Oleh Tia Pamungkas (Arie Setyaningrum Pamungkas)
(*Artikel ini tidak dimuat di jurnal manapun dan saya posting ulang di blog milik saya https://arietia.blogspot.com/)
(Terimakasih pada Facebook Developer
Community – dimuat pertama kali di Facebook pada tahun 2017)
Pendahuluan
Artikel ini merupakan suatu elaborasi awal mengenai reproduksi politik akademik di Indonesia khususnya dalam menempatkan posisi akademisi (baik mahasiswa, dosen maupun penelitik) – sebagai agen perantara budaya – yang terus melanggengkan praktik jahat ekonomi neoliberal – termasuk melalui komodifikasi kritik dari wacana-wacana yang diturunkan oleh varian teori-teori marxisme. Dalam penjabaran mengenai reproduksi akademik ini, kerangka teoritis yang digunakan ada tiga, yakni konsep ‘marxisme buruk’ dari John Hutnyk (2004), produksi ranah budaya dari Pierre Bourdieu (1993), dan politik keruangan dan kontrakdiksi kapitalisme dari David Harvey (2014).
Secara umum artikel ini menyimpulkan bahwa reproduksi politik akademik di Indonesia telah didesain untuk terus melanggengkan praktik ekonomi neoliberal – bahkan dilakukan melalui logika akumulasi melalui perampasan – dimana posisi subyek akademisi – ditentukan oleh suatu agensi sosial yang mampu memberikan dampak langsung berupa alienasi (secara ekonomi dan politis) – maupun eksklusi di dalam sistem pendidikan yang mensyaratkan kompetensi secara ketat berdasarkan sistem meritokrasi dari sudut pandang ideologi politik libertarian. Pendahuluan: Mendefinisikan ‘Marxisme Buruk’.
Apa dan Bagaimana Marxisme Buruk dalam
Konteks Politik Akademik
Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang bagaimana ‘kematian paradigma kritis ilmu sosial humaniora di Indonesia’ menjadi eulogia, atau suatu ironi yang dirayakan di dalam reproduksi akademik, saya akan menjelaskan terlebih dulu mengapa saya menggunakan terminologi ‘marxisme buruk’ ( bad marxism ). Saya menggunakan terminologi ‘bad marxism’ dan menerjemahkannya menjadi ‘marxisme buruk’ ke dalam bahasa Indonesia ketimbang menerjemahkannya menjadi ‘marxisme jahat’, meskipun saya bukanlah seorang ahli etimologi bahasa, saya menggunakan pengertian ‘bad’ dalam konteks ini sebagai sesuatu yang ‘buruk’ atau jelek meskipun itu tidak selalu bisa dirasakan sebagai sesuatu ‘kejahatan’ – tetapi dapat berpeluang untuk melegitimasi suatu kejahatan.
Dalam kamus bahasa Inggris Oxford yang kini juga tersedia secara online, kata ‘bad’ setidaknya merujuk pada sedikitnya 8 pengertian, meskipun asal-usul kata itu jika diperas hanya merujuk pada dua konteks saja. Yang pertama menjelaskan suatu proses yang menghasilkan kualitas materi yang rendah atau jelek, dan yang kedua adalah sesuatu yang tidak diharapkan atau tidak diinginkan.
Adalah John Hutnyk (2004) yang menggunakan terminologi mengenai ‘bad marxism’ sebagai tesis untuk menjelaskan bagaimana reproduksi gagasan-gagasan Marxisme dalam konteks kapitalisme tingkat lanjut (late capitalism ) bersinggungan dengan gagasan-gagasan yang pada mulanya merupakan kritik terhadap Marxisme klasik dan kemudian justru mengapropiasi suatu rasionalitas yang mengabaikan esensi utama posisi ontologis Marxisme yaitu relasi individu dan kelompok (kelas sosial) di dalam sistem produksi. Dengan kata lain, kritik terhadap Marxisme klasik yang berkembang itu justru bermuara pada suatu bentuk legitimasi untuk menjauhkan wacana kritis dan praktik sosial yang cenderung abai pada aspek analisis kelas sosial sebagai suatu artikulasi intelektual dan karenanya bersifat ‘politis’ ( political) .
Tesis Hutnyk ini
ditujukan pada dua konteks utama dimana legitimasi itu berlangsung. Pertama
pada bagaimana teori-teori postmodernisme acapkali disalahpahami atau bahkan
dengan sengaja mengalihkan diri dari pembahasan mengenai struktur dan
reproduksi struktur kelas sosial untuk lebih memberi ruang artikulasi pada
pembahasan mengenai ‘kesadaran subyektif’ yang muaranya justru pada memberi
alternatif pada pilihan-pilihan individual yang bersifat rasional dibawah
‘penerangan’ masyarakat kapitalis pasca industri. Masyarakat kapitalis pasca industri
disini menjelaskan bagaimana sistem produksi ekonomi tidak lagi sekedar
bersandar pada tujuan akumulasi kapital semata, melainkan juga pada bagaimana
distribusi ‘resiko dan peluang’ dibagikan di dalam masyarakat yang tetap
ditujukan pada pencapaian-pencapaian individual untuk memaksimalkan keuntungan
( maximing profits ). Artinya, dalam konteks semacam itu, kritik terhadap
kapitalisme tingkat lanjut bukanlah ditujukan pada bagaimana menjelaskan aspek
politis dari sistem reproduksi sosial berjalan dalam sistem ekonomi
neokapitalisme, melainkan mengisolasi individu dari ‘kesadaran kelas’ dan
mendorong individu untuk kalkulasi pilihan-pilihan rasional sembari tetap
menegosiasikan posisi subyektifnya di dalam reproduksi kelas sosial yang sangat
kapitalis dan karenanya mereproduksi hierarki posisi kelas sosial yang semakin
kompleks.
