Wednesday, June 23, 2021

Apakah “Marxisme Buruk itu?” Rangkuman tentang Politik Akademik dan Kajian Budaya Kontemporer*

Oleh Tia Pamungkas (Arie Setyaningrum Pamungkas)

(*Artikel ini tidak dimuat di jurnal manapun dan saya posting ulang di blog milik saya https://arietia.blogspot.com/)

(Terimakasih pada Facebook Developer Community – dimuat pertama kali di Facebook pada tahun 2017)

 

Pendahuluan

Artikel ini merupakan suatu elaborasi awal mengenai reproduksi politik akademik di Indonesia khususnya dalam menempatkan posisi akademisi (baik mahasiswa, dosen maupun penelitik) – sebagai agen perantara budaya – yang terus melanggengkan praktik jahat ekonomi neoliberal – termasuk melalui komodifikasi kritik dari wacana-wacana yang diturunkan oleh varian teori-teori marxisme. Dalam penjabaran mengenai reproduksi akademik ini, kerangka teoritis yang digunakan ada tiga, yakni konsep ‘marxisme buruk’ dari John Hutnyk (2004), produksi ranah budaya dari Pierre Bourdieu (1993), dan politik keruangan dan kontrakdiksi kapitalisme dari David Harvey (2014).

Secara umum artikel ini menyimpulkan bahwa reproduksi politik akademik di Indonesia telah didesain untuk terus melanggengkan praktik ekonomi neoliberal – bahkan dilakukan melalui logika akumulasi melalui perampasan – dimana posisi subyek akademisi – ditentukan oleh suatu agensi sosial yang mampu memberikan dampak langsung berupa alienasi (secara ekonomi dan politis) – maupun eksklusi di dalam sistem pendidikan yang mensyaratkan kompetensi secara ketat berdasarkan sistem meritokrasi dari sudut pandang ideologi politik libertarian.  Pendahuluan: Mendefinisikan ‘Marxisme Buruk’.


Apa dan Bagaimana Marxisme Buruk dalam Konteks Politik Akademik

Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang bagaimana ‘kematian paradigma kritis ilmu sosial humaniora di Indonesia’ menjadi eulogia, atau suatu ironi yang dirayakan di dalam reproduksi akademik, saya akan menjelaskan terlebih dulu mengapa saya menggunakan terminologi ‘marxisme buruk’ ( bad marxism ). Saya menggunakan  terminologi ‘bad marxism’  dan menerjemahkannya menjadi ‘marxisme buruk’ ke dalam bahasa Indonesia ketimbang menerjemahkannya menjadi ‘marxisme jahat’, meskipun saya bukanlah seorang ahli etimologi bahasa, saya menggunakan pengertian  ‘bad’  dalam konteks ini sebagai sesuatu yang ‘buruk’ atau jelek meskipun itu tidak selalu bisa dirasakan sebagai sesuatu ‘kejahatan’ – tetapi dapat berpeluang untuk melegitimasi suatu kejahatan.

Dalam kamus bahasa Inggris Oxford yang kini juga tersedia secara online, kata ‘bad’ setidaknya merujuk pada sedikitnya 8 pengertian, meskipun asal-usul kata itu jika diperas hanya merujuk pada dua konteks saja. Yang pertama menjelaskan suatu proses yang menghasilkan kualitas materi yang rendah atau jelek, dan yang kedua adalah sesuatu yang tidak diharapkan atau tidak diinginkan.

Adalah John Hutnyk (2004) yang menggunakan terminologi mengenai ‘bad marxism’ sebagai tesis untuk menjelaskan bagaimana reproduksi gagasan-gagasan Marxisme dalam konteks kapitalisme tingkat lanjut  (late capitalism ) bersinggungan dengan gagasan-gagasan yang pada mulanya merupakan kritik terhadap Marxisme klasik dan kemudian justru mengapropiasi suatu rasionalitas yang mengabaikan esensi utama posisi ontologis Marxisme yaitu relasi individu dan kelompok (kelas sosial) di dalam sistem produksi. Dengan kata lain, kritik terhadap Marxisme klasik yang berkembang itu justru bermuara pada suatu bentuk legitimasi untuk menjauhkan wacana kritis dan praktik sosial yang cenderung abai pada aspek analisis kelas sosial sebagai suatu artikulasi intelektual dan karenanya bersifat ‘politis’ ( political) .

Tesis Hutnyk ini ditujukan pada dua konteks utama dimana legitimasi itu berlangsung. Pertama pada bagaimana teori-teori postmodernisme acapkali disalahpahami atau bahkan dengan sengaja mengalihkan diri dari pembahasan mengenai struktur dan reproduksi struktur kelas sosial untuk lebih memberi ruang artikulasi pada pembahasan mengenai ‘kesadaran subyektif’ yang muaranya justru pada memberi alternatif pada pilihan-pilihan individual yang bersifat rasional dibawah ‘penerangan’ masyarakat kapitalis pasca industri. Masyarakat kapitalis pasca industri disini menjelaskan bagaimana sistem produksi ekonomi tidak lagi sekedar bersandar pada tujuan akumulasi kapital semata, melainkan juga pada bagaimana distribusi ‘resiko dan peluang’ dibagikan di dalam masyarakat yang tetap ditujukan pada pencapaian-pencapaian individual untuk memaksimalkan keuntungan ( maximing profits ). Artinya, dalam konteks semacam itu, kritik terhadap kapitalisme tingkat lanjut bukanlah ditujukan pada bagaimana menjelaskan aspek politis dari sistem reproduksi sosial berjalan dalam sistem ekonomi neokapitalisme, melainkan mengisolasi individu dari ‘kesadaran kelas’ dan mendorong individu untuk kalkulasi pilihan-pilihan rasional sembari tetap menegosiasikan posisi subyektifnya di dalam reproduksi kelas sosial yang sangat kapitalis dan karenanya mereproduksi hierarki posisi kelas sosial yang semakin kompleks.

Dalam konteks ini politik akademik melembagakan ‘ambiguitas’ dimana kritik tidak bermuara pada partisipasi atau emansipasi sosial melainkan hanya sekedar ‘eulogia’ – basa-basi yang diucapkan secara formal ketika mendengar berita duka dari kerabat atau teman, tanpa pernah hadir untuk datang dan bahkan membantu ‘pemakaman’ dan kehidupan keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang mati itu.

Kedua, pada bagaimana kajian budaya khususnya ‘cultural studies’ yang sebenarnya merupakan anak kandung yang lahir dari Marxisme itu sendiri justru ‘berkembang pesat’ dan sekaligus ‘mereduksi’ emansipasi sosial yang menjadi basis ontologis paradigma cultural studies itu sendiri. Secara khusus, cultural studies berbeda dengan postmodernisme, dikarenakan kajian ini memiliki aspek “keruangan” yang memiliki sejarah material yang bersifat “spesifik” terutama dalam kaitannya dengan kolonialisme. Oleh karena itu, mendefinisikan aspek “keruangan” akan selalu bersifat politis dimana reproduksi agensi sosial yang membentuk ruang itulah yang menentukan bagaimana bentuk-bentuk emansipasi melalui politik kebudayaan dapat dilakukan. Kenyataannya, cultural studies justru menjadi komoditas akademik yang dikomodifikasikan sebagai ‘obyek fethis’ yang nampak  desirable diinginkan-dikehendaki sebagai sekedar ‘ panacea’  – obat penghilang nyeri – tanpa mengobati ‘penyakitnya’ itu sendiri – karena tidak mengagendakan pola-pola pengorganisasian emansipasi sosial, sesuatu yang hampir serupa dengan posisi politis teori-teori postmodernisme dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut.  Tesis Hutnyk tentang ‘ bad marxisme’  bukannya tidak melahirkan protes dan kritik dari kalangan akademisi khususnya.

