Saturday, March 06, 2021

Jejaring Biopolitics dalam Pembajakan Software di Asia Tenggara

Jejaring Biopolitics dalam Pembajakan Software di Asia Tenggara

(Artikel ini pernah dimuat di Newsletter Kunci Cultural Studies, 2005) 

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas  

Pendahuluan

Ambiguitas yang lahir dari proses globalisasi dalam praktek ekonomi dan kebudayaan, telah menciptakan ranah baru, yakni yang disebut oleh Michael Featherstone sebagai ‘budaya ketiga’ (the third culture). Budaya ketiga disini mengacu pada produk-produk globalisasi yang muncul dari proses ekonomi transnasional baru yang mentransendensikan poros batas-batas politik negara-bangsa. Dalam tesisnya mengenai fenomena ‘transnasional diaspora Cina’, Donald Nonini dan Aihwa Ong (1997) meletakkan fenomena ‘budaya ketiga’, sebagaimana yang dimaksutkan oleh Featherstone, sebagai pola-pola kapitalis global yang menyediakan wacana kultural, pengaturan sosial yang khusus, serta praktek subyektivitas modernitas Barat. Proses semacam ini oleh Nonini dan Ong diidentifikasi sebagai suatu pola ekonomi dan budaya ‘hybrid’ yang mengkombinasikan rasionalitas ekonomi melalui mobilisasi nilai-nilai budaya tertentu oleh sekelompok orang. Ambiguitas yang berlangsung dalam proses globalisasi pada sisi ini justru telah memperkaya strategi kebudayaan dan strategi kelas kelompok etnis perantauan tertentu, seperti misalnya etnis perantauan Cina. Artikel kecil ini hanya sebagian dari catatan hasil penelitian saya yang bertujuan untuk melihat sejauh mana tesis mengenai ambiguitas globalisasi berlangsung secara nyata (riil) di dalam praktek ekonomi sekaligus praktek kebudayaan, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.

Banyak orang di penjuru Nusantara kini mungkin tidak asing lagi mendengar nama salah satu lokasi pusat perdagangan komputer dan perangkat lunak (software) terbesar di Jakarta, sebut saja Mangga Dua. Juga, sudah menjadi rahasia umum kalau di pusat perdagangan komputer tersebut banyak produk ‘software bajakan’ yang dapat kita peroleh dengan harga jauh lebih murah daripada harga yang seharusnya. Diperkirakan jumlah uang yang beredar dalam industri pembajakan semacam ini di wilayah Jakarta saja sekitar lebih dari 1 milyar rupiah per hari-nya. Walaupun, belum ada studi yang mengkalkulasi secara pasti berapa jumlah uang yang beredar di dalam industri tersebut. Meskipun pemerintah Indonesia telah mengkampanyekan gerakan anti pembajakan dengan memberlakukan UU mengenai Hak Cipta (Intelektual), akan tetapi bisnis industri pembajakan software ini tetap saja tumbuh karena memiliki segmen pasar yang telah mapan sejak lebih dari satu dekade.

Ada beberapa perdebatan menarik dari fenomena bisnis pembajakan software komputer ini. Pertama, strategi ekonomi dan konstruksi budaya apa yang terbangun di dalam industri ‘pembajakan software’ ini mengingat bisnis ini digerakkan oleh sekelompok orang melalui pembentukan jaringan transnasional, dalam hal ini meliputi wilayah regional ASEAN. Kedua, struktur ekonomi-politik apa melatarbelakangi pesatnya pertumbuhan industri software bajakan ini meskipun bisnis ‘ilegal’ ini dibatasi oleh ketentuan hukum formal (UU Hak Cipta dan Intelektual) yang juga berlaku di tingkat lokal.