Dalam konteks ini politik akademik melembagakan ‘ambiguitas’ dimana kritik tidak bermuara pada partisipasi atau emansipasi sosial melainkan hanya sekedar ‘eulogia’ – basa-basi yang diucapkan secara formal ketika mendengar berita duka dari kerabat atau teman, tanpa pernah hadir untuk datang dan bahkan membantu ‘pemakaman’ dan kehidupan keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang mati itu.
Kedua, pada bagaimana kajian budaya khususnya ‘cultural studies’ yang sebenarnya merupakan anak kandung yang lahir dari Marxisme itu sendiri justru ‘berkembang pesat’ dan sekaligus ‘mereduksi’ emansipasi sosial yang menjadi basis ontologis paradigma cultural studies itu sendiri. Secara khusus, cultural studies berbeda dengan postmodernisme, dikarenakan kajian ini memiliki aspek “keruangan” yang memiliki sejarah material yang bersifat “spesifik” terutama dalam kaitannya dengan kolonialisme. Oleh karena itu, mendefinisikan aspek “keruangan” akan selalu bersifat politis dimana reproduksi agensi sosial yang membentuk ruang itulah yang menentukan bagaimana bentuk-bentuk emansipasi melalui politik kebudayaan dapat dilakukan. Kenyataannya, cultural studies justru menjadi komoditas akademik yang dikomodifikasikan sebagai ‘obyek fethis’ yang nampak desirable diinginkan-dikehendaki sebagai sekedar ‘ panacea’ – obat penghilang nyeri – tanpa mengobati ‘penyakitnya’ itu sendiri – karena tidak mengagendakan pola-pola pengorganisasian emansipasi sosial, sesuatu yang hampir serupa dengan posisi politis teori-teori postmodernisme dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut. Tesis Hutnyk tentang ‘ bad marxisme’ bukannya tidak melahirkan protes dan kritik dari kalangan akademisi khususnya.
Para pengkaji teori-teori postmodernisme dan pascakolonialisme misalnya, menganggap tesis Hutnyk itu cenderung ‘emosional’ dan karenanya dianggap ‘gagal secara ilmiah’ – atau suatu tesis yang prematur mengenai khususnya bagaimana komodifikasi kajian-kajian kritis dilegitimasikan secara akademik, terutama khususnya cultural studies. Mike Gane (2005) dan Don Mitchel (2006) misalnya menganggap bahwa tesis Hutnyk itu juga “buruk” bukan pada bagaimana Hutnyk menunjuk pada bentuk-bentuk praktik sosial dimana komodifikasi kritik itu dilakukan dan berjalan secara empiris, melainkan pada bagaimana meta narasi yang dikembangkan oleh Hutnyk dianggap mengingkari sejarah paradigma ilmu-ilmu kritis yang melembaga dan selalu merespon gagasan-gagasan tentang ‘pencerahan’ – bahkan termasuk yang menginsipirasi marxisme itu sendiri.
Gane (2005) misalnya mengkritik Hutnyk yang mencoba mengelaborasi kembali hal-hal ‘positif’ yang pernah berlangsung di masa pemerintahan Lenin di Uni Sovyet dan Mao Tse Tung di RRC dimana masyarakat dikonstruksikan secara politis untuk mengabaikan politik identitas dan karenanya menjadi alternatif menghadapi bentuk-bentuk baru fascisme (seperti ultra nasionalisme) – yang selama ini ‘tidak pernah sampai’ wacananya ke dalam ‘scholarship’ (jejaring intelektual dan akademik) marxisme barat. Menurut Gane (2005), tesis Hutnyk ini terlalu prematur mengingat sejarah legitimasi atas komunisme semacam itu dianggap sebagai tabu dan sudah terbukti sebagai produk ideologi politik yang gagal karena reproduksi kekuasaan dalam tafsir Marxisme-Leninisme melegitimasi bentuk-bentuk blok-blok otoritarianisme yang menindas subyek. Sementara Mitchel (2006) menganggap bahwa tesis Huytnik hanya merupakan suatu bentuk ‘ad hominem’ yaitu menyerang karakter yang bersifat personifikasi dari para teoritisi budaya, postmodernisme, poskolonialis dan cultural studies (seperti Clifford, Malinowski, Foucault, Derrida, Battaile, Negri, Spivak , dan Zizek) – ketimbang berfokus pada mengurai substansi ontologis dari tradisi akademik dimana masing-masing teoritisi itu berpijak pada argumentasinya masing-masing.
