Sastra Banding dalam Wacana Relasi Kekuasaan dan "Perjuangan Identitas"
(Pengantar untuk Sastra Modern Indonesia menurut Kajian Budaya)
oleh Arie Setyaningrum Pamungkas
Di dalam pengantar buku “Sastra
Interdisipliner” ada penekanan bahwa sastra banding merupakan suatu metode
memahami karya kesusastraan sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari
ekspresi kemanusiaan. Dari sini, kita melihat relasi yang erat antara sastra
sebagai suatu narasi dengan sejarah. Bahwasanya narasi memberi pengaruh pada
perjalanan sejarah manusia maupun sebaliknya sejarah memberikan pengaruh pula
pada perkembangan narasi dan wacana. Meski
demikian, komentar di dalam makalah ini tidak akan melihat secara spesifik
manakah yang memiliki legitimasi pengaruh yang paling kuat; apakah pengaruh
narasi terhadap perubahan sejarah; ataukah pengaruh perjalanan sejarah terhadap
perkembangan narasi. Ini tidak lain karena perdebatan semacam itu seringkali menjadi
wilayah pemuasan intelektual semata dan kadangkala mengabaikan persoalan esensial
yakni bagaimana narasi yang dihadirkan melalui karya kesusastraan berperan secara
signifikan bagi perubahan sosial. Karenanya, sependapat dengan Julia Kristeva (1986)
diskusi dalam makalah ini merupakan bagian dari menghadirkan perdebatan wacana
lewat interpretasi yang beragam atas teks dan bagaimana interpretasi yang
beragam tersebut di dalam pembahasan sosiologis mampu menghadirkan peta relasi
kekusaan, karena wacana merupakan wilayah pertentangan mengenai suatu
kebenaran relatif (discourse is a field of competing a relative truth).
Pendapat ini didasari oleh suatu argumen, bahwa pengetahuan tidak seharusnya
diperlakukan sebagai suatu kebenaran obyektif, melainkan pengetahuan lahir
sebagai suatu produk kita mengkategorisasikan dunia melalui apa yang disebut
sebagai “discursive analytical terms”.
Pengaruh
studi kesusastraan (literary studies) terhadap wacana mengenai relasi
kekuasaan dan perjuangan identitas
mengemuka akhir-akhir ini melalui perkembangan teori poskolonial (postcolonial
theory) yang awal mulanya dibangun melalui studi interpretatif terhadap
karya kesusastraan “Barat” (Western) yang memfokuskan setting
narasinya pada konteks Asia (Orientalism). Edward Said (lewat studi atas
novel-novel Barat seperti yang dihasilkan antara lain oleh Flaubert, Austen,
Conrad, de Nerval) menggagas teori mengenai Orientalisme dengan asumsi bahwa
ada kaitan erat antara imperialisme Barat dengan unsur-unsur yang didukung oleh
kebudayaan Barat. Melalui analisa Foucaldian tentang relasi kekuasaan, Said
(1995) mencoba memetakan bagaimana “Timur” telah menjadi subyek yang pasif bagi
proyek imperialisme Barat, dimana kehendak untuk menguasai (dominasi)
dijalankan secara manipulatif bahkan seringkali melalui proses inkorporasi (incorporated)
budaya hegemonik Barat dengan unsur perbedaan yang secara laten dimiliki oleh
kelompok sub-ordinan (Timur). Tesis Said mengenai Orientalisme ini dianggap
terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan “Timur” sebagai subyek pasif yang
sama sekali tidak memiliki ruang ataupun bentuk-bentuk artikulatif dalam melakukan
perlawanan terhadap dominasi peradaban Barat, meski begitu setidaknya studi
Said telah membuka suatu cakrawala baru mengenai “bagaimana kita
mengkategorisasikan dunia melalui pengalaman kita melihat dunia”.