 

Kekuatan Biopolitics Global: Ikatan Paternal dalam Bisnis Software Bajakan

Studi etnografi yang saya kerjakan selama lebih dari setahun (sejak awal tahun 2004, hingga kini) khususnya di beberapa wilayah pusat perdagangan komputer di Jakarta dan selama dua minggu di Vietnam (Ho Chi Minh), telah menggiring saya pada asumsi bahwa industri pembajakan perangkat lunak ini melibatkan banyak orang dalam suatu pola hubungan interpersonal yang rumit tetapi saling terkait satu sama-lainnya. Pola hubungan yang berlangsung di dalam industri ini berlangsung dalam beberapa level. Dalam setiap level tampak bahwa tumbuhnya industri pembajakan perangkat lunak ini didukung oleh kinerja yang nyata dari berlangsungnya jejaring (networking) kelompok-kelompok tertentu, yang bukan hanya menguasai alih teknologi melainkan juga memahami strategi pemasaran di negara Dunia Ketiga, yang hingga kini masih bersikap ambivalen di dalam menerapkan ketentuan legal-formal UU mengenai Hak Cipta dan Intelektual.

Level pertama dalam jejaring itu adalah sekelompok orang yang menjalankan industri pembajakan melalui sistem programing yang menghasilkan produk software “crack” yakni dengan memecahkan semacam kode dan memberikan variasi kode-kode akses untuk meng-instal program itu ke dalam komputer, sehingga produk tersebut dapat diakses dan tidak dapat diidentifikasi sebagai produk ilegal apabila tersambung secara on-line di dalam jaringan internet. Keterlibatan sekelompok orang di dalam level pertama ini bersifat sangat tertutup sehingga informasi keberadaan mereka sulit dibuktikan secara empirik, tetapi riil (ada) di dalam setiap sumber informasi yang disampaikan oleh para informan yang berada di dalam level kedua jaringan ini. Dari beberapa sumber yang telah diwawancarai didapatkan informasi yang serupa, bahwa mereka yang berada di level pertama jaringan ini adalah suatu sindikat regional (internasional), dimana master-programming-nya justru tidak berpusat di Indonesia ataupun Vietnam, melainkan di negara tetangga, Singapura, yang justru sangat ketat memberlakukan UU Hak Cipta dan Intelektual. Mereka yang berada di dalam sindikat ini kemudian mengubah master-program software bajakan itu ke dalam industri manufaktur yang memperbanyak (menggandakan) produk-produk software bajakan, khususnya yang berlokasi di wilayah Indonesia dan Vietnam.

Level kedua di dalam jejaring adalah sekelompok orang yang menjalankan bisnis memperbanyak (menggandakan) produk-produk software crack tadi dan mendistribusikannya kepada para pemilik usaha (toko) bisnis komputer. Berlangsungnya pola hubungan antara kelompok yang berada di wilayah level pertama dan kedua dapat dikatakan menyerupai sindikat perdagangan Narkoba, yakni mereka yang berada di level kedua hanya membeli dan menerima produk software bajakan dari tangan para perantara semata. Meskipun, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka yang berada di dalam level kedua juga merupakan bagian dari jejaring kelompok di level pertama. Sehingga, keberadaan kelompok level pertama amat sulit dilacak dan hanya diketahui dari cerita mulut-ke-mulut saja. Informasi mengenai keberadaan para sindikat regional di level pertama ini diperkuat pula dari berbagai cerita yang disampaikan oleh para pedagang software komputer bajakan di salah satu wilayah perdagangan komputer terbesar di ibu kota Vietnam, Ho Chi Minh. Sementara level ketiga, adalah jaringan yang sudah semakin terdiferensiasikan karena meliputi sejumlah besar pedagang yang menjual produk software ini setelah melalui berbagai tangan yang digerakkan oleh mereka yang berada di dalam jejaring level kedua.