Mitchel (2005) bahkan cenderung menuduh Hutnyk sedang memprovokasi suatu revolusi akademik yang mengabaikan tradisi akademik yang bersifat diskursif dikarenakan kekuatiran yang berlebih-lebihan terhadap politik identitas yang melahirkan bentuk-bentuk baru fascisme yang dilegitimasi oleh wacana akademik. Bagi saya, kedua kritik diatas terhadap Hutnyk lebih cenderung berposisi pada pembelaan kalangan ‘libertarian’ – terhadap tradisi akademik yang mengamankan posisi politis atas logika ‘rasionalitas pencerahan’ – suatu rasionalitas yang selalu membenarkan praktik kapitalisme dalam memaksimalkan keuntungan ( maximizing profits ). Kalangan libertarian memegang prinsip bagaimana optimalisasi demokrasi hanya dapat dijalankan melalui optimalisasi kebebasan individual secara mutlak termasuk dalam mengakses sistem reproduksi ekonomi, sosial dan politik. Pertanyaan rhetoris – dalam logika marxisme yang selalu tidak akan pernah mati – dimana kapitalisme masih eksis – adalah, “ apakah setiap individu dapat memperoleh kesempatan yang benar-benar setara karenanya?” “Kesetaraan semacam apa yang memungkinkan optimalisasi demokrasi itu berjalan tanpa menindas subyek?” Itu adalah pertanyaan dasar hampir semua varian di dalam percabangan teori-teori marxisme. Tesis Huytnik sendiri di mata saya sebagai seorang sosiolog memang cenderung melupakan aspek penting tentang ‘politik keruangan’ di dalam reproduksi akademik khususnya – terutama bahwa tidak semua wacana yang dibangun dalam tradisi ‘cultural studies’ termasuk postcolonialisme itu “buruk” - tetapi bukan berarti tesis Hutnyk tidak menunjuk pada suatu kebenaran dan praktik diskursif dalam wacana akademik itu sendiri. Dengan kata lain, bagi saya tesis Hutnyk memiliki kebenarannya secara empiris – dan hal itu dapat dilegitimasikan sebagai basis ontologis marxisme kritis. Kita melihat sekarang, apa yang menjadi ‘kekuatiran’ Hutnyk pada saat itu (ia menerbitkan buku itu tahun 2004 – dan kritik atasnya disampaikan tak lama kemudian) menjadi kenyataan.
Far right politics dan populisme yang didasari oleh politik identitas, kebangkitan ultra nasionalisme secara global di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan dimana isu-isu tentang kelas sosial dan akses bagi kesetaraan harus berhadap-hadapan dengan legitimasi neo-fascisme seperti rasisme misalnya. Oleh karena itulah, mengapa penting bagi saya untuk mengangkat kembali tesis Hutnyk tentang ‘marxisme buruk’ ini karena komodifikasi kritik sebagaimana yang diungkapkan oleh Hutnyk itu juga berlangsung bukan hanya di dalam masyarakat yang sepenuhnya telah berada di dalam konteks pasca industri, melainkan justru sedang “gencar” berlangsung di dalam masyarakat dimana pola-pola reproduksi ekonomi masih menggabungkan pola-pola industri manufaktur dan jasa – dimana konteks budaya masyarakat industri (dalam sistem produksi ekonominya) tumpang-tindih dengan budaya masyarakat pasca industri (dalam sistem reproduksi konsumpsinya).
Untuk kepentingan itu, saya mencoba untuk meredefinisikan kembali tesis Hutnyk tentang ‘marxisme buruk’ dengan menyandarkan kerangka teoritis pada konsepsi Pierre Bourdieu tentang ‘reproduksi sosial’ dan pentingnya agensi sosial dalam mendefinisikan ‘ranah perjuangan kelas sosial’ dan konsepsi David Harvey tentang ‘politik keruangan – dan reproduksi politik keruangan’ yang tidak pernah bersifat obyektif dalam mereproduksi struktur material – dan relasi antar agensi sosial di dalamnya. Aspek reproduksi agensi sosial menjadi sangat penting menurut saya, dalam menjelaskan mengapa ‘percabangan aliran dalam marxisme’ sebagaimana yang dikritisi oleh Hutnyk hanya berakhir sekedar sebagai ‘komoditas akademik’ belaka – yang kematiannya dirayakan setiap saat di ruang-ruang kelas, di dalam bacaan jurnal dan buku-buku textbook termasuk di dalam kolom-kolom jurnalisme – sementara signifikansinya bagi perubahan sosial lenyap dalam kesunyian gegap gempita masyarakat kapitalis neoliberal – termasuk di Indonesia. Artikel ini adalah usaha awal yang bisa saya upayakan.
Marxisme Buruk dalam Reproduksi Politik Akademik di Indonesia
Samuel dan Sutopo (2013) menjelaskan peran intelektual di Indonesia dalam kaitannya dengan produksi pengetahuan ilmu sosial humaniora (khususnya sosiologi) dengan relasi kekuasaan sejak pertengahan tahun 60an. Tipologi itu menjelaskan bagaimana sosiologi berkembang sebagai suatu disiplin ilmu di Indonesia dan bagaimana para intelektual memandang ‘Indonesia yang moderen’ dan karenanya penjelasan tersebut juga merupakan suatu analisis pascakolonial yang memiliki aspek ‘keruangan’ geopolitis dalam sejarah modernitas dan modernisasi Indonesia.
