Thursday, April 15, 2010

Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik Poskolonial*

Oleh
Arie Setyaningrum Pamungkas








Pengantar

Kemenangan kelompok konservatif, partai Republik dalam Pemilu di Amerika Serikat tahun 2004 yang memilih kembali George W Bush sebagai presiden cukup mengejutkan sebagian orang. Bagi mereka, kemenangan Bush merupakan suatu ironi dalam demokrasi Amerika yang berumur lebih dari dua abad itu. Salah satu argumen mereka karena sebagian besar dari pemilih (voters) yang memberikan suara-nya bagi Bush justru datang dari kelompok kelas pekerja (working class) yang selama ini justru kurang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan Bush yang dulu merupakan pemilih tradisional bagi partai yang pro-terhadap pergerakan buruh, yakni partai Demokrat, oposisi Bush. Hal yang sama juga terjadi di Australia dimana Partai Buruh kalah dalam pemilu yang dimenangkan kembali oleh John Howard dan partai Liberal berhasil mempertahankan kekuasaannya selama hampir satu windu. Di Inggris, meskipun partai Buruh memenangkan kembali Pemilu, akan tetapi banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa Partai Buruh Inggris sudah tidak lagi mencerminkan karakteristik partai politik-kiri. Hal ini ditandai dengan berbagai kebijakan yang berorientasi pada pasar, yang dulu justru diperjuangkan oleh kelompok konservatif. Sementara di belahan bumi selatan, negara-negara Dunia Ketiga baru mulai merayakan ‘demokrasi’ liberal di tengah-tengah ketidak-pastian dalam peta politik-ekonomi global yang secara potensial membawa resiko di dalam relasi vertikal antara ‘state-citizens’, maupun resiko sosial lainnya yang bersifat horisontal (seperti misalnya, konflik antar anggota masyarakat).
Resiko sosial baik dalam relasi vertikal maupun horisontal suatu negara- bangsa kini juga ditandai oleh tuntutan bagi ruang politik yang lebih luas bagi praktek-praktek multikulturalisme. Meskipun, praktek multikulturalisme bukan berarti tidak melahirkan resiko sosial lain yang tersendiri, misalnya potensi konflik dalam kemunculan politik etnisitas, hegemoni budaya-kelompok mayoritas atau sebaliknya, opresi (penindasan) budaya-kelompok minoritas, dan lain-lain. Kemenangan rezim politik di berbagai belahan dunia masa kini merupakan wujud dari kemenangan ‘politik representasi’ (the politics of representation). Politik representasi merupakan konstruksi politik yang memungkinkan sekelompok orang mengidentifikasikan diri mereka secara simbolik sebagai bagian dari suatu kolektivitas tertentu dimana praktek dalam proses identifikasi itu dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politik. Kemenangan rezim Bush dan sekutu-sekutunya bukan hanya merupakan kemenangan simbolis melainkan juga kemenangan politik secara riil dari sekelompok orang yang mengusung wacana politik persebaran ketakutan melalui isu ancaman-ancaman baru bagi terjadinya benturan dalam peradaban manusia, sebagaimana yang direpresentasikan melalui praktek terorisme (Noam Chomsky, 2004). Bekerjanya politik representasi juga kita saksikan di Indonesia, khususnya dalam kesempatan Pemilu dimana SBY memenangkan citra-nya sebagai ‘representasi orang-biasa’ dan meruntuhkan citra Megawati sebagai ‘representasi Wong-Cilik’.
Politik representasi merupakan suatu konsep yang dikembangkan dari pemikiran (ide) mengenai ‘representasi’ oleh Stuart Hall (1997). Konsep ini dipahami sebagai suatu rekayasa konstruksi sosial yang dimungkinkan melalui bekerja-nya sirkuit kebudayaan dalam melahirkan produksi dan reproduksi makna atau pencitraan yang mampu menciptakan suatu opini publik, atau menentukan posisi subyektivitas seseorang di dalam ruang dan relasi sosialnya. Hall, melanjutkan bahwa bekerja-nya sirkuit kebudayaan yang melahirkan ‘representasi’ merupakan suatu relasi sinergis (timbal-balik) antara komponen-komponen yang melibatkan regulasi (pengaturan-pengaturan) dan siklus konsumsi-produksi di dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, serta interaksi ketiganya (regulasi-produksi-konsumsi) dalam membentuk identitas kita.
Dalam konteks di Amerika Serikat pasca tragedi 11 September 2001, dukungan para kelas pekerja bagi rezim Bush diperoleh melalui politik representasi atas isu-isu yang dianggap ‘mengancam’ identitas kolektif sekelompok orang, misalnya ancaman terhadap nasionalisme Amerika dan ancaman-ancaman yang dianggap dapat mengikis otoritas kolektivitas tradisional lainnya (keluarga atau agama/gereja). Hal ini misalnya ditandai dalam persaingan kampanye kandidat presiden antara John Kerry (partai Demokrat) dan George Bush (partai Republik) dalam menyikapi isu-isu pro-kontra terhadap gerakan politik kaum homoseksual, atau bahkan pro-kontra terhadap isu mengenai praktek aborsi yang selama ini banyak didukung oleh kelompok feminis yang melihat tubuh perempuan sebagai sarana bagi komodifikasi politik dan intervensi negara. Banyak kelas pekerja di Amerika saat ini menganggap bahwa ancaman bagi dominasi peradaban mereka dikarenakan ambiguitas yang dilahirkan oleh demokrasi liberal sehingga memungkinkan munculnya otoritas baru yang dianggap mengancam eksistensi otoritas lama seperti institusi agama maupun keluarga. Oleh karena itu, para pendukung Bush justru sebagian besar berasal dari latar belakang kelas pekerja-tradisonal (seperti petani) yang mendukung upaya untuk melanjutkan proyek penemuan kembali ‘patriotisme’ Amerika. Wacana mengenai ancaman terhadap kolektivitas (khususnya ancaman terhadap nasionalisme) di Amerika Serikat bukan hanya menjadi komoditas politik di dalam negeri mereka saja, melainkan juga diproyeksikan ke dalam hubungan luar negeri mereka.
Di Indonesia, transisi demokrasi yang salah satunya ditandai oleh Pemilu Presiden secara langsung juga telah memungkinkan ruang yang lebih luas bagi dimulainya suatu mekanisme bekerjanya politik pencitraan (politics of image) bagi dukungan populis untuk suatu kekuasaan yang dianggap mampu membuka ruang bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi publik. Sementara itu, agenda pembangunan demokrasi di banyak negara-negara Dunia Ketiga saat ini tidak bisa dilepaskan dari proyek globalisasi ekonomi yang dimotori oleh negara-negara maju (Barat), yang secara aktual semakin mempolarisasi dunia ke dalam ruang-ruang ketidakadilan dan ketidak-setaraan (global spaces of injustice and inequality). Berbagai rezim pemerintahan di Dunia Ketiga menyepakati kepentingan untuk memfasilitasi tumbuhnya institusi dan praktek demokrasi yang memungkinkan ruang yang lebih luas bagi intervensi negara-negara Dunia Pertama sebagai pemberi donor dari proyek pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga itu. Secara khusus intervensi ini mewakili kepentingan ekonomi untuk mengorientasikan negara-negara Dunia Ketiga berintegrasi ke dalam sistem pasar global meskipun kondisi yang memungkinkan bagi proses integrasi itu tidak setara. Menurut Noam Chomsky (1996), kondisi ketidaksetaraan dalam globalisasi ini merupakan suatu agenda imperialisme mutakhir yang secara ironis difasilitasi oleh kanal-kanal (saluran) demokrasi dimana rezim pemerintahan terpilih sebagai representasi dari konsituennya. Jadi dapat dikatakan, efek politik representasi sangat memungkinkan membuka peluang bagi praktek-praktek demokrasi yang distorsif.
Meskipun di dalam realitas politik kontemporer tersebut kita masih mendapati relasi kekuasaan yang bersifat ‘biner’ (dikotomis), akan tetapi komplesitas bekerjanya kekuasaan di dalam relasi sosial saat ini tidak dapat hanya secara sederhana dipahami sebagai dua polarisasi. Gambaran di muka menunjukkan bagaimana konstruksi mengenai identitas memiliki signifikansi untuk memobilisasi tujuan-tujuan politik. Dengan demikian, identitas menjadi bagian yang signifikan di dalam relasi yang berhubungan dengan kekuasaan, baik sebagai sarana dominasi maupun resistensi (artikulatif). Oleh karena itu artikel ini bertujuan untuk mencoba mengelaborasi bagaimana konstruksi identitas dapat memfasilitasi kepentingan-kepentingan artikulatif, meskipun di sisi lain juga dimobilisasi untuk tujuan politik praktis. Lebih lanjut artikel ini mencoba melihat kemunculan suatu ‘lokasi baru’ di dalam wacana politik mengenai batasan-batasan apa yang membentuk ‘identitas’ sebagai suatu sumber daya politik (political resources) dan sekaligus sebagai sarana politik (political means).


Merepresentasikan Identitas Sebagai Kepentingan Artikulatif Poskolonial
Kebanyakan literatur baik politik maupun sosiologi secara umum membagi kategori identitas ke dalam dunia kategori utama, yakni: identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan-citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subyek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subyek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subyek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness). Dikarenakan identitas juga menyakut apa-apa saja yang membuat sekelompok orang menjadi berbeda dengan yang lainnya, maka konstruksi identitas berkaitan erat dengan konstruksi mengenai ‘perbedaan’ (difference). Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan ‘politik identitas’ (politics of identity), karena identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subyek di dalam ikatan suatu komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber daya dan sarana politik.
Dalam konteks dimana identitas dimobilisasi bagi kepentingan artikulatif, tersedia peluang-peluang bagi munculnya klaim-klaim terhadap ‘identitas sosial-politik baru’ yang secara politis memunculkan kondisi yang dilematis dari perkembangan masyarakat kontemporer. Disatu sisi, wilayah (ruang) politik bagi klaim identitas baru tersebut dapat melahirkan peluang-peluang konflik. Sementara di sisi yang lain, pengaturan-pengaturan politik yang menjamin berlangsungnya suatu proses kesetaraan melalui demokrasi liberal dapat membuka peluang yang lebih besar bagi pengakuan publik dan pengorganisasian politik dari klaim-klaim identitas baru tadi yang secara potensial memunculkan konflik. Situasi semacam inilah yang membuat kita perlu merefleksikan kembali kaitan antara identitas sosial dan identitas politik yang secara dinamis mempengaruhi upaya-upaya mengartikulasikan kepentingan politik sekelompok orang. Sehingga pengkategorian ‘identitas’ tidak dapat lagi secara sederhana kita pahami ke dalam polarisasi identitas ‘sosial atau politik’. Ini tidak lain dikarenakan identitas sosial atau budaya seseorang, misalnya yang didasari oleh sistem kelas (bawah, menengah, atas), seksualitas (heteroseksual, homoseksual), agama (islam, kristen dan lain-lain), merupakan sumber bagi pembentukan identitas politik dan karenanya signifikan bagi mobilisasi politik identitas.
Alasan mengapa kita perlu memproblematisasi konsep mengenai identitas dalam konteks poskolonial dilandasi oleh argumen bahwasanya formasi (pembentukan) identitas sebagai suatu kepentingan politik berakar di dalam agensi sosial yang dipengaruhi oleh efek-efek lanjutan poskolonial sebagai konsekuensi yang akibatkan oleh kolonialisme. Konsekuensi dari efek lanjutan kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Sebagaimana hal-nya efek kolonialisme, globalisasi juga melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita kenali melalui praktek dan struktur ‘dominasi serta resistensi’. Sama halnya dengan konsep yang dikembangkan mengenai kondisi-kondisi apa yang berlangsung di dalam ‘posmodernitas’, maka ‘poskolonialitas’ menandai suatu keadaan (situasi) dunia kontemporer yang menggarisbawahi ‘a movement beyond’-- suatu gerakan yang melampaui situasi (kondisi) masyarakat sebelumnya.
Studi (pendekatan) poskolonial yang diaplikasikan disini bukan dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (ex-colonies), meskipun penggunaan istilah ‘poskolonial’ sendiri diterjemahkan secara beragam dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Akan tetapi, kerangka konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan pada ‘analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik’ (Ashcroff, Griffith dan Tiffin, 1998:187). Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan poskolonial juga mentidak-stabil-kan wacana mengenai relasi ‘the West and the Rest’ (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner (contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain). Efek kolonialisme juga mewarisi suatu perasaan atau kesadaran atas ketidak-amanan (insecurity) dan ketidakstabilan yang melahirkan resistensi. Oleh karena itu, bangsa-bangsa dari Dunia Ketiga merupakan hasil dari tatanan internasional yang pondasinya dibangun dari kekuatan kolonial Eropa. Dengan kata lain, tidak ada satupun identitas yang tidak terkontaminasi oleh sistem Barat yang hegemonik. Identitas Dunia Ketiga tidak lagi bersifat otentik dan karenanya melahirkan ‘hibriditas sekaligus ambivalensi’ di dalam relasinya dengan Dunia Pertama (Barat). Penempatan istilah ‘hibrid’ menurut Homi Bhabha (1998) merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk sementara sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Bhabha menambahkan bahwa poskolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek hibriditas, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru sekelompok orang di dalam relasi sosial dan politik mereka.
Hibriditas sekaligus ambivalensi itu kita temukan dalam karakteristik masyarakat dan relasi sosial Dunia Ketiga yang dipengaruhi proyek-proyek modernitas Barat, misalnya attitude—penyikapan terhadap ‘pembangunan’ yang dimotori Dunia Pertama (Escobar, 1995:4). Arturo Escobar menggambarkan bahwasanya identitas Dunia Ketiga dibangun dibawah bayang-bayang hegemoni Dunia pertama. Khususnya ketika masyarakat di Dunia Ketiga memproyeksikan peradaban mereka melalui pencapaian-pencapaian material. Ia melanjutkan kritik-nya dengan melihat isu ‘kemiskinan’ sebagai proyek utama di dalam agenda pembangunan di Dunia Ketiga yang indikatornya memperoleh kategori pembeda dari pencapaian material Dunia Pertama, dimana intervensi yang dilakukan oleh Dunia Pertama (misalnya oleh Bank Dunia—World Bank) mengabaikan aspek-aspek perkembangan kultural yang berlangsung di Dunia Ketiga. Dalam konteks tersebut, bukan hanya ‘negara’ yang ditransformasikan ke dalam obyek pembangunan oleh kekuatan representasi wacana pembangunan, melainkan juga orang—manusia-nya. Meski demikian, pendekatan poskolonial tidak hanya semata-mata menilai efek negatif yang dilahirkan oleh modernitas global, tetapi juga melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi masyarakat di Dunia Ketiga untuk menegosiasikan posisi resistensi mereka di dalam struktur modernitas itu sendiri. Upaya pencarian semacam ini misalnya dipelopori oleh Vandana Shiva yang menggagas penemuan kembali nilai-nilai lokal yang menandangi efek negatif dari proyek modernitas Barat. Meskipun upaya yang dirintis oleh Vandana Shiva pada awalnya hanya merupakan gerakan yang bersifat lokal, akan tetapi globalisasi yang memungkinkan suatu gerakan ditransformasikan melalui disseminasi wacana dan difasilitasi oleh teknologi telah membuat gerakan alternatif semacam itu kini mulai melintasi batas-batas nasional (transnasional).
Identitas politik di dalam konteks poskolonial berkenaan dengan representasi subyek atau kesadaran seseorang yang dikonstruksikan oleh berbagai aspek di dalam relasi sosial misalnya seperti: kelas, gender, ras, seksualitas, dan etnisitas. Kelas, ras dan etnisitas misalnya dapat dikonspirasi untuk suatu proyek pembentukan identitas nasional. Gender juga memiliki pengaruh sinergis sebagai sumber imajer bagi konstruksi identitas nasional, misalnya lewat pengungkapan dan simbol-simbol gender yang dibagi bersama sebagai ikatan kolektif, misalnya konsep mengenai ‘Motherland-Fatherland’. Sehingga konstruksi identitas berawal dari sumber-sumber imajiner yang menentukan posisi atau lokasi kita dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, karena identitas berkenaan dengan ‘posisi—lokasi’ subyek di dalam lokus sosial, maka identitas bukanlah suatu obyek atau substansi yang bersifat esensial, melainkan situasional (Mendieta, 2003: 408). Menurut Michel Foucault (1980), kemunculan negara-bangsa moderen sebagai suatu unit identitas kolektif di dalam sistem dunia dimunculkan melalui domestifikasi dan regimentasi suatu organ sosial (social body) dimana nasionalisme dibangun dari kekuatan bio-politik, yakni politik dari organ sosial yang dibentuk oleh gender, kelas dan ras. Regimentasi organ sosial dialami (berproses) dalam transformasi struktural sebagai hasil interaksi dalam globalisasi dan kondisi poskolonial.

