman-seniman yang dipengaruhi oleh paham postmodernisme yang beranggapan bahwa nilai ekonomis suatu karya seni tak memiliki arti ketika karya itu sendiri teralienasi - menjauh dari realitas sosial sehari-hari bahkan di lingkungan kehidupan seniman itu sendiri. Maka lahirlah berbagai ekspresi seni yang mengandalkan unsur 'kritik' pada modernitas yang melahirkan kesenjangan sosial, ketidakmerataan, ketimpangan, ketidakadilan sosial termasuk gender, serta kritik atas eksploitasi lingkungan hidup, sumber daya alam dan manusia itu sendiri. Dalam konteks inilah, muatan kritik menjadi suatu komponen penilaian estetis atas suatu karya seni khususnya seni rupa. Keberadaan tafsir atas suatu karya menjadi bagian yang penting dan tidak bisa dipisahkan dari suatu pameran atau eksebisi seni rupa. Pengaruh keberadaan paham postmodernisme juga telah melahirkan keberadaan para kritikus seni rupa yang ikut andil membentuk wacana atas suatu momentum atau peristiwa kesenian bahkan pada obyek atau karya seni yang ditampilkan. 



Ironisnya, seringkali banyak seniman yang justru seringkali membisu atau kurang dibekali oleh kemampuan artikulatif untuk menjelaskan proses mental yang dialaminya dalam proses pengkaryaan sehingga seringkali celah inilah yang justru banyak diartikulasikan oleh aktor-aktor lain seperti peranan kuratorial yang hegemonik dan kritikus seni yang acapkali justru tidak terlibat atau mengamati proses pengkaryaan seorang seniman dan meletakkan tafsir atas suatu karya seni yang semata-mata cenderung berbekal hanya pada seperangkat teori mengenai seni rupa dan teori-teori kritis semata. Disengagement - keterputusan keterlibatan seniman dan para agen yang mentafsirkan suatu karya juga seringkali terjadi khususnya ketika banyak galeri atau museum seni yang menempatkan peranan kuratorial hanya secara elementer saja dimana komunikasi, dialog antara seniman dan kurator seringkali tidak menjadi bagian yang penting di dalam proses kuratorial. Banyak kurator seni rupa yang justru 'baru hadir' ketika suatu karya seni itu sudah 'ada' - dan ironisnya lagi, banyak seniman-seniman yang pasrah begitu saja apapun tafsir yang dikehendaki atas karyanya. Dalam kondisi semacam ini, seorang seniman tercerabut dari hal yang paling esensial, yakni 'subyektivitasnya sendiri' - karena subyektivitas seniman itu kemudian memudar bahkan lenyap jejaknya dari narasi tunggal (singular) - dan karyanya menjadi sangat tergantung pembacaannya secara elementer oleh aktor-aktor lain. 

Sebagai seorang sosiolog yang keahlian dasar saya adalah mengamati proses perubahan sosial serta bagaimana suatu realitas sosial dikontruksikan oleh masyarakat, metode di dalam melakukan penelitian (riset) merupakan kemampuan dasar yang sangat elementer (menentukan) bagi cara-carasaya menganalisis perubahan konteks sosial di masyarakat, khususnya yang berkenaan dengan aspek budaya (yang menekankan pada pemaknaan atau praktek simbolis di dalam masyarakat). Sementara itu, keahlian dasar seorang seniman di bidang seni rupa misalnya, adalah melakukan pengkaryaan atas obyek yang digelutinya melalui pilihan pilihan medium, pilihan genre (kategori berdasarkankomposisi artistik), maupun gaya (wujud yang secara elementer menghasilkan cita rasa estetis pada suatu medium karya).  Jadi, sesungguhnya ‘meneliti’ atau ‘menulis’ yang berdampak pada unsur pewacanaan bukanlah suatu keahlian mendasar yang wajib dimiliki oleh setiap seniman. Benarkah demikian? Pastinya seseorang dapat dikatakan sebagai seorang seniman ketika ia berhasil membentuk obyek yang dapat dinilai melalui ukuran-ukuran (komposisi) estetis. Akan tetapi, komposisi penilaian cita rasa artistik (estetika) atas suatu karya seni tidaklah bebas nilai, dalam pengertian ini bersifat politis. Artinya, seniman sendiri tidak bisa secara individual mengklaim nilai estetis dari pengkaryaannya tanpa melibatkan unsur penilaian dari orang lain. Artinya, selain dibekali oleh ketrampilan (skills) yang baik, serta kreativitas yang kaya eksplorasi imajinatif , seorang seniman tidak akan mampu melahirkan tuntutan ‘monumentalitas’ atas proses pengkaryaannya. Pertanyaannya, bagaimana seorang seniman mampu memiliki daya eksplorasi imajinatif yang kreatif tanpa dibekali oleh kemampuan untuk menyerap segala aspek kehidupan atas lingkungan di sekitarnya yang dapat menarik perhatian orang lain?

