Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas (Tia Pamungkas)
“unlike the aesthetic of the simple man,
unproblematic attachment to one coherent system of norms; the ‘popular
aesthetic’ is defined and manifested (at least partially) in opposition to
scholarly aesthetics, even if it’s never triumphantly asserted.
(Pierre Bourdieu, The Social
Definition of Photography, 1999: 166)
Sebagai seorang pengamat budaya dan masyarakat,
Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog yang memandang ‘estetika’ melalui sudut pandang ‘kecurigaan’ (suspicious).
Menurutnya, ‘estetika’ bukan semata-mata suatu ekspresi subyektif yang
prakteknya mendapat representasi di dalam diskursi publik; melainkan suatu
mekanisme reproduksi sosial dimana pengetahuan dan cita-rasa terdistribusikan
melalui sistem regeneratif yang berlangsung secara hierarkis dan sekaligus
menstrukturkan agensi (pelaku-pelaku aktif) yang terlibat di dalam medan
reproduksi budaya tersebut. Dalam konteks tersebut, Bourdieu menegaskan bahwa
‘kapital budaya’ berperanan di dalam medan budaya dimana ‘cita-rasa
di-norma-kan’ dan menjadi mekanisme klasifikasi sosial. Kritik Bourdieu ini
sejalan dengan pemikiran Max Horkheimer dan Adorno dari tradisi filsafat kritis
yang memandang ‘estetika’ sebagai mekanisme represi yang terinternalisasikan
melalui kekuatan sosial yang mengakar dalam, kemudian secara politis mengontrol
cara-cara bekerjanya supremasi hegemoni praktek budaya sehingga berdampak
efektif (Horkheimer dan Adorno, dipublikasikan kembali tahun 2001). Kecurigaan
mereka dipahami dalam konteks dimana proyek modernisme dibawah logika
‘pencerahan’ (enlightenment), yang
meskipun memberikan ruang kebebasan individual secara otonom ‘untuk memilih’ di
dalam medan budaya, termasuk berkesenian, preferensi artistik orang pada
umumnya sangat ditentukan oleh posisi mereka di dalam kelas sosial.
Mempersoalkan ‘estetika’ sebagai norma
bagi saya menjadi suatu topik yang menarik khususnya ketika kita memasuki suatu
ruang praktek budaya dimana teknologi mengubah bukan hanya kebiasaan hidup
sehari-hari yang menjadi basis sosial kita, melainkan juga berpengaruh di dalam
formasi struktur sosial, dimana klasifikasi ‘pembeda’ praktek budaya terus berlangsung
di dalam medan sosial yang bersifat multidimensional. Pengertian
multidimensional disini yang saya maksutkan adalah, medan sosial kini tidak semata-mata berbasis
pada bentuk-bentuk interaksi sebagai organisme sosial yang mensyaratkan setiap
orang memperoleh ‘keanggotaannya secara formal’ di dalam kelas sosial (social membership) dimana identitas
subyek menjadi prasyarat. Praktek budaya melalui teknologi multimedia canggih,
memungkinkan beroperasinya medan budaya dimana ‘estetika’ tetap dimungkinkan berlaku
sebagai ‘norma’ yang menstandarkan basis hierarki cita-rasa seni yang bersifat
historis-generatif, tetapi praktek budaya teknologi tersebut juga sekaligus
men-destabilisasi-kan atau bahkan men-dekonstruksi norma tersebut. Jikalau
dalam praktek ‘berkesenian’ estetika merupakan bagian yang secara ekslusif
menandai identitas seniman; maka dalam praktek technoculture relasi antara ‘estetika dan identitas’ bersifat
ambigu. Misalnya, cyberculture memungkinkan
kategori identitas di dalam ruang praktek teknologi virtual berdampak pada
pudarnya basis-basis ‘struktur-kelas sosial’ sebagai penanda seberapa banyak
kapital budaya yang dimiliki seseorang (individu), sekaligus mengaburkan ‘norma
standar’ tentang keshahihan (legitimate)
suatu ekspresi budaya. Dalam konteks ini, identitas tidak lagi merupakan suatu
kategori yang bersifat ‘singular’,
melainkan suatu ‘posisi temporer’ (temporarily
occupied positions) yang bahkan bisa bersifat multiple ‘berganda’ di dalam
komunitas yang luas dan beragam (multikultur).
