Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas
Membaca dan menginterpretasi karya-karya Pramoedya
dari berbagai sudut pandang kajian tak-kan pernah ada habisnya karena karakter utama
dari novel-novel Pramoedya selalu bercirikan muatan kritik sosial dan pencarian
esensi nilai-nilai kemanusiaan yang tak kan pernah ada batasnya. Karakter
kritik sosial yang utama dalam karya Pram adalah representasi tentang bagaimana
manusia selalu berhadapan dengan ‘ketegangan’ diantara struktur penindasan di
satu sisi dan daya juang (survival) yang muncul sebagai respon subyektif
bagaimana seseorang menempatkan kesadaran dan praktek sosialnya di dalam struktur penindasan itu
sendiri.
Struktur penindasan yang digambarkan Pram diibaratkan
sebagai dua sisi mata uang. Pertama, ibarat suatu pola bineri (hitam-putih)
Orientalisme yang menggambarkan Timur sebagai obyek yang pasif terhadap
penundukan subyektivitas Barat (modernitas-rasionalitas) karena situasi
kolonialisme yang menempatkan kategori pribumi sebagai warga negara kelas tiga
(menurut pembagian strata sosial kolonial Belanda). Kedua, karya Pram bukan
hanya bisa dibaca melalui model analisis struktural-Marxis yang masih
menekankan pada pola-pola biner tentang relasi kekuasaan, tetapi menghadirkan
situasi yang ambivalen ketika subyek yang mengalami pengalaman ketertindasan
dilingkupi oleh nilai dan praktek menindas subyek yang lainnya yang sama-sama
berada di dalam struktur penindasan kolonialisme.
Sisi yang kedua inilah yang mendorong eksplorasi
tentang dimensi lain tentang esensi kemanusiaan kita, khususnya ketika
‘pengalaman kolonial’ yakni berupa penindasan dan pencarian bentuk kesetaraan
antar manusia hingga kini masih terus berlanjut. Disini, karya Pram dapat
dikatakan berkarakter ‘kosmopolitan’ karena dimensi mengenai wujud kesetaraan
akan selalu bersifat dinamis karena perubahan peradaban manusia di dalam
interaksi sosial termasuk gaya hidup, pergeseran nilai di dalam
mengorientasikan idealisme dan tata-politik (pola dan hubungan kekuasaan). Dari dua sisi pembacaan itu, maka
karya-karya Pram bukan hanya sekedar ‘merekam’ setting sosial budaya di dalam
sejarah kolonialisme, melainkan juga memberi ruang yang selalu bersifat
‘terbuka’ untuk eksplorasi tentang apa itu kekuasaan, bagaimana kekuasaan
dijalankan melalui struktur penindasan politik berbasis pada orientasi material
dan kehendak menguasai dan bagaimana manusia adalah subyek yang bersifat
politis dan karenanya akan selalu mencari ruang untuk bertahan di dalam
struktur itu sendiri dan menggunakan struktur yang melingkupinya sebagai
legitimasi tindakannya.
Dari pemaparan dimuka, saya memilih untuk mencoba
melihat sisi kedua dari pembacaan terhadap karya Pram untuk kemudian menarik
suatu refleksi ke masa kini tentang bagaimana mengeksplorasi dimensi kesetaraan
yang aktual. Upaya semacam ini dimulai dengan mencoba melihat relasi kekuasaan
khususnya penindasan (opresi) juga sekaligus melahirkan ambivalensi baik di
dalam struktur penindasan itu, maupun bagaimana mereka yang terlibat di dalam
relasi ini membangun subyektivitasnya untuk menyikapi penindasan itu sendiri.
