Thursday, December 16, 2021

Memahami Dakwah Islam dan Media Melalui Majalah Ummi

  Oleh: Arie Setyaningrum Pamungkas


Mengapa Ummi?

“Mengapa Mbak Tia ingin meneliti Ummi? Kami ini bukanlah perusahaan media besar seperti yang lainnya, yang memiliki pengaruh pada jutaan masyarakat Indonesia!” ujar Meutia Gemala, editor kepala Ummi. Pernyataan tersebut disampaikan secara langsung kepada saya sebagai jawaban ketika redaktur majalah Ummi akhirnya memenuhi permintaan saya untuk melakukan penelitian etnografi di kantor majalah Ummi di Utan Kayu Jakarta pada suatu hari di bulan Januari 2010. Saya menjawab alasannya adalah karena saya tertarik untuk mempelajari apa yang membuat majalah Ummi berubah dari suatu majalah muslim ‘radikal’ menjadi majalah Muslimah populer. Saya menambahkan suatu cerita padanya juga bahwa pada tahun 1993, ketika saya masih mahasiswi S1 di jurusan Sosiologi, Fisipol UGM di Yogyakarta, saya pernah membaca salah satu terbitan majalah Ummi yang diperlihatkan oleh kawan kos saya, seorang mahasiswi UGM yang menjadi simpatisan gerakan tarbiyah.

Salah satu edisi Ummi yang pernah saya baca di tahun 1993 tersebut, bersampul sederhana, tidak memuat foto atau gambar perempuan sama sekali dan hanya berupa foto seikat bunga. Meski demikian, yang membuat saya terkejut justru ada di dalam isi liputan majalah Ummi. Yakni suatu foto mayat perempuan yang tidak utuh dengan keterangan bahwa foto itu adalah tubuh seorang perempuan Muslim Bosnia yang terkoyak setelah diperkosa, disiksa dan dibunuh secara brutal oleh tentara Serbia. Kenangan pertama saya membaca majalah Ummi itu sangat traumatis dan emosional mengingat apa yang saya sudah ketahui sebelumnya lewat media lain tentang perang Bosnia sebenarnya telah membangkitkan rasa simpati saya terhadap kaum Muslim Bosnia. Akan tetapi, melihat foto mayat perempuan secara vulgar di majalah yang ditujukan untuk kaum Muslimah membuat saya merasa tidak nyaman dan sangat traumatis, apalagi saat itu di masa Orde Baru dimana foto semacam itu tidak akan dimunculkan media massa karena kontrol dan sensor pemerintah Orde Baru terhadap media sangat kuat. Meski sebelumnya saya pernah mengalami satu-satunya kenangan visual traumatis semacam itu (lewat media) yang mengingatkan saya pada adegan visual film G.30.S /PKI di masa kanak-kanak pada tahun 1980-an saat para perempuan (Gerwani) menyilet para Jenderal yang diculik di Lubang Buaya Jakarta pada tahun 1965.

Empat belas tahun kemudian, pada awal tahun 2007, saya melihat salah satu edisi Ummi dipajang di gerai toko buku Gramedia di salah satu mal ternama di Yogyakarta. Saya cukup heran ketika melihat majalah Ummi terpajang di toko buku besar dan terkenal itu. Seingat saya, di masa Orde Baru, majalah Ummi tidak beredar secara mudah di publik. Saya juga cukup terkejut ketika melihat perubahan tampilan majalah tersebut yang menjadi lebih glamor dengan sampul foto seorang perempuan cantik berjilbab. Tampilan baru Ummi sebagai majalah perempuan populer mengingatkan saya pada majalah Muslimah populer lainnya di masa Orde Baru, majalah Amanah yang terbit pada kisaran tahun 1980-an hingga 1990-an sebelum akhirnya bangkrut justru di awal reformasi. Perjumpaan kedua saya dengan majalah Ummi setelah sekian lama ini cukup mengejutkan. Karena Ummi, secara sekilas, tampak seperti gambaran lugu saya di masa remaja tentang bagaimana seharusnya suatu majalah perempuan (Muslimah) ditampilkan. Imajinasi saya tentang majalah perempuan di masa Orde Baru merujuk pada majalah populer lainnya yakni haruslah menampilkan visualisasi perempuan yang feminin pada sampul dan harus menampilkan konten tentang kehidupan perempuan di dalamnya.