Kemampuan untuk menyerap ide-ide imajinatif yang melandasi proses pengkaryaan menjadi sangat penting dan tidak bisa dilepaskan dari identitas kekaryaan itu sendiri – hal inilah yang mewakili subyektivitas seorang seniman. Oleh karena itu, seorang seniman tidak bisa melepaskan diri dari konteks dimana ia meletakkan minat atau gagasannya sehingga suatu karyadapat “berbicara tentang dirinya” bahkan menjadi bagian yang melekat dari kedirian seniman itu sendiri (Ars LongaVita Brevis-nya) secara komunikatif kepada khalayak (publik). Artinya,dalam suatu proses pengkaryaan, suatu ide atau gagasan tidak cukup diwakilioleh ekspresi visual tanpa melatarbelakanginya dengan narasi (jalinan kisah)yang merepresentasikan obyek itu sendiri. Secara sederhana, hal ini nampak sangat mendasar ketika seorang seniman ‘memberi judul’ atas karyanya. Judul itu sendiri menurut saya menjadi bagian yang secara elementer mempengaruhi nilai estetis atas suatu obyek seni karena merepresentasikan gagasan komunikatif pada publik. Obyek seni yang baik bukan hanya mewakili ketekunan yang rapi (terukur secara artistik melalui komposisi yang digunakan) tetapi juga terbaharukan di dalam ide-ide yang mewakili wujud dari karya seniitu sendiri. Metode menjadi sangat penting artinya di dalam proses pengkaryaan.

Pada dasarnya, seni merupakan suatu ekspresi emosional manusia yang diwujudkan melalui medium –sehingga obyek tersebut membangkitkan daya penginderaan kita secara emosional (sensasi yang muncul dari melihat, mendengar, menyaksikan). Artinya, seni sangat dekat dengan ekspresi kemanusiaan kita – suatu hal yang mendasar, yakni perwujudan emosi kita sebagai makhluk yang berakal dan berbudi (memiliki cita rasa). Bagaimana suatu karya mampu menjadi medium yang membangkitkan sensibilitas emosi kita? Pada konteks inilah seorang seniman harus mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan kreatifnya, baik pada obyek pengkaryaan (medium yang dipilih, teknik yang diselami, serta gaya artistiks) – juga pada kemampuan untuk menarasikan karya itu sendiri yang mampu membingkai subyektivitas si seniman sehingga karya itu melekat pada kedirian si seniman –hal yang membedakan status seorang seniman dengan seorang ‘craftsman’ (tukang) misalnya.