Ada empat tipologi wacana intelektual yang dijabarkan oleh Samuel dan Sutopo (2013) yakni; (1) sentimen primordial, (2) tahapan transisional, (3) historis dan struktural, (4) imperialisme kultural. Berangkat dari asumsi formulasi tesis postcolonialisme – yang menempatkan kajian tentang Indonesia dalam tradisi intelektual yang bersinggungan dengan modernisme pengetahuan barat tetapi memiliki sejarah keruangan geopolitis yang bersifat spesifik - keduanya menjabarkan sebagai berikut. Tipologi pertama, wacana intelektual yang didasari oleh sentimen primordial – dimana konteks memandang Indonesia tidak bisa dilepaskan dari asumsi sejarah tentang bagaimana kolonialisme lah yang telah membentuk ‘Indonesia’ sebagai satu kesatuan masyarakat yang bersifat plural.
Dalam wacana ini, nasionalisme di Indonesia menjadi suatu subyek kontestasi yang penting, termasuk di dalamnya juga wacana-wacana tentang akomodasi politik identitas. Tipologi kedua, wacana yang berada dalam tahapan transisional, yakni yang memandang Indonesia masih berada dalam transisi menuju masyarakat yang moderen – dan karenanya melihat aspek wacana developmentalisme sebagai suatu implikasi politis atas wacana ini. Tipologi ketiga, wacana historis dan struktural yang menjelaskan bagaimana formasi kapital juga turut mempengaruhi cara pandang tentang Indonesia sebagai produk negara bangsa – di pinggiran peradaban kapitalisme liberal – dimana para intelektualnya lebih banyak memandang Indonesia sebagai subyek analisis melalui kacamata kajian ekonomi politik. Tipologi keempat, wacana imperialisme budaya – dimana kondisi dan konteks ‘Indonesia’ dalam keterpinggirannya itu bukan hanya suatu hasil dari praktik ekonomi politik semata – melainkan juga sebagai akibat dari imperialisme budaya yang terus mereproduksi hegemoni barat dalam mendikotomikan polarisasi ‘the West and the Rest’.
Menurut saya, artikel Samuel dan Sutopo (2013) ini cukup baik menjelaskan bentuk-bentuk tipologi wacana intelektual khususnya dalam kajian sosial-humaniora di Indonesia dalam memandang ‘Indonesia’ sebagai entitas budaya modernitas sekaligus sebagai subyek politik ‘negara bangsa’, meskipun menurut saya ada sesuatu yang hilang dan tidak nampak menonjol di dalam artikel ini. Yakni bagaimana dampak dari pewacanaan atas tipologi tersebut dalam pelembagaan agensi sosial baik secara akademik maupun secara non-akademik. Analisis tentang agensi sosial yang berada di dalam struktur sosial yang beragam di dalam produksi pengetahuan di Indonesia juga tidak muncul di dalam analisis tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hutnyk dimana para teoritisi “kritis” postmodernisme meminjam banyak kritik marxisme tetapi terus berada di dalam agensi sosial (terutama akademik bahkan termasuk politik) – yang membolehkan struktur ketimpangan kelas sosial terus berlanjut.
Hal ini misalnya, menjadi pertanyaan dari banyak kalangan aktivis sosial terutama di negara-negara pascakolonial – yang misalnya mempertanyakan kontribusi konkrit dari pewacaan akademik tentang ‘subalternisme’ – yang justru menjustifikasi politik keruangan yang secara politis ‘entails’ mempertautkan kebenaran logika libertarian tentang optimalisasi demokrasi yang hanya dapat dimungkinkan melalui optimalisasi kebebasan individual – dan karenanya dapat mengapropriasi logika-logika reproduksi ekonomi neokapitalisme liberal. Berbicara tentang bagaimana ‘marxisme buruk’ ikut menyumbang pada reproduksi ketimpangan kelas sosial – khususnya di Indonesia, menurut saya, belum ada kajian ataupun riset mendalam tentang bagaimana agensi sosial bekerja di dalam medan perjuangan intelektual. Belum banyak riset yang mendalami tentang apa tema-tema yang paling mendominasi penulisan skripsi, tesis, bahkan disertasi – dalam ilmu sosial –humaniora. Belum banyak yang meneliti tentang apakah penulisan skripsi, tesis dan bahkan disertasi tersebut berkaitan dengan bagaiamana subyek intelektualnya melanjutkan hidupnya masing-masing di dalam sistem reproduksi ekonomi dan sosial. Bahkan belum ada penelitian etnografis mengenai – mengapa – seorang intelektual yang mewacanakan sesuatu yang kritis – mampu menggunakannya sebagai modal budaya (cultural capital) sebagai alat mobilitas sosial keatas – memasuki ruang atau ranah elit – dimana akses bagi reproduksi kapital ekonomi terbuka luas baginya. Semua itu terlintas di dalam benak saya, karena di dalam agensi sosial yang saya miliki, yakni di dalam agensi akademik – maupun di dalam agensi aktivisme sosial – wacana-wacana semacam itu sudah lama menjadi “rerasan” semata – tetapi tidak pernah menjadi sesuatu subyek kajian yang serius – menjadi suatu artikulasi politik tentang bagaimana reproduksi pendidikan di Indonesia dijalankan – melalui moda produksi kapitalisme liberal – itu memberikan peluang bagi munculnya wacana-wacana marxisme buruk – yang bukan hanya berakhir sebagai komoditas belaka – tetapi membenarkan logika kompetisi – yang melahirkan ketimpangan struktur sosial.