Kesimpulan awal setelah saya membaca penampilan baru majalah Ummi edisi di tahun 2007 dan membandingkannya dengan majalah Amanah edisi lama tahun 1993 adalah bahwa kedua majalah tersebut sama-sama memberikan tekanan tentang pentingnya dakwah Islam. Melalui pemahaman atas dakwah, para Muslim diharuskan untuk meyakini Islam dengan menerapkan nilai-nilai Islam. Namun begitu, majalah Ummi versi ‘baru’ ini tidaklah serta-merta meniru majalah Amanah begitu saja. Keduanya memberikan sudut pandang yang berbeda tentang pentingnya dakwah terutama bagi dan oleh kaum perempuan (Muslimah). Perbedaan penting yang mendasar adalah bahwasanya majalah Ummi masih menjadi bagian dari gerakan tarbiyah dan terus berlanjut hingga saat ini; sedangkan majalah Amanah sama sekali tidak menjadi bagian dari gerakan Islam manapun. Kemunculan majalah Amanah di tahun 1990-an lebih merupakan akomodasi identitas Islam oleh rezim Orde Baru yang didiktekan oleh penguasa (elit) melalui industri media populer pada saat itu. Berdasarkan penilaian awal ini, maka pengertian tentang dakwah memiliki arti yang berbeda dan beragam secara kontekstual. Yakni tergantung pada siapa yang menyebarkannya dan siapa yang menerimanya dan kemudian bagaimana mereka mempraktikkannya. Meski demikian, diantara berbagai ‘majalah dakwah’ yang beredar di toko-toko buku (khususnya toko buku Islam), majalah Ummi kini oleh publik luas justru dianggap sebagai majalah Islam yang tidak radikal.

Menilai perubahan tampilan majalah Ummi hanya pada sampulnya saja seakan suatu pandangan yang dangkal, namun perubahan tersebut menurut saya justru mencerminkan berlangsungnya suatu transformasi sosial budaya yang lebih luas. Hasil penelitian etnografi saya menunjukkan bahwa perubahan majalah Ummi sebagai majalah perempuan juga dapat menjelaskan tentang suatu proses perubahan sosial dalam reproduksi budaya sehari-hari masyarakat Indonesia yang didominasi oleh konstruksi identitas keislaman formal yang semakin menguat di ruang publik selama dua dekade era reformasi. Dalam transformasi landskap budaya semacam itu,  kaum perempuan menjadi subyek penting perubahan sosial dan sekaligus obyektifikasi identitas Islam sebagai suatu komoditas baru dalam reproduksi ekonomi kapitalisme yang bersifat politis. Runtuhnya kekuasaan rezim Soeharto (Orde Baru) di tahun 1998 berdampak pada peningkatan jumlah dan keragaman media baru, termasuk juga majalah-majalah yang mengangkat tema tentang Islam politik dan gaya hidup Islami.

Dalam pembahasan ringkas ini saya akan menjelaskan awal kebangkitan media dakwah dengan menelusuri sejarah gerakan Islam Politik sebelum dan setelah momentum 1998 melalui studi kasus majalah dakwah seperti Ummi. Ummi merupakan salah satu majalah dakwah yang menonjol di era Reformasi dan berakar dari gerakan tarbiyah yang muncul dan berkembang pesat di masa Orde Baru. Perubahan majalah Ummi sekaligus mewakili dinamika perubahan gerakan tarbiyah melalui media dimana berlangsung pergeseran pandangan radikal tentang bagaimana mempraktikkan dakwah Islamiyah khususnya jihad Islam dan implikasinya terhadap kaum perempuan. Perubahan itu seakan-akan oleh khalayak terutama kaum Muslim di Indonesia pada umumnya kini dianggap mewakili suatu pandangan yang lebih moderat dimana apropriasi terhadap dakwah yang bermuatan Islamisme populer yang dipengaruhi oleh media dakwah juga mewakili modernitas (kehidupan moderen) sehingga diakomodasi oleh industri budaya populer di Indonesia sejak masa reformasi sehingga kini menjadi budaya populer yang cukup hegemonik.

