Saturday, March 06, 2021

Sastra Banding dalam Wacana Relasi Kekuasaan dan "Perjuangan Identitas"

Sastra Banding dalam Wacana Relasi Kekuasaan dan "Perjuangan Identitas" 

(Pengantar untuk Sastra Modern Indonesia menurut Kajian Budaya)

oleh Arie Setyaningrum Pamungkas

 

Di dalam pengantar buku “Sastra Interdisipliner” ada penekanan bahwa sastra banding merupakan suatu metode memahami karya kesusastraan sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari ekspresi kemanusiaan. Dari sini, kita melihat relasi yang erat antara sastra sebagai suatu narasi dengan sejarah. Bahwasanya narasi memberi pengaruh pada perjalanan sejarah manusia maupun sebaliknya sejarah memberikan pengaruh pula pada perkembangan narasi dan wacana.  Meski demikian, komentar di dalam makalah ini tidak akan melihat secara spesifik manakah yang memiliki legitimasi pengaruh yang paling kuat; apakah pengaruh narasi terhadap perubahan sejarah; ataukah pengaruh perjalanan sejarah terhadap perkembangan narasi. Ini tidak lain karena perdebatan semacam itu seringkali menjadi wilayah pemuasan intelektual semata dan kadangkala mengabaikan persoalan esensial yakni bagaimana narasi yang dihadirkan melalui karya kesusastraan berperan secara signifikan bagi perubahan sosial. Karenanya, sependapat dengan Julia Kristeva (1986) diskusi dalam makalah ini merupakan bagian dari menghadirkan perdebatan wacana lewat interpretasi yang beragam atas teks dan bagaimana interpretasi yang beragam tersebut di dalam pembahasan sosiologis mampu menghadirkan peta relasi kekusaan, karena wacana merupakan wilayah pertentangan mengenai suatu kebenaran relatif (discourse is a field of competing a relative truth). Pendapat ini didasari oleh suatu argumen, bahwa pengetahuan tidak seharusnya diperlakukan sebagai suatu kebenaran obyektif, melainkan pengetahuan lahir sebagai suatu produk kita mengkategorisasikan dunia melalui apa yang disebut sebagai “discursive analytical terms”.

 Pengaruh studi kesusastraan (literary studies) terhadap wacana mengenai relasi kekuasaan dan  perjuangan identitas mengemuka akhir-akhir ini melalui perkembangan teori poskolonial (postcolonial theory) yang awal mulanya dibangun melalui studi interpretatif terhadap karya kesusastraan “Barat” (Western) yang memfokuskan setting narasinya pada konteks Asia (Orientalism). Edward Said (lewat studi atas novel-novel Barat seperti yang dihasilkan antara lain oleh Flaubert, Austen, Conrad, de Nerval) menggagas teori mengenai Orientalisme dengan asumsi bahwa ada kaitan erat antara imperialisme Barat dengan unsur-unsur yang didukung oleh kebudayaan Barat. Melalui analisa Foucaldian tentang relasi kekuasaan, Said (1995) mencoba memetakan bagaimana “Timur” telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek imperialisme Barat, dimana kehendak untuk menguasai (dominasi) dijalankan secara manipulatif bahkan seringkali melalui proses inkorporasi (incorporated) budaya hegemonik Barat dengan unsur perbedaan yang secara laten dimiliki oleh kelompok sub-ordinan (Timur). Tesis Said mengenai Orientalisme ini dianggap terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan “Timur” sebagai subyek pasif yang sama sekali tidak memiliki ruang ataupun bentuk-bentuk artikulatif dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi peradaban Barat, meski begitu setidaknya studi Said telah membuka suatu cakrawala baru mengenai “bagaimana kita mengkategorisasikan dunia melalui pengalaman kita melihat dunia”.

Homi Bhabha dan Gayatri Spivak, kemudian mengembangkan gagasan mengenai studi poskolonial dengan fokus pada studi representasi, yakni apa yang kini dihadirkan sebagai bagian dari wajah dunia. Bhaba menekankan bahwa, apa yang dihadirkan saat ini di dunia merupakan perwujudan representasi dari budaya hybrid (cultural hybrids). Hybridity mendeskripsikan bagaimana wacana mengenai kolonial dan imperial secara inheren bersifat tidak stabil bahkan “split”, sehingga  setiap praktek dari dominasi,  bahasa menjadi wujud dari  hibridity itu sendiri (Bhabha, 1994). Analisis Bhabha ini didasari oleh studinya mengenai stereotipe kolonial dimana dalam konteks persebaran otoritas imperial, misalnya stereotipe kekejaman kebangsawanan (the nobel savage) dan kecurangan timur (the wily oriental) dikonstruksikan sebagai suatu “sifat yang alamiah” dan konstruksi ini dikonfirmasikan terus-menerus oleh para kolonialis (coloniser). Dalam penjelasan yang lain, Bhabha menggambarkan streotipe tersebut seringkali bersifat kontradiktif, dimana subyek kolonial (colonial subject) yang “kejam” digambarkan sebagai “para abdi yang patuh dan taat”(karena mereka adalah the bearer of food), mereka seringkali berjiwa mistis dan berfikir secara primitif sehingga karenanya adalah subyek yang tidak berdosa (innocent) 