Para pengkaji teori-teori postmodernisme dan pascakolonialisme misalnya, menganggap tesis Hutnyk itu cenderung ‘emosional’ dan karenanya dianggap ‘gagal secara ilmiah’ – atau suatu tesis yang prematur mengenai khususnya bagaimana komodifikasi kajian-kajian kritis dilegitimasikan secara akademik, terutama khususnya cultural studies. Mike Gane (2005) dan Don Mitchel (2006) misalnya menganggap bahwa tesis Hutnyk itu juga “buruk” bukan pada bagaimana Hutnyk menunjuk pada bentuk-bentuk praktik sosial dimana komodifikasi kritik itu dilakukan dan berjalan secara empiris, melainkan pada bagaimana meta narasi yang dikembangkan oleh Hutnyk dianggap mengingkari sejarah paradigma ilmu-ilmu kritis yang melembaga dan selalu merespon gagasan-gagasan tentang ‘pencerahan’ – bahkan termasuk yang menginsipirasi marxisme itu sendiri.

Gane (2005) misalnya mengkritik Hutnyk yang mencoba mengelaborasi kembali hal-hal ‘positif’ yang pernah berlangsung di masa pemerintahan Lenin di Uni Sovyet dan Mao Tse Tung di RRC dimana masyarakat dikonstruksikan secara politis untuk mengabaikan politik identitas dan karenanya menjadi alternatif menghadapi bentuk-bentuk baru fascisme (seperti ultra nasionalisme)  – yang selama ini ‘tidak pernah sampai’ wacananya ke dalam  ‘scholarship’  (jejaring intelektual dan akademik) marxisme barat. Menurut Gane (2005), tesis Hutnyk ini terlalu prematur mengingat sejarah legitimasi atas komunisme semacam itu dianggap sebagai tabu dan sudah terbukti sebagai produk ideologi politik yang gagal karena reproduksi kekuasaan dalam tafsir Marxisme-Leninisme melegitimasi bentuk-bentuk blok-blok otoritarianisme yang menindas subyek. Sementara Mitchel (2006) menganggap bahwa tesis Huytnik hanya merupakan suatu bentuk ‘ad hominem’ yaitu menyerang karakter yang bersifat personifikasi dari para teoritisi budaya, postmodernisme, poskolonialis dan cultural studies (seperti Clifford, Malinowski, Foucault, Derrida, Battaile, Negri, Spivak , dan Zizek) – ketimbang berfokus pada mengurai substansi ontologis dari tradisi akademik dimana masing-masing teoritisi itu berpijak pada argumentasinya masing-masing.

Mitchel (2005) bahkan cenderung menuduh Hutnyk sedang memprovokasi suatu revolusi akademik yang mengabaikan tradisi akademik yang bersifat diskursif dikarenakan kekuatiran yang berlebih-lebihan terhadap politik identitas yang melahirkan bentuk-bentuk baru fascisme yang dilegitimasi oleh wacana akademik.  Bagi saya, kedua kritik diatas terhadap Hutnyk lebih cenderung berposisi pada pembelaan kalangan ‘libertarian’ – terhadap tradisi akademik yang mengamankan posisi politis atas logika ‘rasionalitas pencerahan’ – suatu rasionalitas yang selalu membenarkan praktik kapitalisme dalam memaksimalkan keuntungan ( maximizing profits ). Kalangan libertarian memegang prinsip bagaimana optimalisasi demokrasi hanya dapat dijalankan melalui optimalisasi kebebasan individual secara mutlak termasuk dalam mengakses sistem reproduksi ekonomi, sosial dan politik. Pertanyaan rhetoris – dalam logika marxisme yang selalu tidak akan pernah mati – dimana kapitalisme masih eksis – adalah, “ apakah setiap individu dapat memperoleh kesempatan yang benar-benar setara karenanya?” “Kesetaraan semacam apa yang memungkinkan optimalisasi demokrasi itu berjalan tanpa menindas subyek?”  Itu adalah pertanyaan dasar hampir semua varian di dalam percabangan teori-teori marxisme. Tesis Huytnik sendiri di mata saya sebagai seorang sosiolog memang cenderung melupakan aspek penting tentang ‘politik keruangan’ di dalam reproduksi akademik khususnya – terutama bahwa tidak semua wacana yang dibangun dalam tradisi ‘cultural studies’ termasuk postcolonialisme itu “buruk” - tetapi bukan berarti tesis Hutnyk tidak menunjuk pada suatu kebenaran dan praktik diskursif dalam wacana akademik itu sendiri. Dengan kata lain, bagi saya tesis Hutnyk memiliki kebenarannya secara empiris – dan hal itu dapat dilegitimasikan sebagai basis ontologis marxisme kritis. Kita melihat sekarang, apa yang menjadi ‘kekuatiran’ Hutnyk pada saat itu (ia menerbitkan buku itu tahun 2004 – dan kritik atasnya disampaikan tak lama kemudian) menjadi kenyataan. 

Far right politics  dan populisme yang didasari oleh politik identitas, kebangkitan ultra nasionalisme secara global di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan dimana isu-isu tentang kelas sosial dan akses bagi kesetaraan harus berhadap-hadapan dengan legitimasi neo-fascisme seperti rasisme misalnya. Oleh karena itulah, mengapa penting bagi saya untuk mengangkat kembali tesis Hutnyk tentang ‘marxisme buruk’ ini karena komodifikasi kritik sebagaimana yang diungkapkan oleh Hutnyk itu juga berlangsung bukan hanya di dalam masyarakat yang sepenuhnya telah berada di dalam konteks pasca industri, melainkan justru sedang “gencar” berlangsung di dalam masyarakat dimana pola-pola reproduksi ekonomi masih menggabungkan pola-pola industri manufaktur dan jasa – dimana konteks budaya masyarakat industri (dalam sistem produksi ekonominya) tumpang-tindih dengan budaya masyarakat pasca industri (dalam sistem reproduksi konsumpsinya).

Untuk kepentingan itu, saya mencoba untuk meredefinisikan kembali tesis Hutnyk tentang ‘marxisme buruk’ dengan menyandarkan kerangka teoritis pada konsepsi Pierre Bourdieu tentang ‘reproduksi sosial’ dan pentingnya agensi sosial dalam mendefinisikan ‘ranah perjuangan kelas sosial’ dan konsepsi David Harvey tentang ‘politik keruangan – dan reproduksi politik keruangan’ yang tidak pernah bersifat obyektif dalam mereproduksi struktur material – dan relasi antar agensi sosial di dalamnya. Aspek reproduksi agensi sosial menjadi sangat penting menurut saya, dalam menjelaskan mengapa ‘percabangan aliran dalam marxisme’ sebagaimana yang dikritisi oleh Hutnyk hanya berakhir sekedar sebagai ‘komoditas akademik’ belaka – yang kematiannya dirayakan setiap saat di ruang-ruang kelas, di dalam bacaan jurnal dan buku-buku textbook termasuk di dalam kolom-kolom jurnalisme – sementara signifikansinya bagi perubahan sosial lenyap dalam kesunyian gegap gempita masyarakat kapitalis neoliberal – termasuk di Indonesia. Artikel ini adalah usaha awal yang bisa saya upayakan.


