Tuesday, October 27, 2015

Estetika Visual dalam Praktek Technoculture

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas (Tia Pamungkas)





“unlike the aesthetic of the simple man, unproblematic attachment to one coherent system of norms; the ‘popular aesthetic’ is defined and manifested (at least partially) in opposition to scholarly aesthetics, even if it’s never triumphantly asserted.

(Pierre Bourdieu, The Social Definition of Photography, 1999: 166)

Sebagai seorang pengamat budaya dan masyarakat, Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog yang memandang ‘estetika’ melalui sudut pandang ‘kecurigaan’ (suspicious). Menurutnya, ‘estetika’ bukan semata-mata suatu ekspresi subyektif yang prakteknya mendapat representasi di dalam diskursi publik; melainkan suatu mekanisme reproduksi sosial dimana pengetahuan dan cita-rasa terdistribusikan melalui sistem regeneratif yang berlangsung secara hierarkis dan sekaligus menstrukturkan agensi (pelaku-pelaku aktif) yang terlibat di dalam medan reproduksi budaya tersebut. Dalam konteks tersebut, Bourdieu menegaskan bahwa ‘kapital budaya’ berperanan di dalam medan budaya dimana ‘cita-rasa di-norma-kan’ dan menjadi mekanisme klasifikasi sosial. Kritik Bourdieu ini sejalan dengan pemikiran Max Horkheimer dan Adorno dari tradisi filsafat kritis yang memandang ‘estetika’ sebagai mekanisme represi yang terinternalisasikan melalui kekuatan sosial yang mengakar dalam, kemudian secara politis mengontrol cara-cara bekerjanya supremasi hegemoni praktek budaya sehingga berdampak efektif (Horkheimer dan Adorno, dipublikasikan kembali tahun 2001). Kecurigaan mereka dipahami dalam konteks dimana proyek modernisme dibawah logika ‘pencerahan’ (enlightenment), yang meskipun memberikan ruang kebebasan individual secara otonom ‘untuk memilih’ di dalam medan budaya, termasuk berkesenian, preferensi artistik orang pada umumnya sangat ditentukan oleh posisi mereka di dalam kelas sosial.

Mempersoalkan ‘estetika’ sebagai norma bagi saya menjadi suatu topik yang menarik khususnya ketika kita memasuki suatu ruang praktek budaya dimana teknologi mengubah bukan hanya kebiasaan hidup sehari-hari yang menjadi basis sosial kita, melainkan juga berpengaruh di dalam formasi struktur sosial, dimana klasifikasi ‘pembeda’ praktek budaya terus berlangsung di dalam medan sosial yang bersifat multidimensional. Pengertian multidimensional disini yang saya maksutkan adalah, medan  sosial kini tidak semata-mata berbasis pada bentuk-bentuk interaksi sebagai organisme sosial yang mensyaratkan setiap orang memperoleh ‘keanggotaannya secara formal’ di dalam kelas sosial (social membership) dimana identitas subyek menjadi prasyarat. Praktek budaya melalui teknologi multimedia canggih, memungkinkan beroperasinya medan budaya dimana ‘estetika’ tetap dimungkinkan berlaku sebagai ‘norma’ yang menstandarkan basis hierarki cita-rasa seni yang bersifat historis-generatif, tetapi praktek budaya teknologi tersebut juga sekaligus men-destabilisasi-kan atau bahkan men-dekonstruksi norma tersebut. Jikalau dalam praktek ‘berkesenian’ estetika merupakan bagian yang secara ekslusif menandai identitas seniman; maka dalam praktek technoculture relasi antara ‘estetika dan identitas’ bersifat ambigu. Misalnya, cyberculture memungkinkan kategori identitas di dalam ruang praktek teknologi virtual berdampak pada pudarnya basis-basis ‘struktur-kelas sosial’ sebagai penanda seberapa banyak kapital budaya yang dimiliki seseorang (individu), sekaligus mengaburkan ‘norma standar’ tentang keshahihan (legitimate) suatu ekspresi budaya. Dalam konteks ini, identitas tidak lagi merupakan suatu kategori yang bersifat ‘singular’, melainkan suatu ‘posisi temporer’ (temporarily occupied positions) yang bahkan bisa bersifat multiple ‘berganda’ di dalam komunitas yang luas dan beragam (multikultur).