Mengingat kompleksnya obyek kajian di dalam penelitian ini, maka saya hanya memfokuskan diri mengkaji mereka yang berada wilayah level kedua jejaring bisnis industri pembajakan software komputer ini. Hal yang paling menarik dari fenomena mereka yang terlibat di dalam level kedua jaringan bisnis ini adalah realitas berlangsungnya pola kekerabatan (kinship) di dalam menggerakkan praktek ekonomi pembajakan perangkat lunak. Sebagian besar dari mereka yang terlibat disini adalah etnis perantauan Cina yang memiliki jaringan lintas komunikasi di berbagai wilayah khususnya di Asia Tenggara. Mereka mengakui bahwa hal yang paling penting dan mendasar di dalam bisnis ini adalah modal sosial (social capital) berupa kepercayaan dan modal budaya (cultural capital) berupa ikatan yang didasari oleh sentimen etnisitas, sehingga modal kapital (uang) justru bukan hal yang paling utama.

Pertanyaan berikutnya yang muncul dari studi ini adalah mengapa modal sosial dan kultural menjadi basis dari industri semacam ini? Struktur dan konstruksi sosial macam apa yang telah memungkinkan bisnis yang dilandasi oleh modal sosial dan budaya ini berlangsung sehingga menjadi suatu bentuk peralihan kapitalisme dari produksi industri massa ke rezim-rezim akumulasi ekonomi global (regional) yang fleksibel (the globalised regimed of flexible accumulation).

Konteks yang menunjuk pada fenomena bahwasanya sebagian besar bisnis ini baik di Indonesia maupun di Vietnam, dikuasai oleh etnis perantauan Cina, memperlihatkan kekuatan politik budaya yang berlangsung dalam kapitalisme global melalui pergerakan diasporik. Pergerakan diasporik (diasporic movement) yang berlangsung di dalam proses globalisasi bukan hanya memindahkan orang dan investasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, melainkan juga menciptakan suatu politik budaya yang secara khusus terintegrasi untuk memobilisasi sekelompok orang ke dalam jaringan dan pembagian kerja untuk memperoleh peluang bagi keuntungan ekonomi (kesejahteraan).

Dalam konsepnya mengenai ‘bio-politics’, Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan moderen dibangun melalui populasi dan produktivitas yang dilahirkan dengan menggerakkan populasi bagi tujuan kesejahteraan. Foucault disini menekankan bahwa ‘kekuatan bio-politics’ (bio-politics power) dibangun diatas relasi-relasi produktif yang dijalani melalui ritual bahkan dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan. Sehingga, aktivitas ekonomi dalam struktur suatu masyarakat dibangun dari aktivitas ekonomi keluarga yang produktif untuk mencapai kesejahteraan ekonomi. Menurut Aihwa Ong (1999), nilai-nilai keluarga, pembentukan jaringan melalui prosedur kekerabatan (guan-xi), sentimen etnisitas (ganqing), dan kepercayaan (xinyong) merupakan elemen-elemen fundamental etika kapitalisme Cina yang menyuburkan kekuatan ekonomi politik etnis perantauan Cina sebagai suatu kekuatan bio-politics global. Aihwa Ong melanjutkan bahwa etika Konfusianisme yang menjunjung tinggi etika kekeluargaan (familial ethic) seperti bentuk-bentuk kepatuhan  dan ketaatan (xiao) menjadi basis moral bagi individu untuk memasuki kapitalisme. Dalam etika ini, peran dan hubungan interpersonal di dalam keluarga merupakan hal yang esensial dalam membentuk struktur komunitas politik dan ekonomi. Sehingga bangunan struktur suatu masyarakat bukan dibangun diatas kepentingan dan perjuangan individu-individu (Mak dan Chan, 1995) melainkan kolektivitas kekeluargaan. Suatu bangunan bio-politics masyarakat yang terstruktur mulai dari pondasi unit terkecil masyarakat, yakni keluarga dan jejaring yang terbangun melalui ikatan kekeluargaan.