Globalisasi disini merupakan proses integrasi ekonomi, politik, sosial dan budaya sebagai ‘konstelasi pos-nasional’ dimana suatu komunitas menghadapi kekuatan dan tantangan dari dinamika konstelasi tersebut (Habermas, 2001). Appadurai Arjun (1997) bahkan lebih jauh mengatakan bahwa efek ambiguitas dari globalisasi telah memunculkan suatu ‘etnisitas baru’ khususnya dalam masyarakat trans-nasional yang menantang kondisi-kondisi maupun praktek politik di suatu negara (wilayah lain). Misalnya melalui kemunculan komunitas politik trans-nasional seperti international-NGO atau perjuangan politik kelompok diaspora (seperti: Gerakan Aceh Merdeka, atau Gerakan Papua Merdeka). Appadurai juga mengatakan bahwa efek ambigu dari globalisasi telah memperluas bentuk-bentuk resistensi baik secara lokal maupun yang bersifat global dikarenakan tidak semua kelompok dapat secara penuh terlibat (engaged) di dalam proses globalisasi. Hal ini misalnya kita temui dalam munculnya kelompok-kelompok anti globalisasi, kelompok-kelompok yang memperjuangkan penghapusan hutang Dunia Ketiga dengan asumsi bahwa kemakmuran Dunia Pertama diperoleh melalui penjarahan kolonialisme di Dunia Ketiga.
Jadi, dapat dikatakan bahwa globalisasi dan kondisi poskolonial telah menciptakan bukan hanya struktur dominasi tetapi juga resistensi. Pengorganisasian identitas (sosial-politik) oleh karenanya melibatkan suatu proses ‘negosiasi’ yang bersifat dinamis karena upaya semacam itu melibatkan fungsi memfasilitasi dan mengelola potensi-potensi perbedaan. Gagasan-gagasan yang diperoleh melalui pendekatan poskolonial dapat membantu kita mengungkap lebih lanjut dimensi-dimensi yang melingkupi kekuasaan dan bagaimana mekanisme kekuasaan tersebut dijalankan baik di dalam proses sosial yang melibatkan pola-pola interaksi antar orang dengan komunitas (lokal, nasional, maupun global), maupun di dalam proses budaya yang melibatkan pelembagaan aspek-aspek simbolik yang diperoleh melalui praktek sosial yang kemudian mempengaruhi relasi politik setiap orang di dalam komunitasnya. Melalui pendekatan poskolonial pula kita dapat mengembangkan dua unsur penting di dalam kekuasaan yakni dominasi dan resistensi. Respon terhadap dominasi dan resistensi merupakan karakteristik yang sangat menentukan di dalam proses mengartikulasikan identitas sebagai suatu medan negosiasi di dalam relasi kekuasaan.


Lokasi Bagi Politik Identitas
Realitas sebagaimana yang diungkapkan di muka, membawa kita pada suatu refleksi bahwasanya saat ini menteorisasi ‘kekuasaan’ sebagai suatu dimensi penindasan yang bersifat tunggal (a singular dimension of oppression) seperti penindasan di dalam struktur kelas, gender, atau ras, tidak lagi mampu menjelaskan komplesitas dalam dunia kontemporer. Oleh karena itu diperlukan suatu penjelasan mengenai relasi antara berbagai dimensi penindasan dengan strategi-strategi resistensi. Salah satu penjelasan mengenai kondisi dominasi dalam dunia kontemporer diajukan oleh Friedric Jameson (1991) yang menyarankan bahwa pola-pola dominasi dalam dunia kontemporer dapat kita bedakan dari pola-pola sebelumnya (masa lalu) melalui dominasi dalam kehidupan sosial maupun budaya oleh logika pengorganisasian yang bersifat ‘spatial’ (ruang/sekat-sekat), dan bukan karena waktu (time) atau perubahan zaman.
“I think that it is at least empirically arguable that our daily life, our psychic experience, our cultural language, are today dominated by categories of space rather than categories of time, as in the preceding of high modernism.”
(Jameson, 1991: 16)

Menurut Jameson, ada tiga fase mendasar dalam perkembangan ‘logika spatial’ suatu masyarakat di bawah kapitalisme. Fase pertama, market capitalism didominasi melalui logika spatial yang berlangsung di dalam jaringan (networks). Di dalam fase kedua yakni, monopoly capitalim, pengertian mengenai ‘ruang’ ternafikan (ditiadakan) dan digantikan oleh praktek riil yang menentukan relasi sosial. Sedangkan, dalam fase ketiga, multinational (postmodern) capitalism menunjuk kepada logika spatial yang secara simultan bersifat homogen dan terfragmentasi – semacam suatu ‘schizo-space’ (ruang/sekat dimana terjadi halusinasi/kontradiksi). Lebih jauh Jameson menambahkan bahwa ‘ruang/sekat schizo’ menjadi penanda dari zaman terkini dimana loyalitas lama terhadap kelas, atau gender, fragmentasi ras, dislokasi, kekacauan, keterpecahan, ketersebaran ‘bercampur-aduk’ dengan loyalitas baru terhadap kelas, gender, keterlibatan rasial, dan kemandegan sosial-budaya. Tidak ada seorang-pun meyakini, landasan macam apa yang mereka sedang perjuangkan, atau tujuan apa yang hendak mereka raih. Dalam keadaan semacam ini, Jameson mengatakan bahwa ‘subyek telah mati’. Sebagaimana yang dikatakan-nya:

“Apa yang sedang berlangsung kini merupakan suatu realitas politik praktis: sejak krisis yang menghancurkan internasionalisme kaum sosialis dan hambatan-hambatan strategis dalam mengkoordinasikan aksi-aksi politik di tingkat lokal-grassroot dengan nasional atau internasional. Dilema semacam inilah yang sedang berlangsung saat ini dalam mempertanyakan ruang internasional yang lebih kompleks.”
(Jameson, 1991:413)

Dalam menanggapi fenomena lumpuh-nya politik saat ini, Jameson mengembangkan suatu konsep mengenai ‘ruang dan tindakan politik’ yang disebut sebagai ‘cognitive mapping’ (pemetaan kognitif). Pemetaan kognitif merupakan suatu bentuk dari budaya politik radikal dimana obyek fundamental-nya adalah ‘the world space of multinational capital’ (ruang dunia kapital multinasional). Pemetaan kognitif merupakan suatu kesadaran terhadap proses-proses global yang sedang berlangsung, sekaligus ketidakmampuan subyek di dalam meraih totalitas (seperti nilai-nilai atau ideologi yang mutlak). Pemetaan kognitif pula yang memungkinkan orang menyadari posisi mereka di dunia, dan karenanya memberikan sumber bagi resistensi dan penciptaan sejarah diri mereka sendiri. Jadi, logika kapital-lah yang menciptakan suatu perkembangan di dalam ruang ketidak-adilan. Oleh karena itu, menurut Jameson, diperlukan ‘pemetaan terhadap ruang-ruang ketidakadilan semacam itu’, sehingga dapat menciptakan peluang bagi tumbuhnya ‘budaya-budaya oposisi’ (oppositional cultures) dan gerakan sosial baru melawan kepentingan kapital sebagai suatu ‘situs (ruang) resistensi’.
Masalahnya, di dalam budaya oposisi, setiap orang ‘merepresentasikan’ sekelompok orang yang lainnya pada saat yang bersamaan. Artinya, identitas dari posisi subyek dan gerakan politik dipahami secara simultan. Pada bagian awal digambarkan suatu ketak-keterkaitan di dalam perilaku pemilih dalam Pemilu, dimana sekelompok orang yang distereotipe-kan sebagai ‘kelas pekerja’ justru memberikan suara bagi kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan kelas mereka. Disini, identitas menggantikan posisi subyek karena keadaan yang obyektif atas identitas kemudian diartikulasikan oleh para politisi, akademisi, dan rohaniwan. Oleh karena itu, Jameson lebih jauh menganjurkan pentingnya upaya untuk menemukan kembali ‘ruang resistensi’ yaitu sebagai:

“Suatu ruang imajiner yang mampu membenturkan masa lalu lewat cara-cara baru dan membacanya sebagai suatu misteri yang belum terpecahkan oleh ruang (sekat) struktural. Misteri ini sebagaimana yang dapat kita temukan dalam tubuh, kehidupan kosmis, realitas kehidupan perkotaan, dan berbagai struktur lainnya yang ditandai oleh pengorgarnisasian yang bersifat intagible (non-material) di dalam kebudayaan, dorongan ekonomi, maupun dalam bentuk-bentuk linguistik.”
(Jameson, 1991: 364-5)

Disini Jameson menekankan spesifikasi ‘ruang atau sekat’ sebagai sesuatu yang melahirkan posisi kesadaran subyek secara berbeda-beda. Sementara itu, Edward Soja, seorang pemikir politik ber-aliran postmodernisme, melihat bahwasanya ‘ruang’ tersebut bukan sebagai sesuatu yang bebas dari kepentingan, melainkan dipenuhi oleh politik dan ideologi yang membawa konsekuensi kepada posisi kesadaran subyek:
“We must be insistently aware of how space can be made to hide consequences from us, how relations of power and dicipline are inscribed into the apparently innocent spatiality of social life, how human geographies become filled with politics and identity.”
(Soja, 1989: 6)

Baik Friedric Jameson maupun Edward Soja sama-sama berargumen bahwa ‘geografi dan sejarah kapitalisme’ saling bersinggungan (intersect) di dalam suatu proses sosial yang kompleks, yang menciptakan kelanjutan suatu proses historis dalam ruang (sekat-sekat) sosial yang kontradiktif. Jadi, menurut keduanya, ruang atau sekat sosial semacam inilah yang menentukan batasan-batasan dari suatu ‘identitas’. Kemudian, apa sesungguhnya yang kita maksutkan sebagai ‘identitas’ itu sendiri? Dan mengapa ‘identitas’ menjadi sesuatu yang signifikan bagi tujuan-tujuan politik?
Kata ‘identitas’ dan makna-nya di dalam konteks politik, sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang cukup baru di dalam wacana intelektual kontemporer. Identitas seseorang ‘mengkonstruksikan suatu proses dialogis yang menandai batasan-batasan apa saja mengenai diri-nya dan apa saja yang membuatnya sama atau berbeda dengan orang lain’ (Stuart Hall, 1992). Jadi, menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari ‘sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas’. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang ‘memiliki atau berbagi kesamaan’ dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan ‘otherness’ (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference). Oleh karena itu, menurut Judith Butler (1992), konstruksi mengenai identitas melibatkan seluruh peluang-peluang dari berbagai kategori pembedaan kolektif yang saling berkompetisi dan karena itu, kategori-kategori identitas tidaklah bersifat deskriptif, melainkan bersifat normatif.

“Identity categories constitute multiple competing possible identities in which particular groups define themselves in a distinctive sense of belonging, identity categories are never solely descriptive, but normative”
(Butler, 1992: 15).

Pengenaan identitas kolektif sebagai sumber daya sekaligus sarana politik di dalam realitas moderen, secara sederhana kita temukan di dalam fenomena terbentuknya ‘negara-bangsa’ (nation-state) dalam era post-kolonial, dimana beragam latar belakang komunitas ras, suku-bangsa (etnis), agama, membentuk komunitas negara-bangsa. Konsepsi semacam inilah yang dikembangkan oleh Bennedict Anderson (1983) melalui tesis-nya mengenai ‘imagined communities’ atau komunitas imajiner dimana ikatan-ikatan kolektif dalam suatu komunitas politik bukan hanya suatu konstruksi politik semata, melainkan juga sebagai konstruksi budaya. Disini, ikatan terhadap kolektivitas bukan lagi didasari oleh kontak-kontak langsung secara fisik sebagaimana yang membuat kita terikat dengan komunitas di lingkungan sekitar (neighbourhood) atau di dalam suatu organisasi. Melainkan ‘diciptakan’ oleh makna yang diproduksi melalui simbol-simbol dan praktek-praktek budaya yang saling dibagi bersama. Seperti misalnya, penulisan sejarah, lagu-lagu kebangsaan, bendera, atau pengakuan bagi hari-hari besar nasional.
Klaim terhadap identitas merupakan kategori-kategori pembedaan kolektivitas yang peluang-peluangnya dapat kita temukan di dalam struktur kelas, gender dan seksualitas, orientasi budaya, atau bahkan dalam gaya hidup (bentuk-bentuk konsumsi). Perkembangan di dalam dunia kontemporer saat ini menunjukkan bahwasanya identitas politik sangat-lah beragam dan klaim-klaim terhadap identitas ‘bukan’ lagi menjadi monopoli bagi rezim kolektif tradisional (seperti ikatan paternalistik dalam relasi etnisitas, agama, struktur kelas sosial) atau bahkan negara. Tetapi juga menjadi wilayah bagi muncul-nya rezim-rezim ‘klaim-klaim kolektivitas baru’ lintas kelas, ras, etnis, atau agama misalnya, kelompok homoseksual. Klaim kolektivitas bahkan dapat diciptakan melalui diskursus politik-kebudayaan, misalnya pembedaan kelompok-kelompok liberal-fundamentalis, dan sebagainya.
Kaitan antara signifikansi identitas sebagai sumber daya dan sarana yang memobilisasi ‘perbedaan’ oleh Stuart Hall (1992) dirumuskan melalui pertanyaan sederhana: “Siapa saja yang membutuhkan identitas? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?” Pertanyaan sederhana akan tetapi amat sulit untuk mencari jawaban yang dapat menjelaskan komplesitas di dalam kaitan antara identitas sebagai sumber daya dan sarana politik secara komprehensif. Ini tidak lain karena terminologi mengenai identitas politik tidak pernah definitif, apalagi konstruksi mengenai kategori-kategori di dalam identitas bersifat ‘cair dan fleksibel’. Rosalind Brunt mendeskripsikan politik identitas sebagai:

“politik sekelompok orang yang berangkat dari penekanan terhadap pengakuan (dalam derajad tertentu) terhadap aktivitas politik dan upaya yang melibatkan suatu proses terus-menerus untuk menandai siapa diri kita dalam relasi kita dengan orang lain” (Brunt, 1989: 151).