Meretas Batas: Membaca Metode Pengkaryaan Kritis Titarubi

Pemberitaan di harian nasional berbahasa Inggris The Jakarta Globe tanggal 21 Maret 2014 memberi tajuk ‘An Artist who stirs Conscience’ (Seorang Seniman yang Mengarahkan Kesadaran) untuk liputan pameran karya Titarubi di Museum Keramik, Kota Tua, Jakarta. Liputan tersebut pada intinya sangat mengapresiasasi karya Titarubi ‘Hallucinogenic’ khususnya dan pembahasan mengenai citra ‘Imago Mundi’ (Unbearable DarknessKegelapan yang tak Terperikan) yang membalut narasi historis berlapis dan multi tafsir tentang sejarah kolonial dari jejak sebiji pala hingga perjalanannya melintasi antar benua yang berdarah berupa genosida atas sebagian besar penduduk di wilayah Banda (Maluku) yang dibantai oleh VOC akibat perdagangan rempah khususnya pala. Narasi ini terselubung rapi sebagai tujuan keemasan bagi peradaban sekelompok manusia khususnya di Eropa, dan wacana ini nyaris tak pernah dibahas di dalam pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.  Untuk menghadirkan karya ini ke publik, Titarubi mencoba berbagai praktek dengan medium buah pala yang ia sepuh dengan logam terlapis emas. Suatu teknik melapis elemen yang sulit yang disebut sebagai ‘elektroplating’ antara buah pala (yang mengandung elemen solid berserat yang mudah membusuk)  dan cairan kimia serta logam. Dalam menghadirkan karya ini ke publik, Titarubi bukan hanya sekedar mendalami teknik atau skills yang berkenaan dengan logam, tetapi juga melakukan ekspedisi dan serangkaian penelitian etnografis ke Maluku. Dari situlah Titarubi menunjukkan suatu perwujudan estetika seni rupa yang kritis dimana suatu narasi menjadi bagian paling penting dalam suatu proses pengkaryaan, sekaligus menerobos ‘cutting edge’ – tepian yang selama ini tak banyak dilakukan oleh para seniman (di seni rupa khususnya) yakni bukan hanya secara teknis pengkaryaan, melainkan karya itu sendiri bukan semata-mata monumen narasi yang sudah jadi ‘fixed’ (tetap) melainkan menjadi ‘wacana yang terbuka’ (open discourse) bagi pembacaan atas karya itu sendiri maupun narasi yang diwacanakan oleh sang seniman (dalam hal ini Titarubi sendiri).

Dalam suatu kesempatan sebelum Titarubi memamerkan karyanya ini di Museum Keramik, Kota Tua Jakarta, saya sempat mengikuti perjalanan karya ‘Hallucinogenic’  ini di Eropa (di Belanda pada tahun 2013) sebagaimana sebelumnya juga saya selalu membututi karya-karya Titarubi (selama sepuluh tahun terakhir karya-karya Titarubi selalu memancing minat saya sebagai peneliti di bidang kajian visual). Bagi saya pribadi yang mengkaji seni rupa sebagai suatu eksplorasi mengenai praktek visual dan bagaimana medium visualisasi secara simbolis melahirkan makna (meaning making) sehingga mempengaruhi relasi kuasa pengetahuan di dalam masyarakat maupun tatanan sosial (sosial order), proses pengkaryaan Titarubi dan metode yang dijalaninya bukan hanya semata-mata mengandalkan kreativitas semata-mata (tanpa mengurangi respek saya pada gagasan-gagasan kreatif para seniman lain – dalam konteks estetika dan proses pengkaryaan). Karya-karya Titarubi selalu merupakan wujud keuletan dan kerapian yang luar biasa secara teknik pengkaryaan. juga sekaligus ketekunan mengeksplorasi pengetahuan (khususnya bacaan yang kaya dan beragam) tentang filsafat sosial, sejarah sosial , sosiologi, kesusatraan, ilmu politik, dan bahkan psikologi analisa. Hal ini yang nampak sangat menonjol dalam pengkaryaan Titarubi. Saya sangat mengapresiasi karya-karya Titarubi dikarenakan obyek pengkaryaan Titarubi selalu datang bukan hanya menyapa saya dan para penikmat dan peminat seni rupa, melainkan karya itu sendiri seakan-akan menjadi perpanjangan tangan subyektivitas Titarubi yang selalu berhasil memprovokasi semua orang, pun ketika karya itu bahkan baru dalam proses – menuju ruang ‘display’ (pertunjukkannya). Dengan kata lain, sebagai seorang seniman multi talenta yang mengedepankan unsur ‘Fine Art’ – Titarubi mengambil peran yang lebih dari sekedar pencipta obyek seni, ia juga membungkus obyek itu dengan sebuah jalinan cerita (narasi) yang mengajak para peminatnya untuk berdialog. Ketika karya itu ditampilkan, penonton yang sebelumnya tidak mengikuti proses pengkaryaan Titarubi akan mengalami rasa penasaran bertanya-tanya dan seakan-akan Titarubi seperti membiarkan semua penonton membuat tafsir lain atas karya-karyanya. Meskipun karya Titarubi sendiri ketika ditampilkan sudah seperti “berbicara” pada penonton, seakan akan obyek itu adalah suatu wujud subyektif yang mempu berkomunikasi – seperti layaknya pertunjukan teater. Suatu terobosan yang bahkan melanggar pakem teatrikal formal – yakni dimana narasi bahkan sudah dimulai ketika proses pengkaryaan berjalan hingga obyek itu ditampilkan sepenuhnya di dalam galeri dan mewakili bukan hanya subyektivitas Titarubi semata, tetapi godaan bagi para penonton (audience) untuk menjalin, mengembangkan imajinasi yang ditawarkan Titarubi.

