Jejaring Biopolitics dalam
Pembajakan Software di Asia Tenggara
(Artikel ini pernah dimuat di
Newsletter Kunci Cultural Studies, 2005)
Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas
Pendahuluan
Ambiguitas yang lahir dari proses globalisasi dalam
praktek ekonomi dan kebudayaan, telah menciptakan ranah baru, yakni yang
disebut oleh Michael Featherstone sebagai ‘budaya ketiga’ (the third culture).
Budaya ketiga disini mengacu pada produk-produk globalisasi yang muncul dari proses
ekonomi transnasional baru yang mentransendensikan poros batas-batas politik
negara-bangsa. Dalam tesisnya mengenai fenomena ‘transnasional diaspora Cina’,
Donald Nonini dan Aihwa Ong (1997) meletakkan fenomena ‘budaya ketiga’,
sebagaimana yang dimaksutkan oleh Featherstone, sebagai pola-pola kapitalis
global yang menyediakan wacana kultural, pengaturan sosial yang khusus, serta
praktek subyektivitas modernitas Barat. Proses semacam ini oleh Nonini dan Ong diidentifikasi
sebagai suatu pola ekonomi dan budaya ‘hybrid’ yang mengkombinasikan
rasionalitas ekonomi melalui mobilisasi nilai-nilai budaya tertentu oleh sekelompok
orang. Ambiguitas yang berlangsung dalam proses globalisasi pada sisi ini
justru telah memperkaya strategi kebudayaan dan strategi kelas kelompok etnis
perantauan tertentu, seperti misalnya etnis perantauan Cina. Artikel kecil ini hanya
sebagian dari catatan hasil penelitian saya yang bertujuan untuk melihat sejauh
mana tesis mengenai ambiguitas globalisasi berlangsung secara nyata (riil) di
dalam praktek ekonomi sekaligus praktek kebudayaan, khususnya di Indonesia dan
Asia Tenggara pada umumnya.
Banyak orang di penjuru Nusantara kini mungkin
tidak asing lagi mendengar nama salah satu lokasi pusat perdagangan komputer
dan perangkat lunak (software) terbesar di Jakarta, sebut saja Mangga
Dua. Juga, sudah menjadi rahasia umum kalau di pusat perdagangan komputer tersebut
banyak produk ‘software bajakan’ yang dapat kita peroleh dengan harga
jauh lebih murah daripada harga yang seharusnya. Diperkirakan jumlah uang yang
beredar dalam industri pembajakan semacam ini di wilayah Jakarta saja sekitar
lebih dari 1 milyar rupiah per hari-nya. Walaupun, belum ada studi yang
mengkalkulasi secara pasti berapa jumlah uang yang beredar di dalam industri
tersebut. Meskipun pemerintah Indonesia telah mengkampanyekan gerakan anti
pembajakan dengan memberlakukan UU mengenai Hak Cipta (Intelektual), akan
tetapi bisnis industri pembajakan software ini tetap saja tumbuh karena
memiliki segmen pasar yang telah mapan sejak lebih dari satu dekade.
Ada beberapa perdebatan menarik dari fenomena
bisnis pembajakan software komputer ini. Pertama, strategi ekonomi dan
konstruksi budaya apa yang terbangun di dalam industri ‘pembajakan software’
ini mengingat bisnis ini digerakkan oleh sekelompok orang melalui pembentukan
jaringan transnasional, dalam hal ini meliputi wilayah regional ASEAN. Kedua, struktur
ekonomi-politik apa melatarbelakangi pesatnya pertumbuhan industri software
bajakan ini meskipun bisnis ‘ilegal’ ini dibatasi oleh ketentuan hukum formal
(UU Hak Cipta dan Intelektual) yang juga berlaku di tingkat lokal.
Kekuatan Biopolitics Global: Ikatan Paternal dalam Bisnis Software Bajakan
Studi etnografi yang saya kerjakan selama lebih
dari setahun (sejak awal tahun 2004, hingga kini) khususnya di beberapa wilayah
pusat perdagangan komputer di Jakarta dan selama dua minggu di Vietnam (Ho Chi
Minh), telah menggiring saya pada asumsi bahwa industri pembajakan perangkat
lunak ini melibatkan banyak orang dalam suatu pola hubungan interpersonal yang
rumit tetapi saling terkait satu sama-lainnya. Pola hubungan yang berlangsung
di dalam industri ini berlangsung dalam beberapa level. Dalam setiap level
tampak bahwa tumbuhnya industri pembajakan perangkat lunak ini didukung oleh
kinerja yang nyata dari berlangsungnya jejaring (networking)
kelompok-kelompok tertentu, yang bukan hanya menguasai alih teknologi melainkan
juga memahami strategi pemasaran di negara Dunia Ketiga, yang hingga kini masih
bersikap ambivalen di dalam menerapkan ketentuan legal-formal UU mengenai Hak
Cipta dan Intelektual.
