Saturday, March 06, 2021

Jejaring Biopolitics dalam Pembajakan Software di Asia Tenggara

Jejaring Biopolitics dalam Pembajakan Software di Asia Tenggara

(Artikel ini pernah dimuat di Newsletter Kunci Cultural Studies, 2005) 

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas  

Pendahuluan

Ambiguitas yang lahir dari proses globalisasi dalam praktek ekonomi dan kebudayaan, telah menciptakan ranah baru, yakni yang disebut oleh Michael Featherstone sebagai ‘budaya ketiga’ (the third culture). Budaya ketiga disini mengacu pada produk-produk globalisasi yang muncul dari proses ekonomi transnasional baru yang mentransendensikan poros batas-batas politik negara-bangsa. Dalam tesisnya mengenai fenomena ‘transnasional diaspora Cina’, Donald Nonini dan Aihwa Ong (1997) meletakkan fenomena ‘budaya ketiga’, sebagaimana yang dimaksutkan oleh Featherstone, sebagai pola-pola kapitalis global yang menyediakan wacana kultural, pengaturan sosial yang khusus, serta praktek subyektivitas modernitas Barat. Proses semacam ini oleh Nonini dan Ong diidentifikasi sebagai suatu pola ekonomi dan budaya ‘hybrid’ yang mengkombinasikan rasionalitas ekonomi melalui mobilisasi nilai-nilai budaya tertentu oleh sekelompok orang. Ambiguitas yang berlangsung dalam proses globalisasi pada sisi ini justru telah memperkaya strategi kebudayaan dan strategi kelas kelompok etnis perantauan tertentu, seperti misalnya etnis perantauan Cina. Artikel kecil ini hanya sebagian dari catatan hasil penelitian saya yang bertujuan untuk melihat sejauh mana tesis mengenai ambiguitas globalisasi berlangsung secara nyata (riil) di dalam praktek ekonomi sekaligus praktek kebudayaan, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.

Banyak orang di penjuru Nusantara kini mungkin tidak asing lagi mendengar nama salah satu lokasi pusat perdagangan komputer dan perangkat lunak (software) terbesar di Jakarta, sebut saja Mangga Dua. Juga, sudah menjadi rahasia umum kalau di pusat perdagangan komputer tersebut banyak produk ‘software bajakan’ yang dapat kita peroleh dengan harga jauh lebih murah daripada harga yang seharusnya. Diperkirakan jumlah uang yang beredar dalam industri pembajakan semacam ini di wilayah Jakarta saja sekitar lebih dari 1 milyar rupiah per hari-nya. Walaupun, belum ada studi yang mengkalkulasi secara pasti berapa jumlah uang yang beredar di dalam industri tersebut. Meskipun pemerintah Indonesia telah mengkampanyekan gerakan anti pembajakan dengan memberlakukan UU mengenai Hak Cipta (Intelektual), akan tetapi bisnis industri pembajakan software ini tetap saja tumbuh karena memiliki segmen pasar yang telah mapan sejak lebih dari satu dekade.

Ada beberapa perdebatan menarik dari fenomena bisnis pembajakan software komputer ini. Pertama, strategi ekonomi dan konstruksi budaya apa yang terbangun di dalam industri ‘pembajakan software’ ini mengingat bisnis ini digerakkan oleh sekelompok orang melalui pembentukan jaringan transnasional, dalam hal ini meliputi wilayah regional ASEAN. Kedua, struktur ekonomi-politik apa melatarbelakangi pesatnya pertumbuhan industri software bajakan ini meskipun bisnis ‘ilegal’ ini dibatasi oleh ketentuan hukum formal (UU Hak Cipta dan Intelektual) yang juga berlaku di tingkat lokal.

 

Kekuatan Biopolitics Global: Ikatan Paternal dalam Bisnis Software Bajakan

Studi etnografi yang saya kerjakan selama lebih dari setahun (sejak awal tahun 2004, hingga kini) khususnya di beberapa wilayah pusat perdagangan komputer di Jakarta dan selama dua minggu di Vietnam (Ho Chi Minh), telah menggiring saya pada asumsi bahwa industri pembajakan perangkat lunak ini melibatkan banyak orang dalam suatu pola hubungan interpersonal yang rumit tetapi saling terkait satu sama-lainnya. Pola hubungan yang berlangsung di dalam industri ini berlangsung dalam beberapa level. Dalam setiap level tampak bahwa tumbuhnya industri pembajakan perangkat lunak ini didukung oleh kinerja yang nyata dari berlangsungnya jejaring (networking) kelompok-kelompok tertentu, yang bukan hanya menguasai alih teknologi melainkan juga memahami strategi pemasaran di negara Dunia Ketiga, yang hingga kini masih bersikap ambivalen di dalam menerapkan ketentuan legal-formal UU mengenai Hak Cipta dan Intelektual.