Kebanyakan dari kita memahami budaya
teknologi (technoculture) dalam
pengertian yang sempit, yakni di dalam penggunaan perangkat elektronis (electronic devices). Pengertian semacam
inilah yang selalu menjadi suatu stigma tentang medan teknologi (technological realm), sehingga terkesan
bahwa teknologi lebih merupakan dunia yang bersifat ekslusif dan berhubungan
dengan konsumsi yang berbasis pada sistem kelas sosial. Andrew Ross (1991)
menerjemahkan budaya teknologi (technoculture)
sebagai: “a circuit of cultural practices
touched by advanced technology”. Pengertian ini dimaknai sebagai praktek
budaya dimana sirkuit reproduksi budaya, sosial, ekonomi dan politik
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Pengertian mengenai teknologi sebagai
suatu praktek kebudayaan (cultural
practices) jauh sebelumnya telah dijelaskan oleh Walter Benjamin pada tahun
1939 dalam artikelnya, “The Work of Art
in the Age of Mechanical Reproduction”.
Karya Benjamin secara garis besar
menjelaskan bagaimana transformasi di dalam konsepsi dan relasi antara self (kesadaran/entitas diri) dengan realitas dimaterikan melalui
reproduksi mekanis dan disimbolisasikan melalui kamera. Perubahan lingkungan
sosial ekonomi masyarakat industri telah memungkinkan berlangsungnya produksi
massa dan inovasi teknologi sehingga mengambil ruang yang lebih luas lagi di
dalam praktek dan media kesenian. Walaupun, menurutnya pada gilirannya, proses
ini memisahkan seni ritual-tradisional sehingga memiliki muatan nilai yang baru dan memiliki
nilai ekonomis dalam pasar yang khusus/terbatas. Argumen Benjamin yang paling
mendasar menyatakan bahwa reproduksi mekanis secara definitif ‘tak dapat didefinisikan sebagai reproduksi
otentisitas’. Menurutnya, reproduksi mekanis memungkinkan ‘emansipasi pengkaryaan seni tidak lagi
semata-mata tergantung pada praktek ritual tradisional’. Dengan kata lain,
Benjamin menandai lokasi penting di dalam transformasi budaya yang melibatkan
peran teknologi yang mengubah praktek sosial, ekonomi dan politik, yakni
munculnya ‘massa’ (masses) dan
gerakan-gerakan massa (mass movements).
Reproduksi mekanis memungkinkan aktor (kita sebagai pencetus gagasan dan
penghasil karya atau wujud budaya) memiliki publik yang tak terbatas.
Bill Nichols (2000) menandai argumentasi
Benjamin mengenai ‘reproduksi mekanis’ di dalam mencermati perkembangan technoculture mengenai cybernetic systems (sistem cybernetic).
Sistem cybernetic meliputi seluruh rangkaian mesin dan piranti-piranti yang
mengisi dan menggerakkan kemampuan komputasi. Sistem semacam ini bersifat
dinamis bahkan jika sekalipun bersifat terbatas, memiliki kemampuan kecerdasan
tinggi. Jaringan telpon, komunikasi satelit, sistem radar, video compact disk
yang dapat diprogram, robot, rekayasa sel-sel biogenetik, sistem pengaturan
roket, jaringan internet, seluruhnya yang mampu digerakkan melalui kinerja
komputasi yang berisikan kapasitas untuk memproses informasi dan mengambil
(mengeksekusi) tindakan (action).
Seluruh piranti teknologi itu dapat kita sebut sebagai ‘cybernetic’ dikarenakan keseluruhan proses teknologi ini meliputi
kemampuan mekanisme meregulasikan (mengatur) dirinya sendiri (self-regulating mechanism) atau sistem
yang telah terlebih dahulu mendefinisikan keterbatasan-keterbatasannya (predefined limits) dan berkenaan dengan
melaksanakan tugas-tugas yang telah terlebih dahulu didefinisikan (predefined tasks). Dengan mengacu pada
tesis Walter Benjamin, Bill Nichols mengajukan pertanyaan serupa yakni, “bagaimana sistem cybernetic disimbolisasikan
melalui kinerja komputasi merepresentasikan serangkaian
transformasi-transformasi di dalam konsepsi mengenai self dan realitas.”