Hingga kini, misalnya, wacana tentang pentingnya ‘serikat dosen’ yang bekerja hampir serupa dengan ‘serikat buruh’ – adalah sesuatu yang dianggap tabu – sebagaimana politik akademik di Indonesia mengisolasi ‘marxisme’ hanya sebagai ‘marxisme buruk’ itu saja – yang hanya boleh dikaji sebagai subyek akademik – tetapi bukan sebagai alat dan mekanisme bagi perubahan sosial. Dalam reproduksi akademik misalnya, kita menyaksikan bagaimana kurikulum pembelajaran di Indonesia terutama di perguruan-perguruan tinggi sejak hampir satu dekade ini – diarahkan untuk melegitimasi suatu ‘kemunduran’ – secara mental – demi asumsi pencapaian ‘kemajuan material’ – berbasis pada logika libertarian tentang ‘meritokrasi’ – yakni suatu penghargaan kepada individu yang dianggap memiliki ‘kompetensi’ – keahlian spesifik – dan karenanya dapat memperoleh aksesabilitas untuk mereproduksi struktur material yang melingkupinya. Hal ini yang berdampak pada semakin berkurangnya – irisan-irisan antar bidang keilmuan atau yang bersifat interdisipliner – dan multidisipliner dalam kurikulum pembelajaran akademik di perguruan tinggi – termasuk juga yang berdampak pada agensi sosialnya, baik pada mutu kualitas lulusan, pada orientasi reproduksi ekonomi mereka melalui pengembangan karir individual – termasuk di dalam ranah agensi sosial para dosen-dosennya. Kurikulum akademik yang mensyaratkan ‘basis kompetensi’ secara ketat telah berdampak pada setiap rumusan target pencapaian (output) pembelajaran dan kualifikasi lulusan oleh program-program studi semakin terspesifikasikan oleh sekat-sekat disiplin keilmuan – tetapi disisi lain sekaligus kurikulum ini membekali hampir seluruh mahasiswa program studi apapun – untuk memiliki ketrampilan homogen yakni – ketrampilan menjalani atau menjalankan “sociopreunership ” sebagai bagian dari implementasi pengabdian kepada masyarakat.
Konsep ‘sociopreunership’ yang menggabungkan kemampuan wirausaha dan melakukan jejaring sosial ini dilembagakan oleh hampir semua perguruan tinggi di Indonesia untuk menjawab alternatif peluang pembukaan lapangan kerja bagi para alumni-alumninya sehingga tidak tergantung sepenuhnya pada reproduksi ekonomi yang lapangan pekerjaannya disediakan oleh negara atau bahkan oleh korporasi baik di sektor manufaktur maupun jasa. Persoalannya adalah pada kurikulum tentang konsep dan praktik atas ‘sosiopreunership’ ini kurang diimbangi pada pengetahuan-pengetahuan kritis lainnya – akibatnya mahasiswa maupun dosen didorong untuk terus berinovasi – mengembangkan bentuk-bentuk produk baru – tanpa memahami ‘peta reproduksi ekonomi politik’ yang lebih luas – termasuk memahami bagaimana agensi sosial bekerja di dalamnya.
Hal ini seakan-akan mendorong semua agensi sosial di dalam ranah akademik untuk terus produktif tanpa tahu bagaimana melanjutkan kesinambungan – kelestarian kewirausahaan – karena struktur kekuasaan politik yang dominan tetaplah bermuara pada reproduksi ekonomi neoliberal – dimana pemilik-pemilik modal besar khususnya korporasi multinasional tetap menjadi agen ekonomi politik yang dominan hingga hari ini termasuk di Indonesia. Memang tidak semua mahasisw khususnya ilmu sosial dan humaniora harus menjadi “dosen” atau akademisi, tetapi dampak signifikan dari berlakunya kurikulum yang ketat berbasis pada kompetensi inilah yang membuat mahasiswa khususnya di tingkat sarjana didorong untuk semakin cepat lulus, pengurangan atau bahkan dihilangkannya subyek-subyek mata kuliah tertentu misalnya ilmu sosial dasar, serta persyaratan bagi mata kuliah untuk memiliki – keterkaitan dengan luaran (output) kompetensi yang spesifik – menjadikan banyak sarjana-sarjana ilmu sosial humaniora di Indonesia selama hampir satu dekade ini – kesulitan ketika harus membuat skripsi, bahkan tesis atau disertasi dalam jenjang belajar pendidikan mereka. Seakan-akan ketrampilan menulis atau bahkan meneliti bukan menjadi sesuatu yang bersifat ‘prestise’ lagi dalam atmosfir kehidupan di dunia akademik yang semakin materialistis. Di sisi lain, agensi sosial di dalam ranah akademik yang berlaku bagi para staf pengajar (dosen) dan peneliti di perguruan tinggi juga semakin terdefinisikan oleh ‘politik keruangan’ di dalam menerjemahkan orientasi pengembangan karir mereka secara individual. Karir akademik yang didasari oleh kurikulum kompetensi mensyaratkan produktivitas berbasis pada kinerja-kinerja yang luarannya bersifat cenderung lebih individual – ketimbang sebagai suatu bentuk kerja berbasis pada kerjasama dan bagaimana pengetahuan dibagikan melalui komunitas pembelajaran bersama.
