Budaya Mal dan Transformasi Gaya Hidup Masyarakat
(Konsumer)Yogya
Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas
Di awal tahun 90-an mal pertama yang didirikan di kota Yogyakarta, tepat di
tengah arus kepadatan aktivitas masyarakat yakni Malioboro, sempat mengundang
berbagai polemik di berbagai media dan wacana publik Yogya. Kritik yang paling
mengemuka pada saat itu adalah kekuatiran atas memudarnya fungsi Malioboro
sebagai suatu ruang publik (public spaces) yang dapat mempertemukan
berbagai lapisan kelas sosial di Yogya yang selama ini menjadi pertemuan antara
berbagai aktivitas ekonomi, rekreasi (hiburan rakyat), dan aktivitas
budaya. Kekuatiran itu amat beralasan
khususnya ketika Malioboro yang menjadi salah satu locus pariwisata
Yogyakarta juga menjadi sandaran hidup berbagai lapisan masyarakat, khususnya
para pedagang kecil dan kaki lima. Sehingga pembangunan mal Malioboro
dikuatirkan akan mengalihkan fungsi dari ‘kawasan wisata tempat berbelanja
berbagai lapisan kelas sosial’ menjadi ‘kawasan bisnis yang didominasi untuk kepentingan
konsumsi kelas menengah-atas’. Setelah satu dekade berlalu, kekuatiran atas
keberadaan mal Malioboro yang hanya menjadi lokasi bisnis dan konsumsi kelas
menengah-atas dan menjadi ancaman serius bagi sektor informal di sekitarnya, ternyata
tidak sepenuhnya terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya, mal Malioboro
menjadi salah satu ‘locus of attraction’ (lokus yang mengundang daya
tarik) berbagai lapis kelas sosial , baik lapis bawah, menengah, ataupun atas,
di kota Yogya. Meskipun demikian, setiap lapis kelas sosial memiliki relasinya
masing-masing yang berbeda terhadap fungsi mal tersebut. Apa yang terjadi dalam
masyarakat seperti ini?
Jean Baudrillard (1998) melihat fenomena semacam ini sebagai transformasi
masyarakat konsumer (consumer society), dimana “aktivitas konsumsi”
bukan hanya diterjemahkan sebagai ‘aktivitas berbelanja, atau
aktivitas membebaskan kebutuhan untuk memenuhi keinginan atas suatu barang atau
komoditi’. Melainkan konsumsi juga
berarti “suatu tatanan dari tindakan menandai seperangkat obyek, sistem atau
kode penanda, manipulasi atas obyek melalui sistem penandaan, sistem
pertukaran, serta sistem moralitas yang berbasis pada nilai-nilai ideologis,
suatu fungsi sosial, fungsi organisasi yang bersifat struktural, produksi
perbedaan, suatu proses isolasi dan mengindividualkan pilihan-pilihan kebutuhan
dan hambatan-hambatan yang tidak disadari oleh banyak orang; seluruhnya berakar
dalam sistem penanda, sistem sosial-ekonomi-politik, serta logika sosial.”
Jadi, konsumsi bukan semata-mata ‘membeli barang’ melainkan juga suatu proses
sosial yang kompleks dimana di dalamnya ada sistem penanda (system of signs)
dan sekaligus proses men-deferensiasi-kan struktur sosial. Dalam contoh mal
Malioboro, kita menyaksikan bagaimana ‘kebutuhan atas gaya hidup berbelanja
dikonstruksikan’. Keberadaan berbagai toko yang menjual barang atas merk
tertentu diasosiasikan sebagai penanda ‘kebutuhan hidup masyarakat masa kini’,
sehingga sebagian orang berasumsi bahwa orang yang tidak mengenal aktivitas di
dalam mal berarti orang yang ‘ketinggalan zaman’. Ketika sistem penanda bekerja
sebagai konstruksi ideologis atas nilai-nilai konsumerisme di dalam keberadaan fungsi
‘mal’, pada saat yang bersamaan terjadi diferensiasi sosial (menurut sistem
kelas) yang memanipulasi kebutuhan setiap orang yang berasal dari sistem kelas
yang berbeda menjadi ‘ter-seragam-kan’. Sekelompok anak pengamen jalanan di
Malioboro yang bekerja sepanjang hari, misalnya dengan bangga justru bersedia
menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka hari itu hanya untuk sekedar
‘makan di Mc’Donalds, misalnya. Para gadis-gadis muda nan ayu yang berprofesi
sebagai ‘sales promo girls’ (SPG) justru menghabiskan sebagian besar
pendapatan mereka, yang ironis-nya, untuk membeli produk kecantikan yang mereka
sendiri jajakan. Situasi sosial semacam ini yang oleh seorang pakar sosial, George
Ritzer (the McDonalization of society: 1996), dikatakan sebagai ‘We
are increasingly consumed by consumption’, yakni situasi dimana diri kita
sendiri (termasuk kesadaran kita) dikonsumsi oleh konsumsi (benda atau
komoditi) itu sendiri! Mal, bukan hanya menjadi suatu lokasi aktivitas ekonomi,
melainkan lebih jauh lagi, melahirkan kebudayaan baru dalam masyarakat
kontemporer, yakni ‘budaya mal’. Setiap orang yang berada di dalam
sistem struktur kelas-nya masing-masing, memiliki relasi yang berbeda terhadap
mal, dimana fungsi mal juga menjadi fungsi rekreatif bagi sebagian orang.
Hanya, fungsi rekreatif ini juga bersifat manipulatif dimana setiap orang
dilingkupi oleh sistem penandaan dan kontruksi atas kebutuhan yang diciptakan
dan yang tidak semata-mata menjadi suatu kebutuhan yang penting bagi setiap
orang.