 Ambivalensi relasi yang dilahirkan dalam konteks kolonialisme ini melahirkan struktur agensi baru sebagaimana yang ditegaskan oleh Spivak sebagai suatu transformasi yang memungkinkan kondisi dari suatu yang mustahil menjadi niscaya (the transformation of condition of impossibilty into possibilty). Suatu gambaran menarik mengenai bagaimana suatu kondisi yang mustahil menjadi suatu yang mungkin terjadi diilustrasikan oleh Bhabha dalam interpretasi-nya terhadap sekelompok orang-orang desa di luar kota Delhi pada tahun 1817. Para penduduk desa bertahan pada tradisi vegetarian meskipun mereka telah masuk Kristen, dikarenakan argumen bahwa mereka hanya layak menerima sakramen apabila mereka beriman pada hari akhir (evangelical utterance), dan mereka yang beriman bukan muncul dari sekelompok orang pemakan daging (Bhabha, Signs Taken for Wonders, 1994, p.102). Bhabha menggambarkan situasi ini sebagai suatu perlawanan yang luar biasa, karena ketika penduduk lokal (native) menginginkan Gospel yang bersifat lokal (an Indianised Gospel), mereka menggunakan unsur hibridity sebagai cara mempertahankan kekristenan mereka; yang ini diartikan sebagai suatu transformasi dari bentuk konversi yang mustahil menjadi niscaya. Dari konteks ini teori mengenai hidridity dipahami bukan hanya sebagai suatu peralihan dua wujud yang berbeda menjadi suatu wujud baru, melainkan juga melahirkan bentuk-bentuk resistensi baru dan juga bentuk-bentuk negosiasi baru (Spivak, sebagaimana yang dikutip dalam Bart Moore dan Gilbert, 1997). Melalui struktur agensi baru ini, relasi kekuasaan tidak lagi dikacamatai sebagai bentuk hegemoni lama dimana unsur budaya dominan secara represif memaksakan pengaruhnya secara total terhadap unsur budaya subordinan, karena relasi kekuasaan didalamnya bersifat dinamis sehingga kompetisi antara unsur-unsur kebudayaan memustahilkan absolutisme  dalam praktek kebudayaan.

Ambivalensi relasi dalam konteks poskolonialisme juga melahirkan bentuk-bentuk baru wacana mengenai “perbedaan” sebagai suatu medan bagi perjuangan identitas (a field of identity struggle).  Perspektif poskolonial secara metodologis telah memungkinkan (enabling) dikotomi kategori orientalis mengenai “majikan-budak (master-slaves), penjajah-yang dujajah (coloniser-colonised), kulit putih-hitam (white-black), mereka yang beradab-tidak beradab (civilised-uncivised)” dimana kategori “the other” yakni mereka yang marginal secara artikulatif merupakan fokus bagi analisa kritis dimana konteks modernitas lebih dimaknai sebagai wilayah pertentangan bagi eksistensi kelompok marginal (subaltern group). Spivak menggambarkan “subaltern group” sebagai  orang-orang biasa yang jauh dari pusaran pertentangan wacana dimana kepentingan artikulatif mereka senantiasa dimediasi oleh kelompok-kelompok lain yang lebih dominan misalnya, kalangan intelektual (akademisi), politisi, para administrator dan institusi lain (Spivak, Can the Subaltern speak?, 1988). Dalam studi-nya mengenai “disenfranchised women” (kaum wanita yang kehilangan suara/hak-nya), Spivak mengilustrasikan bahwa dalam sekelompok perempuan India “Sati” (yakni para janda yang mengorbankan dirinya melalui kematian / bunuh diri), seringkali diam dan tidak berdaya, tidak lain karena suara mereka tidak pernah diberdayakan. Dari sini, ada suatu mata rantai yang hilang dimana kepentingan artikulasi seringkali terdistorsi dan bahkan lenyap dari wacana dominan karena tergantikan oleh media-media artikulasi lain (intelektual, institusi patriarkhis, administrator, politisi dan lain-lain) yang memiliki kepentingan kekuasaan terhadap kompetisi wacana dominan. Studi Spivak inilah yang kemudian menginisiasi wacana mengenai kritik poskolonial untuk “merekam suara mereka yang diam” (to record the silence) sehingga “perbedaan”  memiliki  ruang artikulatif bukan hanya untuk dipahami  tetapi juga untuk diakui, pada konteks inilah perjuangan bagi identitas dimunculkan.