Marxisme Buruk dalam Reproduksi Politik Akademik di Indonesia

Samuel dan Sutopo (2013) menjelaskan peran intelektual di Indonesia dalam kaitannya dengan produksi pengetahuan ilmu sosial humaniora (khususnya sosiologi) dengan relasi kekuasaan sejak pertengahan tahun 60an. Tipologi itu menjelaskan bagaimana sosiologi berkembang sebagai suatu disiplin ilmu di Indonesia dan bagaimana para intelektual memandang ‘Indonesia yang moderen’ dan karenanya penjelasan tersebut juga merupakan suatu analisis pascakolonial yang memiliki aspek ‘keruangan’ geopolitis dalam sejarah modernitas dan modernisasi Indonesia.

Ada empat tipologi wacana intelektual yang dijabarkan oleh Samuel dan Sutopo (2013) yakni; (1) sentimen primordial, (2) tahapan transisional, (3) historis dan struktural, (4) imperialisme kultural. Berangkat dari asumsi formulasi tesis postcolonialisme – yang menempatkan kajian tentang Indonesia dalam tradisi intelektual yang bersinggungan dengan modernisme pengetahuan barat tetapi memiliki sejarah keruangan geopolitis yang bersifat spesifik - keduanya menjabarkan sebagai berikut. Tipologi pertama, wacana intelektual yang didasari oleh sentimen primordial – dimana konteks memandang Indonesia tidak bisa dilepaskan dari asumsi sejarah tentang bagaimana kolonialisme lah yang telah membentuk ‘Indonesia’ sebagai satu kesatuan masyarakat yang bersifat plural.

Dalam wacana ini, nasionalisme di Indonesia menjadi suatu subyek kontestasi yang penting, termasuk di dalamnya juga wacana-wacana tentang akomodasi politik identitas. Tipologi kedua, wacana yang berada dalam tahapan transisional, yakni yang memandang Indonesia masih berada dalam transisi menuju masyarakat yang moderen – dan karenanya melihat aspek wacana developmentalisme sebagai suatu implikasi politis atas wacana ini. Tipologi ketiga,  wacana historis dan struktural yang menjelaskan bagaimana formasi kapital juga turut mempengaruhi cara pandang tentang Indonesia sebagai produk negara bangsa – di pinggiran peradaban kapitalisme liberal – dimana para intelektualnya lebih banyak memandang Indonesia sebagai subyek analisis melalui kacamata kajian ekonomi politik. Tipologi keempat, wacana imperialisme budaya – dimana kondisi dan konteks ‘Indonesia’ dalam keterpinggirannya itu bukan hanya suatu hasil dari praktik ekonomi politik semata – melainkan juga sebagai akibat dari imperialisme budaya yang terus mereproduksi hegemoni barat dalam mendikotomikan polarisasi  ‘the West and the Rest’. 

Menurut saya, artikel Samuel dan Sutopo (2013) ini cukup baik menjelaskan bentuk-bentuk tipologi wacana intelektual khususnya dalam kajian sosial-humaniora di Indonesia dalam memandang ‘Indonesia’ sebagai entitas budaya modernitas sekaligus sebagai subyek politik ‘negara bangsa’, meskipun menurut saya ada sesuatu yang hilang dan tidak nampak menonjol di dalam artikel ini. Yakni bagaimana dampak dari pewacanaan atas tipologi tersebut dalam pelembagaan agensi sosial baik secara akademik maupun secara non-akademik. Analisis tentang agensi sosial yang berada di dalam struktur sosial yang beragam di dalam produksi pengetahuan di Indonesia juga tidak muncul di dalam analisis tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hutnyk dimana para teoritisi “kritis” postmodernisme meminjam banyak kritik marxisme tetapi terus berada di dalam agensi sosial (terutama akademik bahkan termasuk politik) – yang membolehkan struktur ketimpangan kelas sosial terus berlanjut.

Hal ini misalnya, menjadi pertanyaan dari banyak kalangan aktivis sosial terutama di negara-negara pascakolonial – yang misalnya mempertanyakan kontribusi konkrit dari pewacaan akademik tentang ‘subalternisme’ – yang justru menjustifikasi politik keruangan yang secara politis  ‘entails’  mempertautkan kebenaran logika libertarian tentang optimalisasi demokrasi yang hanya dapat dimungkinkan melalui optimalisasi kebebasan individual – dan karenanya dapat mengapropriasi logika-logika reproduksi ekonomi neokapitalisme liberal.  Berbicara tentang bagaimana ‘marxisme buruk’ ikut menyumbang pada reproduksi ketimpangan kelas sosial – khususnya di Indonesia, menurut saya, belum ada kajian ataupun riset mendalam tentang bagaimana agensi sosial bekerja di dalam medan perjuangan intelektual. Belum banyak riset yang mendalami tentang apa tema-tema yang paling mendominasi penulisan skripsi, tesis, bahkan disertasi – dalam ilmu sosial –humaniora. Belum banyak yang meneliti tentang apakah penulisan skripsi, tesis dan bahkan disertasi tersebut berkaitan dengan bagaiamana subyek intelektualnya melanjutkan hidupnya masing-masing di dalam sistem reproduksi ekonomi dan sosial. Bahkan belum ada penelitian etnografis mengenai – mengapa – seorang intelektual yang mewacanakan sesuatu yang kritis – mampu menggunakannya sebagai modal budaya (cultural capital) sebagai alat mobilitas sosial keatas – memasuki ruang atau ranah elit – dimana akses bagi reproduksi kapital ekonomi terbuka luas baginya. Semua itu terlintas di dalam benak saya, karena di dalam agensi sosial yang saya miliki, yakni di dalam agensi akademik – maupun di dalam agensi aktivisme sosial – wacana-wacana semacam itu sudah lama menjadi “rerasan” semata – tetapi tidak pernah menjadi sesuatu subyek kajian yang serius – menjadi suatu artikulasi politik tentang bagaimana reproduksi pendidikan di Indonesia dijalankan – melalui moda produksi kapitalisme liberal – itu memberikan peluang bagi munculnya wacana-wacana marxisme buruk – yang bukan hanya berakhir sebagai komoditas belaka – tetapi membenarkan logika kompetisi – yang melahirkan ketimpangan struktur sosial.