Meski demikian, pandangan semacam itu ditentang oleh Jenny Bourne (1987) yang melihat pengertian politik identitas sebagai suatu kemunduran proyek politik yang bersifat emansipatoris karena politik identitas merupakan suatu wujud eksploitasi keluar (mobilisasi individu) dan penindasan ke dalam diri subyek (manipulasi kesadaran), sebab yang dipentingkan dalam relasi sosial adalah upaya untuk menekankan “Who I am--Siapa Saya!” (Bourne, 1987:1). Pandangan yang dikemukakan oleh Bourne ini sebenarnya secara implisit menafikan konsepsi mengenai individu sebagai subyek atau manusia yang rasional, yang memiliki pengetahuan yang bukan hanya disituasikan (dikonstruksikan), melainkan juga pengetahuan untuk menciptakan situasi (konstruksi), dan memiliki kehendak bagi dirinya sendiri. Suatu perdebatan yang sebenarnya sudah lama berlangsung, yakni berkenaan dengan posisi subyektivitas sebagai suatu konstruksi sosial ataukah sebagai suatu esensi dari kondisi yang sudah ada dan tak terbantahkan (pre-given essence). Misalnya, apakah homoseksualitas-heteroseksualitas merupakan konstruksi sosial atau diwarisi secara natural?
Posisi subyektivitas dalam relasi-nya dengan kondisi obyektif sesungguhnya bersifat dialektis, sesuatu yang gagal dipahami oleh Marx dalam penjelasannya mengenai ‘alienasi’ (keterasingan) yang dialami oleh kaum buruh dengan barang-barang telah mereka produksi. Kegagalan analisis Marx baru dapat dibuktikan hampir satu abad kemudian, ketika proses ambigu di dalam kapitalisme juga melahirkan kelas-kelas sosial baru, dimana kapitalisme bukan hanya mengubah ‘mode of production’ atau cara-cara memproduksi, tetapi juga mengubah ‘mode of consumption’ atau cara-cara mengkonsumsi (George Ritzer, 2000). Menurut Liz Bondi (1993), kegagalan diagnosis Marx termuat di dalam penjelasannya mengenai posisi subyektif di dalam relasinya dengan kondisi obyektif, dimana kesadaran (conscioussness) merupakan suatu produk dari kondisi-kondisi yang diciptakan oleh relasi-relasi kelas, dan bukan sebagai suatu tindakan manusia (human action) yang rasional. Liz Bondi juga melanjutkan bahwa gagasan yang diusung oleh Sigmund Freud memiliki asumsi yang setara (paralel) dengan gagasan Marx. Menurutnya, Freud melihat kesadaran (consciousness) sebagai sesuatu yang ‘dikonstruksikan’ sebagai suatu respon atas ketidak-sadaran (un-consciousness), dimana ketidak-sadaran merupakan produk dari tekanan (represi) dari harapan atau kehendak-kehendak, khususnya yang kita alami di masa kanak-kanak. Jadi, dalam pemikiran Freud, ketidak-sadaran individu ‘tidak dapat sepenuh-nya kita kenali secara langsung’, sehingga keberadaannya melahirkan bentuk-bentuk kesadaran yang manipulatif, tidak pernah sepenuhnya rasional, atau tidak pernah merasa betul-betul aman (secure). Liz Bondi menyimpulkan bahwa pandangan Marx dan Freud telah menempatkan individu sebagai suatu makhluk yang tidak dapat utuh, dan selalu tercerabut (Bondi, 1993: 87-91).
Meski demikian, Liz Bondi menegaskan bahwa pandangan semacam itu menjadi ‘tantangan’ bagi formulasi perspektif humanisme liberal Barat yang didasari oleh filsafat Cartesian mengenai ‘cogito’, yang menempatkan individu sebagai makhluk yang sepenuhnya mandiri (autonomous), subyek yang sepenuhnya berdaulat (sovereign subject) dan karenanya manusia memiliki kestabilan dan sulit teralienasi. Perspektif tersebut melihat kesatuan yang utuh dan mandiri di dalam diri individu, yang menciptakan basis bagi setiap orang (manusia) untuk mengidentifikasikan diri mereka satu sama lainnya sebagai makhluk yang ‘setara’- equals (ibid:85-7). Konsekuensi dari pandangan humanisme-liberal ini kemudian menjadi dasar argumentasi bagi ‘tuntutan emansipatorik’ (emansipatory necessities) sebagai ‘nilai-nilai kesetaraan’ bagi seluruh manusia, dan karena itu pula mendorong upaya ‘hak-hak bagi kesetaraan’ (equal rights). Perspektif semacam inilah yang dominan di dalam sudut pandang ‘Demokrasi Liberal Barat’. Akan tetapi, sudut pandang semacam ini justru telah menjadi suatu mekanisme subordinasi, karena menganjurkan bentuk-bentuk universalitas yang menindas keberbedaan. Sedangkan bentuk-bentuk ‘keberbedaan yang tertindas ’ (suppressed differences) itu sendiri adalah perbedaan-perbedaan yang dilahirkan sebagai konsekuensi dari ‘siapa yang menduduki posisi kekuasaan dan siapa saja yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan pengetahuan’.
Ien Ang (2001), melihat pandangan demokrasi liberal-Barat sebagai suatu kualifikasi bagi kualitas kesetaraan yang memuat unsur-unsur di dalam hegemoni budaya Barat yang lahir dari sudut pandang kelas menengah (borjuis) kulit putih, sehingga klaim universalitas di dalam kesetaraan itu meniadakan peran politik kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan. Sementara itu, melanjutkan pemikiran yang dikembangkan oleh Liz Bondi; menurutnya, pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Marx dan Freud justru dapat membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk mempertahankan klaim-klaim normatif bagi humanisme liberal, ketimbang sebagai suatu proyek egalitarian yang ambisius (1993: 86). Menurutnya, ‘identitas’ yang membentuk kesadaran tentang diri kita sebagai individu maupun makhluk sosial dikonstruksikan melalui proses-proses kultural dan bukan bersifat ‘pre-given’. Konstruksi ini menyiratkan suatu proses kultural yang tidak memerlukan atribut-atribut kemanusiaan universal , melainkan suatu diferensiasi dan gerakan dimana identitas merupakan karakteristik masyarakat moderen. Kelompok-kelompok yang tersub-ordinasi dapat menggunakan pemikiran semacam ini untuk membuka tabir kepalsuan yang ditawarkan oleh pemikiran mengenai otoritas ‘individu’ yang mutlak, untuk mempertahankan posisi mereka sebagai ‘the other’ atau minoritas. Dengan demikian, maka konstruksi bagi identitas alternatif merupakan bagian dari politik resistensi atau politik oposisi yang memberikan suatu konstruksi ‘tandingan’ bagi kelompok-kelompok dominan.
Batasan-batasan di dalam menentukan lokasi bagi identitas di dalam ruang politik kemudian merupakan sesuatu yang tidak dapat bersifat mutlak (fix), tidak bersifat pasif, dan bersifat dialektis. Michael Keith dan Steve Pile (1993), menyarankan tiga lokasi bagi batasan-batasan dalam ‘politik identitas baru (postmodern)’ yakni: (1) lokasi bagi perjuangan (location of struggle); (2) komunitas resistensi (communities of resistance); (3) ruang-gerak politik (political spaces). Lokasi bagi perjuangan (location of struggle) merupakan suatu ruang dimana individu memasuki politik . Ruang ini dapat bersifat riil (real space), imajiner (imaginary space), atau simbolik (symbolic space). Dalam konteks ini, penentuan lokasi bagi masuknya individu ke dalam politik haruslah ditempatkan di dalam relasi-nya dengan masyarakat. Yakni berkaitan dengan:
“relasi-relasi sosial macam apa yang mereka bagi bersama; apakah mereka saling berbagi pengalaman di bawah suatu penindasan; apakah perlu bagi kita untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan dalam rangka membentuk suatu aliansi melawan hegemoni kekuasaan; Perbedaan-perbedaan manakah yang perlu diartikulasikan dan mana yang tidak perlu bagi suatu perjuangan lebih lanjut” (Keith dan Pile, 1993: 5-36).

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu-lah yang dapat menempatkan identitas ke dalam lokasi politik, sehingga politik identitas bukan secara sederhana dimaknai sebagai suatu pengorganisasian resistensi yang bersifat ‘biner’, yakni yang mengkategorikan “kita” dengan “mereka”, melainkan sebagai suatu pengelolaan bagi mobilisasi komunitas-komunitas resistensi. Komunitas resistensi memerlukan suatu landasan (baik yang bersifat riil, imajiner, ataupun simbolik) yang memungkinkan tumbuhnya formasi aliansi politik dan pemberdayaan aliansi dalam kelompok-kelompok marginal. Oleh karena itu komunitas resistensi memperjuangkan ruang gerak bagi politik identitas sebagai upaya penciptaan alternatif-alternatif kemungkinan-kemungkinan politis (the alternatives of political possibilities). Salah satu alternatif bagi kemungkinan-kemungkinan politis tersebut, misalnya dapat dimulai dari pendefinisian kembali atau pencarian konsep dan kebutuhan masyarakat atas ‘keadilan sosial’ (social justice) yang selama ini hanya termuat di dalam pengertian universal mengenai hak-hak manusia --- suatu pengertian yang melihat keadilan sosial semata-mata sebagai sesuatu yang secara aktual, melekat (embedded) di dalam kondisi material dan kondisi hegemonik. Sehingga pemahaman mengenai ‘keadilan sosial’ haruslah disituasikan.
Dengan kata lain, konsep keadilan sosial memerlukan batasan-batasan yang memungkinan bagi identifikasi aliansi-aliansi yang secara potensial menjadi basis dari persamaan-persamaan/kemiripan-kemiripan (similarities), dan bukan kesamaan-kesamaan/ keseragaman (sameness). Perluasan konsep keadilan sekaligus juga membuka peluang bagi perluasan artikulasi kesetaraan. Dengan kata lain, politik identitas bukanlah suatu persoalan mengenai penyikapan individu secara personal (personal attitude), melainkan lebih sebagai suatu penyikapan terhadap dilema struktural di dalam mengartikulasikan kesetaraan dan mendistribusikan keadilan sosial. Sehingga kemunculan berbagai rezim baru yang mengusung wacana politik identitas sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan peradaban manusia. Bahkan sebaliknya, membuka dimensi-dimensi baru mengenai keadilan dan kesetaraan.


Referensi:
Abu-Lughod, Lila. 1995. “Going beyond global-babble”, in A.D King (ed), Culture, Globalisation and the World-System. Basingstoke: Mac-Millan.
Anderson, Bennedict, 1983. Imagined Communities. London: Verso. Revised and extended edition, 1991.
Ang, Ien . 2001. On Not Speaking Chinese: Living Between Asia and the West. London: Routledge
Alcoff, Linda Martin. 2003. “Identities: Modern and Postmodern”, in Alcoff, L.M, and Mendietta, E. (eds), Identities: Race, Class, Gender and Nationality. Malden-MA: Blackwell Publishing
Appadurai, Arjun. 1996 .“Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, dalam Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalisation, Minneapolis: University of Minnesota Press
Ashcroft, B., Griffith, G., and Tiffin, H. 1998. Key Concepts in Post-colonial Studies. London: Routledge.
Bhabha, Homi. 1998. “Cultures in Between”, in Bennet, David (ed), Multicultural States, Rethinking Differences and Identity, London: Routledge
Bondi, Liz. 1993. “Locating Identity Politics”, in Keith and Pile (eds), Place and the Politics of Identity, London and New-York: Routledge.
Bourne, Jenny. 1987. Homelands of the mind: Jewish Feminism, and Identity Politics’, Journal of Race and Class Vol. 29:1-24
Brunt, Rosalind. 1989. “The Politics of Identity”, in Hall, S. and Jacques, M. (eds), New Times: The Changing Face of Politics in the 1990s. London: Lawrence and Wishart.
Butler, Judith. 1992. Contingent Foundation: Feminism and the Question of Postmodernism, in Butler, Judith and Scott, Joan (eds.), Feminists Theorize the Political. New York: Routledge.
Escobar, Arturo. 1995, Encountering Development, The Making and Unmaking of the Third World. Princeton-NJ: Princeton University Press.
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge,New York: Harvester Press.
Gupta, A. and Ferguson.J. 1997. “Beyond ‘culture’: Space, Identity, and the Politics of Difference”, in Gupta, A. and Ferguson, J. (eds), Culture, Power, Place: Explorations in Critical Anthropology. Durham-NC: Duke University Press.
Hall, Stuart. 1992. “Who needs identity”, in Hall, S and Du Gay, P (eds), Questions of Cultural Identity. London: Sage.
Hall, Stuart, 2002. “The West and the Rest: Discourse and Power”, in Haggis, Jane., and Schech, Susan (eds), Development: A Cultural Studies Reader. Oxford:Blackwell
Habermas, Jurgen. 2001. The Postnational Constellation: Political Essay. Cambridege-MA: The MIT Press.
Jameson, Friedric. 1991. Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism, London: Verso
Keith, Michael and Steve Pile. 1993. “The Politics of Place and the Place of Politics”, in Keith and Pile (eds), Place and the Politics of Identity, London and New-York: Routledge.
Mendieta, Eduardo. 2003. “Identities: Postcolonial and Global”, in Alcoff, L.M, and Mendietta, E. (eds), Identities: Race, Class, Gender and Nationality. Malden-MA: Blackwell Publishing.
Shiva, Vandana. 1997. Economic Globalisation, Ecological Feminism, Suistanable Development. Canadian Women’s Studies Vol. 17 (2)
Shohat, Ella. 1992. “Notes on the Post-Colonial Context”. Social Text, vol. 31/32:
Soja, Edward. 1989. Postmodern Geographic. London: Verso.
Spivak, Gayatri and Gunew, Sneja. 1993. Questions of Multiculturalism, in During, Simon (ed), the Cultural Studies Reader. London: Routledge.