Sumbangan teori poskolonial telah memungkinkan penelusuran lebih jauh mengenai bagaimana wacana dominan atau sebaliknya wacana kelompok subaltern (penulis lebih sepakat dimaknai sebagai kelompok orang pinggiran) diartikulasikan melalui karya sastra. Perspektif sosiologi budaya yang menekankan pada bagaimana suatu makna diciptakan “meaning making process” menurut Spillman (2002) telah memungkinkan kajian sosiologis bagi proses pembentukan makna melalui setidaknya tiga metode. Pertama, “meaning making process on the ground”, dimana makna tercipta melalui interaksi individual dalam keseharian. Kedua, “meaning making process within the field of network or institution of cultural producer”, dimana dalam proses ini produk-produk sosial misalnya karya sastra diuji (examined) pada konteks sosial tertentu ketika karya tersebut diciptakan. Dalam metode ini, pendekatan sosiologi historis diperlukan untuk penelusuran dampak dari konteks yang melatarbelakangi dan yang secara institusional melahirkan wujud kebudayaan. Ketiga, “meaning making on the text” yang memfokuskan analisa tekstual yang menjelaskan struktur internal dimana “makna” diproduksikan.

Melalui pendekatan sosiologi budaya (cultural sociology), budaya dapat dipandang sebagai suatu relasi konsensus dan sekaligus relasi kekuasaan. Melalui kajian sosiologi budaya, misalnya kita bisa menganalisis karya-karya sastra Indonesia posmodern, seperti yang dihadirkan dalam novel-novel Ayu Utami, atau penulis pop culture seperti Dee. Konteks perubahan global dan juga paradoks kebudayaan yang dihasilkan oleh globalisasi melalui wujud global di ranah lokal dan sebaliknya wujud lokal di ranah global menjelaskan dimensi mengenai bagaimana relasi kekuasaan, yang direpresentasikan melalui ekspansi pasar. Dalam novel Dee, “Supernova” dan “Bodhi”, misalnya memunculkan pertentangan-pertentangan mengenai identitas kelompok “subculture” yang lahir sebagai wujud ambiguitas modernitas sebagai sebuah proyek kemanusiaan yang gagal melakukan pencerahan (teknologi dan pengetahuan bukan lagi sebagai alat pembebasan dari penindasan, melainkan muncul sebagai sekrup-sekrup kapitalis mutakhir yang menindas ekspresi kemanusiaan). Atau Ayu Utami yang memunculkan seksualitas sebagai hasrat tersembunyi kaum perempuan dalam Saman, misalnya,merupakan wilayah “tabu” dalam wacana tentang perempuan Asia (Indonesia) karena wilayah pembicaraan ini acapkali lebih merupakan apa yang Spivak katakan sebagai wacana kelompok yang diam karena stigmatisasi sosial membuat wacana ini mustahil dimunculkan secara terbuka.  Karya sastra dengan demikian, merupakan kajian sosiologis yang merupakan wujud ekspresi kebudayaan atas perubahan sosial yang demikian deras memunculkan suatu bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan baru (dalam pengertian hibridity) dan ruang-ruang artikulatif baru yang seringkali tidak hanya berhenti pada proses refleksi semata, melainkan juga bagaimana bentuk-bentuk kebudayaan mampu memotivasi perubahan sosial.

Referensi:

Bhabha, Homi, 1994. The Location of Culture, Routledge, London

Hall, Stuart, 1996. Who Needs Identity, in Hall and Du gay, Questions of Culture Identity, Sage, London.

Jorgensen and Philips, 2003. Discourse Analysis as Theory and Method, Sage publication, London.

Kristeva, Julia, 1986. Word, Dialogue and Novel, in Moi (ed), The Kristeva Reader, Oxford Blackwell, Oxford. 

Moore-Gilbert, 1997. Postcolonial Theory, Verso, London

Spillman, Lynn, 2002. Cultural Sociology, Blackwell Readers in Sociology, Massachusetts.

Spivak, Gayatri, 1988. Can Subaltern Speak, in Nelson and Grossberg (eds), Marxism and the Interpretation of Culture, University of Ilinois Press, Chicago.

Spivak, Gayatri, 1988. In Other World, Routledge, New York.

 

No comments:

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...