Level pertama dalam jejaring itu adalah sekelompok
orang yang menjalankan industri pembajakan melalui sistem programing
yang menghasilkan produk software “crack” yakni dengan memecahkan
semacam kode dan memberikan variasi kode-kode akses untuk meng-instal program
itu ke dalam komputer, sehingga produk tersebut dapat diakses dan tidak dapat diidentifikasi
sebagai produk ilegal apabila tersambung secara on-line di dalam
jaringan internet. Keterlibatan sekelompok orang di dalam level pertama ini
bersifat sangat tertutup sehingga informasi keberadaan mereka sulit dibuktikan
secara empirik, tetapi riil (ada) di dalam setiap sumber informasi yang
disampaikan oleh para informan yang berada di dalam level kedua jaringan ini. Dari
beberapa sumber yang telah diwawancarai didapatkan informasi yang serupa, bahwa
mereka yang berada di level pertama jaringan ini adalah suatu sindikat regional
(internasional), dimana master-programming-nya justru tidak berpusat di
Indonesia ataupun Vietnam, melainkan di negara tetangga, Singapura, yang justru
sangat ketat memberlakukan UU Hak Cipta dan Intelektual. Mereka yang berada di
dalam sindikat ini kemudian mengubah master-program software bajakan itu
ke dalam industri manufaktur yang memperbanyak (menggandakan) produk-produk
software bajakan, khususnya yang berlokasi di wilayah Indonesia dan Vietnam.
Level kedua di dalam jejaring adalah sekelompok
orang yang menjalankan bisnis memperbanyak (menggandakan) produk-produk software
crack tadi dan mendistribusikannya kepada para pemilik usaha (toko) bisnis
komputer. Berlangsungnya pola hubungan antara kelompok yang berada di wilayah
level pertama dan kedua dapat dikatakan menyerupai sindikat perdagangan
Narkoba, yakni mereka yang berada di level kedua hanya membeli dan menerima
produk software bajakan dari tangan para perantara semata. Meskipun, tidak
tertutup kemungkinan bahwa mereka yang berada di dalam level kedua juga
merupakan bagian dari jejaring kelompok di level pertama. Sehingga, keberadaan
kelompok level pertama amat sulit dilacak dan hanya diketahui dari cerita
mulut-ke-mulut saja. Informasi mengenai keberadaan para sindikat regional di
level pertama ini diperkuat pula dari berbagai cerita yang disampaikan oleh
para pedagang software komputer bajakan di salah satu wilayah perdagangan
komputer terbesar di ibu kota Vietnam, Ho Chi Minh. Sementara level ketiga,
adalah jaringan yang sudah semakin terdiferensiasikan karena meliputi sejumlah besar
pedagang yang menjual produk software ini setelah melalui berbagai tangan yang
digerakkan oleh mereka yang berada di dalam jejaring level kedua.
Mengingat kompleksnya obyek kajian di dalam
penelitian ini, maka saya hanya memfokuskan diri mengkaji mereka yang berada
wilayah level kedua jejaring bisnis industri pembajakan software komputer ini.
Hal yang paling menarik dari fenomena mereka yang terlibat di dalam level kedua
jaringan bisnis ini adalah realitas berlangsungnya pola kekerabatan (kinship)
di dalam menggerakkan praktek ekonomi pembajakan perangkat lunak. Sebagian
besar dari mereka yang terlibat disini adalah etnis perantauan Cina yang
memiliki jaringan lintas komunikasi di berbagai wilayah khususnya di Asia
Tenggara. Mereka mengakui bahwa hal yang paling penting dan mendasar di dalam
bisnis ini adalah modal sosial (social capital) berupa kepercayaan dan modal
budaya (cultural capital) berupa ikatan yang didasari oleh sentimen
etnisitas, sehingga modal kapital (uang) justru bukan hal yang paling utama.