* artikel ini pernah diterbitkan di Jurnal Mandatory IRE, 2005

Tuesday, April 13, 2010

KAJIAN BUDAYA KONTEMPORER (Cultural Studies dalam Pembahasan Sosiologi)



Oleh
Arie Setyaningrum Pamungkas


Latar Belakang: Kaitan antara Budaya dan Sistem Sosial

Ketika kita membicarakan kebudayaan, maka seringkali kebanyakan dari kita memahaminya sebagai sebuah kata benda. Cara berpikir semacam ini kemudian memandang kebudayaan sebagai suatu wujud atau artefak yang dilahirkan melalui proses sejarah panjang peradaban manusia. Sementara itu ketika kita membicarakan aktivitas sekelompok manusia dalam konteks kebudayaan, maka kita dapat memaknai bahwasanya kebudayaan merupakan suatu proses yang menjelaskan perubahan konteks aktivitas manusia dari masa ke masa. Pada konteks inilah, kita memandang kebudayaan bukan lagi sebagai suatu kata benda, melainkan merupakan kata kerja yang dapat dimaknai sebagai suatu yang dinamis sifatnya. Meskipun demikian, definisi mengenai kebudayaan yang disepakati sebagai suatu pengertian umum hingga kini masih dipertanyakan. Ini tidak lain karena unsur dinamis dalam kebudayaan telah menjadikan sifat dari kebudayaan itu sendiri sebagai suatu yang cair (fluid) dan sekaligus fleksibel (dapat berubah).

Selama ini, ketika orang membicarakan kebudayaan, maka seolah-olah kebudayaan menjadi ranah garap yang terpisah dari studi sosial dan humaniora. Kebudayaan menjadi ranah (field) yang diapresiasikan melalui wujud kebudayaan sebagaimana yang tampak pada wujud kesenian seperti tari atau musik, maupun wujud kesusasteraan seperti puisi ataupun prosa. Studi antropologi, yang selama ini dianggap paling dekat dengan dimensi kebudayaan berperan penting di dalam menjelaskan bagaimana suatu kebudayaan dilahirkan dalam konteks sosial tertentu. Dikarenakan praktek kebudayaan merupakan wujud dinamis suatu kelompok sosial tertentu, maka analisa dinamika kebudayaan perlu menjelaskan kaitannya dengan bagaimana suatu kelompok sosial berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan bagaimana mereka mempersepsikan lingkungan sekitar mereka sehingga melahirkan suatu sistem makna. Sistem makna sendiri merupakan jaringan dimana individu ataupun suatu kelompok sosial memposisikan diri mereka di dalam ruang sosial dan merespon suatu perubahan sosial yang diakibatkannya. Clifford Gertz yang merujuk pada Weber mengatakan demikian*****:
“culture is a web of meaning in which human is an animal imprisoned within the webs of meaning that he has spun.”
(Geertz, 1974***, dikutip oleh Kapferer, 1996)

Dari pengertian Geerzt yang dipengaruhi aliran Weberian mengenai kebudayaan ini, maka kebudayaan dipahami sebagai jaringan makna dimana manusia bukan hanya menciptakan jaring-jaring makna tersebut, melainkan juga terperangkap di dalamnya. Dari sinilah kita melihat hubungan yang amat erat antara kebudayaan, sistem makna dan implikasinya dalam sistem sosial. Oleh karena budaya memiliki kaitan yang erat dengan dimensi sosial dan kemanusiaan, maka pemaknaan budaya disini bukan lagi dimaknai sebagai suatu “artefak” melainkan juga merupakan suatu proses dan di dalamnya mampu menjelaskan arah perubahan sosial. Meski demikian, pemaknaan sejauh mana kita mendefinisikan budaya merupakan persoalan yang cukup problematik pula.

Konsep kebudayaan adalah sebuah konsep yang terus berkembang mengikuti perubahan sosial yang melingkupi seluruh aktivitas manusia. Konsep mengenai kebudayaan juga dimunculkan pada setting ruang dan waktu yang kemudian melahirkan pemaknaan yang berbeda mengenai esensi dan peran kebudayaan itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia sendiri secara leksikal, kata budaya mengambil akar dari dua kata yakni “budi dan daya”, dimana budi menunjukkan pada nalar (rasio) dan daya (bentuk). Dengan kata lain, konsepsi budaya menunjukkan hubungan antara nalar dan bentuk dari ekspresi melalui nalar tersebut. Konsep ini hampir serupa dengan pengertian “Kultuur” dalam bahasa Jerman yang mengkaitkan perkembangan kebudayaan dengan peradaban dan perkembangan moral manusia secara kolektif (Kroeber dan Kluckhohn, sebagaimana yang dikutip oleh Smith, 2002, 2). Sedangkan di dalam bahasa Inggris, menurut Raymond Williams, pengertian “culture” merupakan sesuatu yang cukup kompleks dan problematis dikarenakan pemaknaan terhadapnya selalu berubah mengikuti setting perubahan sosial. Di dalam pengertian bahasa Inggris, menurut Robert Baubock (1992, hal.231-234), “culture” atau kebudayaan, setidaknya mengacu pada lima konsep yang berbeda.
Konsepsi pertama tentang “culture” berasal dari konteks “the cultivation of land, crops, or animal”. Pada konteks ini, culture lahir dalam kebudayaan Anglo-Saxon pada abad ke 14 masehi dimana pengertiannya memiliki konteks pada pembudidayaan secara biologis. Konsep kedua tentang “culture” mengambil konteks “the cultivation of the mind, the arts, and civilisation”. Dalam konteks ini, pengertian original mengenai sesuatu yang dibudidayakan menunjuk pada perkembangan manusia. Pengertian ini berkembang pada abad ke 17 dan ke 18 di Inggris, dimana kelas sosial menjadi suatu dimensi yang signifikan dalam memaknai reproduksi sosial, sebagaimana yang ditandai melalui kelahiran dan juga penciptaan kelas-kelas sosial. Lewat dimensi sosial, kata “culture” merujuk pada pengertian kebiasaan yang berbeda yang dilakukan oleh setiap orang pada masing-masing strata sosialnya, sehingga mempengaruhi bagaimana seseorang bertingkah laku, berbicara, bahkan mengkonsumsi sesuatu. Mulai pertengahan abad ke 20 dengan berkembangnya media massa seperti lewat televisi, film, produksi massal, dan budaya konsumsi massa, dimensi kelas dalam konteks “culture” telah mengambil suatu pengertian yang berbeda, dimana rujukan pada batasan-batasan kelas yang sebelumnya amat rigid menjadi mulai memudar.
Konsep ketiga tentang “culture” menunjuk pada suatu proses perkembangan sosial (social development). Dalam konteks ini budaya menunjuk pada tujuan pencerahan manusia atau “enlightenment” dimana konsepsi mengenai culture merujuk pada evolusi waktu berlangsungnya perkembangan bagi perbaikan kehidupan manusia. Konteks ini amat dipengaruhi oleh filsafat Darwinisme sosial yang mengasumsikan evolusi kebudayaan sebagai arah perkembangan sosial. Melalui konteks ini pula rasisme dalam konteks masyarakat postmodern bukan lagi dimaknai sebagai suatu bentuk pembedaan berdasar pada kategori fisik atau warna kulit melainkan telah ditransformasikan ke dalam pencitraan atas berbagai praktek budaya barat atau “Westernised” sebagai suatu yang paling unggul atau utama dari pencerahan manusia.
Konsep keempat mengenai “culture” menunjuk pada “the meanings, values, ways of life of an entire society” (makna, nilai, dan cara hidup seluruh masyarakat). Definisi ini menunjuk “culture” sebagai sesuatu yang mengikat dimana secara khusus membentuk struktur relasi sosial, praktek sosial serta sistem-sistem simbolik dan mengikat secara kohesif suatu kelompok identitas, entah sebagai kelompok yang kita sebut bangsa, komunitas atau bahkan kelas. Pengertian keempat mengenai “culture” inilah yang seringkali dilabel-kan sebagai pengertian secara antropologis, meskipun banyak disiplin ilmu lain seperti sosiologi atau ilmu politik seringkali mengacu pada pemaknaan yang sama mengenai “culture”.

Pengertian kelima mengenai “culture” menunjuk pada praktek yang menghasilkan makna (practices which produce meaning). Pengertian ini mengacu pada bagaimana “culture” bekerja, bagaimana cara kerja “culture” ketimbang memperdebatkan apa itu “culture”. Aspek ini menekankan kondisi simbolik dari kebudayaan dan memfokuskan pada simbol, ritual serta aktivitas yang terlibat di dalam konstruksi realitas kehidupan sosial sehari-hari.

Dari pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa aspek dinamis kebudayaan telah menjadikan obyek kajian kebudayaan sebagai obyek yang dapat mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosio-humaniora, seperti antropologi, sejarah, sosiologi, ilmu yang menjelaskan perkembangan dan juga praktek ekonomi, dan ilmu politik. Studi Ben Anderson mengenai nasionalisme, misalnya melihat adanya kaitan yang erat antara penciptaan sistem makna yang diwujudkan melalui semangat kebangsaan (nasionalisme) dan upaya untuk mengkonstruksikan semangat ini melalui praktek-praktek kebudayaan. Komplesitas perkembangan masyarakat abad 21 yang kita hadapi saat ini menunjukkan kebudayaan memiliki kaitan yang sangat erat dengan penciptaan sistem makna dan sekaligus juga menjelaskan posisi suatu kelompok sosial atau individu di dalam struktur sosial.

Kajian Budaya Kontemporer (Cultural Studies) sebagai Pendekatan Baru Wacana Kebudayaan

Perkembangan abad 21 ditandai oleh suatu lingkungan budaya baru yang secara dramatis ditransformasikan melalui media global dan teknologi mutakhir komputer dan internet yang mengakibatkan menipisnya batas-batas geopolitik, ekonomi dan juga budaya berbagai masyarakat di dunia. Cultural studies atau yang sering diistilahkan sebagai kajian budaya kontemporer merupakan suatu pendekatan yang mengemuka saat ini, muncul sebagai suatu respon intelektual dalam menganalisis perubahan politik, ekonomi dari budaya global, transformasi kebudayaan di berbagai tempat di dunia yang mempengaruhi identitas suatu masyarakat, klaim atas politik etnisitas dan tuntutan bagi pluralisme kebudayaan, yang semuanya mengarah pada wujud-wujud toleransi baru dan negosiasi baru.
Setidaknya ada dua paradigma utama yang mewarnai perkembangan cultural studies sebagai pendekatan kontemporer dalam studi sosial humaniora. Pertama, pengaruh melalui paradigma poststrukturalis dengan fokus dekonstruksi wacana terhadap modernitas, yang dianggap telah melahirkan distorsi-distorsi baru di dalam hubungan sosial dan kemanusiaan lewat penciptaan pengetahuan dan kekuasaan. Kedua, pengaruh dari teori postkolonial yang memfokuskan analisisnya pada representasi dan kekuasaan sebagai suatu konstruksi sosial. Studi mengenai representasi inilah yang kemudian menjadi inti dari analisis kajian budaya kontemporer (cultural studies) yang banyak mempengaruhi berbagai fields of study atau disiplin ilmu sosial dan humaniora.
Menurut Stuart Hall representasi merupakan media menyampaikan pesan, berekspresi dan mengkomunikasikan ide, konsep atau perasaan kita, yang kesemuanya merupakan transmisi penyampaian makna (Stuart Hall, 1997, hal.4-5). Berangkat dari paradigma poststrulturalis dan teori poskolonial, pendekatan cultural studies memposisikan pengetahuan bukan sebagai suatu kebenaran obyektif, melainkan sebagai suatu produk kita mengkategorisasikan dunia melalui pengertian yang dibangun secara diskursif (Kristeva, 1986). Poststrukturalis, dalam pandangan Michel Foucault melihat pengetahuan lahir dari sebuah proses diskursif. Menurut Foucault, pengetahuan berkenaan pula dengan relasi kekuasaan, seperti yang dikatakannya:
“Power produces knowledge, in the sense that what is considered ‘true’, knowledge about a topic is constructed through discourse. It is discursive knowledge which has the power to make itself true”(Stuart Hall, 1997, hal.49).

Jadi, dalam pengertian ini, kekuasaan telah menciptakan pengetahuan mengenai apa yang kita anggap sebagai suatu “kebenaran”, pengetahuan dikonstruksikan melalui wacana yang kemudian secara diskursif telah menciptakan kekuasaan untuk menjadikannya sebagai kebenaran. Foucault kemudian melanjutkan analisisnya mengenai relasi antara pengetahuan dan kekuasaan sebagai berikut:

“Knowledge produced by discourse is a kind of power because ‘those who are known in a particular way will be subject (ie.subjected) to it.”
(Stuart Hall, 1997, hal.295).