Level pertama dalam jejaring itu adalah sekelompok orang yang menjalankan industri pembajakan melalui sistem programing yang menghasilkan produk software “crack” yakni dengan memecahkan semacam kode dan memberikan variasi kode-kode akses untuk meng-instal program itu ke dalam komputer, sehingga produk tersebut dapat diakses dan tidak dapat diidentifikasi sebagai produk ilegal apabila tersambung secara on-line di dalam jaringan internet. Keterlibatan sekelompok orang di dalam level pertama ini bersifat sangat tertutup sehingga informasi keberadaan mereka sulit dibuktikan secara empirik, tetapi riil (ada) di dalam setiap sumber informasi yang disampaikan oleh para informan yang berada di dalam level kedua jaringan ini. Dari beberapa sumber yang telah diwawancarai didapatkan informasi yang serupa, bahwa mereka yang berada di level pertama jaringan ini adalah suatu sindikat regional (internasional), dimana master-programming-nya justru tidak berpusat di Indonesia ataupun Vietnam, melainkan di negara tetangga, Singapura, yang justru sangat ketat memberlakukan UU Hak Cipta dan Intelektual. Mereka yang berada di dalam sindikat ini kemudian mengubah master-program software bajakan itu ke dalam industri manufaktur yang memperbanyak (menggandakan) produk-produk software bajakan, khususnya yang berlokasi di wilayah Indonesia dan Vietnam.

Level kedua di dalam jejaring adalah sekelompok orang yang menjalankan bisnis memperbanyak (menggandakan) produk-produk software crack tadi dan mendistribusikannya kepada para pemilik usaha (toko) bisnis komputer. Berlangsungnya pola hubungan antara kelompok yang berada di wilayah level pertama dan kedua dapat dikatakan menyerupai sindikat perdagangan Narkoba, yakni mereka yang berada di level kedua hanya membeli dan menerima produk software bajakan dari tangan para perantara semata. Meskipun, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka yang berada di dalam level kedua juga merupakan bagian dari jejaring kelompok di level pertama. Sehingga, keberadaan kelompok level pertama amat sulit dilacak dan hanya diketahui dari cerita mulut-ke-mulut saja. Informasi mengenai keberadaan para sindikat regional di level pertama ini diperkuat pula dari berbagai cerita yang disampaikan oleh para pedagang software komputer bajakan di salah satu wilayah perdagangan komputer terbesar di ibu kota Vietnam, Ho Chi Minh. Sementara level ketiga, adalah jaringan yang sudah semakin terdiferensiasikan karena meliputi sejumlah besar pedagang yang menjual produk software ini setelah melalui berbagai tangan yang digerakkan oleh mereka yang berada di dalam jejaring level kedua.

Mengingat kompleksnya obyek kajian di dalam penelitian ini, maka saya hanya memfokuskan diri mengkaji mereka yang berada wilayah level kedua jejaring bisnis industri pembajakan software komputer ini. Hal yang paling menarik dari fenomena mereka yang terlibat di dalam level kedua jaringan bisnis ini adalah realitas berlangsungnya pola kekerabatan (kinship) di dalam menggerakkan praktek ekonomi pembajakan perangkat lunak. Sebagian besar dari mereka yang terlibat disini adalah etnis perantauan Cina yang memiliki jaringan lintas komunikasi di berbagai wilayah khususnya di Asia Tenggara. Mereka mengakui bahwa hal yang paling penting dan mendasar di dalam bisnis ini adalah modal sosial (social capital) berupa kepercayaan dan modal budaya (cultural capital) berupa ikatan yang didasari oleh sentimen etnisitas, sehingga modal kapital (uang) justru bukan hal yang paling utama.