Seniman dan pengkaryaannya merupakan satu kesatuan yang ditampilkan oleh Titarubi. Kesatuan yang utuh tetapi mewakili subyektivitas Titarubi yang menawarkan wacana terbuka atas karyanya; ‘suatu dialektika’Titarubi misalnya, melakukan terobosan di dalam metode pengkaryaannya dengan melakukan serangkaian penelitian yang melatarbelakangi ide-ide di dalam karya-karyanya. Secara sederhana, kebanyakan para seniman memperoleh gagasan awal adalah dari hal yang terdekat, yakni pengalaman masing-masing di dalam kehidupan. Pengalaman itu bisa merupakan sesuatu yang bersifat subyektif, dan hal ini merupakan bagian yang penting dikarenakan subyektivitas merekam jejak sensibilitas (penginderaan) – baik secara visual, maupun audio – bahkan secara mental.  Titarubi mempraktekkan ini semua mulai dari hal yang sederhana hingga hal yang rumit, yakni membaca berbagai macam pengetahuan yang ia minati, dari halyang nampak remeh temeh di keseharian kita – seperti kliping koran-koran lokal(yang seringkali distigma sebagai bacaan kelas bawah), buku-buku sejarah,filsafat, ekonomi, sosial, termasuk fiksi, dan melakukan serangkaian penelitian, belajar menyelami teknik-teknik baru dan konsekuensi atas teknik dan medium yang digunakannya. Dari sana ia menyusun semacam rencana proses pengkaryaan, dimana satu ide berkembang dan memunculkan ide yang lainnya – sehingga justru yang dilakukannya adalah semacam mengembangkan pohon pengetahuan – melakukan percabangan atau turunan atas ide – dan konsekuensiyang harus dijalani atas ide tersebut – kemudian menuliskan konsekuensi-konsekuensi yang harus dijalaninya, termasuk melakukan penelitian.









Metode Pengkaryaan Seni Rupa Kritis. 

Penelitian inilah yang ikut membentuk dan mempengaruhi daya kreativitas dalam pengkaryaan Titarubi sehingga yang membedakan Titarubi dengan kebanyakan seniman seniman lainnya adalah ia tidak tergantung pada subyektivitas dalam proses kuratorial. Dengan kata lain, Titarubi mendahului narasi atas karyanya sehingga memudahkannya berdialog dengan kurator seni rupa dan agensi kesenian seni rupa moderen, seperti galeri atau museum misalnya.  Proses pengkaryaan yang kritis inilah yang selalu mendasari tema tema sentral dalam kegelisahan Titarubi selama ini yang dapat saya identifikasikan secara tematik sebagai berikut ini.