Nichols menyatakan bahwa pertanyaan semacam itu merupakan suatu ambivalensi
yang mengacu pada apa-apa saja yang membentuk imajinasi mengenai keberadaan
yang liyan (other) karena sistem
cybernetic merupakan ‘kecerdasan artifisial’.
Sistem tersebut berlawanan dengan
cara-cara umum dimana biasanya kita cendrung menguji dan mengukur
batasan-batasan tentang identitas yang kita miliki melalui penjelasan
hermenetik ganda. Cara-cara pengujian ‘identitas’ semacam itu melibatkan unsur
kecurigaan (suspicion) dan
pengungkapan (confession) yang
bertendensi ‘mengkritisi secara negatif (kebalikan)’ terhadap bentuk-bentuk
dominasi, tendensi terhadap kontrol, dan potensi laten yang menuju pada
kolektivitas yang artikulasinya berkarakter ‘singular’. Secara sederhana,
identitas subyek selalu dijelaskan melalui konsepsi ‘menandai’ apa-apa yang
membuat seseorang memiliki kesamaan atau bahkan perbedaan dengan orang lain.
Dengan kata lain, konsepsi identitas dalam kajian budaya selama ini selalu
mengacu pada ‘keterlibatan’ subyek
dalam asosiasi-nya dengan orang atau sekelompok orang yang lain
(kolektivitas). Budaya teknologi melalui kemunculan komunitas maya (cyberculture) memungkinkan artikulasi identitas
bukan lagi menjadi ruang dimana ‘subyektivitas’ tertundukkan oleh
‘kolektivitas’ sebagaimana yang berlangsung pada ‘ruang sosial fisik’ kita.
Donna
Harraway (1989, dipublikasi ulang tahun 2003) menjelaskan bahwa perkembangan
teknologi informasi melalui internet bukan sekedar transformasi teknologi
melainkan transformasi kebudayaan yang di dalamnya memuat ideologi baru yakni:
(1) teknologi merupakan elemen mesin yang menyesuaikan dan memperluas jangkauan
kehadiran fisik kita ; (2) mesin itu sendiri sebenarnya adalah kita, kita
sendiri yang menggerakkannya, dan karenanya merupakan perwujudan (embodiment) kita; (3) mesin tersebut
bukan sesuatu yang semata-mata bersifat mekanis dan sepenuhnya menguasai kita.
Ia menggarisbawahi bahwa persekutuan antara manusia dan mesin teknologi ini
adalah metafora mengenai ‘cyborg’
yakni: ‘a cybernetic organism, a hybrid
of machine and organism, a creature of social reality as well as a creature
fiction’. Pernyataan Donna
Harraway ini memunculkan pertanyaan bukan lagi mengenai ‘apakah’ melainkan;
‘bagaimana persekutuan antara manusia dan mesin teknologi memiliki konsekuensi
di dalam medan transformasi budaya yang semula berkarakter eksklusif menjadi
suatu ruang praktek budaya yang bersifat inklusif, khususnya di dalam praktek
visual sebagai ‘the art of everyday life’.
Sejarah visualisasi diri di dalam praktek
technoculture pada awalnya sama sekali bukan ditujukan untuk praktek
konsumsi-massa yang bersifat rekreatif, melainkan bermula dari suatu modul scientific pada pertengahan abad
20 yang dikenal dengan istilah ‘H-anim’ (Human-animation).
Dimana aplikasi visual manusia digunakan untuk menguji secara matematis
produksi obyek teknologi canggih seperti pesawat luar-angkasa, ruang pengujian
arsitektural, aplikasi robotik sebelum uji-coba secara manual, bahkan aplikasi
teknologi ‘surveilence’ seperti yang
digunakan pada sistem perbankan, sirkulasi telekomunikasi-informasi dan
pengujian persenjataan militer (Howard Rheingold: 2006). Dalam perkembangannya,
jangkauan praktek visualisasi diri semacam ‘H-anim’ melalui teknologi internet
diperluas melalui kinerja piranti software VRLM (Virtual Reality Markup Language, suatu aplikasi 3D dimana human
model dianimasikan secara kompleks yang berakar pada software berbasis Object
Oriented Programming Language semacam ‘Java’). Penggunaan aplikasi semacam ini
yang kemudian mendorong munculnya MUDs (Multi-User
Dungeons), suatu program game-komputer interaktif yang memiliki setting
imajinasi sosial, dimana penggunanya dapat ‘mengkreasi’ karakter-karakter yang
dapat mendiami suatu lingkup lingkungan sosial tertentu.