 

Peluang Kapitalisme Global dalam Ambiguitas Politik-Ekonomi Negara Dunia Ketiga

Terbangunnya jaringan di dalam aktivitas ekonomi global etnis perantauan Cina, khususnya di dalam fenomena industri pembajakan komputer di Asia Tenggara ini telah menunjukkan berlangsungnya elemen kapitalisme transnasional Cina, yakni: (1) strategi memperluas jaringan (strategies of expanding networks); dan (2) peluang-peluang yang diciptakan oleh kapitalisme global (opportunities created by the global capitalism). Dalam elemen pertama, sebagaimana telah diilustrasikan di muka, jaringan bisnis (industri pembajakan software komputer) dijalankan melalui suatu hubungan kekerabatan yang menghubungkan sekelompok orang dalam ikatan tersebut di satu wilayah negara tertentu dengan kerabat lainnya di wilayah negara lain. Sementara elemen peluang yang diciptakan oleh kapitalisme global juga turut mendorong pergerakan dan pertumbuhan jaringan ini sebagai akibat dari efek ambigu globalisasi ekonomi yang dipraktekkan oleh rezim-rezim politik (pemerintahan) tertentu, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga.

Perdebatan mengenai etika moralitas dalam pemberlakuan Hak Cipta dan Intelektual berbagai produk teknologi tinggi hingga kini masih menjadi wilayah perdebatan intelektual yang belum usai. Sebagian orang yang mengadvokasi isu kesetaraan dalam mengakses pengetahuan dan teknologi acapkali menuduh kampanye pemberlakuan Hak Cipta dan Intelektual yang dipropagandakan oleh perusahaan multi nasional (MNCs), seperti kampanye ‘Microsoft’ untuk memboikot dan mengupayakan sanksi legal terhadap berbagai bentuk produk bajakan, sesungguhnya hanya merupakan strategi manipulasi. Yakni manipulasi untuk mengontrol sumber-sumber pemasukan ekonomi tanpa memperdulikan distribusi kesetaraan akses informasi dan pengetahuan.

Lepas dari perdebatan yang belum usai ini, fenomena berkembangnya industri pembajakan produk-produk teknologi tinggi di Negara Dunia Ketiga menunjukkan adanya suatu pola politik-ekonomi (political economy) yang bersifat ambigu. Ambiguitas ini tampak dalam kampanye dan upaya pemberantasan produk teknologi bajakan yang tidak secara serius ditangani oleh pemerintah di negara-negara tersebut. Keberadaan perangkat legal (UU) hanya merupakan suatu bentuk formalisasi hukum yang tidak memiliki kekuatan sanksi, baik secara ekonomis maupun secara politik. Ambiguitas ini dapat dipahami karena industri bajakan semacam ini juga ditengarai turut memberi kontribusi bagi produktivitas ekonomi di tingkat lokal. Sedangkan di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa mahalnya biaya yang harus dikonsumsi untuk teknologi canggih semacam itu akan semakin mempersulit kesetaraan akses informasi dan pengetahuan bagi mayoritas populasi penduduk di Negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia. Kondisi ambigu di dalam praktek politik ekonomi semacam ini turut menciptakan peluang-peluang strategis bagi tumbuhnya industri (bisnis) pembajakan produk-produk teknologi canggih. Peluang yang lahir akibat adanya ambiguitas dari polarisasi kesejahteraan yang tidak seimbang khususnya di Negara Dunia Ketiga inilah yang menjadi basis bagi perluasan jaringan bisnis produk software bajakan secara global. Negara Dunia Ketiga menjadi pasar yang sangat strategis bagi konsumsi produk-produk semacam itu.

Fenomena ini menggiring kita pada suatu perdebatan baru mengenai apa dan bagaimana seharusnya instrumen demokrasi berlangsung di dalam budaya teknologi. Yakni sebagai suatu instrumen yang menjamin kesetaraan distribusi informasi dan pengetahuan secara global. Penekanan pada aspek legalitas semata hanya berasosiasi pada pengertian bahwa konsumsi atas pengetahuan dan informasi merupakan bagian dari hak atas properti yang berdampak pada keuntungan secara individual semata, bukan pada sesuatu yang berdampak pada kesejahteraan secara kolektif (kesejahteraan disini, bukan hanya dalam pengertian secara material saja).