Pertanyaan berikutnya yang muncul dari studi ini
adalah mengapa modal sosial dan kultural menjadi basis dari industri semacam
ini? Struktur dan konstruksi sosial macam apa yang telah memungkinkan bisnis
yang dilandasi oleh modal sosial dan budaya ini berlangsung sehingga menjadi
suatu bentuk peralihan kapitalisme dari produksi industri massa ke rezim-rezim
akumulasi ekonomi global (regional) yang fleksibel (the globalised regimed
of flexible accumulation).
Konteks yang menunjuk pada fenomena bahwasanya
sebagian besar bisnis ini baik di Indonesia maupun di Vietnam, dikuasai oleh
etnis perantauan Cina, memperlihatkan kekuatan politik budaya yang berlangsung
dalam kapitalisme global melalui pergerakan diasporik. Pergerakan diasporik (diasporic
movement) yang berlangsung di dalam proses globalisasi bukan hanya
memindahkan orang dan investasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, melainkan
juga menciptakan suatu politik budaya yang secara khusus terintegrasi untuk
memobilisasi sekelompok orang ke dalam jaringan dan pembagian kerja untuk
memperoleh peluang bagi keuntungan ekonomi (kesejahteraan).
Dalam konsepnya mengenai ‘bio-politics’,
Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan moderen dibangun melalui populasi
dan produktivitas yang dilahirkan dengan menggerakkan populasi bagi tujuan
kesejahteraan. Foucault disini menekankan bahwa ‘kekuatan bio-politics’ (bio-politics
power) dibangun diatas relasi-relasi produktif yang dijalani melalui ritual
bahkan dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan. Sehingga, aktivitas ekonomi dalam
struktur suatu masyarakat dibangun dari aktivitas ekonomi keluarga yang
produktif untuk mencapai kesejahteraan ekonomi. Menurut Aihwa Ong (1999),
nilai-nilai keluarga, pembentukan jaringan melalui prosedur kekerabatan (guan-xi),
sentimen etnisitas (ganqing), dan kepercayaan (xinyong) merupakan
elemen-elemen fundamental etika kapitalisme Cina yang menyuburkan kekuatan
ekonomi politik etnis perantauan Cina sebagai suatu kekuatan bio-politics
global. Aihwa Ong melanjutkan bahwa etika Konfusianisme yang menjunjung tinggi
etika kekeluargaan (familial ethic) seperti bentuk-bentuk kepatuhan dan ketaatan (xiao) menjadi basis
moral bagi individu untuk memasuki kapitalisme. Dalam etika ini, peran dan
hubungan interpersonal di dalam keluarga merupakan hal yang esensial dalam
membentuk struktur komunitas politik dan ekonomi. Sehingga bangunan struktur
suatu masyarakat bukan dibangun diatas kepentingan dan perjuangan individu-individu
(Mak dan Chan, 1995) melainkan kolektivitas kekeluargaan. Suatu bangunan bio-politics
masyarakat yang terstruktur mulai dari pondasi unit terkecil masyarakat,
yakni keluarga dan jejaring yang terbangun melalui ikatan kekeluargaan.
Peluang Kapitalisme Global dalam Ambiguitas Politik-Ekonomi Negara Dunia Ketiga
Terbangunnya jaringan di dalam aktivitas ekonomi
global etnis perantauan Cina, khususnya di dalam fenomena industri pembajakan
komputer di Asia Tenggara ini telah menunjukkan berlangsungnya elemen
kapitalisme transnasional Cina, yakni: (1) strategi memperluas jaringan (strategies
of expanding networks); dan (2) peluang-peluang yang diciptakan oleh
kapitalisme global (opportunities created by the global capitalism).
Dalam elemen pertama, sebagaimana telah diilustrasikan di muka, jaringan bisnis
(industri pembajakan software komputer) dijalankan melalui suatu hubungan
kekerabatan yang menghubungkan sekelompok orang dalam ikatan tersebut di satu
wilayah negara tertentu dengan kerabat lainnya di wilayah negara lain.
Sementara elemen peluang yang diciptakan oleh kapitalisme global juga turut
mendorong pergerakan dan pertumbuhan jaringan ini sebagai akibat dari efek
ambigu globalisasi ekonomi yang dipraktekkan oleh rezim-rezim politik
(pemerintahan) tertentu, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga.