Pertanyaan berikutnya yang muncul dari studi ini adalah mengapa modal sosial dan kultural menjadi basis dari industri semacam ini? Struktur dan konstruksi sosial macam apa yang telah memungkinkan bisnis yang dilandasi oleh modal sosial dan budaya ini berlangsung sehingga menjadi suatu bentuk peralihan kapitalisme dari produksi industri massa ke rezim-rezim akumulasi ekonomi global (regional) yang fleksibel (the globalised regimed of flexible accumulation).

Konteks yang menunjuk pada fenomena bahwasanya sebagian besar bisnis ini baik di Indonesia maupun di Vietnam, dikuasai oleh etnis perantauan Cina, memperlihatkan kekuatan politik budaya yang berlangsung dalam kapitalisme global melalui pergerakan diasporik. Pergerakan diasporik (diasporic movement) yang berlangsung di dalam proses globalisasi bukan hanya memindahkan orang dan investasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, melainkan juga menciptakan suatu politik budaya yang secara khusus terintegrasi untuk memobilisasi sekelompok orang ke dalam jaringan dan pembagian kerja untuk memperoleh peluang bagi keuntungan ekonomi (kesejahteraan).

Dalam konsepnya mengenai ‘bio-politics’, Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan moderen dibangun melalui populasi dan produktivitas yang dilahirkan dengan menggerakkan populasi bagi tujuan kesejahteraan. Foucault disini menekankan bahwa ‘kekuatan bio-politics’ (bio-politics power) dibangun diatas relasi-relasi produktif yang dijalani melalui ritual bahkan dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan. Sehingga, aktivitas ekonomi dalam struktur suatu masyarakat dibangun dari aktivitas ekonomi keluarga yang produktif untuk mencapai kesejahteraan ekonomi. Menurut Aihwa Ong (1999), nilai-nilai keluarga, pembentukan jaringan melalui prosedur kekerabatan (guan-xi), sentimen etnisitas (ganqing), dan kepercayaan (xinyong) merupakan elemen-elemen fundamental etika kapitalisme Cina yang menyuburkan kekuatan ekonomi politik etnis perantauan Cina sebagai suatu kekuatan bio-politics global. Aihwa Ong melanjutkan bahwa etika Konfusianisme yang menjunjung tinggi etika kekeluargaan (familial ethic) seperti bentuk-bentuk kepatuhan  dan ketaatan (xiao) menjadi basis moral bagi individu untuk memasuki kapitalisme. Dalam etika ini, peran dan hubungan interpersonal di dalam keluarga merupakan hal yang esensial dalam membentuk struktur komunitas politik dan ekonomi. Sehingga bangunan struktur suatu masyarakat bukan dibangun diatas kepentingan dan perjuangan individu-individu (Mak dan Chan, 1995) melainkan kolektivitas kekeluargaan. Suatu bangunan bio-politics masyarakat yang terstruktur mulai dari pondasi unit terkecil masyarakat, yakni keluarga dan jejaring yang terbangun melalui ikatan kekeluargaan.

 

Peluang Kapitalisme Global dalam Ambiguitas Politik-Ekonomi Negara Dunia Ketiga

Terbangunnya jaringan di dalam aktivitas ekonomi global etnis perantauan Cina, khususnya di dalam fenomena industri pembajakan komputer di Asia Tenggara ini telah menunjukkan berlangsungnya elemen kapitalisme transnasional Cina, yakni: (1) strategi memperluas jaringan (strategies of expanding networks); dan (2) peluang-peluang yang diciptakan oleh kapitalisme global (opportunities created by the global capitalism). Dalam elemen pertama, sebagaimana telah diilustrasikan di muka, jaringan bisnis (industri pembajakan software komputer) dijalankan melalui suatu hubungan kekerabatan yang menghubungkan sekelompok orang dalam ikatan tersebut di satu wilayah negara tertentu dengan kerabat lainnya di wilayah negara lain. Sementara elemen peluang yang diciptakan oleh kapitalisme global juga turut mendorong pergerakan dan pertumbuhan jaringan ini sebagai akibat dari efek ambigu globalisasi ekonomi yang dipraktekkan oleh rezim-rezim politik (pemerintahan) tertentu, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga.