Kebanyakan dari kita memahami budaya teknologi (technoculture) dalam pengertian yang sempit, yakni di dalam penggunaan perangkat elektronis (electronic devices). Pengertian semacam inilah yang selalu menjadi suatu stigma tentang medan teknologi (technological realm), sehingga terkesan bahwa teknologi lebih merupakan dunia yang bersifat ekslusif dan berhubungan dengan konsumsi yang berbasis pada sistem kelas sosial. Andrew Ross (1991) menerjemahkan budaya teknologi (technoculture) sebagai: “a circuit of cultural practices touched by advanced technology”. Pengertian ini dimaknai sebagai praktek budaya dimana sirkuit reproduksi budaya, sosial, ekonomi dan politik dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Pengertian mengenai teknologi sebagai suatu praktek kebudayaan (cultural practices) jauh sebelumnya telah dijelaskan oleh Walter Benjamin pada tahun 1939 dalam artikelnya, “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”. 

Karya Benjamin secara garis besar menjelaskan bagaimana transformasi di dalam konsepsi dan relasi antara self  (kesadaran/entitas diri) dengan realitas dimaterikan melalui reproduksi mekanis dan disimbolisasikan melalui kamera. Perubahan lingkungan sosial ekonomi masyarakat industri telah memungkinkan berlangsungnya produksi massa dan inovasi teknologi sehingga mengambil ruang yang lebih luas lagi di dalam praktek dan media kesenian. Walaupun, menurutnya pada gilirannya, proses ini memisahkan seni ritual-tradisional sehingga memiliki  muatan nilai yang baru dan memiliki nilai ekonomis dalam pasar yang khusus/terbatas. Argumen Benjamin yang paling mendasar menyatakan bahwa reproduksi mekanis secara definitif ‘tak dapat didefinisikan sebagai reproduksi otentisitas’. Menurutnya, reproduksi mekanis memungkinkan ‘emansipasi pengkaryaan seni tidak lagi semata-mata tergantung pada praktek ritual tradisional’. Dengan kata lain, Benjamin menandai lokasi penting di dalam transformasi budaya yang melibatkan peran teknologi yang mengubah praktek sosial, ekonomi dan politik, yakni munculnya ‘massa’ (masses) dan gerakan-gerakan massa (mass movements). Reproduksi mekanis memungkinkan aktor (kita sebagai pencetus gagasan dan penghasil karya atau wujud budaya) memiliki publik yang tak terbatas.

Bill Nichols (2000) menandai argumentasi Benjamin mengenai ‘reproduksi mekanis’ di dalam mencermati perkembangan technoculture mengenai cybernetic systems (sistem cybernetic). Sistem cybernetic meliputi seluruh rangkaian mesin dan piranti-piranti yang mengisi dan menggerakkan kemampuan komputasi. Sistem semacam ini bersifat dinamis bahkan jika sekalipun bersifat terbatas, memiliki kemampuan kecerdasan tinggi. Jaringan telpon, komunikasi satelit, sistem radar, video compact disk yang dapat diprogram, robot, rekayasa sel-sel biogenetik, sistem pengaturan roket, jaringan internet, seluruhnya yang mampu digerakkan melalui kinerja komputasi yang berisikan kapasitas untuk memproses informasi dan mengambil (mengeksekusi) tindakan (action). Seluruh piranti teknologi itu dapat kita sebut sebagai ‘cybernetic’ dikarenakan keseluruhan proses teknologi ini meliputi kemampuan mekanisme meregulasikan (mengatur) dirinya sendiri (self-regulating mechanism) atau sistem yang telah terlebih dahulu mendefinisikan keterbatasan-keterbatasannya (predefined limits) dan berkenaan dengan melaksanakan tugas-tugas yang telah terlebih dahulu didefinisikan (predefined tasks). Dengan mengacu pada tesis Walter Benjamin, Bill Nichols mengajukan pertanyaan serupa yakni, “bagaimana sistem cybernetic disimbolisasikan melalui kinerja komputasi merepresentasikan serangkaian transformasi-transformasi di dalam konsepsi mengenai self dan realitas.” Nichols menyatakan bahwa pertanyaan semacam itu merupakan suatu ambivalensi yang mengacu pada apa-apa saja yang membentuk imajinasi mengenai keberadaan yang liyan (other) karena sistem cybernetic merupakan ‘kecerdasan artifisial’.