Majalah Ummi tentu saja bukan milik salah satu kelompok korporasi besar dalam media arus utama di Indonesia.[1] Meskipun majalah Ummi bukan bagian dari korporasi media besar, tetapi memiliki pengaruh hegemonik dalam membentuk dan menampilkan narasi dan visualisasi mengenai dakwah Islam khususnya Islamisme populer yang didasari oleh cara pandang ideologi Islam politik sebagai komoditas budaya. Hal ini terjadi karena pada pasca Orde Baru, gerakan tarbiyah melalui peranan para aktivis dakwah perempuan telah berhasil memberikan pengaruh dalam merepresentasikan dakwah Islam sebagai suatu kode moralitas publik sehingga akhirnya diapropriasi melalui dan oleh media arus utama. Inilah yang kemudian melahirkan suatu genre baru dalam sejarah budaya populer di Indonesia khususnya sejak masa reformasi yakni genre budaya populer Islami atau yang acapkali juga disebut sebagai ‘Islamisme populer’, baik dalam literatur populer, kesusasteraan, film, acara-acara di televisi, dan konten dakwah di media sosial. Oleh karena itu, penelitian saya ini ditujukan untuk menelisik sejarah proses transformasi sosial dan budaya yang dipengaruhi oleh gerakan Islam politik dimana majalah Ummi menjadi bagian penting dalam mentransformasi Islamisme sebagai komoditas budaya populer di Indonesia. Di sisi lain, budaya populer yang dibangun melalui industri media kapitalis moderen pada gilirannya ternyata juga mempengaruhi pola dan bentuk gerakan Islam politik khususnya di Indonesia sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998.

Secara umum, kajian budaya populer biasanya terfokus pada upaya menelisik terbentuknya komoditas budaya massa, misalnya proses penciptaan sebuah objek seni, hiburan atau rekreasi dan kesenangan yang dikonsumsi oleh masyarakat luas.[2] Meski demikian, hasil penelitian saya tentang majalah Ummi ini juga menunjukkan bahwa budaya populer pada awalnya tidak selalu dikonstruksikan oleh industri kapitalis atau oleh kepentingan para elit (kelompok yang berkuasa). Melainkan dapat muncul dan disosialisasikan oleh kelompok yang sebelumnya berposisi subordinan. Dengan kata lain, budaya populer merupakan ajang pertarungan kepentingan antara kelompok yang dominan dengan kelompok yang subordinan yang baru muncul untuk merebut ruang representasi budaya sehingga menjadi kekuatan yang dominan dalam mempengaruhi perubahan sosial budaya. Berbagai kelompok yang berbeda dalam percabangan kebudayaan akan terus-menerus memperebutkan ruang representasi budaya sekaligus berebut jumlah penonton (konsumer) untuk menyampaikan ide dan agenda mereka. Dalam perebutan ruang representasi budaya itu acapkali wujud atau komoditas budaya yang ditawarkan berlawanan dengan kecenderungan arus utama yang sebelumnya mendominasi produksi industri budaya.

Konsep tentang dominasi budaya oleh industri kapitalis, para elit (kelompok yang berkuasa), atau kelompok yang dominan terhadap bentuk-bentuk keyakinan atau kepercayaan, nilai dan adab kebiasaan tertentu yang kemudian diterima secara sukarela sebagai norma umum dikemukakan oleh Antonio Gramsci melalui konsep ‘hegemoni’. Menurut Gramsci, hegemoni tidak terjadi dengan begitu saja, namun merupakan sebuah proses negosiasi dimana berbagai kepentingan dan aspirasi saling berkompetisi untuk mencapai suatu keseimbangan (equilibrium) melalui strategi yang secara esensial menyuarakan kepentingan-kepentingan kelompok subordinan kepada kelompok dominan.[3] Stuart Hall merekonseptualisasi pendekatan Gramsscian untuk mengembangkan pemahaman baru tentang tentang budaya populer sebagai suatu proses yang terus-menerus berlanjut dan ditentukan oleh hubungan dinamis sebagai upaya mengontrol subordinasi dimana suatu kebudayaan tertentu dapat dimenangkan atau bahkan dikalahkan karena akomodasi kelembagaan. Karena itu, Hall berpendapat bahwa versi bentuk budaya baru bukanlah sesuatu yang menetap. Budaya baru itu akan selalu bergerak dan bertukar kepentingan dalam konstelasi gerakan dan relasi kekuasaan.[4] Melalui pendekatan Gramscian dalam kajian budaya (cultural studies), John Storey lebih jauh berpendapat bahwa budaya populer bukanlah suatu budaya otentik yang bersifat subordinatif, bukan pula suatu kebudayaan yang didiktekan oleh budaya dominan (khususnya budaya industri), melainkan lahir dari suatu ‘keseimbangan kompromis’ (a compromise equilibrium) yang mencampuradukkan keduanya (budaya subordinan dan budaya dominan)[5] Hal ini berarti bahwa mempelajari kebudayaan populer adalah suatu kerangka memahami keseimbangan yang dikompromikan, yakni melihat bagaimana komoditas kebudayaan disesuaikan dan dibuat bermakna melalui perilaku konsumsi (mengonsumsi komoditas).[6]