Dari kisah yang dituturkan Pram, kita mendapati bahwa kolonialisme telah
‘melahirkan orientasi bagi praktek sosial yang yang terhierarki’ sebagai konsekuensi dari relasi ‘yang
menguasai’ dan ‘yang dikuasai’. Akan tetapi, dalam kisah itu kita mendapati
ambivalensi praktek sosial sebagaimana yang dikisahkan tentang seorang ayah
yang tega ‘menjual’ anak gadisnya sendiri. Kisah mengenai sosok Nyai Ontosoroh
dan Surati melahirkan suatu rumusan pertanyaan besar mengenai ‘apa dan
bagaimana’ kesetaraan itu dapat memberi ruang artikulatif dan representasi bagi
setiap orang yang terlibat di dalam relasi kekuasaan.
Catatan kecil ini merupakan pengantar diskusi untuk
mengeksplorasi wilayah tentang ‘relasi kekuasaan’ yang juga menjadi tema
sentral di dalam isu tentang kesetaraan gender. Tema mengenai ‘kesetaraan
gender’ tidak menjadi catatan khusus saya disini karena saya ingin menunjuk
pada bagaimana melihat pola relasi kekuasaan dibangun dan dijalankan dan
karenanya dapat melintasi isu tentang kategori pembedaan struktur seperti
kelas, gender, maupun etnisitas dan ras. Secara khusus eksplorasi ini menarik
kita kaji dengan menggunakan perspektif
pascakolonial yang memandang dimensi penindasan tidak hanya bersifat tunggal (a
singular dimension of oppression) sebagaimana biasanya kita melihat dimensi
penindasan di dalam struktur kelas, gender, etnisitas-ras. Hal ini karena
dimensi kekuasaan juga bersifat kompleks yang melibatkan pula relasi antara
berbagai dimensi penindasan dengan strategi-strategi resistensi.
Pendekatan pascakolonial difokuskan pada ‘analisa dan
pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang
menentukan karakteristik suatu politik’. Kajian semacam ini melahirkan wacana
representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi
(dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Sekaligus juga mentidak-stabil-kan
wacana mengenai relasi ‘the West and the Rest’ (dunia maju-Barat dan
dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner
(contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain).
Efek kolonialisme juga mewarisi suatu perasaan atau kesadaran atas
ketidak-amanan (insecurity) dan ketidakstabilan yang melahirkan
resistensi.
Oleh karena itu, bangsa-bangsa dari Dunia Ketiga merupakan
hasil dari tatanan internasional yang pondasinya dibangun dari kekuatan
kolonial Eropa. Dengan kata lain, tidak ada satupun identitas yang tidak
terkontaminasi oleh sistem Barat yang hegemonik. Identitas Dunia Ketiga tidak
lagi bersifat otentik dan karenanya melahirkan ‘hibriditas sekaligus
ambivalensi’ di dalam relasinya dengan Dunia Pertama (Barat). Hibriditas
sekaligus ambivalensi itu kita temukan dalam karakteristik masyarakat dan
relasi sosial Dunia Ketiga yang dipengaruhi proyek-proyek modernitas Barat,
misalnya dalam menyikapi pencapaian-pencapaian material.
Identitas politik di dalam konteks pascakolonial berkenaan
dengan representasi subyek atau kesadaran seseorang yang dikonstruksikan oleh
berbagai aspek di dalam relasi sosial misalnya seperti: kelas, gender, ras,
seksualitas, dan etnisitas. Kelas, ras dan etnisitas misalnya dapat
dikonspirasi untuk suatu proyek pembentukan identitas nasional. Gender juga
memiliki pengaruh sinergis sebagai sumber imajer bagi konstruksi identitas
nasional, misalnya lewat pengungkapan dan simbol-simbol gender yang dibagi
bersama sebagai ikatan kolektif, misalnya konsep mengenai ‘Motherland-Fatherland’.
Sehingga konstruksi identitas berawal dari sumber-sumber imajiner yang
menentukan posisi atau lokasi kita dalam interaksi sosial. Dengan kata lain,
karena identitas berkenaan dengan ‘posisi—lokasi’ subyek di dalam lokus sosial,
maka identitas bukanlah suatu obyek atau substansi yang bersifat esensial,
melainkan situasional.
No comments:
Post a Comment