Hingga kini, misalnya, wacana tentang pentingnya ‘serikat dosen’ yang bekerja hampir serupa dengan ‘serikat buruh’ – adalah sesuatu yang dianggap tabu – sebagaimana politik akademik di Indonesia mengisolasi ‘marxisme’ hanya sebagai ‘marxisme buruk’ itu saja – yang hanya boleh dikaji sebagai subyek akademik – tetapi bukan sebagai alat dan mekanisme bagi perubahan sosial.  Dalam reproduksi akademik misalnya, kita menyaksikan bagaimana kurikulum pembelajaran di Indonesia terutama di perguruan-perguruan tinggi sejak hampir satu dekade ini – diarahkan untuk melegitimasi suatu ‘kemunduran’ – secara mental – demi asumsi pencapaian ‘kemajuan material’ – berbasis pada logika libertarian tentang ‘meritokrasi’ – yakni suatu penghargaan kepada individu yang dianggap memiliki ‘kompetensi’ – keahlian spesifik – dan karenanya dapat memperoleh aksesabilitas untuk mereproduksi struktur material yang melingkupinya. Hal ini yang berdampak pada semakin berkurangnya – irisan-irisan antar bidang keilmuan atau yang bersifat interdisipliner – dan multidisipliner dalam kurikulum pembelajaran akademik di perguruan tinggi – termasuk juga yang berdampak pada agensi sosialnya, baik pada mutu kualitas lulusan, pada orientasi reproduksi ekonomi mereka melalui pengembangan karir individual – termasuk di dalam ranah agensi sosial para dosen-dosennya.  Kurikulum akademik yang mensyaratkan ‘basis kompetensi’ secara ketat telah berdampak pada setiap rumusan target pencapaian (output) pembelajaran dan kualifikasi lulusan oleh program-program studi semakin terspesifikasikan oleh sekat-sekat disiplin keilmuan – tetapi disisi lain sekaligus kurikulum ini membekali hampir seluruh mahasiswa program studi apapun – untuk memiliki ketrampilan homogen yakni – ketrampilan menjalani atau menjalankan  “sociopreunership ” sebagai bagian dari implementasi pengabdian kepada masyarakat.

Konsep ‘sociopreunership’ yang menggabungkan kemampuan wirausaha dan melakukan jejaring sosial ini dilembagakan oleh hampir semua perguruan tinggi di Indonesia untuk menjawab alternatif peluang pembukaan lapangan kerja bagi para alumni-alumninya sehingga tidak tergantung sepenuhnya pada reproduksi ekonomi yang lapangan pekerjaannya disediakan oleh negara atau bahkan oleh korporasi baik di sektor manufaktur maupun jasa. Persoalannya adalah pada kurikulum tentang konsep dan praktik atas ‘sosiopreunership’ ini kurang diimbangi pada pengetahuan-pengetahuan kritis lainnya – akibatnya mahasiswa maupun dosen didorong untuk terus berinovasi – mengembangkan bentuk-bentuk produk baru – tanpa memahami ‘peta reproduksi ekonomi politik’ yang lebih luas – termasuk memahami bagaimana agensi sosial bekerja di dalamnya.

Hal ini seakan-akan mendorong semua agensi sosial di dalam ranah akademik untuk terus produktif tanpa tahu bagaimana melanjutkan kesinambungan – kelestarian kewirausahaan – karena struktur kekuasaan politik yang dominan tetaplah bermuara pada reproduksi ekonomi neoliberal – dimana pemilik-pemilik modal besar khususnya korporasi multinasional tetap menjadi agen ekonomi politik yang dominan hingga hari ini termasuk di Indonesia. Memang tidak semua mahasisw khususnya ilmu sosial dan humaniora harus menjadi “dosen” atau akademisi, tetapi dampak signifikan dari berlakunya kurikulum yang ketat berbasis pada kompetensi inilah yang membuat mahasiswa khususnya di tingkat sarjana didorong untuk semakin cepat lulus, pengurangan atau bahkan dihilangkannya subyek-subyek mata kuliah tertentu misalnya ilmu sosial dasar, serta persyaratan bagi mata kuliah untuk memiliki – keterkaitan dengan luaran (output) kompetensi yang spesifik – menjadikan banyak sarjana-sarjana ilmu sosial humaniora di Indonesia selama hampir satu dekade ini – kesulitan ketika harus membuat skripsi, bahkan tesis atau disertasi dalam jenjang belajar pendidikan mereka. Seakan-akan ketrampilan menulis atau bahkan meneliti bukan menjadi sesuatu yang bersifat ‘prestise’ lagi dalam atmosfir kehidupan di dunia akademik yang semakin materialistis.  Di sisi lain, agensi sosial di dalam ranah akademik yang berlaku bagi para staf pengajar (dosen) dan peneliti di perguruan tinggi juga semakin terdefinisikan oleh ‘politik keruangan’ di dalam menerjemahkan orientasi pengembangan karir mereka secara individual. Karir akademik yang didasari oleh kurikulum kompetensi mensyaratkan produktivitas berbasis pada kinerja-kinerja yang luarannya bersifat cenderung lebih individual – ketimbang sebagai suatu bentuk kerja berbasis pada kerjasama dan bagaimana pengetahuan dibagikan melalui komunitas pembelajaran bersama.

Untuk memperoleh perbaikan kesejahteraan, seorang dosen dituntut untuk selalu produktif – tetapi penghargaan atas kinerjanya melalui sistem meritokrasi lebih didasari pada pencapaian-pencapaian berbasis kompetisi individual dengan membangun semacam indeksasi bagi pengukuran-pengukuran prestasi akademik dosen. Seorang kolega saya di UGM pernah berseloroh pada saya yang masih memiliki H-indeks rendah,  “tak penting peranmu mengubah mahasiswa lewat isi papermu, apakah papermu itu kritis, bagus, pandai atau nggak, melahirkan paradigma baru atau nggak, memberikan alternatif bagi kebijakan atau nggak, yang penting artikelmu itu dimuat di jurnal TERAKREDITASI, atau kalau bisa malah yang internasional berindeks SCOPUS – karena dengan demikian, cepat naik pangkat, cepat lebih banyak dapat uang tunjangan.”  H indeks kini menjadi salah satu ukuran material untuk pencapaian karir seorang dosen atau peneliti – dimana  impact factor  seorang akademisi ditentukan oleh produktivitasnya secara individual yang direkam atau didokumentasikan oleh lembaga akademik yang memiliki “standar indeksasi” yang dianggap tinggi – dan punya daya jangkau global. Sama sekali tidak ada hubungannya ‘impact factor’ itu dengan perubahan sosial. Akibatnya, ribuan dosen berlomba-lomba mengirimkan artikel-artikel mereka ke jurnal-jurnal terutama yang terakreditasi – tidak jarang berdampak pada munculnya pasar gelap dimana – artikel-artikel yang gagal lolos di jurnal terakreditasi ditawarkan kepada jurnal-jurnal baru yang belum memiliki status terakreditasi oleh DIKTI. Hal lain juga memunculkan komodifikasi pada produksi artikel ilmiah – beberapa jurnal terakreditasi bahkan mensyaratkan para penulis yang artikelnya diterima untuk membayar biaya penerbitan – jumlahnya cukup banyak ada yang mencapai hingga lebih dari 100 USD untuk setiap artikel yang diterbitkan! Impact factor juga ditentukan oleh popularitas karya akademik seorang akademisi – dimana reproduksi atas gagasannya itu menjadi ‘sitasi’ ( citatio n) atau ‘kutipan’ ( quotation ) – meskipun hampir seluruh akademisi di seluruh dunia tahu politik kotor yang juga berlangsung di dunia politik akademik ini – misalnya seorang profesor mensyaratkan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya untuk melakukan sitasi dan kutipan atas karya akademiknya – tidak peduli apakah mahasiswa-mahasiswa itu setuju atau bahkan ‘menentang’ tesis yang dikemukakan profesornya. 