a. Tema sentral tentang tubuh

Merupakan tema sentral yang banyak digeluti kaum seniman, tak terkecuali khususnya seniman-seniman perempuan. Tubuh manusia bukan hanya mewakili keberadaan manusia secara biologis semata-mata melainkan memiliki konstruksi sosial – dimana ada moralitas disana. Moralitas yang terbangun atas kedirian tubuh, khususnya tubuh perempuan acapkali merupakan tema yang tak pernah ada habis-habisnya. Akan tetapi Titarubi tidak hanya menjejak pada kedirian subyektif atas tubuh itu sendiri, bukan semata-mata menjadikan tubuh itu sendiri sebagai obyek biologis - tidak juga menjadikan tubuh perempuan semata-mata dilematis - tetapi juga menawarkan tema tentang tubuh sebagai wacana politis - bahkan mengeksplorasi tema-tema yang tabu seperti mengenai konsepsi’ dan ‘pra-konsepsi’ atas kedirian manusia sebagai suatu produk biopolitik (biopolitik adalah organisme makhluk hidup yang terorganisasikan – konsep ini dipopulerkan oleh Michel Foucault) – yang dilambangkannnya misalnya dengan membuat instalasi dalam bentuk janin-janin super mini di dalam bola kristal - dan dirajut sebagai suatu 'tubuh' yang narasinya menekankan pada berbagai ideologi yang mereproduksi gagasan tentang reproduksi biologis dan reproduksi kemanusiaan kita. Hal semacam ini pula yang kita temui dalam karya Titarubi 'Hallucinogenic" - dimana sebuah biji pala dilapisi logam dan disepuh emas - dan dirajut sebagai sebuah jubah yang terkesan misterius - dengan kedua tangan dari bahan kayu terbakar (arang) – yang menunjuk ke atas sembari menggenggam buku, sedang tangan lainnya luruh ke bawah memegang tongkat kayu yang nyaris menjadi arang yang rapuh. Kesatuan yang utuh dari pengkaryaan Titarubi adalah tubuh dari subyektivitasnya yang kritis pada isu kemanusiaan.  

 

b. Tema sentral tentang lingkungan

Merupakan tema sentral yang juga diminati oleh banyak seniman, khususnya seniman yang bekerja di dalam naungan komunitas – penggiat lingkungan hidup (kalangan environmental). Tema-tema mengenai lingkungan sepertinya identik dengan ‘kritik sosial’ – sebagaimana yang seringkali digagas oleh banyak seniman yang dipengaruhi oleh ideologi kiri atau wacana – wacana postmodernisme yang mengkritisi gaya hidup berbasis konsumerisme yang tidak mempedulikan kesinambungan sumber daya alam bagi generasi di masa depan. Berkenaan dengan tema mengenai lingkungan yang saya jumpai dalam karya-karya Titarubi yang menarik menurut saya, baik dalam bentuk instalasi, grafis, lukisan, termasuk bagaimana Titarubi bahkan mengeksperimentasikan karya-karyanya di dalam seni pertunjukan– Tita selalu mengkaitkannya dengan berangkat dari ‘keseharian’ – yang nampaknya seringkali kita terima sebagai hal biasa – dan bukan berangkat dari awal dengan membingkai itu semua lewat ideologi besar sebagaimana yang seringkali nampak dalam ekspresi seni mengenai lingkungan. Akan tetapi menariknya, Titarubi selalu bisa menjalin narasi dari obyek yang ditampilkannya – yakni membingkai secara simbolis dan menginterpretasikan makna ideologis atas kontruksi nilai normatif yang diwakili oleh karya-karyanya. Dari visualisasi Titarubi mengenai lingkungan, kita akan dengan mudah menangkap makna yang tersembunyi di dalamnya. Dengan kata lain, obyek yang ditampilkan oleh Titarubi memudahkan ingatan kita untuk me-decoding –mempreteli kode-kode pengetahuan/kepentingan (interest) yang tersembunyi di dalam realitas sehari-hari kita melalui suatu representasi karya.

 




c. Tema Kritis mengenai Representasi Ideologi dan Tatanan Kekuasaan (Power Order)

 Tema inilah yang paling pelik dan sulit untuk secara simbolik diwakili oleh banyak karya-karya seniman-seniman. Dibutuhkan bukan hanya ketrampilan secara artistik, melainkan kemampuan secara filosofis untuk menarasikan secara simbolik – kuasa ideologis atas pengetahuan (termasuk nilai – dan norma kemanusiaan kita) serta kuasa yang melegitimasinya. Hampir keseluruhan karya-karya Titarubi meliputi tema ini, seakan-akan sejak awal mula Titarubi memang ingin mengganggu‘kenyamanan’ kita atas nilai-nilai normatif yang selama ini menjadi basis nilai bagi perilaku individual atau bahkan perilaku kita secara komunal. Kemapanan yang hendak ‘diganggu’ oleh Titarubi ini bahkan bukan hanya pada nilai-nilai normatif yang saat ini berlaku saja, melainkan lebih jauh lagi ‘menggugat’ sejarah – dan reproduksi pengetahuan yang melegitimasi peranan sejarah atas suatu praktek sosial di masyarakat kini. 