Jadi, dapat dikatakan bahwa suburnya industri pembajakan produk teknologi canggih bukan hadir semata-mata dari motivasi ekonomi yang ditumbuhkan secara kolektif oleh sekelompok orang saja, melainkan suatu bentuk resistensi atas hegemoni ekonomi industri kapitalisme global yang justru telah menciptakan ambiguitas di dalam praktek ekonomi dan politik di wilayah-wilayah yang rentan didominasi oleh kekuatan ekonomi dan politik industri teknologi tinggi kapitalisme global.

 

Referensi:

Featherstone, Michael, 1990. Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernity: A Theory, Culture and Society, Special Issues. London: Sage.

Foucault, Michel, 1980. Truth and Power, Pantheon Book, New-York

Mak, Anita and Helen Chan, 1995. Chinese Family Values in Australia, dalam Families and Cultural Diversity in Australia, editor Robyn Hartley. Sydney: Australian Institute of Family Studies.

Nonini, Donald, 1997. Underground Empires: The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism. New York: Routledge.

Nonini, and Aihwa Ong, 1997. Chinese Transnationalism as an Alternative Modernity, dalam Underground Empires: The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism, editor Donald Nonini. New York: Routledge

Ong, Aihwa, 1999. Flexible Citizenship: The Cultural Logics of Transnationality. London: Duke University Press, hal. 110-136.

Sastra Banding dalam Wacana Relasi Kekuasaan dan "Perjuangan Identitas"

Sastra Banding dalam Wacana Relasi Kekuasaan dan "Perjuangan Identitas" 

(Pengantar untuk Sastra Modern Indonesia menurut Kajian Budaya)

oleh Arie Setyaningrum Pamungkas

 

Di dalam pengantar buku “Sastra Interdisipliner” ada penekanan bahwa sastra banding merupakan suatu metode memahami karya kesusastraan sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari ekspresi kemanusiaan. Dari sini, kita melihat relasi yang erat antara sastra sebagai suatu narasi dengan sejarah. Bahwasanya narasi memberi pengaruh pada perjalanan sejarah manusia maupun sebaliknya sejarah memberikan pengaruh pula pada perkembangan narasi dan wacana.  Meski demikian, komentar di dalam makalah ini tidak akan melihat secara spesifik manakah yang memiliki legitimasi pengaruh yang paling kuat; apakah pengaruh narasi terhadap perubahan sejarah; ataukah pengaruh perjalanan sejarah terhadap perkembangan narasi. Ini tidak lain karena perdebatan semacam itu seringkali menjadi wilayah pemuasan intelektual semata dan kadangkala mengabaikan persoalan esensial yakni bagaimana narasi yang dihadirkan melalui karya kesusastraan berperan secara signifikan bagi perubahan sosial. Karenanya, sependapat dengan Julia Kristeva (1986) diskusi dalam makalah ini merupakan bagian dari menghadirkan perdebatan wacana lewat interpretasi yang beragam atas teks dan bagaimana interpretasi yang beragam tersebut di dalam pembahasan sosiologis mampu menghadirkan peta relasi kekusaan, karena wacana merupakan wilayah pertentangan mengenai suatu kebenaran relatif (discourse is a field of competing a relative truth). Pendapat ini didasari oleh suatu argumen, bahwa pengetahuan tidak seharusnya diperlakukan sebagai suatu kebenaran obyektif, melainkan pengetahuan lahir sebagai suatu produk kita mengkategorisasikan dunia melalui apa yang disebut sebagai “discursive analytical terms”.