Konstruksi sosial dalam pandangan poststrulturalis menurut Foucault ini telah memberi pengaruh yang besar dalam analisis konteks yang secara spesifik melatarbelakangi suatu wacana dan terutama yang relasi dinamis antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan bukan hanya diciptakan melalui relasi kekuasaan tetapi juga melahirkan bentuk kekuasaan baru.
Sementara itu, melanjutkan analisis konstruksi sosial poststrukturalis, teori postkolonial membahas bagaimana wacana memperoleh kekuasaan dan menggunakannya sebagai alat. Stuart Hall membedakan setidaknya ada tiga fungsi kekuasaan yang telah menciptakan relasi tentang keberbedaan (difference). Pertama, kekuasaan sebagai cara untuk mengkategorisasikan masyarakat ke dalam kategori dikotomis seperti “western”-“non western”, “developed-third world”, “civilised-uncivilised”; kedua, kekuasaan sebagai cara membandingkan kedua kondisi dikotomis tersebut; ketiga, sebagai framework atau bingkai untuk mengorganisasikan relasi kekuasaan dan menentukan bagaimana kita berpikir serta berbicara.
Stuart Hall memang dianggap oleh banyak kalangan sebagai salah satu tokoh intelektual yang amat mewarnai perkembangan cultural studies. Cara pandangnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran intelektual poststrukturalis seperti, Edward Said, Homi Bhabha dan Gayatri Spivak. Berdasarkan karya Edward Said, “Orientalism”, dunia direpresentasikan secara polaris sehingga menciptakan kategori “the others” atau mereka yang lain, yang berbeda dan karenanya juga menciptakan pembedaan antara “mereka” dan “kita”. Karya Said sendiri memang mengundang banyak polemik dikarenakan tesis-nya yang mengatakan bahwa “Timur” telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek modernitas “Barat”. Studi Said ini dibangun melalui studi interpretatif terhadap karya kesusastraan “Barat” (Western) yang memfokuskan setting narasinya pada konteks Asia (Orientalism). Edward Said (lewat studi atas novel-novel Barat seperti yang dihasilkan antara lain oleh Flaubert, Austen, Conrad, de Nerval) menggagas teori mengenai Orientalisme dengan asumsi bahwa ada kaitan erat antara imperialisme Barat dengan unsur-unsur yang didukung oleh kebudayaan Barat. Melalui analisa Foucaldian tentang relasi kekuasaan, Said (1995) mencoba memetakan bagaimana “Timur” telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek imperialisme Barat, dimana kehendak untuk menguasai (dominasi) dijalankan secara manipulatif bahkan seringkali melalui proses inkorporasi (incorporated) budaya hegemonik Barat dengan unsur perbedaan yang secara laten dimiliki oleh kelompok sub-ordinan (Timur). Tesis Said mengenai Orientalisme ini dianggap terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan “Timur” sebagai subyek pasif yang sama sekali tidak memiliki ruang ataupun bentuk-bentuk artikulatif dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi peradaban Barat, meski begitu setidaknya studi Said telah membuka suatu cakrawala baru mengenai “bagaimana kita mengkategorisasikan dunia melalui pengalaman kita melihat dunia”.
Homi Bhabha dan Gayatri Spivak, kemudian mengembangkan gagasan mengenai studi poskolonial dengan fokus pada studi representasi, yakni apa yang kini dihadirkan sebagai bagian dari wajah dunia. Bhaba menekankan bahwa, apa yang dihadirkan saat ini di dunia merupakan perwujudan representasi dari budaya hybrid (cultural hybridity). Hybridity mendeskripsikan bagaimana wacana mengenai kolonial dan imperial secara inheren bersifat tidak stabil bahkan “split”, sehingga setiap praktek dari dominasi, bahasa menjadi wujud dari hybridity itu sendiri (Bhabha, 1994). Analisis Bhabha ini didasari oleh studinya mengenai stereotipe kolonial dimana dalam konteks persebaran otoritas imperial, misalnya stereotipe kekejaman kebangsawanan (the nobel savage) dan kecurangan timur (the wily oriental) dikonstruksikan sebagai suatu “sifat yang alamiah” dan konstruksi ini dikonfirmasikan terus-menerus oleh para kolonialis (coloniser). Dalam penjelasan yang lain, Bhabha menggambarkan streotipe tersebut seringkali bersifat kontradiktif, dimana subyek kolonial (colonial subject) yang “kejam” digambarkan sebagai “para abdi yang patuh dan taat”(karena mereka adalah the bearer of food), mereka seringkali berjiwa mistis dan berfikir secara primitif sehingga karenanya adalah subyek yang tidak berdosa (innocent)
Ambivalensi relasi yang dilahirkan dalam konteks kolonialisme ini melahirkan struktur agensi baru sebagaimana yang ditegaskan oleh Spivak sebagai suatu transformasi yang memungkinkan kondisi dari suatu yang mustahil menjadi niscaya (the transformation of a condition of impossibilty into possibilty). Suatu gambaran menarik mengenai bagaimana suatu kondisi yang mustahil menjadi suatu yang mungkin terjadi diilustrasikan oleh Bhabha dalam interpretasi-nya terhadap sekelompok orang-orang desa di luar kota Delhi pada tahun 1817. Para penduduk desa bertahan pada tradisi vegetarian meskipun mereka telah masuk Kristen, dikarenakan argumen bahwa mereka hanya layak menerima sakramen apabila mereka beriman pada hari akhir (evangelical utterance), dan mereka yang beriman bukan muncul dari sekelompok orang pemakan daging (Bhabha, Signs Taken for Wonders, 1994, hal.102). Bhabha menggambarkan situasi ini sebagai suatu perlawanan yang luar biasa, karena ketika penduduk lokal (native) menginginkan Gospel yang bersifat lokal (an Indianised Gospel), mereka menggunakan unsur hybridity sebagai cara mempertahankan kekristenan mereka; yang ini diartikan sebagai suatu transformasi dari bentuk konversi yang mustahil menjadi niscaya. Dari konteks ini teori mengenai hidridity dipahami bukan hanya sebagai suatu peralihan dua wujud yang berbeda menjadi suatu wujud baru, melainkan juga melahirkan bentuk-bentuk resistensi baru dan juga bentuk-bentuk negosiasi baru (Spivak, sebagaimana yang dikutip dalam Bart Moore dan Gilbert, 1997). Melalui struktur agensi baru ini, relasi kekuasaan tidak lagi dikacamatai sebagai bentuk hegemoni lama dimana unsur budaya dominan secara represif memaksakan pengaruhnya secara total terhadap unsur budaya subordinan, karena relasi kekuasaan didalamnya bersifat dinamis sehingga kompetisi antara unsur-unsur kebudayaan memustahilkan absolutisme dalam praktek kebudayaan.
Ambivalensi relasi dalam konteks poskolonialisme juga melahirkan bentuk-bentuk baru wacana mengenai “perbedaan” sebagai suatu medan bagi perjuangan identitas (a field of identity struggle). Perspektif poskolonial secara metodologis telah memungkinkan (enable) dikotomi kategori orientalis mengenai “majikan-budak (master-slaves), penjajah-yang dijajah (coloniser-colonised), kulit putih-hitam (white-black), mereka yang beradab-tidak beradab (civilised-uncivilised)” dimana kategori “the other” yakni mereka yang marginal secara artikulatif merupakan fokus bagi analisa kritis dimana konteks modernitas lebih dimaknai sebagai wilayah pertentangan bagi eksistensi kelompok marginal (subaltern group). Spivak menggambarkan “subaltern group” sebagai orang-orang biasa yang jauh dari pusaran pertentangan wacana dimana kepentingan artikulatif mereka senantiasa dimediasi dan diartikulasikan oleh kelompok-kelompok lain yang lebih dominan misalnya, kalangan intelektual (akademisi), politisi, para administrator dan institusi lain (Spivak, Can the Subaltern speak?, 1988). Dalam studi-nya mengenai “disenfranchised women” (Kaum wanita yang kehilangan suara/hak-nya), Spivak mengilustrasikan bahwa dalam sekelompok perempuan India “Sati” (yakni para janda yang mengorbankan dirinya melalui kematian / bunuh diri), seringkali diam dan tidak berdaya, tidak lain karena suara mereka tidak pernah diberdayakan. Dari sini, ada suatu mata rantai yang hilang dimana kepentingan artikulasi seringkali terdistorsi dan bahkan lenyap dari wacana dominan karena tergantikan oleh media-media artikulasi lain (intelektual, institusi patriarkhis, administrator, politisi dan lain-lain) yang memiliki kepentingan kekuasaan terhadap kompetisi wacana dominan. Studi Spivak inilah yang kemudian menginisiasi wacana mengenai kritik poskolonial untuk “merekam suara mereka yang diam” (to record the silence) sehingga “perbedaan” (difference) memiliki ruang artikulatif bukan hanya untuk dipahami tetapi juga untuk diakui, pada konteks inilah perjuangan bagi identitas dimunculkan.
Sumbangan teori poststrukturalis dan teori poskolonial ke dalam kajian budaya kontemporer telah memungkinkan penelusuran lebih jauh mengenai bagaimana wacana dominan atau sebaliknya wacana kelompok subaltern telah membentuk konfigurasi setting sosial kita saat ini. Melalui kajian budaya kontemporer, kita melihat berbagai wujud ekspresi kebudayaan sebagai respon atas perubahan sosial yang demikian deras, serta munculnya bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan baru (dalam pengertian hybridity) dan ruang-ruang artikulatif baru yang seringkali tidak hanya berhenti pada proses refleksi semata, melainkan juga bagaimana bentuk-bentuk kebudayaan mampu memotivasi perubahan sosial.

Sistem Makna dan Tindakan Manusia dalam Pembahasan Sosiologi Budaya

Secara paradigmatik, Cultural Studies memiliki dimensi multi-disipliner yang berbeda dengan kajian inter-disipliner yang selama ini telah ada. Ini didasari oleh suatu landasan epistemologis bahwasanya kajian keilmuan harus berbasis pada logika-logika scientifik dimana masing-masing disiplin ilmu membangun tradisi intelektualnya melalui pembatasan (boundaries) melalui metodologi sebagai alat analisisnya. Kajian di dalam sosiologi misalnya, memiliki tradisi empirisme yang amat kuat sehingga subyek studi pada kajian sosiologis lebih banyak memfokuskan pada realitas empirik. Ketika sosiologi melihat kebudayaan sebagai obyek analisis studi, maka dimensi empirisme amat berpengaruh ke dalam analisa mengenai unsur-unsur dinamis kebudayaan sebagai media transformasi perubahan sosial.
Keterbatasan yang disyaratkan secara metodologis, membuat analisis sosiologi mengenai kebudayaan hanya berhenti pada relasi empirisme yang melihat realitas sosial dikonstruksikan melalui struktur sosial dan agency, sebagaimana yang kita temukan pada analisis Anthony Giddens tentang teori strukturasi. Berbeda dengan irisan studi inter-disipliner (cross-disciplinary studies) antara Sosiologi dengan kebudayaan, maka pendekatan Cultural Studies (Cultural Studies Approach) kepada Sosiologi memiliki implikasi analisis yang berbeda. Ini dikarenakan Cultural Studies tidak berbasis pada logika scientifik yang dibatasi oleh tradisi metodologi yang ketat, maka pendekatan Cultural Studies berbasis pada “keterbukaan pada level diskursus (wacana) yang dibangun melalui formasi inteletual dalam merespon pemikiran dan kehidupan sosial kontemporer, sebagaimana yang kita temukan pada wacana postmodernity and post-coloniality.”
Pada level ini, keterlibatan aktor (intelektual) di dalam pendekatan Cultural Studies mengambil posisi partisipatoris yang dinamis, dia bukan hanya berposisi sebagai intelektual (Subyek) yang berjarak dari praxis (Obyek yang menjadi bahan kajiannya), melainkan juga bersifat timbal balik. Contoh ini digambarkan melalui metafora yang melihat wacana Sosiologi yang selalu ingin berposisi untuk senantiasa “relevan bagi kebijakan dan politik” (to be relevant to policy and politics), sedangkan Cultural Studies memposisikan dirinya “terlibat secara politis” (politically engaged). Dengan demikian, dimensi inter-disipliner pada pendekatan Cultural Studies tidak membatasi eksplanasi dan analisisnya terhadap “praxis” melalui pembatasan-pembatasan yang disyaratkan oleh metodologi sebagai kerangka analisis (tools of analysis) melainkan juga memiliki keterlibatan yang pro-aktif terhadap praxis.

Relasi epistemologis Cultural Studies bukan hanya dapat mengkaitkan beberapa bidang studi (fields of study), bahkan juga dapat melahirkan suatu “pendekatan baru” di dalam melihat komplesitas realitas sosial. Relasi ini menggambarkan bahwa tradisi keilmuan (scientific tradition) melalui sekat disiplin ilmu berjarak dengan praksis dikarenakan pembatasan metodologis sehingga memungkinkan munculnya distorsi atau bahkan eleminasi pada komplesitas realitas sosial.

Pierre Bourdieu adalah salah seorang sosiolog yang memulai bagaimana fokus analisis dalam kebudayaan dialihkan dari pembahasan mengenai struktur dan pengalaman subyektif ke dalam praktek sosial. Setidaknya ada tiga tema yang ditawarkan oleh pandangan Bourdieu dalam melacak relasi struktur, makna dan tindakan sosial yakni:
• Ide mengenai “cultural capital” dan “habitus” yang menjelaskan bentuk dan struktur kebudayaan
• Penekanan pada peran otonomi kebudayaan (the autonomus role of culture) dan perjuangan kebudayaan (cultural struggle) yang menentukan hasil tindakan baik secara individual maupun institusional.
• Teori Bourdieu mampu mensinergikan hubungan antara kebudayaan dan agensi.

Habitus dalam pengertian Bourdieu diartikan sebagai berikut:
“Systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is as principle of the generation and structuring of practices” (Bourdieu, 1977, hal.72).

Sehingga, habitus merupakan suatu sistem yang memiliki kesinambungan (kelanjutan) yang mampu melintas dan tak tergantikan serta terstuktur dan menstrukturkan pengaruh sebagai berfungsi menstrukturkan struktur, yang kesemuanya itu merupakan prinsip suatu generasi dan prinsip dalam menstrukturkan praktek sosial. Habitus mengkaitkan persoalan ketidakmerataan (inequalities) di dalam struktur sosial dimana suatu masyarakat terpola oleh kekuasaan dan kelas sosial. Menurut Bourdieu, habitus muncul dari ketidakmerataan sosial dan karenanya memproduksi praktek tindakan dan selalu akan bertendensi untuk memproduksi struktur obyektif dari apa yang diproduksinya. Bourdieu melanjutkan bahwa mereka yang berada pada posisi subordinatif tidak akan pernah dipenuhi (dilengkapi) oleh ‘habitus’ sehingga memudahkan mereka untuk mengembangkan pola-pola tindakan dalam kehidupan mereka. Sebagai gantinya, habituslah yang akan memenuhi dengan hasrat, motivasi, pengetahuan, keahlian, rutinitas serta strategi untuk mereproduksi status inferior mereka. Menurut Bourdieu, keluarga dan juga pendidikan (sekolah) menentukan habitus yang melingkupi ruang sosial seseorang dimana ia melanjutkan perjuangannya untuk mempertahankan diri atau meningkatkan mobilitas sosial vertikalnya.
Sedangkan konsep kapital dalam pembahasan Bourdieu menunjuk pada tiga pembedaan utama yang menentukan kekuasaan sosial dan juga ketidakmerataan sosial. Ekonomi kapital menunjuk pada sumber daya finansial, sosial kapital berkenaan dengan pengetahuan yang kita miliki sehingga karenanya kita memiliki berbagai keuntungan (advantage) dimana keuntungan tersebut kita miliki di dalam jaringan sosial yang kita miliki. Sedangkan “cultural capital” dalam pengertian Bourdieu merupakan perluasan dari konsep habitus, dimana cita rasa (taste) bukanlah bersifat universal dan berbasis pada kriteria obyektif mengenai cita rasa baik atau buruk. Melainkan cita rasa ditentukan secara sosial, karenanya lebih banyak dibentuk oleh lokasi sosial.Cita rasa juga menentukan apa yang layak dilegitimasi sebagai baik atau buruk di dalam suatu relasi sosial.