Perdebatan mengenai etika moralitas dalam
pemberlakuan Hak Cipta dan Intelektual berbagai produk teknologi tinggi hingga
kini masih menjadi wilayah perdebatan intelektual yang belum usai. Sebagian
orang yang mengadvokasi isu kesetaraan dalam mengakses pengetahuan dan
teknologi acapkali menuduh kampanye pemberlakuan Hak Cipta dan Intelektual yang
dipropagandakan oleh perusahaan multi nasional (MNCs), seperti kampanye ‘Microsoft’
untuk memboikot dan mengupayakan sanksi legal terhadap berbagai bentuk produk bajakan,
sesungguhnya hanya merupakan strategi manipulasi. Yakni manipulasi untuk
mengontrol sumber-sumber pemasukan ekonomi tanpa memperdulikan distribusi
kesetaraan akses informasi dan pengetahuan.
Lepas dari perdebatan yang belum usai ini,
fenomena berkembangnya industri pembajakan produk-produk teknologi tinggi di
Negara Dunia Ketiga menunjukkan adanya suatu pola politik-ekonomi (political
economy) yang bersifat ambigu. Ambiguitas ini tampak dalam kampanye dan
upaya pemberantasan produk teknologi bajakan yang tidak secara serius ditangani
oleh pemerintah di negara-negara tersebut. Keberadaan perangkat legal (UU)
hanya merupakan suatu bentuk formalisasi hukum yang tidak memiliki kekuatan
sanksi, baik secara ekonomis maupun secara politik. Ambiguitas ini dapat
dipahami karena industri bajakan semacam ini juga ditengarai turut memberi
kontribusi bagi produktivitas ekonomi di tingkat lokal. Sedangkan di sisi lain,
tidak dapat dipungkiri bahwa mahalnya biaya yang harus dikonsumsi untuk
teknologi canggih semacam itu akan semakin mempersulit kesetaraan akses
informasi dan pengetahuan bagi mayoritas populasi penduduk di Negara Dunia
Ketiga, seperti Indonesia. Kondisi ambigu di dalam praktek politik ekonomi
semacam ini turut menciptakan peluang-peluang strategis bagi tumbuhnya industri
(bisnis) pembajakan produk-produk teknologi canggih. Peluang yang lahir akibat
adanya ambiguitas dari polarisasi kesejahteraan yang tidak seimbang khususnya
di Negara Dunia Ketiga inilah yang menjadi basis bagi perluasan jaringan bisnis
produk software bajakan secara global. Negara Dunia Ketiga menjadi pasar yang
sangat strategis bagi konsumsi produk-produk semacam itu.
Fenomena ini menggiring kita pada suatu perdebatan
baru mengenai apa dan bagaimana seharusnya instrumen demokrasi berlangsung di
dalam budaya teknologi. Yakni sebagai suatu instrumen yang menjamin kesetaraan
distribusi informasi dan pengetahuan secara global. Penekanan pada aspek legalitas
semata hanya berasosiasi pada pengertian bahwa konsumsi atas pengetahuan dan
informasi merupakan bagian dari hak atas properti yang berdampak pada
keuntungan secara individual semata, bukan pada sesuatu yang berdampak pada
kesejahteraan secara kolektif (kesejahteraan disini, bukan hanya dalam
pengertian secara material saja).
Jadi, dapat dikatakan bahwa suburnya industri
pembajakan produk teknologi canggih bukan hadir semata-mata dari motivasi
ekonomi yang ditumbuhkan secara kolektif oleh sekelompok orang saja, melainkan
suatu bentuk resistensi atas hegemoni ekonomi industri kapitalisme global yang
justru telah menciptakan ambiguitas di dalam praktek ekonomi dan politik di
wilayah-wilayah yang rentan didominasi oleh kekuatan ekonomi dan politik industri
teknologi tinggi kapitalisme global.
Referensi:
Featherstone, Michael, 1990. Global
Culture: Nationalism, Globalization and Modernity: A Theory, Culture and
Society, Special Issues. London: Sage.
Foucault, Michel, 1980. Truth and Power,
Pantheon Book, New-York
Mak, Anita and Helen Chan, 1995. Chinese
Family Values in Australia, dalam Families and Cultural Diversity in
Australia, editor Robyn Hartley. Sydney: Australian Institute of Family
Studies.
Nonini, Donald, 1997. Underground
Empires: The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism. New
York: Routledge.
Nonini, and Aihwa Ong, 1997. Chinese
Transnationalism as an Alternative Modernity, dalam Underground Empires: The
Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism, editor Donald Nonini.
New York: Routledge
Ong, Aihwa, 1999. Flexible Citizenship:
The Cultural Logics of Transnationality. London: Duke University Press,
hal. 110-136.
No comments:
Post a Comment