Artinya, Titarubi seakan-akan memiliki ambisi bukan hanya sebagai seniman yang mampu menarasikan karya-karyanya sendiri, melainkan sedang menawarkan ‘tafsir baru’ atas suatu pengetahuan –baik dalam praktek berkeseniannya, maupun tafsir atas pembacaan secara estetis pada karyanya sendiri. Dalam konteks inilah saya menganggap bahwa Titarubi mengambil peran yang sangat berani, yakni ia bukan saja sebagai merepresentasikan dirinya sebagai seorang seniman yang mumpuni secara estetis melainkan sekaligus seorang intelektual – yakni seniman yang mewacanakan sesuatu – suatu gagasan terbuka yang meminta publik untuk mengujinya.

Dalam pemahaman saya, karya-karya Titarubi seakan-akan selalu seperti proyek tesis doktoral – yakni menawarkan formulasi – temuan atas sesuatu dan sekaligus interpretasi yang secara terbuka ditawarkannya untuk menjadi suatu dialektika (seni menguji suatu formulasi dengan menjadikan topik – obyek/subyek – yang diformulasikan itu sebagai wacana publik). Ini yang membedakan Titarubi dengan banyak seniman-seniman mapan di dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia( semoga pujian saya ini tidak berlebihan). Akan tetapi, bukan berarti jalan yang ditempuh Titarubi ini tidak berisiko, tafsir atas karya-karya Titarubi memang terbingkai rapi oleh independensinya sebagai seorang seniman intelektual– akan tetapi tafsir akan karya-karya Titarubi juga dapat memicu perdebatan intelektual bahkan akademis (yang sudah pasti bersifat politis) tentang klaim – klaim kebenaran atas wacana yang ingin disampaikannya pada khalayak luas. Suatu risiko yang jarang ditempuh oleh banyak seniman mainstream yang sudah nyaman dengan status-status monumental di dalam pengkaryaannya.  Dengan kata lain, Titarubi adalah seorang seniman inteletual dengan banalitas yang mengganggu kenyamanan kita atas wujud pengkaryaan senirupa moderen (yang monumental) – dan menghantui ingatan-ingatan visual kitayang menyejarah. 

Kesimpulan 

Saya berkesimpulan bahwa yang dijalani Titarubi di dalam proses dan metode pengkaryaannya merupakan suatu model ‘cutting edge’ yakni menerobos pakem-pakem berkesenian dengan merepresentasikan model pengkaryaan yang bukan semata-mata berhenti sebagai suatu wujud monumental (pencapaian bentuk – proses berkarya yang dianggap mencapai puncaknya yang menyejarah bagi diri si seniman –ditandai oleh besarnya penghargaan publik atas karya tersebut) – melainkan juga mendekonstruksikan makna monumental suatu karya itu sendiri sebagai suatu kritik dan kontemplasi atas kuasa pengetahuan dan tatanan kuasa termasuk di dunia berkesenian (khususnya seni rupa) itu sendiri. Jika seorang seniman menganggap perjalanan karya-nya adalah suatu ‘metamorfosis’ menuju pengkaryaan yang bersifat monumental – sehingga acapkali ‘karya atau obyek seni itu sendiri’ –‘menetap’ sebagai kenangan nostalgik atas pencapaiannya; hal ini tidak berlaku bagi Titarubi. Titarubi adalah sosok seniman yang tidak mengunggulkan status‘kerentanannya’ – sebagai perempuan misalnya, sebagai basis pengkaryaannya – ia juga sosok seniman dari dunia ‘tepian’ peradaban yang ia gugat – dari peradaban ‘The Rest’ (dunia yang selalu berjuang mengejar ketertinggalan modernitas) dimana komplesitas atas modernitas jauh lebih rumit ketimbang kenyamanan hidup yang mapan berlangsung di dunia-dunia mapan (The West). Titarubi dibekali oleh banyak kontemplasi atas relasinya di dalam peradaban The Rest yang acapkali justru melahirkan banyak ide-ide kreatif. 