Praktik dan simbol Islam di masa reformasi lebih banyak muncul di media elektronik maupun media cetak. Fenomena inilah yang mendorong pembentukan budaya dominan si Indonesia menjadi ke arah yang dipengaruhi oleh interpretasi atas Islam moderen. Nilai-nilai dan simbol-simbol Islam semakin menguat di ruang publik daripada sebelumnya. Visualisasi atas interpretasi nilai Islam tersebut sekaligus membagi-bagi ruang sosial berdasarkan kategori gender atau ruang sosial tersebut tersegmentasikan berdasarkan gender. Pada saat yang bersamaan, ketika nilai-nilai dan simbol-simbol Islam tersebut dikomodifikasi dan dikonsumsi dalam skala luas –maka identitas Islam seakan menjadi ikon baru budaya populer di Indonesia. Dalam konteks inilah, upaya memahami media dakwah (melalui studi etnografi saya tentang majalah Ummi) ditujukan untuk menjelaskan bagaimana dakwah Islam yang berbasis pada gerakan Islam politik (Islamisme) mampu menjadi salah satu pendorong tercapainya ‘keseimbangan kompromis’ untuk menjadikan identitas Islam sebagai budaya populer yang dominan dan hegemonik di Indonesia kini.

Menurut Noorhaidi Hassan (2009), munculnya militansi ghirah (semangat) keislaman di Indonesia bertepatan dengan momentum semakin meningkatnya simbol-simbol religius dan penyebaran institusi-institusi Islam.[7] Gaya hidup baru yang berkiblat pada ketekunan beribadah secara formal di ruang publik telah menjadi fenomena keseharian khususnya bagi masyarakat urban di Indonesia masa kini. Pakaian muslim yang khas, seperti misalnya jilbab, saat ini dikenakan oleh banyak perempuan Muslim di Indonesia dengan gaya yang lebih trendi dan beragam sehingga memberikan warna tersendiri dalam kebudayaan Indonesia. Keshalehan Islami juga menjadi obyek komodifikasi yang dipopulerkan oleh para ustad/ustadzah di televisi, film-film bertemakan Islam, dan konten media sosial. Menurut Greg Fealy (2008), semakin meningkatnya komodifikasi Islam terjadinya karena perubahan yang besar dalam faktor sosial-ekonomi, perubahan teknologi dan budaya yang berlangsung selama lebih dari dua dekade terakhir di Indonesia dimana keshalehan formal menjadi identitas baru Muslim di Indonesia yang menganggap pelekatan identitas itu juga merupakan jaminan moralitas (yang dianggap lebih baik di masyarakat) melalui pengayaan spiritual dengan cara mengkonsumsi pengetahuan dan simbol-simbol Islam.[8]  


Perkembangan Media dan Gerakan Islam di Masa Reformasi

Pada masa Orde Baru majalah Ummi hanya beredar di kalangan anggota gerakan tarbiyah dan beredar tanpa ijin terbit remsi (beredah secara gerakan bawah tanah). Gerakan tarbiyah merupakan gerakan sosial dan politik yang terinspirasi dan dipengaruhi oleh kelompok Ikhwanul Muslimin yang berasal dari Mesir. Gerakan ini memperoleh simpati dari para mahasiswa terutama di kampus-kampus negeri yang sekuler pada pertengahan 1980-an. Gerakan tarbiyah merupakan sebuah gerakan politik dan sosial yang menekankan pentingnya ‘marhalah dakwah’ atau strategi dakwah untuk mendirikan suatu Daulah Islamiyah (pemerintahan yang berdasarkan pada penerapan syariat Islam). Gerakan ini muncul di Indonesia pada akhir 1970-an dan sangat dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin yang terbentuk melalui gagasan imam Hasan al-Banna (1906-1949) di Mesir. Di Indonesia, gerakan tarbiyah mulai berkembang pesat dan memperoleh banyak pengikut pada tahun 1980-an dan 1990-an melalui simpati dan dukungan dari para aktivis mahasiswa di beberapa universitas ternama sebagai dampak dari kebijakan Orde Baru yang melarang gerakan politik di kampus pada akhir tahun 1970-an. Pada akhir 1970-an tersebut, DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) ikut membidani perkembangan gerakan tarbiyah dengan memfasilitasi pelatihan bagi para aktivis dakwah kampus-kampus terkemuka.[1] DDII bahkan secara khusus memfasilitasi perkenalan para pemuda Muslim itu pada ajaran-ajaran ikhwani melalui penerbitan karya terjemahan salah satu buku tokoh ikhwani yang sangat berpengaruh, Sayyid Qutb, yang berjudul ‘Ma’alim fi Al Tariq (Petunjuk Jalan) pada tahun 1980. Pemikiran dan gagasan ikhwani pula yang membentuk gerakan tarbiyah dan kemudian turut membidani kemunculan beberapa majalah-majalah dakwah yang ditujukan untuk para mahasiswa di kampus-kampus di seluruh Indonesia.