Kesepakatan-kesepakatan semacam ‘konsensus’ akademik semacam ini sekarang juga berlaku di Indonesia, bukan hanya di Barat! Dalam banyak kasus penulisan di beberapa jurnal-jurnal ilmiah terakreditasi misalnya, banyak mahasiswa terutama di tingkat doktoral yang menulis artikel dengan mencantumkan nama-nama ‘pembimbing’ mereka – padahal dalam praktiknya tidak semua pembimbing-pembing itu ikut menulis atau bahkan sama sama sekali tidak terlibat baik dalam penelitian, maupun dalam penulisan artikel di jurnal ilmiah itu – tetapi karena “ada namanya” maka secara otomatis akan berdampak pada kinerja indeksasi namanya dan impact factor yang akan diperolehnya. Tidak heran jika ada suatu universitas negeri di ibukota yang dengan sengaja membisniskan ‘program doktoral’ demi hal-hal semacam itu – akibatnya yang terjadi adalah plagiarisme liar – karena sesungguhnya tradisi akademik “liberal” yang memiliki tradisi ketat dalam penghargaan intelektual semacam hak cipta - sekalipun belum punya pondasi yang kokoh di Indonesia.

Budayawan dan akademisi ST Sunardi (2016) melihat perkembangan dalam reproduksi politik akademik di Indonesia sebagai suatu fenomena yang mencerminkan suatu logika ‘manajerialisme yang berlebih-lebihan’. Menurut Sunardi (2016), perguruan tinggi telah menjalankan sistem audit secara berlebih-lebihan yang mensyaratkan dosen untuk produktif dan mandiri secara individual tetapi minim dampak kinerja produktivitas tersebut bagi perubahan sosial. Kemandirian dosen mensyaratkan dosen untuk melengkapi segala keperluan administrasi yang harus dipenuhinya bagi persyaratan pengembangan karir pribadinya. Begitu banyak formulir yang harus diisikan, mulai dari laporan kinerja dosen, hingga mengisi laman-laman online bagi pembaharuan ( updating ) data prestasi dosen. Di satu sisi seorang dosen dituntut produktif secara akademik, di sisi lain seorang dosen harus mengurus semuanya secara mandiri – semua berkas kelengkapan yang rumit dan birokratis – termasuk memperbaharui terus ‘impact factor’ yang dimilikinya. Sungguh pekerjaan yang berstatus elitis – tetapi sesungguhnya berdampak pada penurunan kualitas waktu dan energi yang dimiliki oleh seorang intelektual untuk investasi pada sesuatu dampak yang jauh lebih signifikan, seperti perubahan sosial itu tadi. Secara khusus Sunardi (2016) mengkritisi standarisasi kompetensi sebagai suatu bentuk politik akademik yang dengan sengaja dilahirkan oleh rezim politik pada saat itu (SBY) – untuk mempersiapkan masyarakat agar “terbiasa” hidup di dalam sistem ekonomi pasar bebas. Sesuatu masih dilanjutkan oleh pemerintahan di masa presiden Joko Widodo.  Pierre Bourdieu (1993) menjelaskan bahwa politik akademik yang dijalankan seorang akademisi – bergantung pada bagaimana struktur reproduksi sosial dilakukan – dan karena posisi sosial seorang dosen di dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut – adalah sebagai seorang ‘cultural intermediaries’ – seorang perantara kultural – seorang makelar yang memiliki pengaruh besar bagi perubahan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik bagi suatu masyarakat.

Gagasan Bourdieu tentang reproduksi akademik (dengan melihat konteks politik akademik di Barat) – menjelaskan bagaimana ‘kelas sosial’ acapkali lenyap – ketika berhubungan dengan hierarki dan kuasa produksi kapitalisme liberal – dimana posisi sosial memberi status tinggi pada seorang akademisi – tetapi medan perjuangan yang dilakukannya tak ada bedanya dengan mereka yang bekerja di dalam industri manufaktur (buruh).  Hal serupa itu pula yang dialami oleh banyak mahasiswa yang baru saja diluluskan sebagai “sarjana” – bahkan “master” – atau bahkan “Doktor”, yakni mengalami kepanikan atas ketidakpastian masa depan penghidupan mereka selepas menyelesaikan pendidikan mereka. Sementara sociopreunership yang dikembangkan sebagai bagian dari pembelajaran hanya dianggap sebagai jalan pintas – belum dikembangkan pada suatu cara pandang (paradigma) yang berdimensi luas – menjadi bagian dari reproduksi perubahan sosial suatu negara bangsa – memperoleh jaminan keberpihakan oleh lembaga politik seperti negara.

Keberadaannya hanya bergantung pada daya usaha kreativitas individual – dan karenanya demikian pula pengembangan aksesabilitasnya bagi memasuki agensi sosial – ekonomi – atau stakeholders yang terlibat di dalam ruang lingkup sociopreunership itu sendiri.  Padahal struktur material yang dibangun oleh agensi-agensi sosial itulah yang menurut David Harvey (2014) bukanlah suatu struktur material yang obyektif – bangunan itu adalah suatu hasil dari reproduksi politik keruangan yang bersifat sangat subyektif – dimana prinsip inklusi dan ekslusi juga dilegitimasikan bahkan secara intelektual. Reproduksi politik akademik yang berlangsung di dalam konteks di Indonesia – dimana gagasan-gagasan kritis hanya merupakan eulogia – termasuk pembelajaran tentang varian teori-teori marxisme secara akademis – tidak memiliki perwujudan agensi sosial yang berarti bagi perubahan sosial. Dalam konteks ini sesungguhnya politik akademik telah dengan sengaja didesain untuk suatu praktik politik keruangan yang oleh David Harvey disebut sebagai  ‘accumulation by dispossession’ – dimana para intelektual – terutama akademisi – dengan sengaja dicerabut – diambilalih – dirampas modal akumulasi kapital yang dimilikinya (terutama kapital budaya, berupa pengetahuan dan ketrampilan) – dimana negara secara ironis telah memfasilitasi kontradiksi kapitalisme – demi mensukseskan praktik ekonomi neoliberal. 