 Pengaruh studi kesusastraan (literary studies) terhadap wacana mengenai relasi kekuasaan dan  perjuangan identitas mengemuka akhir-akhir ini melalui perkembangan teori poskolonial (postcolonial theory) yang awal mulanya dibangun melalui studi interpretatif terhadap karya kesusastraan “Barat” (Western) yang memfokuskan setting narasinya pada konteks Asia (Orientalism). Edward Said (lewat studi atas novel-novel Barat seperti yang dihasilkan antara lain oleh Flaubert, Austen, Conrad, de Nerval) menggagas teori mengenai Orientalisme dengan asumsi bahwa ada kaitan erat antara imperialisme Barat dengan unsur-unsur yang didukung oleh kebudayaan Barat. Melalui analisa Foucaldian tentang relasi kekuasaan, Said (1995) mencoba memetakan bagaimana “Timur” telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek imperialisme Barat, dimana kehendak untuk menguasai (dominasi) dijalankan secara manipulatif bahkan seringkali melalui proses inkorporasi (incorporated) budaya hegemonik Barat dengan unsur perbedaan yang secara laten dimiliki oleh kelompok sub-ordinan (Timur). Tesis Said mengenai Orientalisme ini dianggap terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan “Timur” sebagai subyek pasif yang sama sekali tidak memiliki ruang ataupun bentuk-bentuk artikulatif dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi peradaban Barat, meski begitu setidaknya studi Said telah membuka suatu cakrawala baru mengenai “bagaimana kita mengkategorisasikan dunia melalui pengalaman kita melihat dunia”.

Homi Bhabha dan Gayatri Spivak, kemudian mengembangkan gagasan mengenai studi poskolonial dengan fokus pada studi representasi, yakni apa yang kini dihadirkan sebagai bagian dari wajah dunia. Bhaba menekankan bahwa, apa yang dihadirkan saat ini di dunia merupakan perwujudan representasi dari budaya hybrid (cultural hybrids). Hybridity mendeskripsikan bagaimana wacana mengenai kolonial dan imperial secara inheren bersifat tidak stabil bahkan “split”, sehingga  setiap praktek dari dominasi,  bahasa menjadi wujud dari  hibridity itu sendiri (Bhabha, 1994). Analisis Bhabha ini didasari oleh studinya mengenai stereotipe kolonial dimana dalam konteks persebaran otoritas imperial, misalnya stereotipe kekejaman kebangsawanan (the nobel savage) dan kecurangan timur (the wily oriental) dikonstruksikan sebagai suatu “sifat yang alamiah” dan konstruksi ini dikonfirmasikan terus-menerus oleh para kolonialis (coloniser). Dalam penjelasan yang lain, Bhabha menggambarkan streotipe tersebut seringkali bersifat kontradiktif, dimana subyek kolonial (colonial subject) yang “kejam” digambarkan sebagai “para abdi yang patuh dan taat”(karena mereka adalah the bearer of food), mereka seringkali berjiwa mistis dan berfikir secara primitif sehingga karenanya adalah subyek yang tidak berdosa (innocent) 