Homi Bhabha dan Gayatri Spivak, kemudian mengembangkan
gagasan mengenai studi poskolonial dengan fokus pada studi representasi,
yakni apa yang kini dihadirkan sebagai bagian dari wajah dunia. Bhaba
menekankan bahwa, apa yang dihadirkan saat ini di dunia merupakan perwujudan
representasi dari budaya hybrid (cultural hybrids). Hybridity
mendeskripsikan bagaimana wacana mengenai kolonial dan imperial secara inheren
bersifat tidak stabil bahkan “split”, sehingga setiap praktek dari dominasi, bahasa menjadi wujud dari hibridity itu sendiri (Bhabha, 1994). Analisis
Bhabha ini didasari oleh studinya mengenai stereotipe kolonial dimana dalam
konteks persebaran otoritas imperial, misalnya stereotipe kekejaman kebangsawanan
(the nobel savage) dan kecurangan timur (the wily oriental)
dikonstruksikan sebagai suatu “sifat yang alamiah” dan konstruksi ini
dikonfirmasikan terus-menerus oleh para kolonialis (coloniser). Dalam
penjelasan yang lain, Bhabha menggambarkan streotipe tersebut seringkali
bersifat kontradiktif, dimana subyek kolonial (colonial subject) yang
“kejam” digambarkan sebagai “para abdi yang patuh dan taat”(karena mereka
adalah the bearer of food), mereka seringkali berjiwa mistis dan
berfikir secara primitif sehingga karenanya adalah subyek yang tidak berdosa (innocent)
Ambivalensi
relasi yang dilahirkan dalam konteks kolonialisme ini melahirkan struktur
agensi baru sebagaimana yang ditegaskan oleh Spivak sebagai suatu transformasi
yang memungkinkan kondisi dari suatu yang mustahil menjadi niscaya (the
transformation of condition of impossibilty into possibilty). Suatu
gambaran menarik mengenai bagaimana suatu kondisi yang mustahil menjadi suatu
yang mungkin terjadi diilustrasikan oleh Bhabha dalam interpretasi-nya terhadap
sekelompok orang-orang desa di luar kota Delhi pada tahun 1817. Para penduduk
desa bertahan pada tradisi vegetarian meskipun mereka telah masuk Kristen,
dikarenakan argumen bahwa mereka hanya layak menerima sakramen apabila mereka
beriman pada hari akhir (evangelical utterance), dan mereka yang beriman
bukan muncul dari sekelompok orang pemakan daging (Bhabha, Signs Taken for
Wonders, 1994, p.102). Bhabha menggambarkan situasi ini sebagai suatu
perlawanan yang luar biasa, karena ketika penduduk lokal (native)
menginginkan Gospel yang bersifat lokal (an Indianised Gospel), mereka
menggunakan unsur hibridity sebagai cara mempertahankan kekristenan mereka;
yang ini diartikan sebagai suatu transformasi dari bentuk konversi yang
mustahil menjadi niscaya. Dari konteks ini teori mengenai hidridity dipahami
bukan hanya sebagai suatu peralihan dua wujud yang berbeda menjadi suatu wujud
baru, melainkan juga melahirkan bentuk-bentuk resistensi baru dan juga
bentuk-bentuk negosiasi baru (Spivak, sebagaimana yang dikutip dalam
Bart Moore dan Gilbert, 1997). Melalui struktur agensi baru ini, relasi
kekuasaan tidak lagi dikacamatai sebagai bentuk hegemoni lama dimana unsur
budaya dominan secara represif memaksakan pengaruhnya secara total terhadap
unsur budaya subordinan, karena relasi kekuasaan didalamnya bersifat dinamis
sehingga kompetisi antara unsur-unsur kebudayaan memustahilkan absolutisme dalam praktek kebudayaan.
Ambivalensi relasi dalam konteks
poskolonialisme juga melahirkan bentuk-bentuk baru wacana mengenai “perbedaan”
sebagai suatu medan bagi perjuangan identitas (a field of identity struggle).
Perspektif poskolonial secara
metodologis telah memungkinkan (enabling) dikotomi kategori orientalis
mengenai “majikan-budak (master-slaves), penjajah-yang dujajah (coloniser-colonised),
kulit putih-hitam (white-black), mereka yang beradab-tidak beradab
(civilised-uncivised)” dimana kategori “the other” yakni mereka yang
marginal secara artikulatif merupakan fokus bagi analisa kritis dimana konteks
modernitas lebih dimaknai sebagai wilayah pertentangan bagi eksistensi kelompok
marginal (subaltern group). Spivak menggambarkan “subaltern group”
sebagai orang-orang biasa yang jauh dari
pusaran pertentangan wacana dimana kepentingan artikulatif mereka senantiasa
dimediasi oleh kelompok-kelompok lain yang lebih dominan misalnya, kalangan
intelektual (akademisi), politisi, para administrator dan institusi lain
(Spivak, Can the Subaltern speak?, 1988). Dalam studi-nya mengenai “disenfranchised
women” (kaum wanita yang kehilangan suara/hak-nya), Spivak mengilustrasikan
bahwa dalam sekelompok perempuan India “Sati” (yakni para janda yang
mengorbankan dirinya melalui kematian / bunuh diri), seringkali diam dan tidak
berdaya, tidak lain karena suara mereka tidak pernah diberdayakan. Dari sini,
ada suatu mata rantai yang hilang dimana kepentingan artikulasi seringkali
terdistorsi dan bahkan lenyap dari wacana dominan karena tergantikan oleh
media-media artikulasi lain (intelektual, institusi patriarkhis, administrator,
politisi dan lain-lain) yang memiliki kepentingan kekuasaan terhadap kompetisi
wacana dominan. Studi Spivak inilah yang kemudian menginisiasi wacana mengenai
kritik poskolonial untuk “merekam suara mereka yang diam” (to record the
silence) sehingga “perbedaan” memiliki ruang artikulatif bukan hanya untuk dipahami tetapi juga untuk diakui, pada konteks inilah
perjuangan bagi identitas dimunculkan.