 

Penutup dan Kesimpulan

Artikel ini memang belum memberikan suatu pembahasan berdasarkan kajian riset yang benar-benar secara spesifik telah dilakukan berdasarkan kajian secara empiris atas studi-studi kasus tertentu, sebagaimana yang sebenarnya menjadi harapan saya. Tetapi siapa yang mau mendanai penelitian tentang misalnya apa saja jenis-jenis skripsi, tesis, disertasi ilmu sosial humaniora di Indonesia dalam lima tahun terakhir misalnya? Siapa yang mau mendanai penelitian besar dan serius semacam itu karena tema semacam itu bersifat politis dan sama sekali tidak menguntungkan hirarki struktur politik akademik bahkan politik ekonomi global pada umumnya ini? Dalam beberapa skema pendanaan penelitian bagi kalangan akademisi saja misalnya, kompetensi yang ketat juga diukur pada bukan hanya berdasarkan pada ‘impact factor’ semata yang berdampak secara individual – melainkan bagaimana skema penelitian itu dapat bermuara pada bentuk-bentuk aplikasi sociopreunership yang dapat menopang ‘struktur kuasa’ hieraki yang dominan di dalam sistem ekonomi neoliberal. Akibatnya, tema-tema yang berkembang melalui logika akademik “marxisme buruk” – menyediakan peluang untuk secara potensial dimanipulasi sebagai suatu bentuk krisis – yang pada gilirannya membolehkan praktik jahat dari ‘accumulation of dispossesion’ (akumulasi melalui perampasan) – dimana ruang reproduksi akademik didefinisikan oleh kepentingan hegemonik kapitalisme neoliberal.  Dalam analisisnya mengenai ‘kontradiksi kapitalisme’, David Harvey (2014) menjelaskan bahwa akumulasi melalui perampasan itu berlangsung melalui empat mekanisme utama; (1) praktik privatisasi, (2) manipulasi keuangan, (3) pengelolaan dan manipulasi krisis, (4) kebijakan redistribusi yang dilakukan oleh negara. Dalam konteks reproduksi akademik di Indonesia, posisi seorang akademisi – baik mahasiswa maupun terutama dosen dan peneliti – yang merupakan agen ‘perantara budaya’ (dalam bahasa Bourdieu –  cultural intermediaries  agents) – secara signifikan diletakkan di dalam agensi sosial yang mereproduksi politik keruangan – yang membolehkan berlangsungnya akumulasi melalui perampasan sebagaimana yang dijabarkan oleh David Harvey. Perguruan tinggi sejak lebih dari satu dekade mengalami privatisasi yang luar biasa (melalui perangkat legitimasi formal maupun melalui kelembagaannya secara politis – moral – akademis) – dimana bentuk-bentuk manajerial menjadi sesuatu yang diutamakan sebagai bagian dari kualifikasi kompetensi akademik seorang ilmuwan – dimana minat kajian diarahkan pada situasi krisis – yang mengharuskan akademisi untuk menjadi bagian dari agensi sosial ‘akumulasi melalui perampasan’ – karena jika tidak – ia sebagai subyek harus mengalami ‘keterasingan’ (alienasi) – suatu eksklusi sosial, kultural bahkan politis – dimana produktivitasnya melulu dimaknai oleh sistem renumerasi berbasis meritokrasi yang sesungguhnya tidaklah obyektif – dan pada gilirannya menjadikan semua aktor dalam agensi akademik ini hanya sebagai “sekrup-sekrup” mesin ekonomi neokapitalisme liberal. 

 

 

Daftar Pustaka

 

Amian, Katrin. 2008.  Rethinking Postmodernism(s): Charles S Peirce and the Pragmatist Negotiations of Thomas Pyncon, Toni Morrison, and Jonathan Safran Froer . Amsterdam and NY: Rodopi.

Ashman, Sam, and Alex Callinicos. 2006. “Capital Accumulation and the State System: Assessing David Harvey’s ‘The New Imperialism’ .” Historical Materialism  14 (4): 107–131.

Bourdieu, Pierre. 1993.  The Field of Cultural Production . Cambridge and Oxford: Blackwell Publisher

Bourdieu, Pierre.  Outline of A Theory of Practice (transl. Richard Nice).  Cambridge: Cambridge University Press

Gane, Mike. 2005. “Book Review: Bad Marxism: Capitalism and Cultural Studies.” European Journal of Communication  Vol 20 (3): 407-410. 

Hall, Gary and Birchall, Claire (eds). 2006.  New Cultural Studies: Adventure in Theory.  Edinburgh: Edinburgh University Press.

Harvey, David. 2003.  The New Imperialism . Oxford: Oxford University Press.

Harvey, David. 2007. “Neoliberalism as Creative Destruction.”  Annals of the American Academy of Political and Social Science  610: 22–44.

Harvey, David. 2014.  Seventeen Contradictions and the End of Capitalism . Oxford: Oxford University Press

Hutnyk, John. 2004.  Bad Marxism: Capitalism and Cultural Studies . London and Ann Harbor, MI: Pluto Books

Hutnyk, John. 2012. “Proletarianisation.”  New Formation  77 (77): 127-149. DOI: 10.3898/NEWF.77.08.2012.

Kemristek Dikti. 2016.  Panduan Kurikulum Penyusunan Pendidikan Tinggi.  Jakarta: Direktorat Pembelajaran – Kemristek Dikti.

Lloyd, David and Thomas, Paul. 1998.  Culture and the State . NY and London: Routledge.

Marx, Karl. 1976.  Capital I: A Critique of Political Economy . London: Penguin.

Mitchell, Don. 2006. “Book Review: Bad Marxism: Capitalism and Cultural Studies.”  Progress in Human Geography  Vol. 30 (5): 685-686

Samuel, Hanneman and Sutopo, Oki Rahadianto. 2013. “The Many Faces of Indonesia: Knowledge Production and Power Relations”.  Asian Social Science ; Vol. 9, No. 13: 289-298

Sunardi, ST. 2016. “Surplus Laporan, Defisit Perubahan: Dilema Perguruan Tinggi dalam Otoritarianisme Manajerial.”  Retorika – Jurnal Humaniora Baru  Vol. 4 No. 1: 1-12. 

Suryajaya, Martin. 2016.  Mencari Marxisme: Kumpulan Esai (ed. Rio Apinino).  Tangerang: Marjin Kiri.

 

Sumber laman online

( https://en.oxforddictionaries.com/definition/bad ). Diakses 20 Oktober 2017

(https://id.wikipedia.org/wiki/Indeks-h)/  Diakses 20 Oktober 2017.

(http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2017/07/infografis-SISTER-01-1.jpg). Diakses 20 Oktober 2017. 

(https://tirto.id/temuan-plagiat-disertasi-di-universitas-negeri-jakarta-cvrZ ). Diakses 1 September 2017.

Wednesday, June 09, 2021

Perempuan sebagai Ibu dalam Konstruksi Ekonomi dan Politik Global (2007)

Ditulis dan disampaikan oleh Tia Pamungkas (Arie Setyaningrum Pamungkas) pada pembukaan "Taman Pintar" pasca Gempa Yogya 2006 bersama Komunitas Sanggar Anak Akar, 22 Desember 2007

Setiap tanggal yang sama pada setiap tahunnya yaitu 22 Desember, kita selalu memperingati hari Ibu. Peringatan yang juga secara khusus menandakan “perempuan” sebagai subyek historis, politis dan sekaligus reflektif lain adalah Hari Kartini yang diperingati pada 21 April dengan.gema dan acara seremonial yang lebih banyak mendapat sorotan publik. Lepas dari perdebatan mengenai konstruksi politis mengapa kita harus menandai secara terpisah hari “istimewa” bagi kaum perempuan di negeri ini, kedua momentum tersebut setidaknya mengajak kita untuk merefleksikan kembali bagaimana perempuan sebagai “Ibu” dalam realitas sosial kita.