Pertumbuhan media massa setelah jatuhnya Soeharto di awal masa reformasi dilahirkan dari undang-undang yang dikeluarkan oleh Presiden B.J Habibie pada tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers. Sejak saat itu pula, media massa mulai terbebas dari kontrol negara seperti sensor dan propaganda. Akibatnya banyak sekali media massa bermunculan termasuk media Islam yang juga  menjamur, berkembang cepat, dan menjadi lebih beragam.[2] Berkenaan dengan keragaman media Islam, pengertian mengenai ‘media dakwah’ di sini bukan hanya mendefinisikan apa arti Islam, melainkan juga ‘mengonstruksi’ nilai dan praktik dakwah Islam sebagai suatu kepentingan yang bersifat politis. Dalam beberapa kasus, media dakwah bahkan secara terang-terangan menyebarluaskan agenda-agenda politiknya untuk membentuk suatu komunitas politis kaum Muslim untuk mendukung gagasan tentang berdirinya ‘Daulah Islamiyah’ (pemerintahan berdasarkan syariat Islam) atau ‘Khilafah Islamiyah’ (imperium Islam). Media dakwah semacam itu misalnya diwakili oleh Sabili, Ar-Rahmah, Voice of al Islam, dan lain-lain. Meskipun banyak media dakwah yang tumbuh dan berkembang dengan cepat di awal masa reformasi, hanya beberapa dari media itu yang masih bertahan hingga saat ini.[3] Majalah Ummi karenanya adalah salah satu contoh dari banyak ‘media dakwah’ yang bukan hanya mampu bertahan dari situasi politik yang penuh gejolak dan tidak stabil di era reformasi, melainkan juga memiliki pengaruh penting dalam revolusi kebudayaan di Indonesia yang mengutamakan pelekatan identitas Islam secara formal di ruang publik.

            Meskipun bangkitnya militansi Islam setelah runtuhnya Soeharto di Indonesia telah diulas oleh banyak cendekia, hanya beberapa dari mereka yang memperhatikan representasi media Islam. Sebelum masa reformasi, hanya ada tiga penelitian besar tentang media Islam yang dikerjakan oleh William Liddle (1993), Robert Hefner (1997), dan James T. Siegel (2000). William Liddle secara khusus mengulas tentang majalah ‘Media Dakwah’, suatu jurnal bulanan yang diterbitkan oleh DDII pada tahun 1967 dengan tujuan untuk menelusuri perkembangan tradisi scripturalis anti Kristen dan Yahudi di kalangan para aktivis dakwah. Sementara Robert Hefner mengkaji kemunculan surat-kabar nasional beridentitas Islam, Republika, untuk meneliti bagaimana Islam menjadi kekuatan politik dan sekaligus sebagai lawan ideologi politik rezim Orde Baru Soeharto. James Siegel – mengikuti jejak Liddle – meneliti diskursus anti Kristen dan Yahudi di beberapa media dakwah lainnya. DDII adalah lembaga dakwah yang didirikan pada tahun 1967 oleh Muhammad Natsir (1908-1993) yang sebelumnya pernah menjadi pemimpin Partai Masyumi. Masyumi merupakan Partai Islam yang sangat penting pada masa awal kemerdekaan Indonesia dan memperoleh suara yang banyak pada Pemilu 1955. Namun, pada tahun 1960, Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno karena dituduh melakukan percobaan kudeta. Semasa pemerintahan Soeharto, ajaibnya, majalah Media Dakwah justru diedarkan secara ‘legal’ (memiliki ijin resmi) untuk diedarkan ke khalayak umum. Hal itu dapat terjadi karena DDII dikooptasi oleh militer dan menjadi saluran intelijen untuk kepentingan politik Orde Baru dalam mengontrol kelompok-kelompok Islam (Liddle, 1993). Dalam konteks inilah DDII memiliki peran penting dalam penyebaran pemikiran Islam radikal di Indonesia, terutama melalui publikasinya. Meski demikian, William Liddle berpendapat bahwa penyebaran pandangan Islam radikal tersebut belum tentu dapat menjadi suatu kekuatan ‘politik radikal’ dikarenakan sikap DDII yang ambigu atau mendua terhadap rezim Soeharto.

