Ditulis dan disampaikan oleh Tia Pamungkas (Arie Setyaningrum Pamungkas) pada pembukaan "Taman Pintar" pasca Gempa Yogya 2006 bersama Komunitas Sanggar Anak Akar, 22 Desember 2007
Setiap tanggal yang sama pada setiap tahunnya yaitu 22 Desember, kita selalu memperingati hari Ibu. Peringatan yang juga secara khusus menandakan “perempuan” sebagai subyek historis, politis dan sekaligus reflektif lain adalah Hari Kartini yang diperingati pada 21 April dengan.gema dan acara seremonial yang lebih banyak mendapat sorotan publik. Lepas dari perdebatan mengenai konstruksi politis mengapa kita harus menandai secara terpisah hari “istimewa” bagi kaum perempuan di negeri ini, kedua momentum tersebut setidaknya mengajak kita untuk merefleksikan kembali bagaimana perempuan sebagai “Ibu” dalam realitas sosial kita.
Sejarah eksistensial kaum perempuan sepanjang dua abad ini, setidaknya masih belum bisa menjawab dan menyelesaikan persoalan sosial, ekonomi dan politik pada tataran global dimana posisi perempuan sebagai Ibu tetap menjadi subyek pasif yang tidak berdaya terhadap perubahan sosial. Pukulan krisis ekonomi misalnya, mengakibatkan banyak ibu-ibu miskin terpaksa meninggalkan peran nurturing dalam merawat dan membesarkan anak-anak mereka untuk bekerja merawat dan membesarkan anak-anak dari perempuan lain. Sama dengan yang banyak dialami para TKI Wanita kita yang pergi ke negeri Jiran meninggalkan keluarganya sendiri, bekerja pada keluarga lain demi mendapatkan penghasilan yang terkadang beresiko tinggi.
Refleksi ini mengajak kita untuk melihat secara kritis bagaimana wacana publik mengenai kesetaraan perempuan saat ini masih kurang merepresentasikan kepentingan politis perempuan di struktur kelas bawah. Dari sini pula kita akan melihat bagaimana interaksi antara ekonomi dan politik global dengan wacana mengenai perempuan berimplikasi pada ketidakadilan sosial bagi sebagian besar kaum Ibu yang berada pada struktur kelas bawah.
Wacana mengenai perempuan yang banyak diusung oleh beragam gerakan perempuan di Indonesia secara umum masih berfokus pada isu mengenai perluasan akses perempuan ke wilayah publik, perlawanan terhadap hegemoni struktur dan budaya patriarkhi serta isu mengenai dekonstruksi mitologi gender tentang unsur-unsur maskulinitas dan feminitas pada level wacana. Meskipun saat ini wacana mengenai perempuan tersebut bukan hanya melihat secara kritis domain publik melainkan juga domain domestik bagi perjuangan kesetaraan gender, pada kenyataannya ketika wacana tersebut dibenturkan pada realitas struktur kelas, maka perjuangan bagi kesetaraan gender yang ada selama ini lebih banyak menyentuh sisi kepentingan bagi perempuan yang berada di kalangan kelas menengah-atas. Tanpa bermaksud mengabaikan pentingnya penyebarluasan wacana mengenai perluasan partisipasi perempuan pada ranah publik, misalnya pada upaya penempatan wakil dan suara perempuan pada institusi politik serta kampanye perlindungan bagi kaum perempuan di domain kekerasan domestik, wacana yang mencoba merefleksikan posisi perempuan sebagai “Ibu” dalam relasinya dengan struktur politik dan ekonomi masih belum banyak dieksplorasi oleh para pemerhati dan pejuang kesetaraan gender.
Artikel kecil ini mencoba untuk melihat bagian yang “sedikit” terabaikan dari pembahasan mengenai ranah domestik yang juga bersifat politis ini dengan mengambil gambaran dari realitas keseharian para Ibu yang berada dalam strata sosial-ekonomi bawah.
Ketika gelombang pertama dari gerakan perempuan berimplikasi pada peningkatan partisipasi di sektor publik maka konsekuensi yang terjadi adalah semakin banyak perempuan yang bekerja dan mengurangi peran domestiknya. Pekerjaan rumah tangga pun berpindah tangan ke perempuan lain yang tugasnya membantu para perempuan pekerja ini dalam menyelesaikan tugas domestiknya. Perempuan pengganti ini bisa muncul dari keluarga perempuan pekerja tersebut atau bisa jadi dari luar keluarga yang memang sengaja bekerja dengan resiko meninggalkan keluarganya sendiri. Kebanyakan perempuan pengganti ini berada dalam struktur kelas ekonomi sosial di bawah perempuan pekerja. Ide bahwasanya peran nurturing seperti merawat dan membesarkan anak yang identik dengan identitas feminin dalam budaya masyarakat kita lebih banyak dimaknai sebagai peran kaum perempuan ketimbang kaum laki-laki. Secara ideal gender yang memaknai identitas feminin dan maskulin sebagai sebuah konstruksi sosial melihat bahwasanya peran nurturing menjadi kewajiban bersama orang tua (parenting) yang bermakna bahwa Ayah juga memiliki kewajiban menjalankan peran nurturing ini. Kenyataan menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan pada strata kelas bawah di sektor publik melalui aktivitas ekonomi bukanlah didorong oleh adanya suatu kesadaran untuk memperoleh independensi melainkan lebih dikarenakan tidak ada pilihan lain dikarenakan keadaan ekonomi yang sulit. Kebanyakan dari mereka memasuki wilayah pekerjaan yang sesungguhnya merupakan ranah domestik dari keluaraga yang lain, sebagai perawat (baby sitter) ataupun pembantu rumah tangga. Seringkali pekerjaan yang dilakukan oleh para Ibu ini merupakan suatu pekerjaan yang amat melelahkan karena deskripsi pekerjaan yang begitu kompleks dan waktu bekerja yang tidak terbatas. Seringkali pula peran nurturing yang seharusnya mereka lakukan untuk anak-anak mereka sendiri diserahkan pada suami dan anggota keluarga besar (extended family) yang lain yang juga miskin.