 Ambivalensi relasi yang dilahirkan dalam konteks kolonialisme ini melahirkan struktur agensi baru sebagaimana yang ditegaskan oleh Spivak sebagai suatu transformasi yang memungkinkan kondisi dari suatu yang mustahil menjadi niscaya (the transformation of condition of impossibilty into possibilty). Suatu gambaran menarik mengenai bagaimana suatu kondisi yang mustahil menjadi suatu yang mungkin terjadi diilustrasikan oleh Bhabha dalam interpretasi-nya terhadap sekelompok orang-orang desa di luar kota Delhi pada tahun 1817. Para penduduk desa bertahan pada tradisi vegetarian meskipun mereka telah masuk Kristen, dikarenakan argumen bahwa mereka hanya layak menerima sakramen apabila mereka beriman pada hari akhir (evangelical utterance), dan mereka yang beriman bukan muncul dari sekelompok orang pemakan daging (Bhabha, Signs Taken for Wonders, 1994, p.102). Bhabha menggambarkan situasi ini sebagai suatu perlawanan yang luar biasa, karena ketika penduduk lokal (native) menginginkan Gospel yang bersifat lokal (an Indianised Gospel), mereka menggunakan unsur hibridity sebagai cara mempertahankan kekristenan mereka; yang ini diartikan sebagai suatu transformasi dari bentuk konversi yang mustahil menjadi niscaya. Dari konteks ini teori mengenai hidridity dipahami bukan hanya sebagai suatu peralihan dua wujud yang berbeda menjadi suatu wujud baru, melainkan juga melahirkan bentuk-bentuk resistensi baru dan juga bentuk-bentuk negosiasi baru (Spivak, sebagaimana yang dikutip dalam Bart Moore dan Gilbert, 1997). Melalui struktur agensi baru ini, relasi kekuasaan tidak lagi dikacamatai sebagai bentuk hegemoni lama dimana unsur budaya dominan secara represif memaksakan pengaruhnya secara total terhadap unsur budaya subordinan, karena relasi kekuasaan didalamnya bersifat dinamis sehingga kompetisi antara unsur-unsur kebudayaan memustahilkan absolutisme  dalam praktek kebudayaan.

Ambivalensi relasi dalam konteks poskolonialisme juga melahirkan bentuk-bentuk baru wacana mengenai “perbedaan” sebagai suatu medan bagi perjuangan identitas (a field of identity struggle).  Perspektif poskolonial secara metodologis telah memungkinkan (enabling) dikotomi kategori orientalis mengenai “majikan-budak (master-slaves), penjajah-yang dujajah (coloniser-colonised), kulit putih-hitam (white-black), mereka yang beradab-tidak beradab (civilised-uncivised)” dimana kategori “the other” yakni mereka yang marginal secara artikulatif merupakan fokus bagi analisa kritis dimana konteks modernitas lebih dimaknai sebagai wilayah pertentangan bagi eksistensi kelompok marginal (subaltern group). Spivak menggambarkan “subaltern group” sebagai  orang-orang biasa yang jauh dari pusaran pertentangan wacana dimana kepentingan artikulatif mereka senantiasa dimediasi oleh kelompok-kelompok lain yang lebih dominan misalnya, kalangan intelektual (akademisi), politisi, para administrator dan institusi lain (Spivak, Can the Subaltern speak?, 1988). Dalam studi-nya mengenai “disenfranchised women” (kaum wanita yang kehilangan suara/hak-nya), Spivak mengilustrasikan bahwa dalam sekelompok perempuan India “Sati” (yakni para janda yang mengorbankan dirinya melalui kematian / bunuh diri), seringkali diam dan tidak berdaya, tidak lain karena suara mereka tidak pernah diberdayakan. Dari sini, ada suatu mata rantai yang hilang dimana kepentingan artikulasi seringkali terdistorsi dan bahkan lenyap dari wacana dominan karena tergantikan oleh media-media artikulasi lain (intelektual, institusi patriarkhis, administrator, politisi dan lain-lain) yang memiliki kepentingan kekuasaan terhadap kompetisi wacana dominan. Studi Spivak inilah yang kemudian menginisiasi wacana mengenai kritik poskolonial untuk “merekam suara mereka yang diam” (to record the silence) sehingga “perbedaan”  memiliki  ruang artikulatif bukan hanya untuk dipahami  tetapi juga untuk diakui, pada konteks inilah perjuangan bagi identitas dimunculkan.