Sumbangan teori poskolonial telah
memungkinkan penelusuran lebih jauh mengenai bagaimana wacana dominan atau sebaliknya
wacana kelompok subaltern (penulis lebih sepakat dimaknai sebagai kelompok
orang pinggiran) diartikulasikan melalui karya sastra. Perspektif sosiologi
budaya yang menekankan pada bagaimana suatu makna diciptakan “meaning making
process” menurut Spillman (2002) telah memungkinkan kajian sosiologis bagi
proses pembentukan makna melalui setidaknya tiga metode. Pertama, “meaning
making process on the ground”, dimana makna tercipta melalui interaksi
individual dalam keseharian. Kedua, “meaning making process within the field
of network or institution of cultural producer”, dimana dalam proses ini
produk-produk sosial misalnya karya sastra diuji (examined) pada konteks sosial
tertentu ketika karya tersebut diciptakan. Dalam metode ini, pendekatan
sosiologi historis diperlukan untuk penelusuran dampak dari konteks yang
melatarbelakangi dan yang secara institusional melahirkan wujud kebudayaan. Ketiga, “meaning making on the text” yang memfokuskan
analisa tekstual yang menjelaskan struktur internal dimana “makna”
diproduksikan.
Melalui pendekatan sosiologi budaya (cultural sociology), budaya dapat dipandang sebagai suatu relasi konsensus dan sekaligus relasi kekuasaan. Melalui kajian sosiologi budaya, misalnya kita bisa menganalisis karya-karya sastra Indonesia posmodern, seperti yang dihadirkan dalam novel-novel Ayu Utami, atau penulis pop culture seperti Dee. Konteks perubahan global dan juga paradoks kebudayaan yang dihasilkan oleh globalisasi melalui wujud global di ranah lokal dan sebaliknya wujud lokal di ranah global menjelaskan dimensi mengenai bagaimana relasi kekuasaan, yang direpresentasikan melalui ekspansi pasar. Dalam novel Dee, “Supernova” dan “Bodhi”, misalnya memunculkan pertentangan-pertentangan mengenai identitas kelompok “subculture” yang lahir sebagai wujud ambiguitas modernitas sebagai sebuah proyek kemanusiaan yang gagal melakukan pencerahan (teknologi dan pengetahuan bukan lagi sebagai alat pembebasan dari penindasan, melainkan muncul sebagai sekrup-sekrup kapitalis mutakhir yang menindas ekspresi kemanusiaan). Atau Ayu Utami yang memunculkan seksualitas sebagai hasrat tersembunyi kaum perempuan dalam Saman, misalnya,merupakan wilayah “tabu” dalam wacana tentang perempuan Asia (Indonesia) karena wilayah pembicaraan ini acapkali lebih merupakan apa yang Spivak katakan sebagai wacana kelompok yang diam karena stigmatisasi sosial membuat wacana ini mustahil dimunculkan secara terbuka. Karya sastra dengan demikian, merupakan kajian sosiologis yang merupakan wujud ekspresi kebudayaan atas perubahan sosial yang demikian deras memunculkan suatu bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan baru (dalam pengertian hibridity) dan ruang-ruang artikulatif baru yang seringkali tidak hanya berhenti pada proses refleksi semata, melainkan juga bagaimana bentuk-bentuk kebudayaan mampu memotivasi perubahan sosial.
Referensi:
Bhabha, Homi, 1994. The Location of Culture,
Routledge, London
Hall,
Stuart, 1996. Who Needs Identity, in Hall and Du gay, Questions of Culture
Identity, Sage, London.
Jorgensen and
Philips, 2003. Discourse Analysis as Theory and Method, Sage publication,
London.
Kristeva,
Julia, 1986. Word, Dialogue and Novel, in Moi (ed), The Kristeva Reader, Oxford
Blackwell, Oxford.
Moore-Gilbert,
1997. Postcolonial Theory, Verso, London
Spillman,
Lynn, 2002. Cultural Sociology, Blackwell Readers in Sociology, Massachusetts.
Spivak,
Gayatri, 1988. Can Subaltern Speak, in Nelson and Grossberg (eds), Marxism and
the Interpretation of Culture, University of Ilinois Press, Chicago.
Spivak, Gayatri, 1988. In Other World, Routledge,
New York.
No comments:
Post a Comment