Penjelasan di atas menunjukkan suatu ironi dimana peningkatan partisipasi kaum perempuan kelas menengah-atas di sektor publik dan konsekuensi atas terabaikannya peran domestik mereka ditangkap oleh kepentingan pasar dalam menyediakan peluang bagi penyediaan tenaga kerja di sektor domestik ini. Minimnya dukungan dan keterlibatan kaum suami dari para Ibu di kelas ekonomi menengah-atas sebagai cerminan atas belum berhasilnya pembentukan kesadaran atas kesetaraan gender dalam pembagian peran publik-domestik secara seimbang semakin membuka peluang pasar untuk menjadi perantara bagi jasa peran-peran domestik ini.
Di negara Dunia Ketiga dimana distribusi ekonomi dan kesejahteraan berlangsung secara tidak merata dan fungsi negara sebagai media penyokong kesejahteraan kelompok miskin belum sepenuhnya terselenggara, maka perhatian bagi isu social equality (keadilan sosial) menjadi terabaikan. Masalah ini memang begitu kontras didapati pada negara-negara berkembang yang memiliki karakteristik diatas, meskipun juga dapat ditemui dalam fenomena di negara-negara maju dimana gerakan feminisme dan wacana kesetaraan gender berdampak luas pada kebijakan ekonomi dan politik negara. Di Australia misalnya, implikasi dari peningkatan partisipasi publik perempuan mengakibatkan munculnya institusi publik yang melayani kebutuhan nurturing, yakni apa yang dikenal sebagai “child-care”. Pada awalnya, institusi ini merupakan jasa yang disediakan oleh pemerintah namun pada akhirnya pasar menangkap peluang bagi penyelenggaraan child-care ekslusif dimana sebagai besar pengasuh anak-anak ini adalah para ibu dari kelas bawah yang “terpaksa” menitipkan anak-anak mereka pada child-care dengan fasilitas terbatas yang disediakan oleh pemerintah. Pada akhirnya penyelenggaraan child-care oleh pemerintah distigmatisasi sebagai tempat membesarkan anak bagi kelompok minoritas miskin.
Dengan kata lain, perluasan partisipasi kaum perempuan di sektor publik tanpa diimbangi oleh suatu pelembagaan secara sosial dan kultural mengenai ide kesetaraan gender dalam peran nurturing yang juga seharusnya dilakukan ayah justru berdampak pada lahirnya satu bentuk ketidakadilan sosial yang baru. Bentuk ketidakadilan sosial baru inilah yang harus dibayarkan oleh perempuan khususnya para ibu di kelas bawah.
Sementara itu di negara-negara maju yang menganut politik kesejahteraan (welfare state), dimana negara berusaha menjadi media peredam konflik ketidakadilan sosial dan ketidakmerataan yang diakibatkan oleh kapitalisme, dukungan bagi mereka yang mengalami “proses dekomodifikasi” (terlempar dari proses komodifikasi atau aktivitas ekonomi yang produktif) amat besar, sebagaimana yang dapat dilihat pada kebijakan ‘social benefit’, yakni semacam tunjangan sosial. Kelompok marginal ini mengalami dekomodifikasi dikarenakan berbagai hal, terutama karena mereka ketidakberdayaan mereka untuk berkompetisi pada domain publik dan juga terlempar dari pasar. Perempuan khususnya para single mother atau “Ibu sebagai orang tua tunggal” adalah kelompok yang paling rentan terhadap proses dekomodifikasi ini. Di negara-negara maju, perjuangan kaum feminis telah berdampak pada dukungan yang amat kuat dari negara untuk secara khusus membantu para single mother ini untuk melakukan fungsi nurturing sekaligus membantu memberikan akses pemulihan proses komodifikasi atau keterlibatan mereka secara aktif dalam aktivitas produksi. Pada kasus semacam ini, maka gerakan perempuan dianggap mampu untuk merepresentasikan kepentingan dan wacana yang berkembang pada kelompok perempuan di kelas bawah sekaligus menjadikan gerakan perempuan sebagai gerakan yang merepresentasikan ide-ide humanis mengenai kesetaraan dan keadilan sosial secara general.
Pentingnya melihat dan menangkap ekspresi dari
wacana kepentingan kelas disini kemudian menjadi sangat relevan khususnya di
dalam mengeksplorasi isu mengenai ketidakadilan sosial. Hal ini menjadi lebih
relevan lagi ketika wacana mengenai partispasi politik perempuan bukan hanya
menjadi agenda bagi kepentingan wacana perempuan di kelas tertentu saja. Oleh
karena itu pentingnya studi yang mampu mengeksplorasi wacana perempuan (Ibu)
pada strata kelas bawah menjadi sangat penting karena sebagian dari penduduk
Terimakasih kepada Ika Ayu, Yustina Neni dan Ibu Anggi Minarni.
No comments:
Post a Comment