Pada awalnya, hampir
satu dasawarsa lalu keterkaitan seseorang di dalam praktek technoculture MUDs
semacam ini memang bersifat ‘elitis’; akan tetapi kini, dikarenakan semakin
banyaknya pengakses internet dan teknologi mobile, serta perluasan ‘multi-user
virtual worlds’, serta dukungan modal kapital ekonomi melalui ‘kekuatan
advertising’; aplikasi semacam itu tak perlu lagi mensyaratkan skills atau
pengetahuan khusus yang berbasis pada bahasa program, melainkan lebih
menekankan pada kualitas pengalaman dan intensitas subyek ke dalam interaksinya
di dalam komunitas cyber-world.
Seseorang dengan mudah dapat menciptakan ‘realitas’ seperti yang
diimajinasikannya dengan dilengkapi perangkat hardware khusus atau bahkan sama
sekali tidak memerlukan perangkat hardware yang mensyaratkan metode ‘plug-in’ karena program ‘builder’ software-nya dapat dibeli dan
atau bahkan gratis dapat diunduh melalui internet. Meskipun perlu dicatat, hal
ini berlaku hanya pada pengguna internet yang memiliki kualitas yang berbeda
tergantung pada kondisi hardware dan kapasitas jangkauan akses yang broadband;
tentu saja!
Referensi:
Benjamin, Walter, 1999 (re. “The Work of art
in the age of mechanical production”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed),
Visual Culture: The Reader, London:
Sage.
Bourdieu, Pierre, 1999. “The Social Definition of
Photography”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Bourdieu, Pierre, 1994. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, London:
Routledge.
Carvin, Andy, 2002. “Mind the Gap: The Digital Divide
as the Civil Rights Issue in the new Millenium”, dalam Erik Bucy, Living in the Information Age,
Belmont-USA: Wadsworth.
Cowie, Elizabeth, 1999. “Fantasia”, dalam Jessica
Evans dan Stuart Hall (ed), Visual
Culture: The Reader, London: Sage.
Eagleton, Terry, 1990. The Ideology of Aesthetic, Malden-Massachussets: Blackwell
Publishing.
Harraway, Donna, 2003 (recollected). “A Manifesto for
Cyborgs: Science, Technology, and Socialist Feminism in the 1980s”, dalam
Martin-Alcoff dan Mendieta, Identities:
Race, Class, Gender and Nationality, Oxford: Blackwell Publishing.
Hiller dan Rooksby (ed), 2002. Habitus: A Sense of Second Place, London: Ashgate.
Horkheimer dan Adorno, 2001. “The
Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception”, dalam Durham dan Kellner, Media and Cultural Studies: keywords,
Oxford: Blackwell Publishing.
Jessica, Evans dan Stuart Hall, 1999. “What is Visual
Culture?”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Massey, Doren, 1993. “Politics of Space/Time”, dalam
Michael Keith dan Steve Pile, Place and
the Politics of Identity, London: Routledge.
McLuhan, Marshall, 2001. “The Medium is the Message”,
dalam Durham dan Kellner, Media and
Cultural Studies: keywords, Oxford: Blackwell Publishing.
Nichols, Bill, 2000. “The Work of Culture in the Age
of Cybernetic Systems”, dalam John Thorton Caldwell (ed), Electronic Media and Technoculture, New Brunswick: Rutgers
University Press.
Rheingold, Howard, 2006. The Virtual Community (“Chapter 5: Multi-User Dungeons and
Alternate Identities”), versi elektronik di akses melalui alamat situs: http://www.rheingold.com/vc/book,
diakses (downloading) pada tanggal 1/11/2007.
Ross, Andrew, 1991.
Strange Weather: Culture, Science and Technology in the Age of Limit, NY:
Verso.
No comments:
Post a Comment