Mal seakan-akan menjadi suatu ruang sosial yang tersendiri dimana di
dalamnya terdapat berbagai aktivitas yang kompleks seperti: berbelanja,
nongkrong, cuci mata, bahkan menjadi lokasi sosial yang ditandai oleh
sekelompok orang tertentu. Misalnya di mal Malioboro, pada hari dan jam
tertentu di suatu cafe kedai kopi menjadi ruang ‘kongkow-kongkow’
pertemuan sekelompok orang yang menandai ‘tempat tersebut sebagai lokasi
identitas kolektif mereka’. Jadi sesungguhnya kekuatiran atas berdirinya mal
sebagi ‘locus of attraction’ memang cukup signifikan dirasakan oleh sebagian
masyarakat yang gelisah melihat transformasi mal sebagai suatu ‘ruang publik
baru yang segregatif’. Mal menggantikan ruang sosialisasi dan interaksi
publik, sekaligus membatasi individu atas pilihan bebasnya dikarenakan faktor
kelas sosial, seperti perbedaan di dalam pendapatan dan status ekonomi orang.
Kota Yogya yang selama ini identik dengan praktek budaya rakyat kecil (wong
cilik), tak ada bedanya dengan berbagai kota metropolis lainnya seperti
Jakarta. Ruang yang dapat dimanfaatkan sebagai ‘public sphere’, yang
mempertemukan interaksi setiap orang dari berbagai kelas sosial semakin
menyempit, khususnya ditandai dengan munculnya berbagai mal-mal baru yang akan
berdiri di kota Yogya. Di berbagai sudut kota, anak-anak muda disuguhi oleh
berbagai pilihan lifestyles (gaya hidup) melalui konsumsi berbagai komoditi
yang mengepung kesadaran melalui mitos ‘menjadi anak gaul’. Pembangunan
berbagai mal di kota Yogya secara kultural telah berdampak pada berbagai relasi
sosial di dalam masyarakat.
Dahulu, sebagian masyarakat Yogya, khususnya kaum pelajar yang kebanyakan
para pendatang, memilih belajar dan tinggal di kota ini dikarenakan gambaran
dan praktek hidup di kota ini yang sarat dengan ‘kesederhanaan’ dan ‘interaksi
sosial yang komunal antar berbagai lapis kelas sosial’. Sekarang, gambaran
semacam itu mulai memudar. Setiap ruang sosial yang tersedia di berbagai sudut
kota dipenuhi oleh konstruksi kepentingan kapital lewat berbagai media seperti
papan reklame, spanduk, bahkan dinding-dinding kota yang teraktulkan lewat seni
grafis mural yang sarat dengan propaganda konsumerisme. Semakin sempit ruang
sosial yang menyediakan tempat bagi interaksi sosial yang lebih humanis dan
bebas dari kepentingan kapital. Satu-satunya ruang sosial yang masih bertahan
hingga hari ini di kota Yogya adalah alun-alun (Utara dan Selatan). Oleh karena
itu, rencana pembangunan mal di atas alun-alun kota Yogya oleh Pemerintah Kota
DIY dianggap sebagai suatu ancaman yang cukup serius bagi eksistensi budaya dan
kehidupan sosial masyarakat Yogya yang multi kultur dan multi sosial. Anak-anak
tidak lagi dapat bermain di dalam ruang yang bebas dan menikmati lingkungan
alam dan sosial-nya, karena fungsi itu telah digantikan secara estetis dan
secara manipulatif oleh mal.
Gambaran ironis semacam ini terimajinasikan tentang masa depan generasi Yogya
dimasa mendatang yang hanya mengkonsumsi cerita-cerita tentang eksotisme Yogya
sebagai ‘kota wong cilik’ lewat foto atau dokumentasi yang ironis-nya harus
mereka konsumsi dalam bentuk berupa komoditi-komoditi. Gambaran ini
meninggalkan pertanyaan reflektif, haruskah kita (warga kota Yogya) mengorbankan
ruang sosial demi suatu kepentingan (kapital) yang manipulatif, sehingga
mengorbankan dimensi relasi sosial yang setara sekaligus yang menjadi lokasi
pengikat sosial berbagai lapisan masyarakat di kota ini? Jawaban saya, tentu
tidak. Ini karena Yogya memiliki sejarah dan proses sosial-budaya yang berbeda
dari kota-kota metropolis lainnya di Indonesia. Tanpa ada upaya untuk tetap
mengkonservasi ruang publik yang bebas dan merdeka, maka Yogya telah mengorbankan
akar fundamental di dalam kohesivitas (ikatan) sosial masyarakatnya sendiri,
yakni sebuah kota yang nyaman bagi kehidupan berbagai lapisan sosial yang
harmonis. Yang tersisa adalah potensi bagi meluasnya konflik sosial akibat
semakin menyempitnya ruang interaksi publik yang bersifat komunal sebagai
konsekuensi logis dari ruang-ruang sosial yang tersegregasi tadi.
Yogyakarta, 21 Agustus 2005
Referensi
Appadurai, 1997, Modernity at large, Cultural
Dimension of Globalisastion, Univ.of Minessota Press, Minessota.
Baudrillard, Jean, 1998. The Consumer Society, Myths and
Structures, Sage Publication, London
Bourdieu, Pierre, 1993. The Field of Cultural
Production, Polity Press, Cambridge.
Corrigan, Peter, 1997. The Sociology of Consumption,
SAGE Publication, London
Ritzer, George, 1996. The McDonaldization of Society, Thousand
Oaks, London.
No comments:
Post a Comment