Sumbangan teori poskolonial telah memungkinkan penelusuran lebih jauh mengenai bagaimana wacana dominan atau sebaliknya wacana kelompok subaltern (penulis lebih sepakat dimaknai sebagai kelompok orang pinggiran) diartikulasikan melalui karya sastra. Perspektif sosiologi budaya yang menekankan pada bagaimana suatu makna diciptakan “meaning making process” menurut Spillman (2002) telah memungkinkan kajian sosiologis bagi proses pembentukan makna melalui setidaknya tiga metode. Pertama, “meaning making process on the ground”, dimana makna tercipta melalui interaksi individual dalam keseharian. Kedua, “meaning making process within the field of network or institution of cultural producer”, dimana dalam proses ini produk-produk sosial misalnya karya sastra diuji (examined) pada konteks sosial tertentu ketika karya tersebut diciptakan. Dalam metode ini, pendekatan sosiologi historis diperlukan untuk penelusuran dampak dari konteks yang melatarbelakangi dan yang secara institusional melahirkan wujud kebudayaan. Ketiga, “meaning making on the text” yang memfokuskan analisa tekstual yang menjelaskan struktur internal dimana “makna” diproduksikan.

Melalui pendekatan sosiologi budaya (cultural sociology), budaya dapat dipandang sebagai suatu relasi konsensus dan sekaligus relasi kekuasaan. Melalui kajian sosiologi budaya, misalnya kita bisa menganalisis karya-karya sastra Indonesia posmodern, seperti yang dihadirkan dalam novel-novel Ayu Utami, atau penulis pop culture seperti Dee. Konteks perubahan global dan juga paradoks kebudayaan yang dihasilkan oleh globalisasi melalui wujud global di ranah lokal dan sebaliknya wujud lokal di ranah global menjelaskan dimensi mengenai bagaimana relasi kekuasaan, yang direpresentasikan melalui ekspansi pasar. Dalam novel Dee, “Supernova” dan “Bodhi”, misalnya memunculkan pertentangan-pertentangan mengenai identitas kelompok “subculture” yang lahir sebagai wujud ambiguitas modernitas sebagai sebuah proyek kemanusiaan yang gagal melakukan pencerahan (teknologi dan pengetahuan bukan lagi sebagai alat pembebasan dari penindasan, melainkan muncul sebagai sekrup-sekrup kapitalis mutakhir yang menindas ekspresi kemanusiaan). Atau Ayu Utami yang memunculkan seksualitas sebagai hasrat tersembunyi kaum perempuan dalam Saman, misalnya,merupakan wilayah “tabu” dalam wacana tentang perempuan Asia (Indonesia) karena wilayah pembicaraan ini acapkali lebih merupakan apa yang Spivak katakan sebagai wacana kelompok yang diam karena stigmatisasi sosial membuat wacana ini mustahil dimunculkan secara terbuka.  Karya sastra dengan demikian, merupakan kajian sosiologis yang merupakan wujud ekspresi kebudayaan atas perubahan sosial yang demikian deras memunculkan suatu bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan baru (dalam pengertian hibridity) dan ruang-ruang artikulatif baru yang seringkali tidak hanya berhenti pada proses refleksi semata, melainkan juga bagaimana bentuk-bentuk kebudayaan mampu memotivasi perubahan sosial.

Referensi:

Bhabha, Homi, 1994. The Location of Culture, Routledge, London

Hall, Stuart, 1996. Who Needs Identity, in Hall and Du gay, Questions of Culture Identity, Sage, London.

Jorgensen and Philips, 2003. Discourse Analysis as Theory and Method, Sage publication, London.

Kristeva, Julia, 1986. Word, Dialogue and Novel, in Moi (ed), The Kristeva Reader, Oxford Blackwell, Oxford. 

Moore-Gilbert, 1997. Postcolonial Theory, Verso, London

Spillman, Lynn, 2002. Cultural Sociology, Blackwell Readers in Sociology, Massachusetts.

Spivak, Gayatri, 1988. Can Subaltern Speak, in Nelson and Grossberg (eds), Marxism and the Interpretation of Culture, University of Ilinois Press, Chicago.

Spivak, Gayatri, 1988. In Other World, Routledge, New York.

 

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...