Sejarah eksistensial kaum perempuan sepanjang dua abad ini, setidaknya masih belum bisa menjawab dan menyelesaikan persoalan sosial, ekonomi dan politik pada tataran global dimana posisi perempuan sebagai Ibu tetap menjadi subyek pasif yang tidak berdaya terhadap perubahan sosial. Pukulan krisis ekonomi misalnya,  mengakibatkan banyak ibu-ibu miskin terpaksa meninggalkan peran nurturing dalam merawat dan membesarkan anak-anak mereka untuk bekerja merawat dan membesarkan anak-anak dari perempuan lain. Sama dengan yang banyak dialami para TKI Wanita kita yang pergi ke negeri Jiran meninggalkan keluarganya sendiri, bekerja pada keluarga lain demi mendapatkan penghasilan yang terkadang beresiko tinggi.  

Refleksi ini mengajak kita untuk melihat secara kritis bagaimana wacana publik mengenai kesetaraan perempuan saat ini masih kurang merepresentasikan kepentingan politis perempuan di struktur kelas bawah. Dari sini pula kita akan melihat bagaimana interaksi antara ekonomi dan politik global dengan wacana mengenai perempuan berimplikasi pada ketidakadilan sosial bagi sebagian besar kaum Ibu yang berada pada struktur kelas bawah.

Wacana mengenai perempuan yang banyak diusung oleh beragam gerakan perempuan di Indonesia secara  umum masih berfokus pada isu mengenai perluasan akses perempuan ke wilayah publik, perlawanan terhadap hegemoni struktur dan budaya patriarkhi serta isu mengenai dekonstruksi mitologi gender tentang unsur-unsur maskulinitas dan feminitas pada level wacana. Meskipun saat ini wacana mengenai perempuan tersebut bukan hanya melihat secara kritis domain publik melainkan juga domain domestik bagi perjuangan kesetaraan gender, pada kenyataannya ketika wacana tersebut dibenturkan pada realitas struktur kelas, maka perjuangan bagi kesetaraan gender yang ada selama ini lebih banyak menyentuh sisi kepentingan bagi perempuan yang berada di kalangan kelas menengah-atas. Tanpa bermaksud mengabaikan pentingnya penyebarluasan wacana mengenai perluasan partisipasi perempuan pada ranah publik, misalnya pada upaya penempatan wakil dan suara perempuan pada institusi politik serta kampanye perlindungan bagi kaum perempuan di domain kekerasan domestik, wacana yang mencoba merefleksikan posisi perempuan sebagai “Ibu” dalam relasinya dengan struktur politik dan ekonomi masih belum banyak dieksplorasi oleh para pemerhati dan pejuang kesetaraan gender.

Artikel kecil ini mencoba untuk melihat bagian yang “sedikit” terabaikan dari pembahasan mengenai ranah domestik yang juga bersifat politis ini dengan mengambil gambaran dari realitas keseharian para Ibu yang berada dalam strata sosial-ekonomi bawah.

Ketika gelombang pertama dari gerakan perempuan berimplikasi pada peningkatan partisipasi di sektor publik maka konsekuensi yang terjadi adalah semakin banyak perempuan yang bekerja dan mengurangi peran domestiknya.  Pekerjaan rumah tangga pun berpindah tangan ke perempuan lain yang tugasnya membantu para perempuan pekerja ini dalam menyelesaikan tugas domestiknya. Perempuan pengganti ini bisa  muncul dari keluarga perempuan pekerja tersebut atau bisa jadi dari luar keluarga yang memang sengaja bekerja dengan resiko meninggalkan keluarganya sendiri.  Kebanyakan perempuan pengganti ini berada dalam struktur kelas ekonomi  sosial di bawah perempuan pekerja. Ide bahwasanya peran nurturing seperti merawat dan membesarkan anak yang identik dengan identitas feminin dalam budaya masyarakat kita lebih banyak dimaknai sebagai peran kaum perempuan ketimbang kaum laki-laki. Secara ideal gender yang  memaknai identitas feminin dan maskulin sebagai sebuah konstruksi sosial melihat bahwasanya peran nurturing menjadi kewajiban bersama orang tua (parenting) yang bermakna bahwa Ayah juga memiliki kewajiban menjalankan peran nurturing ini. Kenyataan menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan pada strata kelas bawah di sektor publik melalui aktivitas ekonomi bukanlah didorong oleh adanya suatu kesadaran untuk memperoleh independensi melainkan lebih dikarenakan tidak ada pilihan lain dikarenakan keadaan ekonomi yang sulit. Kebanyakan dari mereka memasuki wilayah pekerjaan yang sesungguhnya merupakan ranah domestik dari keluaraga yang lain, sebagai perawat (baby sitter) ataupun pembantu rumah tangga. Seringkali pekerjaan yang dilakukan oleh para Ibu ini merupakan suatu pekerjaan yang amat melelahkan karena deskripsi pekerjaan yang begitu kompleks dan waktu bekerja yang tidak terbatas. Seringkali pula peran nurturing yang seharusnya mereka lakukan untuk anak-anak mereka sendiri diserahkan pada suami dan anggota keluarga besar (extended family) yang lain yang juga miskin.

Penjelasan di atas menunjukkan suatu ironi dimana peningkatan partisipasi kaum perempuan kelas menengah-atas di sektor publik dan konsekuensi atas terabaikannya peran domestik mereka ditangkap oleh kepentingan pasar dalam menyediakan peluang bagi penyediaan tenaga kerja di sektor domestik ini. Minimnya dukungan dan keterlibatan kaum suami dari para Ibu di kelas ekonomi menengah-atas sebagai cerminan atas belum berhasilnya pembentukan kesadaran atas kesetaraan gender dalam pembagian peran publik-domestik secara seimbang semakin membuka peluang pasar untuk menjadi perantara bagi jasa peran-peran domestik ini.

Di negara Dunia Ketiga dimana distribusi ekonomi dan kesejahteraan berlangsung secara tidak merata dan fungsi negara sebagai media penyokong kesejahteraan kelompok miskin belum sepenuhnya terselenggara, maka perhatian bagi isu social equality (keadilan sosial) menjadi terabaikan. Masalah ini memang begitu kontras didapati pada negara-negara berkembang yang memiliki karakteristik diatas, meskipun juga dapat ditemui dalam fenomena di negara-negara maju dimana gerakan feminisme dan wacana kesetaraan gender berdampak luas pada kebijakan ekonomi dan politik negara. Di Australia misalnya, implikasi dari peningkatan partisipasi publik perempuan mengakibatkan munculnya institusi publik yang melayani kebutuhan nurturing, yakni apa yang dikenal sebagai “child-care”. Pada awalnya, institusi ini merupakan jasa yang disediakan oleh pemerintah namun pada akhirnya pasar menangkap peluang bagi penyelenggaraan child-care ekslusif dimana sebagai besar pengasuh anak-anak ini adalah para ibu dari kelas bawah yang “terpaksa” menitipkan anak-anak mereka pada child-care dengan fasilitas terbatas yang disediakan oleh pemerintah. Pada akhirnya penyelenggaraan child-care oleh pemerintah distigmatisasi sebagai tempat membesarkan anak bagi kelompok minoritas miskin.