Kontribusi Bourdieu di dalam wacana kebudayaan yang paling kompleks adalah lewat karya-nya “The Field of Cultural Production”. Konsep “field” dalam pembahasan Bourdieu mengacu pada berbagai bidang dalam kehidupan sosial seperti karya seni (arts), industri, hukum, kedokteran, politik dan lain sebagainya. Di dalam setiap ‘field’, setiap aktor yang terlibat di dalamnya terlibat dalam suatu perjuangan bagi kekuasaan dan status. Mereka yang bertarung dalam ‘field’ tertolong atau bahkan terlukai oleh habitus yang mengelilingi mereka khususnya ketika mereka menebarkan strategi melalui ‘cultural capital’ untuk meraih kesuksesan di dalam bidang yang mereka geluti. Perjuangan secara kontinyu berlangsusng diantara ‘fields’, juga berlangsung didalam ‘sub-field’ sendiri serta perjuangan aktor terhadap ‘field’. Perjuangan semacam ini digambarkannya, misalnya lewat pertarungan antara “high culture” dan “low culture”, sebagaimana yang kita saksikan lewat karya seni ataupun musik. Perjuangan juga berlangsung di dalam ‘field’ ketika seseorang atau sekelompok orang menghendaki legitimasi untuk dominasi yang diperjuangkan mereka. Dengan kata lain, “field” merupakan ajang pertarungan dimana strategi dijalankan untuk memperoleh legitimasi, dominasi dan juga pengakuan (recognition). Studi Bourdieu mengenai “field” saat ini menjadi kerangka analitik (analytical framework) yang seringkali digunakan, misalnya dalam studi ilmu politik dimana perjuangan bagi legitimasi atas bentuk khusus dari kapital budaya dilakukan sebagai strategi dan juga dipengaruhi oleh setting poliltik maupun institusi dimana medan pertarungan itu berlangsung.

Dapat dikatakan bahwa perkembangan wacana mengenai kebudayaan kontemporer merupakan pembahasan mengenai bagaimana setting sosial mampu membentuk kebudayaan dan bahkan memberikan arah bagi perkembangan kebudayaan. Stuart Hall menyimpulkan dari apa yang telah dibahas oleh Bourdieu, bahwa konstruksi sosial dan konstruksi kekuasaan mempengaruhi bagaimana kita memandang dan membentuk kebudayaan. Pada konteks masyarakat postmodern, kebudayaan merupakan proses pembentukan makna (the process of meaning making) yang banyak dipengaruhi oleh setting sosial yang melingkupinya. Menurut Spillman (2002) investigasi atas proses bagaimana makna tercipta telah memungkinkan kajian sosiologis melalui setidaknya tiga metode. Pertama, “meaning making process on the ground”, dimana makna tercipta melalui interaksi individual dalam keseharian. Kedua, “meaning making process within the field of network or institution of cultural producer”, dimana dalam proses ini produk-produk sosial misalnya karya sastra diuji (examined) pada konteks sosial tertentu ketika karya tersebut diciptakan. Dalam metode ini, pendekatan sosiologi historis diperlukan untuk penelusuran dampak dari konteks yang melatarbelakangi dan yang secara institusional melahirkan wujud kebudayaan (cultural outcomes). Ketiga, “meaning making on the text” yang memfokuskan analisa tekstual yang menjelaskan struktur internal dimana “makna” diproduksikan.
Jadi, dapat dikatakan kembali, bahwa di dalam pendekatan cultural studies budaya dapat dipandang sebagai suatu relasi konsensus dan sekaligus relasi kekuasaan. Perdebatan wacana lewat interpretasi yang beragam atas suatu wacana dan bagaimana interpretasi yang beragam di dalamnya mampu menghadirkan peta relasi kekusaan, karena wacana merupakan wilayah pertentangan mengenai suatu kebenaran relatif (discourse is a site of struggle among relative truths). Pendapat ini didasari oleh suatu argumen, bahwa pengetahuan tidak seharusnya diperlakukan sebagai suatu kebenaran obyektif, melainkan pengetahuan lahir sebagai suatu produk kita mengkategorisasikan dunia melalui apa yang disebut sebagai “discursive analytical terms” atau analisis pengertian-pengertian yang kita bangun secara diskursif. Karena konsepsi kebudayaan yang terus berubah menurut ruang dan waktu, maka makna juga terus berubah mengikuti perubahan tempat dan waktu. Oleh karenanya, menurut Stuart Hall, representasi menjadi amat penting di dalam menghadirkan keberagaman wacana dikarenakan ia melingkupi derajat penerimaan relativitas kebudayaan (cultural relativism) dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain serta penerjemahan secara komprehensif perubahan cara berpikir kita untuk mengetahui alasan dimana makna dilahirkan pada suatu konteks tertentu dan yang pada gilirannya membentuk tindakan sosial yang kita lakukan.



Referensi:
Baubock, Robert, 1992. The Cultural Formation of Modernity, Polity Press and Open University, Cambridge
Bhabha, Homi, 1994. The Location of Culture, Routledge, London.
Bourdieu, Pierre, 1993. The Field Of Cultural Production, Polity Press, Cambridge
Hall, Stuart, 1996. Who Needs Identity, in Hall and Du gay, Questions of Culture Identity, Sage, London.
Hall, Stuart, 1997. The Spectacle of the Other, Sage and Thousand Oaks, London
Jorgensen and Philips, 2003. Discourse Analysis as Theory and Method, Sage publication, London.
Kapferer, Judith, 1996. Being All Equal: Identity, difference and Australian Cultural Practice, Berg, Oxford.
Kristeva, Julia, 1986. Word, Dialogue and Novel, in Moi (ed), The Kristeva Reader, Oxford Blackwell, Oxford.
Moore-Gilbert, 1997. Postcollonial Theory, Verso, London
Said, Edward, 1985. Orientalism, Penguin Book, London.
Smith, Philip, 2002. Cultural Theory, an Introduction for 21st Century Sociology, Blackwell, London.
Spillman, Lynn, 2002. Cultural Sociology, Blackwell Readers in Sociology, Massachusetts.
Spivak, Gayatri, 1988. Can the Subaltern Speak?, in Nelson and Grossberg (eds), Marxism and the Interpretation of Culture, University of Ilinois Press, Chicago.
Spivak, Gayatri, 1988. In Other World, Routledge, New York.

Identitas Politik dan Multikulturalisme dalam Proses Re-Imajinasi Indonesia

Identitas Politik dan Multikulturalisme dalam Proses Re-Imajinasi Indonesia 

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas 

Latar Belakang 

Bayangkanlah ketika kita menjadi seorang warga dunia (cosmopolitan) dan terpaksa meninggalkan ‘tanah air’ merantau ke negeri orang. Ini misalnya dimungkinkan karena peperangan, masalah ekonomi, atau kehendak untuk mencari kehidupan yang jauh lebih baik seperti memperoleh pendidikan dan juga lapangan kerja, telah memisahkan kita dari sanak keluarga dan rumah dimana kita pernah lahir dan dibesarkan. Pertanyaan yang sering datang pada kita sebagai “orang asing” di negeri orang adalah, “Where are you from?”, maka kita akan menjawabnya dengan, “Indonesia”. Ikatan kita pada apa yang kita sebut sebagai suatu “bangsa” seringkali dikonotasikan dengan ikatan darah (blood), tempat kelahiran (birth), atau keturunan (ancestry). Ikatan semacam inilah yang membatasi kita mendefinisikan suatu bangsa dalam suatu lingkup teritorial atau lingkup budaya tertentu (a sense of territorial fixity and cultural limits). Studi Ben Anderson (1983) menegaskan bahwa ikatan-ikatan semacam inilah yang kemudian menjadi embrio lahirnya sebuah “bangsa”, apa yang kemudian disebutnya sebagai “imagined communities”. Karenanya rasa kebangsaan seseorang seringkali merupakan suatu ikatan atas kelangsungan hidup suatu komunitas dalam jangka waktu yang panjang (a sense of longevity), ikatan atas sejarah bersama yang terjadi di masa lampau (a sense of belonging to a history drawn from ancient times). Rasa kebangsaan semacam inilah yang oleh Anderson menandai lahirnya suatu negara-bangsa (nation-state) dimana ikatan dan keanggotaan seseorang pada negara-bangsa bukan hanya dikonstruksikan secara politis, tetapi lebih merupakan suatu konstruksi kebudayaan yang dipraktekkan melalui ritual dan simbol-simbol seperti; bendera nasional, upacara bendera, lagu kebangsaan, peringatan hari nasional, semuanya tujukan untuk menyampaikan makna, yakni ikatan-ikatan sebagai satu bangsa. Tesis Ben Anderson memperkaya diskursus dalam studi mengenai negara-bangsa (nation-state) yang semula hanya memfokuskan analisis negara-bangsa sebagai suatu instusi politik dimana didalamnya ada suatu pemerintahan yang berdaulat atas suatu ruang teritorial yang didiami oleh suatu komunitas bernama bangsa . Anderson memperluas daya jangkau analisisnya dari sekedar suatu pengamatan empirik sebuah komunitas berwujud negara-bangsa menuju suatu kajian yang bersifat antropologis dan sosiologis. Anderson menjelaskan bahwa ada hal-hal yang membatasi proses “mengimajinasikan suatu bangsa”. Ini berkenaan dengan batasan-batasan untuk membedakan “kita” dan “mereka”, yakni yang kemudian menjadi kategori untuk mengatakan “siapa yang menjadi milik atau anggota suatu komunitas bernama bangsa dan siapa yang bukan.” Sehingga dapat dikatakan bahwa proses “othering” atau “membedakan yang lain”, merupakan suatu proses yang inheren dalam perkembangan suatu bangsa. Menurutnya, pengertian mengenai bangsa juga mengindikasikan suatu identitas kolektif yang membedakan satu bangsa dengan bangsa yang lainnya. Selain memberi “penanda” yang membedakan, proses mengimajinasikan suatu bangsa juga dilakukan melalui wujud “berdaulat (sovereign)”, dimana tidak ada legitimasi kekuasaan yang tertinggi, kecuali klaim atas nama “Tuhan” yang seringkali dilegitimasi dalam suatu komunitas bangsa sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, sebagaimana tercantum dalam berbagai konstitusi nasional. Berbasis pada legitimasi inilah, kemudian negara melakukan berbagai tindakan yang diatasnamakan sebagai kepentingan nasional (acts for national interests). Penjelasan Anderson mengenai “nation” ini, membantu kita memahami kekuatan (power) nasionalisme sebagai salah satu kekuatan besar (force) di dunia. Rasa kebangsaan (nasionalism) kemudian dibangun berdasarkan emosi dan komitmen yang menyatukan orang, khususnya di masa-masa krisis (perang atau tragedi), atau berbagai kejadian yang memberikan suatu status khusus bagi identitas nasional (momentum sejarah tertentu). Secara umum, bagi kebanyakan kita yang hidup di dunia modern, bangsa dimana kita dilahirkan juga menjadi bagian identitas bagi diri kita sendiri. Dapat dikatakan, bahwa pengertian “nation” bervariasi dari konstruksi sosial dan politik ke konstruksi ikatan-ikatan sejarah dan primordial. Ketika pengertian mengenai bangsa kemudian dilekatkan pada negara, maka ini mengacu paka pengaturan-pengaturan politik (political arrangements) dimana sekelompok orang diikat oleh ideologi, persamaan-persamaan, penciptaan dan memelihara identitas yang kemudian dipraktekkan melalui norma-norma internal dan sistem organisasi. Dari praktek kultural semacam ini, maka makna yang dilahirkan menciptakan suatu semangat kebangsaan (nasionalisme) dan dari situlah kemudian kita mengidentifikasikan diri secara personal ke dalam suatu komunitas negara-bangsa. Karenanya, ketika kita mendefinisikan diri kita pada orang asing, maka kita akan memulainya dengan mengatakan semacam ini, “I am Indonesian”, sebelum kita mendeskripsikan hal-hal lain mengenai diri kita sendiri.

 