Untuk memperoleh perbaikan kesejahteraan, seorang dosen dituntut untuk selalu produktif – tetapi penghargaan atas kinerjanya melalui sistem meritokrasi lebih didasari pada pencapaian-pencapaian berbasis kompetisi individual dengan membangun semacam indeksasi bagi pengukuran-pengukuran prestasi akademik dosen. Seorang kolega saya di UGM pernah berseloroh pada saya yang masih memiliki H-indeks rendah, “tak penting peranmu mengubah mahasiswa lewat isi papermu, apakah papermu itu kritis, bagus, pandai atau nggak, melahirkan paradigma baru atau nggak, memberikan alternatif bagi kebijakan atau nggak, yang penting artikelmu itu dimuat di jurnal TERAKREDITASI, atau kalau bisa malah yang internasional berindeks SCOPUS – karena dengan demikian, cepat naik pangkat, cepat lebih banyak dapat uang tunjangan.” H indeks kini menjadi salah satu ukuran material untuk pencapaian karir seorang dosen atau peneliti – dimana impact factor seorang akademisi ditentukan oleh produktivitasnya secara individual yang direkam atau didokumentasikan oleh lembaga akademik yang memiliki “standar indeksasi” yang dianggap tinggi – dan punya daya jangkau global. Sama sekali tidak ada hubungannya ‘impact factor’ itu dengan perubahan sosial. Akibatnya, ribuan dosen berlomba-lomba mengirimkan artikel-artikel mereka ke jurnal-jurnal terutama yang terakreditasi – tidak jarang berdampak pada munculnya pasar gelap dimana – artikel-artikel yang gagal lolos di jurnal terakreditasi ditawarkan kepada jurnal-jurnal baru yang belum memiliki status terakreditasi oleh DIKTI. Hal lain juga memunculkan komodifikasi pada produksi artikel ilmiah – beberapa jurnal terakreditasi bahkan mensyaratkan para penulis yang artikelnya diterima untuk membayar biaya penerbitan – jumlahnya cukup banyak ada yang mencapai hingga lebih dari 100 USD untuk setiap artikel yang diterbitkan! Impact factor juga ditentukan oleh popularitas karya akademik seorang akademisi – dimana reproduksi atas gagasannya itu menjadi ‘sitasi’ ( citatio n) atau ‘kutipan’ ( quotation ) – meskipun hampir seluruh akademisi di seluruh dunia tahu politik kotor yang juga berlangsung di dunia politik akademik ini – misalnya seorang profesor mensyaratkan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya untuk melakukan sitasi dan kutipan atas karya akademiknya – tidak peduli apakah mahasiswa-mahasiswa itu setuju atau bahkan ‘menentang’ tesis yang dikemukakan profesornya.
Kesepakatan-kesepakatan semacam ‘konsensus’ akademik semacam ini sekarang juga berlaku di Indonesia, bukan hanya di Barat! Dalam banyak kasus penulisan di beberapa jurnal-jurnal ilmiah terakreditasi misalnya, banyak mahasiswa terutama di tingkat doktoral yang menulis artikel dengan mencantumkan nama-nama ‘pembimbing’ mereka – padahal dalam praktiknya tidak semua pembimbing-pembing itu ikut menulis atau bahkan sama sama sekali tidak terlibat baik dalam penelitian, maupun dalam penulisan artikel di jurnal ilmiah itu – tetapi karena “ada namanya” maka secara otomatis akan berdampak pada kinerja indeksasi namanya dan impact factor yang akan diperolehnya. Tidak heran jika ada suatu universitas negeri di ibukota yang dengan sengaja membisniskan ‘program doktoral’ demi hal-hal semacam itu – akibatnya yang terjadi adalah plagiarisme liar – karena sesungguhnya tradisi akademik “liberal” yang memiliki tradisi ketat dalam penghargaan intelektual semacam hak cipta - sekalipun belum punya pondasi yang kokoh di Indonesia.
Budayawan dan akademisi ST Sunardi (2016) melihat perkembangan dalam reproduksi politik akademik di Indonesia sebagai suatu fenomena yang mencerminkan suatu logika ‘manajerialisme yang berlebih-lebihan’. Menurut Sunardi (2016), perguruan tinggi telah menjalankan sistem audit secara berlebih-lebihan yang mensyaratkan dosen untuk produktif dan mandiri secara individual tetapi minim dampak kinerja produktivitas tersebut bagi perubahan sosial. Kemandirian dosen mensyaratkan dosen untuk melengkapi segala keperluan administrasi yang harus dipenuhinya bagi persyaratan pengembangan karir pribadinya. Begitu banyak formulir yang harus diisikan, mulai dari laporan kinerja dosen, hingga mengisi laman-laman online bagi pembaharuan ( updating ) data prestasi dosen. Di satu sisi seorang dosen dituntut produktif secara akademik, di sisi lain seorang dosen harus mengurus semuanya secara mandiri – semua berkas kelengkapan yang rumit dan birokratis – termasuk memperbaharui terus ‘impact factor’ yang dimilikinya. Sungguh pekerjaan yang berstatus elitis – tetapi sesungguhnya berdampak pada penurunan kualitas waktu dan energi yang dimiliki oleh seorang intelektual untuk investasi pada sesuatu dampak yang jauh lebih signifikan, seperti perubahan sosial itu tadi. Secara khusus Sunardi (2016) mengkritisi standarisasi kompetensi sebagai suatu bentuk politik akademik yang dengan sengaja dilahirkan oleh rezim politik pada saat itu (SBY) – untuk mempersiapkan masyarakat agar “terbiasa” hidup di dalam sistem ekonomi pasar bebas. Sesuatu masih dilanjutkan oleh pemerintahan di masa presiden Joko Widodo. Pierre Bourdieu (1993) menjelaskan bahwa politik akademik yang dijalankan seorang akademisi – bergantung pada bagaimana struktur reproduksi sosial dilakukan – dan karena posisi sosial seorang dosen di dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut – adalah sebagai seorang ‘cultural intermediaries’ – seorang perantara kultural – seorang makelar yang memiliki pengaruh besar bagi perubahan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik bagi suatu masyarakat.