Lantas apa yang monumental di dalam pengkaryaan Titarubi selain karya itu sendiri yang monumental sebagai suatu obyek seni? Jika Tita acapkali justru mempreteli karya ‘monumental’ nya pada konteks tempat atau waktu yang berbeda? Menurut saya, selain karya itu sendiri yang monumental dalam pengkaryaan Titarubi juga adalah proses dan metode pengkaryaannya itu sendiri! Mengapa? Karena Titarubi juga sedang menawarkan seni ‘merekam ingatan visual' secara simbolis atas kemanusiaan yang menyejarah melalui beragam konteks secara spesifik  – sesuatu yang memiliki makna pada ruang dan waktu yang selalu berbeda ketika karya itu dihadirkan melalui narasi kritis yang senantiasa terbuka memanggil-manggil publik yang dihantui olehwacana-wacana yang dihadirkan Titarubi. Dan untuk itu Titarubi tidak hanya sekedar menampilkan karyanya, lebih jauh – sebagaimana gagasan Zygmunt Bauman tentang pentingnya peran partisipatorik intelektual termasuk seniman di dalam modernitas tingkat lanjut, Titarubi sedang berbagi pengetahuan – mendesiminasikan wacananya, serta mengajak para seniman lain dan para intelektual untuk berperan di dalam berbagi risorsis gagasan kreatif bersama. 

 

Referensi

Bauman, Zygmunt. 2000. Liquid Modernity. Cambridge: Polity Press

Bourdieu, Pierre. 1989. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. London:Routledge Paul and Keagen.

Eagletown, Terry. 1990. The Ideology of the Aesthetics. Basil: Blackwell

Eagletown, Terry. 2003. After Theory: The Cultural Politics of Amnesia. NY: AllenLane-Penguin Books.

Foucault, Michel. 1983. Beyond Structuralism and Hermeneutics. Chichago: Univ of ChichagoPress.

Hall, Stuart and Gieben, Adam (eds). 1990. Formation of Modernity. Cambridge:Open University Press.

Sri Kuncoro, Ikun (ed). 2013. Seni Rupa Jogja 1990-2010: Membaca Arsip, Membongkar Friksi dan Serpihan Ideologi. Yogyakarta: Jaringan Arsip Budaya  Nusantara, IVAA, et.al (ebook).

Wibowo, A. Setyo. 2014. Selubung Titarubi: Bayang Terang Anggun Selubung. Jakarta: Katalog Pameran Seni Rupa Imago Mundi, Museum Keramik.

Sumber lain

Transkrip Wawancara Penulis dengan Titarubi Tita(Yogyakarta Oktober 2008; Berlin Juli 2012; dan Yogyakarta Maret 2014)

Internet: http://titarubi.com

 

 

 

 

 

 



[1] Hyperrealty adalah realitas palsu yang nampak dan seringkali kita terima secara alamiah di dalam perilaku mengkonsumsi sehari-hari masyarakat moderen. Konsep teoritis ini mengandaikan bahwa masyarakat cenderung menerima untuk didikte untuk terus berbelanja dan bagaimana industri kapitalis moderen mengkonstruksikan kebutuhan-kebutuhan baru bagi masyarakat moderen khususnya kelas menengah atas melalui pencitraan (simulacrum) atas barang-barang prestise.

[2] http://www.thejakartaglobe.com/features/artist-stirs-conscience/

[3] Konsep ‘The West and The Rest’ adalah suatu kerangka teoritis yang dikembangkan oleh sosiolog Stuart Hall, pelopor Cultural Studies dari Birmingham School, Inggris pada awal tahun 1980-an. Konsep ini merupakan wacana pascakolonial dimana dunia Barat selalu direpresentasikan sebagai cermin kemajuan peradaban budaya bagi masyarakat di dunia bekas-bekas jajahan (The Rest) sehingga kebudayaan di dunia yang tertinggal itu tidak satupun yang tidak terkontaminasi oleh modernitas, pun pada masyarakat yang resisten secara cultural sekalipun.

[4] Titarubi juga mendirikan suatu lembaga bernama iCAN (Indonesian Contemporary Art Networks) yang bertujuan sebagai wahana sharing gagasan kreatif dan berbagi pengalaman antar seniman melalui program residensi yang berbasis pada proses pengkaryaan, sekaligus menjadi laboratorium bagi pengkayaan wacana pengetahuan dan praktek seni rupa.

 



 


 


Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...