Imagined Communities dan Tantangan Baru bagi Nasionalisme Indonesia

Meskipun thesis Anderson telah membuka cakrawala baru bagi studi yang lebih dinamis mengenai nation-state, muncul sebuah perdebatan baru dalam menerjemahkan fenomena mutakhir tentang “nation” atau yang oleh Anderson disebut sebagai “imagined communities”. Jika Anderson menegaskan bahwasanya rasa kebangsaan (a sense of nationalism) kemudian berwujud pada identifikasi yang membedakan suatu komunitas negara-bangsa, maka proses identifikasi ini dibatasi oleh batasan-batasan teritorial (territorial landscape), dikarenakan nasionalisme kemudian dipraktekkan sebagai wujud dari komitmen individu kepada negara. Perdebatan ini muncul dipertengahan tahun 1990-an yang diinisiasi oleh Ulf Hannerzt (1996) dan juga oleh Arjun Appadurai (1997). Kedua-duanya mengatakan bahwa proses mengimajinasikan bangsa (the process of imagining nation) tidak lagi dapat dibingkai oleh batasan-batasan teritorial Hannerzt berargumen bahwa nasionalisme yang dibangun dari basis ikatan primordial dan karenanya menjadi sumber legitimasi bagi suatu negara (state), sebagaimana yang dikemukakan oleh Anderson, tidak dapat lagi terus dipertahankan. Ini dikarenakan eksistensi “nation-state” tidak lagi dapat menjadi sumber bagi proses mengimajinasikan suatu komunitas dikarenakan efek ambigu yang diciptakan oleh globalisasi dan juga struktur transnasional, yang disatu sisi tetap memperluas dan mempertahankan ikatan-ikatan kolektif atas masa lalu (enduring collective past), tetapi juga sekaligus berdampak pada proses penterjemahan kembali ikatan-ikatan tersebut, dimana makna baru yang muncul melampaui batasan-batasan mengenai kebangsaan (nationhood). Pemaknaan baru ini seringkali menimbulkan konflik klaim atas wujud nasionalisme seperti loyalitas pada negara atau loyalitas pada bangsa (kemanusiaan). Dengan demikian, persoalan identitas nasional menjadi jauh lebih kompleks daripada sebelumnya. Appadurai melanjutkan thesis Hannerzt, bahwa kemunculan masyarakat transnasional (transnational society) yang beroperasi melampaui batas-batas geografis nasional kemudian mengeksplorasi legitimasi negara dan mempertanyakan pengertian apa yang dimaksud sebagai ‘bangsa’. Praktek ketidakadilan politik, kesenjangan sosial dan ekonomi yang berlangsung di tempat asal tanah air bagi sekelompok orang yang tercerabut dari tanah air-nya tersebut telah menggalang suatu komunitas politik tanpa negara dimana mereka menjalankan suatu organisasi pemerintahan di negara lain. Kelompok-kelompok seperti ini mengorganisir isu dan menggalang diplomasi bagi tekanan internasional yang seringkali menggunakan isu dan klaim atas praktek pelanggaran kemanusiaan (human rights violation) yang berlangsung di tanah air asal mereka. Ini misalnya dicontohkan bagi komunitas transnasional dari suku bangsa Kurdi di Jerman, atau kelompok India Tamil di pengungsian, dan bahkan komunitas imajiner (immagined communities) orang-orang Cina perantauan (Huaqio / Huaaren) yang tersebar di pelosok dunia dan menggalang kampanye menentang praktek rasisme terhadap minoritas etnis Cina di Indonesia pada tahun 1998, misalnya. Masyarakat transnasional semacam ini pada awalnya muncul dikarenakan situasi yang terpaksa (forcibly reason) seperti akibat perang atau pertikaian politik, maupun juga secara sukarela (voluntary diaspora), sehingga mereka seringkali tercerabut dari tanah airnya (uprooted) dan melakukan perpindahan diasporik ke berbagai tempat di dunia. Karenanya menurut Appadurai, bentuk-bentuk masyarakat imajiner (imagined communities) baru yang bukan berwujud institusi negara (stateless) dalam situasi global sekarang ini merupakan tantangan baru bagi setiap nation-state yang tetap memelihara legitimasinya melalui penciptaan mitos-mitos tentang nasionalisme dan juga praktek kultural dalam mempertahankan kohesi sosial dan politiknya. Penjelasan Appadurai menarik untuk menjelaskan bagaimana fenomena tentang kohesi sosial dan politik nation-state saat ini di berbagai tempat di dunia telah mengalami apa yang disebut sebagai “krisis legitimasi nasional”. Di Indonesia misalnya, konflik separatis yang muncul di beberapa tempat, misalnya di Aceh atau di Papua, ditengarai oleh gerakan kelompok-kelompok diasporik seperti; kelompok Hasan Tiro di Swedia yang memimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua New Guinea dan di Australia. Lepasnya Timor-Timor (East Timor) dari kedaulatan RI, merupakan salah satu contoh dimana gerakan diasporik yang bersifat transnasional, bukan hanya mampu mendorong tekanan internasional atas praktek politik yang berlangsung di sebuah negara, tetapi sekaligus memunculkan sebuah wujud solidaritas baru dari komunitas tersebut dan memunculkan identifikasi-identifikasi baru bagi ikatan komunitas ini. Tantangan baru bagi kohesi sosial dan politik menjadi persoalan yang problematik bagi kelangsungan suatu negara bangsa dimanapun di dunia. Ini tidak lain berkenaan dengan legitimasi yang digunakan bagi ikatan-ikatan primordial seringkali berbasis pada catatan atau dokumen-dokumen resmi yang kemudian dinamakan sejarah resmi (official history). Sedangkan klaim atas kebenaran relatif suatu sejarah dalam masyarakat yang mulai mengalami keterbukaan informasi menjadi perdebatan baru yang tidak kalah pentingnya bagi sumber mengimajinasikan kembali ikatan-ikatan nasional dan sekaligus juga ancaman bagi legitimasi negara atas ikatan-ikatan primordial sebelumnya. Runtuhnya Orde Baru di tahun 1998 menandai terbukanya iklim demokratis dan kemajuan teknologi telah memungkinkan sebagian besar masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi. Karenanya, sebagian legitimasi sejarah yang di masa rezim Soeharto merupakan sumber legitimasi bagi kekuasaan dan sekaligus menjadi interest nasional untuk menjaga kohesivitas sosial dan politik banyak dipertanyakan orang dan menjadi pembicaraan publik. Konstruksi identitas nasional bagi bangsa Indonesia sebagai sebuah negara bangsa moderen memang dalam kurun sejarahnya selalu bersifat paradoks. Sejarah moderen Indonesia sebagai negara bangsa memang merupakan produk yang lahir pasca kolonialisme di awal abad 20. Sebelumnya, imajinasi bahwa rangkaian pulau-pulau di Nusantara (archipelago) ini dapat bersatu menjadi suatu komunitas, berbahasa yang sama dan juga membagi sejarah pengalaman bersama merupakan hal yang mungkin tidak pernah terduga sebelumnya dalam benak bangsa-bangsa penjajah (the colonisers). Oleh karena itu, thesis Ben Anderson yang secara khusus mengamati proses nation-building di Indonesia menjadi amat menarik untuk menjelaskan munculnya negara-negara bangsa moderen pasca kolonialisme. Di era pasca kolonial memang banyak negara bangsa baru yang muncul, tetapi apa yang membedakan Indonesia dengan negara pasca kolonial semacam Cina atau India, adalah karena dokumen-dokumen resmi dalam catatan sejarah tidak pernah mengatakan adanya suatu negara atau komunitas bangsa bernama “Indonesia”. Ini tidak lain karena hegemoni kolonialisme pemerintah Hindia Belanda amat mempengaruhi apa yang konsumsi pengetahuan masyarakat dunia tentang sejarah apa yang berlangsung di serangkaian pulau di Nusantara ini. Oleh karena tujuan untuk melakukan proses nation-building menjadi basis bagi kepentingan politik yang amat kuat, maka dalam kelahirannya sebagai suatu negara bangsa moderen, proses identifikasi nasional dan sekaligus konstruksi mitologis dan praktek kebudayaan yang ditujukan bagi kepentingan nasional selalu diwarnai oleh “pertarungan-pertarungan” diantara elit politik, baik di kurun masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Apa yang menjadi basis bagi identitas nasional kemudian menjadi persoalan bagi pertarungan wacana dan karenanya, wacana yang dominanlah yang menjadi basis landasan bagi konstruksi identitas nasional Indonesia, sehingga seringkali apa yang menjadi wacana bagi kelas penguasa (rezim) selalu identik dengan proses melegitimasi sumber-sumber imajinatif bagi konstruksi rasa kebangsaan (nasionalisme). Dalam prakteknya, semua ritus dan simbol nasional secara tidak langsung memang ditujukan untuk mengabdi pada kepentingan elit penguasa. Runtuhnya rezim Soeharto menandai suatu krisis baru identitas nasional, dikarenakan maraknya berbagai konflik berbasis sentimen keagamaan, rasial, dan juga konflik etnis. Berbagai tantangan baru ini kemudian memunculkan perdebatan mengenai bagaimana memaknai kembali ikatan-ikatan kita pada negara-bangsa, atau bagaimana memunculkan sumber-sumber baru bagi legitimasi kelangsungan suatu negara bangsa. Sebagai respon atas pertanyaan tersebut, ada dua topik perdebatan yang kemudian muncul, yakni ideologi apa yang masih dapat dipertahankan sebagai sumber ikatan lama yang mempersatukan bangsa Indonesia, dan praktek nasional apa yang dapat mempertahankan kohesivitas sosial dan politik di Indonesia. Ideologi politik dan juga doktrin negara masih dianggap memiliki kontribusi yang relevan dalam menyediakan cara-cara mengorganisir dan mengontrol agenda publik sekaligus juga mengumpulkan dukungan publik untuk melegitimasi kepentingan nasional. Ideologi politik merupakan sekumpulan nilai-nilai ideal yang menjadi acuan bagi suatu tindakan (dalam pengertian institusi dan juga kebijakan). Ideologi politik juga sekaligus merupakan asumsi mengenai kapasitas manusia atau kondisi manusia atau juga identitas nasional. Dalam konteks Indonesia, Pancasila masih merupakan doktrin bagi ideologi politik yang tetap dipertahankan karena bersifat non-sektarian dan menjadi simbol bagi persatuan di dalam keberbedaan (bhinneka tunggal ika / unity in diversity). Meski doktrin ini masih tetap dipertahankan, seringkali praktek politik nasional yang bersifat hegemonik, distorsif dan karenanya menciptakan ketidakadilan telah memunculkan respon yang berbeda di dalam masyarakat. Bentuk-bentuk semacam ini memunculkan bukan hanya resistensi politik (khususnya di masa Orde Baru) tetapi juga sekaligus bentuk-bentuk perlawanan. Oleh karena kemunculan Indonesia sebagai suatu negara bangsa moderen dilatarbelakangi oleh unsur keberagamam latar belakang agama, suku, ras, budaya, dan bahasa, maka kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural menjadi basis paling penting untuk suatu proses konstruksi nasionalisme dan sekaligus pemaknaan kembali identitas nasional. Berbeda dengan negara-negara multikultural lainnya di dunia seperti di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, ataupun Singapura, Indonesia memiliki setting multikultural yang berbeda, meskipun ada beberapa persamaan di dalam praktek politik di negara-negara multikultural tersebut. Kanada, Australia dan Singapura, tidak memiliki sejarah perlawanan yang kuat terhadap kolonialisme, dikarenakan proses berdirinya mereka menjadi suatu negara-bangsa moderen merupakan bentuk kompromi politis dengan penguasa kolonial yakni Persemakmuran Inggris (the Commonwealth). Sehingga sejarah yang bersifat “konflik berdarah” tidak dilegitimasi di dalam catatan sejarah resmi yang sekaligus mewarnai proses nation-building. Sementara, baik Amerika Serikat dan juga Indonesia, memiliki sejarah atas konflik berdarah dengan penguasa kolonial. Yang membedakan Indonesia dari kelima negara multikultural tersebut adalah bahwasanya secara resmi (officially), Indonesia tidak menerapkan politik multikulturalisme. Setting masyarakat multikultural di Indonesia juga amat berbeda dengan setting masyarakat multikultural di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan bahkan Singapura. Di kelima negara tersebut, keberagaman latar belakang masyarakatnya diakibatkan karena adanya arus perpindahan berbagai unsur etnis dan ras (diasporic movement), baik dikarenakan alasan yang terpaksa (misalnya karena memindahkan kaum budak Afrika, yang menjadi cikal-bakal generasi Afro-American, atau dikarenakan sebagai lokasi pembuangan para kriminal, sebagaimana yang berlangsung di Australia), maupun perpindahan yang terjadi karena sukarela (sebagaimana etnis perantauan Cina di Singapura, Selandia Baru, dan Kanada). Sementara, Indonesia terdiri dari beberapa suku-suku yang secara mayoritas mendiami beberapa lokasi teritorial di berbagai pulau yang tersebar di seluruh Nusantara. Perbedaan setting multikultural ini, pada gilirannya akan memunculkan problema tentang bagaimana memelihara identitas nasional yang menyatukan seluruh elemen bangsa, tetapi juga berkenaan dengan akses politik suku-suku yang berbeda (di Indonesia) atau akses politik bagi kelompok minoritas (seperti kelompok indigenous di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan minoritas kelompok kulit hitam di Amerika, atau minoritas Melayu di Singapura). Di Indonesia, klaim atas akses politik bagi berbagai suku-suku yang berbeda menjadi lebih rumit dikarenakan praktek politik ini berkenaan dengan kedaulatan di wilayah-wilayah yang telah didiami oleh suku-suku tersebut dalam kurun waktu yang amat panjang. Oleh karena itu, ketika muncul perdebatan mengenai “hak-hak indigenous” di seluruh dunia, maka problema ini menjadi jauh lebih kompleks di Indonesia, dikarenakan pengertian hak-hak masyarakat indigenous seringkali menghubungkan klaim politik dengan unsur ‘longevity’ atau kelangsungan hidup terus-menerus suatu kelompok di dalam wilayah teritorial sebelum wilayah itu didiami oleh kelompok lainnya. Sedangkan di Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, mudah untuk mengidentifikasi kelompok manakah yang disebut sebagai indigenous. Politik multikulturalisme dan prakteknya menjadi suatu perdebatan yang menarik dikarenakan esensi dari tujuan diaplikasikannya politik ini adalah untuk menjaga kohesivitas politik dan kohesivitas sosial berkenaan dengan isu kesetaraan sosial dan keadilan sosial (social equality and social justice). Kesetaraan sosial dan keadilan sosial merupakan dua sisi fundamental yang melandasi keadilan politik bagi suatu komunitas negara-bangsa. Di dalamnya terkandung suatu basis konstitusi yang menjalankan prosedur keadilan untuk memenuhi persyaratan bagi kebebasan yang setara (equal liberty). Selain itu, keadilan politik juga dibingkai dalam pengaturan-pengaturan yang memungkinkan (feasible arrangements) dihasilkannya sebuah sistem yang adil (fair system). Dalam sejarah politik dan demokrasi di Amerika Serikat, isu mengenai praktek politik atas social equality and social justice hingga sekarang masih diperdebatkan. Sejarah mencatat, penghapusan diskriminasi sosial dan politik di Amerika Serikat selalu berkenaan dengan persoalan perbedaan distribusi keadilan sosial bagi seluruh warga negaranya. Perubahan konteks sejarah juga mempengaruhi apa yang dipraktekkan oleh setiap rezim penguasa. Ini misalnya dapat kita cermati dalam sejarah kelam di Amerika Serikat tentang penindasan rasial, begitupun di Australia dimana sejarah mengenai kebijakan rasial tentang “the White Australia Policy” atau kebijakan yang hanya membolehkan imigran kulit putih saja yang berhak menjadi warga negaranya dihapuskan pada tahun 1950-an. Praktek penghapusan diskriminasi semacam itu kemudian menjadi sumber bagi konstruksi ideologis dan identitas nasional. Meski secara formal, baik pemerintah di Amerika Serikat maupun di Australia telah menghapuskan bentuk-bentuk diskriminasi di dalam konstitusi politik mereka, tetapi praktek dominasi dalam transformasi bentuknya yang terbaru menunjukkan bertahannya praktek diskriminasi sosial dan politik. Di Indonesia sendiri, secara konstitusional tidak ada satupun konotasi yang mengarah pada bentuk-bentuk perlakuan diskriminatif. Ini misalnya dibuktikan dalam sejarah, melalui penghapusan beberapa kalimat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang sebelumnya mencantumkan pengertian bagi pemberlakuan syariat Islam bagi seluruh umat muslim Indonesia. Meski demikian, dikarenakan interpretasi atas praktek ideologi negara menjadi alat kepentingan bagi kekuasaan, maka praktek yang bersifat distorsif pun mulai menjadi tidak terhindarkan. Isu separatisme di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, ini misalnya ditandai oleh pergolakan politik elit penguasa saat itu (Orde Lama), misalnya dengan beberapa kelompok Islam (yang diidentifikasi sebagai DI/TII), kelompok nasionalis (PRI-Permesta), dan juga kelompok komunis (PKI).   Ketika rezim Soeharto berkuasa, maka agenda bagi stabilitas nasional menjadi urgensi bagi setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah pada saat itu. Proses nation-building untuk tujuan tersebut diperteguh di dalam praktek nasional melalui legitimasi peringatan hari-hari besar nasional, dan bahkan ke dalam muatan yang diajarkan di dalam pendidikan nasional, mulai dari tingkatan sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Suatu ilustrasi menarik mengenai praktek budaya yang hegemonik misalnya didapati dalam buku-buku pelajaran anak-anak Sekolah Dasar di era tahun 1970-an hingga awal 1990-an. Di dalam sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia, misalnya ada berbagai tokoh seperti: “Budi, Ibu Budi, Bapak Budi, Wati, Iwan, Arman, dan gambaran mengenai rumah, sekolah dan lingkungan tempat tinggal mereka yang kira-kira menggambarkan social landscape di Pulau Jawa”, kesemuanya diimajinasikan sebagai “keluarga Indonesia”. Sementara itu, tidak pernah terlintas di pikiran sebagian besar masyarakat Indonesia misalnya, ketika seorang anak di Papua kesulitan mengimajinasikan “Budi” dan juga gambaran tentang “rumah Budi” sebagai bagian dari social landscape-nya (daya jangkau sosial). Berbagai praktek kebijakan sosial seperti proyek transmigrasi, seringkali dilakukan tanpa memikirkan aspek-aspek social-cultural landscape suatu komunitas etnis atau suku tertentu, misalnya. Bahwa konflik antara suku Dayak dan Madura beberapa waktu lalu, bukan hanya ditengarai oleh persoalan struktural, seperti kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan ruang (spatial discrepancy) atau birokrasi yang bersifat sentralistis, tetapi juga dikarenakan mispersepsi kultural. Sensitivitas orang Dayak atas rasa aman-tidak aman (security-insecurity), misalnya terganggu oleh kebiasaan orang Madura yang sering berjalan-jalan dengan membawa clurit atau berbicara dengan intonasi yang keras. Berbagai gambaran tersebut menjelaskan praktek kultural dalam lingkup proses imajinatif suatu bangsa, tidak pernah kita bahas di dalam wacana kita mengenai pluralisme dan keberbedaan. Problema atas realitas bangsa kita yang multikultural ini menjadi tantangan baru bagi konstruksi nasionalisme yang menjadi basis legitimasi bagi terus berlangsungnya suatu eksistensi negara bangsa bernama Republik Indonesia. Oleh karena itu, tantangan baru bagi re-imajinasi Indonesia, bukan hanya datang dari tekanan-tekanan global dan dampaknya di dalam komunitas masyarakat Indonesia yang majemuk, tetapi juga tuntutan atas praktek politik yang menjamin terciptanya dan memungkinkannya suatu sistem bagi distribusi keadilan sosial dan kesetaraan sosial.