Dengan kata lain, perluasan partisipasi kaum perempuan di sektor publik tanpa diimbangi oleh suatu pelembagaan secara sosial dan kultural mengenai ide kesetaraan gender dalam peran nurturing yang juga seharusnya dilakukan ayah justru berdampak pada lahirnya satu bentuk ketidakadilan sosial yang  baru. Bentuk ketidakadilan sosial baru inilah yang harus dibayarkan oleh perempuan  khususnya para ibu di kelas bawah.

Sementara itu di negara-negara maju yang menganut politik kesejahteraan (welfare state), dimana negara berusaha menjadi media peredam konflik ketidakadilan sosial dan ketidakmerataan yang diakibatkan oleh kapitalisme, dukungan bagi mereka yang mengalami “proses dekomodifikasi” (terlempar dari proses komodifikasi atau aktivitas ekonomi yang produktif) amat besar, sebagaimana yang dapat dilihat pada kebijakan ‘social benefit’, yakni semacam tunjangan sosial. Kelompok marginal ini mengalami dekomodifikasi dikarenakan berbagai hal, terutama karena mereka ketidakberdayaan mereka untuk berkompetisi pada domain publik dan juga terlempar dari pasar. Perempuan khususnya para single mother atau “Ibu sebagai orang tua tunggal” adalah kelompok yang paling rentan terhadap proses dekomodifikasi ini. Di negara-negara maju, perjuangan kaum feminis telah berdampak pada dukungan yang amat kuat dari negara untuk secara khusus membantu para single mother ini untuk melakukan fungsi nurturing sekaligus membantu memberikan akses pemulihan proses komodifikasi atau keterlibatan mereka secara aktif dalam aktivitas produksi. Pada kasus semacam ini, maka gerakan perempuan dianggap mampu untuk merepresentasikan kepentingan dan wacana yang berkembang pada kelompok perempuan di kelas bawah sekaligus menjadikan gerakan perempuan sebagai gerakan yang merepresentasikan ide-ide humanis mengenai kesetaraan dan keadilan sosial secara general. 

Pentingnya melihat dan menangkap ekspresi dari wacana kepentingan kelas disini kemudian menjadi sangat relevan khususnya di dalam mengeksplorasi isu mengenai ketidakadilan sosial. Hal ini menjadi lebih relevan lagi ketika wacana mengenai partispasi politik perempuan bukan hanya menjadi agenda bagi kepentingan wacana perempuan di kelas tertentu saja. Oleh karena itu pentingnya studi yang mampu mengeksplorasi wacana perempuan (Ibu) pada strata kelas bawah menjadi sangat penting karena sebagian dari penduduk Indonesia yang miskin adalah kelompok perempuan. Peran negara dalam mengakomodasikan kepentingan perempuan pada strata kelas bawah kemudian perlu ditegaskan. Ini bukan lain karena keterbatasan dalam mengekspresikan kepentingan perempuan di strata bawah disebabkan berbagai hambatan sosial termasuk ketidakberdayaan mereka untuk memahami kepentingan mereka sendiri. Dukungan dari institusi di luar pemerintah seperti LSM yang memperjuangkan kepentingan kaum perempuan amat diharapkan bukan hanya dalam proses advokasi melainkan juga proses yang mampu memberikan pemberdayaan secara ekonomis dan politis bagi kaum perempuan di struktur kelas bawah.


Terimakasih kepada Ika Ayu, Yustina Neni dan Ibu Anggi Minarni. 

Arsip Komunitas "Jaringan Perempuan Yogyakarta" dan Komnas Perempuan (Kolektif Perempuan)

Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2009 
Tak Hanya Di Rumah: 
Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang

Data Tahunan Komnas Perempuan kembali mencatat kenaikan jumlah kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2009 ini, kasus yang terdata meningkat hampir 3 kali lipat, yaitu sebesar 143.586 kasus dari 54.425 kasus di tahun 2008. Peningkatan jumlah kasus yang terdata tidak lepas dari kemudahan akses data Pengadilan Agama (PA) sebagai implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan Pengadilan. Peningkatan ini juga ditengarai berkaitan dengan sejumlah faktor lain yang mendorong korban lebih mudah ‘bicara’ atau membuka kasus kekerasan yang dialaminya, misalnya liputan media yang juga meningkat tentang kekerasan terhadap perempuan.  

Rumah tangga masih menjadi lokus kekerasan yang paling sering dihadapi perempuan, yaitu mencapai hampir 95% atau 136.849 kasus.  Data kekerasan ini terutama diperoleh dari Pengadilan Tinggi Agama (64%), dan Peradilan Agama (30%), di samping dari pengada layanan yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Sebagian besar kasus kekerasan di dalam rumah tangga (96%) adalah kekerasan terhadap istri. Sementara itu, bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan seksual dan kekerasan psikis dimana masing-masingnya mencapai 48%. Usia korban terbanyak adalah dalam rentang 13 – 18 tahun

Relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki yang menjadi akar kekerasan terhadap perempuan mewujud di dalam rumah tangga dan di komunitas.  Tercatat 6.683 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas, yang mencakup sejumlah tindak kekerasan di antaranya kekerasan seksual, eksploitasi seksual anak, kekerasan di tempat kerja, kekerasan yang terjadi terhadap pekerja migran dan trafiking. Keengganan Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan substansial bagi pekerja Indonesia di luar negeri, termasuk dengan meratifikasi Konvensi  Internasional mengenai Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan keluarganya, tahun 1990 akan terus berkontribusi pada peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam relasi kerja. 

Sebanyak 54 kasus kekerasan tercatat di lakukan oleh negara. Salah satu kasus yang menonjol adalah kematian dari Ibu Lilis Lindawati, korban salah tangkap dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Tangerang tentang Prostitusi.  Ia meninggal dalam kondisi sakit-sakitan dan miskin akibat peristiwa yang ia alami itu. Komnas Perempuan mencatat Perda Tangegrang sebagai salah satu perda diskriminatif yang mengkriminalkan perempuan. Sekalipun peninjuan ulang perda diskriminatif menjadi bagian dari janji kampanye presiden terpilih dan agenda 100 hari, tidak satu pun kebijakan ini yang dicabut. Sebaliknya kami mendata adanya 13 perda dan 11 ranperda diskriminatif yang dimunculkan di tahun 2009. Selain itu, negara juga belum memberikan perlindungan kepada perempuan miskin yang berhadapan dengan hukum, serta kepada perempuan pembela HAM sekalipun pembelaan hak adalah bagian dari hak konstitusional warga negara (Pasal 28C(2) UUD 1945).

Namun, di tahun 2009 pula kami mencatat sejumlah terobosan yang dilakukan pihak negara, yaitu amandemen UU Kesehatan yang mengakui adanya hak reproduksi perempuan, Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang penerapan standar HAM dalam pelaksanaan tugas kepolisian,  dan MOU antara 5 lembaga negara dalam rangka perlindungan saksi korban. Pada tahun ini berdasarkan data dari lembaga pengada layanan juga diketahui semakin banyak lembaga yang menggunakan UU PKDRT dalam penanganan kasus, khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. 


Terimakasih untuk Mariana Aminnuddin dan Dewi Candraningrum 



Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...