Gagasan Bourdieu tentang reproduksi akademik (dengan melihat konteks politik akademik di Barat) – menjelaskan bagaimana ‘kelas sosial’ acapkali lenyap – ketika berhubungan dengan hierarki dan kuasa produksi kapitalisme liberal – dimana posisi sosial memberi status tinggi pada seorang akademisi – tetapi medan perjuangan yang dilakukannya tak ada bedanya dengan mereka yang bekerja di dalam industri manufaktur (buruh). Hal serupa itu pula yang dialami oleh banyak mahasiswa yang baru saja diluluskan sebagai “sarjana” – bahkan “master” – atau bahkan “Doktor”, yakni mengalami kepanikan atas ketidakpastian masa depan penghidupan mereka selepas menyelesaikan pendidikan mereka. Sementara sociopreunership yang dikembangkan sebagai bagian dari pembelajaran hanya dianggap sebagai jalan pintas – belum dikembangkan pada suatu cara pandang (paradigma) yang berdimensi luas – menjadi bagian dari reproduksi perubahan sosial suatu negara bangsa – memperoleh jaminan keberpihakan oleh lembaga politik seperti negara.
Keberadaannya hanya
bergantung pada daya usaha kreativitas individual – dan karenanya demikian pula
pengembangan aksesabilitasnya bagi memasuki agensi sosial – ekonomi – atau
stakeholders yang terlibat di dalam ruang lingkup sociopreunership itu sendiri. Padahal struktur material yang dibangun oleh
agensi-agensi sosial itulah yang menurut David Harvey (2014) bukanlah suatu
struktur material yang obyektif – bangunan itu adalah suatu hasil dari
reproduksi politik keruangan yang bersifat sangat subyektif – dimana prinsip
inklusi dan ekslusi juga dilegitimasikan bahkan secara intelektual. Reproduksi
politik akademik yang berlangsung di dalam konteks di Indonesia – dimana
gagasan-gagasan kritis hanya merupakan eulogia – termasuk pembelajaran tentang
varian teori-teori marxisme secara akademis – tidak memiliki perwujudan agensi
sosial yang berarti bagi perubahan sosial. Dalam konteks ini sesungguhnya
politik akademik telah dengan sengaja didesain untuk suatu praktik politik
keruangan yang oleh David Harvey disebut sebagai ‘accumulation by dispossession’ – dimana para
intelektual – terutama akademisi – dengan sengaja dicerabut – diambilalih –
dirampas modal akumulasi kapital yang dimilikinya (terutama kapital budaya,
berupa pengetahuan dan ketrampilan) – dimana negara secara ironis telah
memfasilitasi kontradiksi kapitalisme – demi mensukseskan praktik ekonomi
neoliberal.