Sistem tersebut berlawanan dengan cara-cara umum dimana biasanya kita cendrung menguji dan mengukur batasan-batasan tentang identitas yang kita miliki melalui penjelasan hermenetik ganda. Cara-cara pengujian ‘identitas’ semacam itu melibatkan unsur kecurigaan (suspicion) dan pengungkapan (confession) yang bertendensi ‘mengkritisi secara negatif (kebalikan)’ terhadap bentuk-bentuk dominasi, tendensi terhadap kontrol, dan potensi laten yang menuju pada kolektivitas yang artikulasinya berkarakter ‘singular’. Secara sederhana, identitas subyek selalu dijelaskan melalui konsepsi ‘menandai’ apa-apa yang membuat seseorang memiliki kesamaan atau bahkan perbedaan dengan orang lain. Dengan kata lain, konsepsi identitas dalam kajian budaya selama ini selalu mengacu pada ‘keterlibatan’ subyek  dalam asosiasi-nya dengan orang atau sekelompok orang yang lain (kolektivitas). Budaya teknologi melalui kemunculan komunitas maya (cyberculture) memungkinkan artikulasi identitas bukan lagi menjadi ruang dimana ‘subyektivitas’ tertundukkan oleh ‘kolektivitas’ sebagaimana yang berlangsung pada ‘ruang sosial fisik’ kita. 

Donna Harraway (1989, dipublikasi ulang tahun 2003) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi informasi melalui internet bukan sekedar transformasi teknologi melainkan transformasi kebudayaan yang di dalamnya memuat ideologi baru yakni: (1) teknologi merupakan elemen mesin yang menyesuaikan dan memperluas jangkauan kehadiran fisik kita ; (2) mesin itu sendiri sebenarnya adalah kita, kita sendiri yang menggerakkannya, dan karenanya merupakan perwujudan (embodiment) kita; (3) mesin tersebut bukan sesuatu yang semata-mata bersifat mekanis dan sepenuhnya menguasai kita. Ia menggarisbawahi bahwa persekutuan antara manusia dan mesin teknologi ini adalah metafora mengenai ‘cyborg’ yakni: ‘a cybernetic organism, a hybrid of machine and organism, a creature of social reality as well as a creature fiction’.  Pernyataan Donna Harraway ini memunculkan pertanyaan bukan lagi mengenai ‘apakah’ melainkan; ‘bagaimana persekutuan antara manusia dan mesin teknologi memiliki konsekuensi di dalam medan transformasi budaya yang semula berkarakter eksklusif menjadi suatu ruang praktek budaya yang bersifat inklusif, khususnya di dalam praktek visual sebagai ‘the art of everyday life’.

Sejarah visualisasi diri di dalam praktek technoculture pada awalnya sama sekali bukan ditujukan untuk praktek konsumsi-massa yang bersifat rekreatif, melainkan bermula dari suatu modul scientific pada pertengahan abad 20 yang dikenal dengan istilah ‘H-anim’ (Human-animation). Dimana aplikasi visual manusia digunakan untuk menguji secara matematis produksi obyek teknologi canggih seperti pesawat luar-angkasa, ruang pengujian arsitektural, aplikasi robotik sebelum uji-coba secara manual, bahkan aplikasi teknologi ‘surveilence’ seperti yang digunakan pada sistem perbankan, sirkulasi telekomunikasi-informasi dan pengujian persenjataan militer (Howard Rheingold: 2006). Dalam perkembangannya, jangkauan praktek visualisasi diri semacam ‘H-anim’ melalui teknologi internet diperluas melalui kinerja piranti software VRLM (Virtual Reality Markup Language, suatu aplikasi 3D dimana human model dianimasikan secara kompleks yang berakar pada software berbasis Object Oriented Programming Language semacam ‘Java’). Penggunaan aplikasi semacam ini yang kemudian mendorong munculnya MUDs (Multi-User Dungeons), suatu program game-komputer interaktif yang memiliki setting imajinasi sosial, dimana penggunanya dapat ‘mengkreasi’ karakter-karakter yang dapat mendiami suatu lingkup lingkungan sosial tertentu. 