Perdebatan mengenai etika moralitas dalam pemberlakuan Hak Cipta dan Intelektual berbagai produk teknologi tinggi hingga kini masih menjadi wilayah perdebatan intelektual yang belum usai. Sebagian orang yang mengadvokasi isu kesetaraan dalam mengakses pengetahuan dan teknologi acapkali menuduh kampanye pemberlakuan Hak Cipta dan Intelektual yang dipropagandakan oleh perusahaan multi nasional (MNCs), seperti kampanye ‘Microsoft’ untuk memboikot dan mengupayakan sanksi legal terhadap berbagai bentuk produk bajakan, sesungguhnya hanya merupakan strategi manipulasi. Yakni manipulasi untuk mengontrol sumber-sumber pemasukan ekonomi tanpa memperdulikan distribusi kesetaraan akses informasi dan pengetahuan.

Lepas dari perdebatan yang belum usai ini, fenomena berkembangnya industri pembajakan produk-produk teknologi tinggi di Negara Dunia Ketiga menunjukkan adanya suatu pola politik-ekonomi (political economy) yang bersifat ambigu. Ambiguitas ini tampak dalam kampanye dan upaya pemberantasan produk teknologi bajakan yang tidak secara serius ditangani oleh pemerintah di negara-negara tersebut. Keberadaan perangkat legal (UU) hanya merupakan suatu bentuk formalisasi hukum yang tidak memiliki kekuatan sanksi, baik secara ekonomis maupun secara politik. Ambiguitas ini dapat dipahami karena industri bajakan semacam ini juga ditengarai turut memberi kontribusi bagi produktivitas ekonomi di tingkat lokal. Sedangkan di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa mahalnya biaya yang harus dikonsumsi untuk teknologi canggih semacam itu akan semakin mempersulit kesetaraan akses informasi dan pengetahuan bagi mayoritas populasi penduduk di Negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia. Kondisi ambigu di dalam praktek politik ekonomi semacam ini turut menciptakan peluang-peluang strategis bagi tumbuhnya industri (bisnis) pembajakan produk-produk teknologi canggih. Peluang yang lahir akibat adanya ambiguitas dari polarisasi kesejahteraan yang tidak seimbang khususnya di Negara Dunia Ketiga inilah yang menjadi basis bagi perluasan jaringan bisnis produk software bajakan secara global. Negara Dunia Ketiga menjadi pasar yang sangat strategis bagi konsumsi produk-produk semacam itu.

Fenomena ini menggiring kita pada suatu perdebatan baru mengenai apa dan bagaimana seharusnya instrumen demokrasi berlangsung di dalam budaya teknologi. Yakni sebagai suatu instrumen yang menjamin kesetaraan distribusi informasi dan pengetahuan secara global. Penekanan pada aspek legalitas semata hanya berasosiasi pada pengertian bahwa konsumsi atas pengetahuan dan informasi merupakan bagian dari hak atas properti yang berdampak pada keuntungan secara individual semata, bukan pada sesuatu yang berdampak pada kesejahteraan secara kolektif (kesejahteraan disini, bukan hanya dalam pengertian secara material saja).

Jadi, dapat dikatakan bahwa suburnya industri pembajakan produk teknologi canggih bukan hadir semata-mata dari motivasi ekonomi yang ditumbuhkan secara kolektif oleh sekelompok orang saja, melainkan suatu bentuk resistensi atas hegemoni ekonomi industri kapitalisme global yang justru telah menciptakan ambiguitas di dalam praktek ekonomi dan politik di wilayah-wilayah yang rentan didominasi oleh kekuatan ekonomi dan politik industri teknologi tinggi kapitalisme global.

 

Referensi:

Featherstone, Michael, 1990. Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernity: A Theory, Culture and Society, Special Issues. London: Sage.

Foucault, Michel, 1980. Truth and Power, Pantheon Book, New-York

Mak, Anita and Helen Chan, 1995. Chinese Family Values in Australia, dalam Families and Cultural Diversity in Australia, editor Robyn Hartley. Sydney: Australian Institute of Family Studies.

Nonini, Donald, 1997. Underground Empires: The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism. New York: Routledge.

Nonini, and Aihwa Ong, 1997. Chinese Transnationalism as an Alternative Modernity, dalam Underground Empires: The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism, editor Donald Nonini. New York: Routledge

Ong, Aihwa, 1999. Flexible Citizenship: The Cultural Logics of Transnationality. London: Duke University Press, hal. 110-136.

No comments:

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...