Penutup dan Kesimpulan
Artikel ini memang belum memberikan suatu pembahasan berdasarkan kajian riset yang benar-benar secara spesifik telah dilakukan berdasarkan kajian secara empiris atas studi-studi kasus tertentu, sebagaimana yang sebenarnya menjadi harapan saya. Tetapi siapa yang mau mendanai penelitian tentang misalnya apa saja jenis-jenis skripsi, tesis, disertasi ilmu sosial humaniora di Indonesia dalam lima tahun terakhir misalnya? Siapa yang mau mendanai penelitian besar dan serius semacam itu karena tema semacam itu bersifat politis dan sama sekali tidak menguntungkan hirarki struktur politik akademik bahkan politik ekonomi global pada umumnya ini? Dalam beberapa skema pendanaan penelitian bagi kalangan akademisi saja misalnya, kompetensi yang ketat juga diukur pada bukan hanya berdasarkan pada ‘impact factor’ semata yang berdampak secara individual – melainkan bagaimana skema penelitian itu dapat bermuara pada bentuk-bentuk aplikasi sociopreunership yang dapat menopang ‘struktur kuasa’ hieraki yang dominan di dalam sistem ekonomi neoliberal. Akibatnya, tema-tema yang berkembang melalui logika akademik “marxisme buruk” – menyediakan peluang untuk secara potensial dimanipulasi sebagai suatu bentuk krisis – yang pada gilirannya membolehkan praktik jahat dari ‘accumulation of dispossesion’ (akumulasi melalui perampasan) – dimana ruang reproduksi akademik didefinisikan oleh kepentingan hegemonik kapitalisme neoliberal. Dalam analisisnya mengenai ‘kontradiksi kapitalisme’, David Harvey (2014) menjelaskan bahwa akumulasi melalui perampasan itu berlangsung melalui empat mekanisme utama; (1) praktik privatisasi, (2) manipulasi keuangan, (3) pengelolaan dan manipulasi krisis, (4) kebijakan redistribusi yang dilakukan oleh negara. Dalam konteks reproduksi akademik di Indonesia, posisi seorang akademisi – baik mahasiswa maupun terutama dosen dan peneliti – yang merupakan agen ‘perantara budaya’ (dalam bahasa Bourdieu – cultural intermediaries agents) – secara signifikan diletakkan di dalam agensi sosial yang mereproduksi politik keruangan – yang membolehkan berlangsungnya akumulasi melalui perampasan sebagaimana yang dijabarkan oleh David Harvey. Perguruan tinggi sejak lebih dari satu dekade mengalami privatisasi yang luar biasa (melalui perangkat legitimasi formal maupun melalui kelembagaannya secara politis – moral – akademis) – dimana bentuk-bentuk manajerial menjadi sesuatu yang diutamakan sebagai bagian dari kualifikasi kompetensi akademik seorang ilmuwan – dimana minat kajian diarahkan pada situasi krisis – yang mengharuskan akademisi untuk menjadi bagian dari agensi sosial ‘akumulasi melalui perampasan’ – karena jika tidak – ia sebagai subyek harus mengalami ‘keterasingan’ (alienasi) – suatu eksklusi sosial, kultural bahkan politis – dimana produktivitasnya melulu dimaknai oleh sistem renumerasi berbasis meritokrasi yang sesungguhnya tidaklah obyektif – dan pada gilirannya menjadikan semua aktor dalam agensi akademik ini hanya sebagai “sekrup-sekrup” mesin ekonomi neokapitalisme liberal.
Daftar Pustaka
Amian, Katrin. 2008. Rethinking
Postmodernism(s): Charles S Peirce and the Pragmatist Negotiations of Thomas
Pyncon, Toni Morrison, and Jonathan Safran Froer . Amsterdam and NY:
Rodopi.
Ashman, Sam, and Alex Callinicos. 2006. “Capital Accumulation and the
State System: Assessing David Harvey’s ‘The New Imperialism’ .” Historical
Materialism 14 (4): 107–131.
Bourdieu, Pierre. 1993. The
Field of Cultural Production . Cambridge and Oxford: Blackwell Publisher
Bourdieu, Pierre. Outline of
A Theory of Practice (transl. Richard Nice). Cambridge: Cambridge University Press
Gane, Mike. 2005. “Book Review: Bad Marxism: Capitalism and Cultural
Studies.” European Journal of Communication
Vol 20 (3): 407-410.
Hall, Gary and Birchall, Claire (eds). 2006. New Cultural Studies: Adventure in Theory. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Harvey, David. 2003. The New
Imperialism . Oxford: Oxford University Press.
Harvey, David. 2007. “Neoliberalism as Creative Destruction.” Annals of the American Academy of
Political and Social Science 610:
22–44.
Harvey, David. 2014. Seventeen
Contradictions and the End of Capitalism . Oxford: Oxford University Press
Hutnyk, John. 2004. Bad Marxism:
Capitalism and Cultural Studies . London and Ann Harbor, MI: Pluto Books
Hutnyk, John. 2012. “Proletarianisation.” New Formation 77 (77): 127-149. DOI:
10.3898/NEWF.77.08.2012.
Kemristek Dikti. 2016. Panduan
Kurikulum Penyusunan Pendidikan Tinggi.
Jakarta: Direktorat Pembelajaran – Kemristek Dikti.
Lloyd, David and Thomas, Paul. 1998.
Culture and the State . NY and London: Routledge.
Marx, Karl. 1976. Capital I:
A Critique of Political Economy . London: Penguin.
Mitchell,
Don. 2006. “Book Review: Bad Marxism: Capitalism and Cultural Studies.” Progress in Human Geography Vol. 30 (5): 685-686
Samuel, Hanneman and Sutopo, Oki Rahadianto. 2013. “The Many Faces of
Indonesia: Knowledge Production and Power Relations”. Asian Social Science ; Vol. 9, No. 13:
289-298
Sunardi, ST. 2016. “Surplus Laporan, Defisit Perubahan: Dilema
Perguruan Tinggi dalam Otoritarianisme Manajerial.” Retorika – Jurnal Humaniora Baru Vol. 4 No. 1: 1-12.
Suryajaya, Martin. 2016. Mencari
Marxisme: Kumpulan Esai (ed. Rio Apinino).
Tangerang: Marjin Kiri.
Sumber
laman online
( https://en.oxforddictionaries.com/definition/bad ). Diakses 20
Oktober 2017
(https://id.wikipedia.org/wiki/Indeks-h)/ Diakses 20 Oktober 2017.
(http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2017/07/infografis-SISTER-01-1.jpg).
Diakses 20 Oktober 2017.
(https://tirto.id/temuan-plagiat-disertasi-di-universitas-negeri-jakarta-cvrZ
). Diakses 1 September 2017.