 

Re-imajinasi Indonesia dalam Identitas Politik Multikultural

 

Untuk memahami bagaimana proses re-imajinasi dilakukan melalui konstruksi identitas nasional, maka pengertian identitas dalam konteks politik merupakan suatu proses dialogis dari penciptaan batasan-batasan mengenai tingkah laku kolektif, dimana identitas individual tidak dapat dilepaskan dari sense atau rasa kolektivitasnya. Menurut Derrida, konsep mengenai identitas selalu menunjuk pada suatu proses memberi penanda yang membedakan orang lain dengan diri kita dan apa yang menjadi penanda bagi persamaan kita dengan orang lain (identity is a dialogic process of signifying and sharing similarities with others). Konsep mengenai identitas ini sejalan dengan konsepsi Anderson mengenai imagined communities yang memisahkan kategori mengenai “kita” yakni yang menjadi bagian dari komunitas nation-state, dan “mereka” yang bukan menjadi bagian dari komunitas negara kita. Oleh karena proses identifikasi menunjuk pada pemberian tanda, maka sekaligus juga berarti ada suatu proses berbagi (sharing) persamaan-persamaan kolektif yang dilakukan untuk mengikat komunitas. Menurut Stuart Hall (1992), setidaknya ada lima elemen yang memungkinkan suatu komunitas berbagi persamaan bagi sebuah kesatuan, yakni: 1. Narasi mengenai suatu bangsa, sebagaimana yang diceritakan di dalam catatan resmi sejarah 2. Penekanan pada asal-usul, kelangsungan, tradisi dan keabadian 3. Penemuan-penemuan tradisi 4. Mitos yang bersifat fundamental 5. Ide mengenai rakyat jelata (folk or people) Menurut Hall, proses dari kategorisasi identitas memberi suatu bingkai pemikiran untuk menginterpretasikan dan sekaligus menghadirkan tingkah laku kolektif yang membedakan orang. Representasi dari identitas ini berisi suatu muatan substantif yang mengindikasikan batasan-batasan antara salah satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Wacana mengenai identitas selalu bersifat dinamis dan seringkali dikonstruksikan untuk mengikuti perubahan kebutuhan politik yang berbeda dari waktu ke waktu. Klaim atas identitas inilah yang kemudian menjadi basis rasional bagi ideologi politik nasional. Konstruksi mengenai “the others” atau “mereka yang lain” dalam proses identitas nasional ditekankan dalam narasi-narasi yang disebut sebagai ideologi nasionalis sehingga mampu memunculkan sifat-sifat yang esensial dan kokoh dari suatu kelompok masyarakat tertentu, dan karenanya seringkali meniadakan nilai-nilai kultural kelompok lain yang secara potensial dianggap berbahaya. Oleh karena itu, narasi-narasi politik seringkali lebih merupakan representasi dari pertarungan para elit penguasa daripada narasi-narasi rakyat kebanyakan. Menurut Pierre Bordieu, narasi-narasi politik semacam ini mendapatkan legitimasinya melalui penggunaan “symbolic power” (atau kekuatan simbolik) dimana “penggunaan kata-kata atau simbol-simbol” seringkali menjadi sumber bagi kekuasaan ketika semuanya itu dihubungkan dengan realitas. Runtuhnya rezim Soeharto dan munculnya elit-elit politik baru mulai dari pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati, juga menandai perubahan di dalam narasi-narasi politik. Dukungan politik bagi Megawati yang amat besar dalam Pemilu 1999, misalnya berhubungan dengan penggunaan symbolic power, dimana realitas ketertindasannya oleh Orde baru (khususnya dalam kasus PDI-P di bulan Juli 1997) memunculkan representasi image bagi kaum yang tertindas, dan karenanya “ia” digambarkan sebagai sosok yang dekat dengan rakyat jelata (wong cilik). Geliat perkembangan politik lokal sebagai wujud dari implementasi desentralisasi politik di Indonesia sebagai fenomena akhir-akhir ini merupakan salah satu tantangan yang lain di dalam proses mengimajinasikan nasionalisme Indonesia. Oleh karena desentralisasi politik berkenaan dengan aspek distribusi kekuasaan, maka persoalan mengenai distribusi keadilan sosial menjadi locus sumber nasionalisme baru Indonesia. Ini tentunya tidaklah mudah dikarenakan problema distribusi keadilan sosial berkenaan dengan bagaimana mengelola aspek keadilan distributif bagi berbagai wilayah yang secara ekonomis memiliki perbedaan-perbedaan potensial, karena seringkali aspek kesejahteraan menjadi basis bagi suatu klaim kekuasaan. Distribusi keadilan sosial juga berkenaan dengan bagaimana mengelola suatu identitas nasional yang dapat mengontrol suatu praktek dominatif dari kelompok-kelompok mayoritas. Hal ini misalnya berkenaan dengan konstruksi mitologis suatu bangsa yang melahirkan ideologi nasional, pengenaan simbol-simbol nasional dan bahkan praktek kultural yang diterapkan dalam sistem pemerintahan, kesemuanya diharapkan mampu merepresentasikan keanekaragaman latar-belakang masyarakat Indonesia. Multikulturalisme sebagai suatu kebijakan politik dan sebagai suatu praktek sosial seringkali justru saling berlawanan dan seringkali juga dapat memunculkan potensi-potensi ancaman baru bagi kohesivitas sosial dan integrasi politik. Di Kanada misalnya, pemberian wilayah administrasi politik bagi kelompok indigenous (suku Indian) menimbulkan problema tentang keadilan distributif bagi akses politik kelompok-kelompok minoritas lainnya, misalnya etnis perantauan Cina untuk pengorganisasian kelompok secara politis ke dalam bentuk kekuasaan administratif atas suatu teritorial tertentu. Praktek semacam ini seringkali dianggap hanya sebagai suatu kompromi politik yang dibangun dari kepentingan politik yang mengikuti perubahan wacana menurut setting waktu. Sementara itu, di Amerika Serikat, praktek multikulturalisme yang seringkali diistilahkan sebagai proses “melting-pot”, justru mengindikasikan suatu bentuk mengelola ideologi dan praktek kultural kelompok dominan (kulit putih) atas kelompok-kelompok minoritas, khususnya bagi kelompok kulit hitam. Di Australia, dan juga di Singapura, tidak jauh berbeda, kebijakan multikulturalisme ditujukan pada suatu bentuk-bentuk perayaan atas keberbedaan (the celebratory multiculturalism) yang hanya memberi ruang bagi penampilan (display) keberagaman latar belakang masyarakatnya, tetapi seringkali masih mempertahankan bentuk-bentuk hegemonik kelompok dominan dikarenakan masih berlangsungnya pembatasan akses bagi representasi kelompok-kelompok etnis minoritas. Di Amerika Serikat dan juga di Australia, pasca 11 September dan Bom Bali 2002 , bentuk-bentuk persebaran ketakutan (the diployment of fear) menjadi strategi baru untuk mempertahankan ideologi kelompok dominan dalam tujuan untuk mempertahankan kepentingan nasional (national interest), yang ditunjukkan dari bagaimana mereka mengelola isu tentang terorisme dan penanganan pengungsi (refugees), khususnya yang berasal dari Timur-Tengah. Sementara di Indonesia, multikulturalisme tidak pernah diwujudkan sebagai suatu kebijakan politik resmi, tetapi seringkali tersembunyi di dalam praktek nasional, sebagaimana proses asimilasi yang berlangsung baik pada era Orde lama ataupun Orde baru. Pada masa Orde baru, asimilasi seringkali merupakan suatu bentuk penindasan kultural, dimana kelompok-kelompok minoritas dipaksakan untuk memasuki suatu ruang nilai dan praktek budaya kelompok dominan. Isu semacam Jawanisasi dan Islamisasi di berbagai daerah di pelosok-pelosok Nusantara seringkali mengiringi suatu proses kebijakan nasional, misalnya di dalam proyek transmigrasi.

 

Kesimpulan

Berbagai kompleksitas yang menjadi tantangan baru bagi re-imajinasi Indonesia ke masa depan merupakan suatu proses yang sudah selayaknya dibangun dari suatu basis instrumen-instrumen dan mekanisme demokrasi, dan yang tak kalah penting adalah bagaimana kontrol atas berlangsungnya suatu praktek kekuasaan dapat memungkinkan representasi aspirasi dari berbagai kelompok-kelompok yang berbeda latar belakangnya. Karenanya, ideologi nasional Pancasila yang secara paradigmatik memuat semua pencapaian-pencapaian ideal tidaklah cukup dikarenakan persoalan konstruksi ideologis memerlukan settingnya pada perubahan kontekstual. Kita tidak mungkin lagi diikat oleh romantisme lama tentang Sriwijaya atau Majapahit, atau bahkan pahit-getirnya perlawanan para pahlawan nasional kita melawan penjajahan Belanda, misalnya. Konstruksi mitologis semacam ini tidak lagi dirasa cukup untuk membangun suatu basis sentimen emosi yang mewakili seluruh aspirasi masyarakat Indonesia yang multikultural. Persoalan distribusi keadilan sosial, representasi yang adil dalam narasi-narasi sejarah, meskipun itu merupakan bagian kelam dari sejarah kita berbangsa, dan juga tantangan-tantangan global seperti ekspansi kapital, perubahan gaya hidup masyarakat, pergolakan yang terjadi pada skala global, semuanya itu menjadi sumber-sumber baru bagi kita membangun suatu konstruksi mengenai “bangsa Indonesia di masa depan”. Persoalannya yang muncul kemudian adalah, darimana dan kapan kita harus memulainya. Untuk memulai itu semua, kiranya kita dapat memanfaatkan semua peluang yang disediakan di dalam institusi dan mekanisme demokratis, sekaligus memberi ruang belajar bagi seluruh elemen bangsa Indonesia, sehingga narasi-narasi nasional bukan hanya menjadi wilayah kekuasaan pertarungan politik kelas penguasa (elit), tetapi lebih jauh lagi merupakan narasi yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang seringkali telah lama diimpikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novel sejarahnya, tentang masyarakat Indonesia yang kosmopolitan tetapi juga sekaligus berpihak pada esensi kemanusiaan darimana kita semua berasal. Maka tidak heran, jika suatu saat nanti anak-anak di Pulau Jawa akan membaca buku mengenai kehidupan seorang John Mathias Ondawame, seorang anak Papua dari suku Amungme, misalnya, begitu pula Joko Priyanto di Bantul sana yang dapat mengerti bagaimana kehidupan Andreas Simatupang di Sumatera Utara. Memang kita mungkin masih perlu mempertahankan ikatan-ikatan lama kita atas kebersamaan kita sebagai suatu bangsa, tetapi yang jauh lebih penting dari itu semua adalah mengembangkan batasan-batasan imaginer kita (the boundaries of national imaginary) untuk menghadapi persoalan-persoalan kontekstual dan tantangan ke masa depan. 

 

 

Daftar Pustaka

Aditjondro, George. 1985. Telex Dirjen dan tanggapan dari Ondoafi, Kabar dari Kampung vol..18/3 Anderson, Bennedict. 1983. Imagined Communities: Reflections on the origins and spread of nationalism, Verso, London. 

Anderson, Bennedict, 1990. Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca. 

Anderson, Bennedict. 2002. The Spectre of Comparison: Nationalism, Southeast Asia and the World, Verso, London and New York Anti Slavery Society, 1991. West Papua: Plunder in Paradise, Anti-Slavery Society, London. 

Appadurai, Arjun.1997, Patriotism and its Future, dalam Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalisation, University of Minnesota Press, Minneapolis 

Barton, Greg. 2000, Issues Concerning Democracy and Citizenship in Indonesia, dalam Andrew Vandenberg, Citizenship and Democracy in a Global Era, MacMillan, London. 

Bordieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural Production, Polity Press, Cambridge. 

Derrida, J.1992. The Other Heading, Indiana University Press, Indianapolis. 

Hall, Stuart.1992. Who Needs Identity, dalam Stuart Hall dan Du Gay (editor), Questions of Cultural Identity, Sage, London. 

Hannerzt, Ulf.1996, The Withering of the Nation?, dalam Transnational Connection: Culture, People, Place, Routledge, New York. 

Melluci, Alberto.1995. The Process of Collective Identity, dalam H.Johnston dan B.Klandermans, Social Movements and Culture, University of Minnesota Press, Minneapolis. 

Pamungkas, Arie Setyaningrum. 2003. The Australian Multiculturalism and the Global Challenges, thesis (unpublished), University of Sydney, Australia. 

Rawls, John. 1993, Political Liberalism, Columbia University Press, New York. 

Rawls, John.1971. Equal Liberty, dalam A Theory of Justice, Oxford University Press, London, hal. 221. 

Ricklefs, M.C, 1993. A History of Modern Indonesia Since c 1300, Macmillan, London. 

Turner, Bryan.S dan Ted Hamilton.1994. Citizenship: Critical Concept, Routledge, London.

 


Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...