Pada awalnya, hampir satu dasawarsa lalu keterkaitan seseorang di dalam praktek technoculture MUDs semacam ini memang bersifat ‘elitis’; akan tetapi kini, dikarenakan semakin banyaknya pengakses internet dan teknologi mobile, serta perluasan ‘multi-user virtual worlds’, serta dukungan modal kapital ekonomi melalui ‘kekuatan advertising’; aplikasi semacam itu tak perlu lagi mensyaratkan skills atau pengetahuan khusus yang berbasis pada bahasa program, melainkan lebih menekankan pada kualitas pengalaman dan intensitas subyek ke dalam interaksinya di dalam komunitas cyber-world.  Seseorang dengan mudah dapat menciptakan ‘realitas’ seperti yang diimajinasikannya dengan dilengkapi perangkat hardware khusus atau bahkan sama sekali tidak memerlukan perangkat hardware yang mensyaratkan metode ‘plug-in’ karena program ‘builder’ software-nya dapat dibeli dan atau bahkan gratis dapat diunduh melalui internet. Meskipun perlu dicatat, hal ini berlaku hanya pada pengguna internet yang memiliki kualitas yang berbeda tergantung pada kondisi hardware dan kapasitas jangkauan akses yang broadband; tentu saja!

Referensi:

Benjamin, Walter, 1999 (re. “The Work of art in the age of mechanical production”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Bourdieu, Pierre, 1999. “The Social Definition of Photography”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Bourdieu, Pierre, 1994. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, London: Routledge.
Carvin, Andy, 2002. “Mind the Gap: The Digital Divide as the Civil Rights Issue in the new Millenium”, dalam Erik Bucy, Living in the Information Age, Belmont-USA: Wadsworth.
Cowie, Elizabeth, 1999. “Fantasia”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Eagleton, Terry, 1990. The Ideology of Aesthetic, Malden-Massachussets: Blackwell Publishing.
Harraway, Donna, 2003 (recollected). “A Manifesto for Cyborgs: Science, Technology, and Socialist Feminism in the 1980s”, dalam Martin-Alcoff dan Mendieta, Identities: Race, Class, Gender and Nationality, Oxford: Blackwell Publishing.
Hiller dan Rooksby (ed), 2002. Habitus: A Sense of Second Place, London: Ashgate.
Horkheimer dan Adorno, 2001. “The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception”, dalam Durham dan Kellner, Media and Cultural Studies: keywords, Oxford: Blackwell Publishing.
Jessica, Evans dan Stuart Hall, 1999. “What is Visual Culture?”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Massey, Doren, 1993. “Politics of Space/Time”, dalam Michael Keith dan Steve Pile, Place and the Politics of Identity, London: Routledge.
McLuhan, Marshall, 2001. “The Medium is the Message”, dalam Durham dan Kellner, Media and Cultural Studies: keywords, Oxford: Blackwell Publishing.
Nichols, Bill, 2000. “The Work of Culture in the Age of Cybernetic Systems”, dalam John Thorton Caldwell (ed), Electronic Media and Technoculture, New Brunswick: Rutgers University Press.
Rheingold, Howard, 2006. The Virtual Community (“Chapter 5: Multi-User Dungeons and Alternate Identities”), versi elektronik di akses melalui alamat situs: http://www.rheingold.com/vc/book, diakses (downloading) pada tanggal 1/11/2007.
Ross, Andrew, 1991. Strange Weather: Culture, Science and Technology in the Age of Limit, NY: Verso.



No comments:

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...