            Setidaknya ada lima media dakwah populer yang menjadi arus utama di masa awal reformasi menurut Syamsul Rizal (2005) dan memiliki kesamaan idelogi Islam politik yaitu: Sabili, Ummi, Annida, Tarbawi, dan Saksi. Majalah Sabili – diterbitkan pertama kali pada awal 1980-an dan hanya bertahan satu edisi karena tekanan politik. Namun, Sabili bisa bertahan sebagai majalah komunitas dan diterbitkan kembali pada awal 1990-an sebelum akhirnya bangkrut hanya satu dekade setelah reformasi. Majalah ini dianggap sebagai majalah Islam politik (Islamis) yang pertama secara provokatif menyerukan perlunya melakukan kewajiban jihad secara global. Menurut survei media AC Nielsen pada tahun 2004, majalah Sabili yang terbit setiap bulan itu memiliki kurang lebih 80.000 pelanggan tetap. Angka ini menempatkan Sabili sebagai salah satu majalah bulanan nasional yang terkenal di Indonesia setara dengan majalah sekuler bulanan seperti Tempo. Majalah Ummi – diterbitkan pertama kali tahun 1989 dan majalah komunitas gerakan tarbiyah yang secara khusus ditujukan untuk kaum perempuan. Meskipun secara umum cakupan majalah ini mirip dengan majalah Sabili, majalah Ummi dianggap memiliki pendekatan yang lebih halus dalam menarasikan perlunya berjihad. Majalah Annida – pertama kali terbit pada tahun 1991, di bawah kepemilikan yang sama dengan Ummi. Majalah bulanan ini menyasar kaum muslim muda atau remaja. Cakupan utama Annida adalah pada pengembangan identitas Islam yang berdasarkan pada pandangan ikhwani tentang syariat Islam. Majalah Tarbawi – diterbitkan sesaat setelah kelahiran partai Islamis, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di tahun 1999. Tarbawi meliput bagaimana ‘gerakan tarbiyah’, melakukan pendidikan dan pelatihan untuk para aktivis dakwah. Majalah Saksi – merupakan majalah Islam politik yang menggarisbawahi pentingnya penerapan syariah Islam untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial di Indonesia. Menurut Syamsul Rizal (2005) media dakwah tersebut memiliki tiga kesamaan. Pertama, isu-isu dan pendapat-pendapat yang ditonjolkan sejalan dengan ideologi gerakan tarbiyah. Kedua, banyak penulis dan tokoh Muslim yang diliput memiliki latar belakang keterlibatan di dalam gerakan tarbiyah atau memiliki hubungan dengan PKS. Ketiga, kepemilikan media dakwah tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya.[4]

Budi Irawanto (2011) berpendapat bahwa beragamnya penerbitan media Islam di masa awal reformasi merupakan refleksi dari beragamnya organisasi Islam di Indonesia. Karena itu perlu untuk mencari berbagai kepentingan (politik, ekonomi, juga budaya) dari media Islam dan organisasi-organisasi Islam yang terlibat di dalamnya berkenaan dengan interaksi mereka dengan negara.[5] Di sisi lain, berbeda dengan di masa Orde Baru, para penganut ideologi ikhwani yang dimunculkan oleh gerakan tarbiyah saat ini justru mewakili ekspresi budaya Islam yang populer dan trendi. Penelitian Najib Kailani (2008) misalnya, menjelaskan tentang bagaimana revolusi budaya Islam di Indonesia diinisiasi oleh para aktivis gerakan tarbiyah melalui suatu organisasi bernama Forum Lingkar Pena (FLP) yang didirikan pada tahun 1997. Para pendiri dan anggota FLP bahkan secara aktif pernah ikut terlibat dalam produksi majalah Ummi dan Annida. FLP pada awalnya bertujuan untuk mengedukasi para penulis pemula untuk menjadi bagian dari gerakan tarbiyah. Mereka menyebarkan nilai-nilai Islam baru yang populer dengan menerbitkan cerita pendek, essai, dan komik terutama untuk diterbitkan di majalah Annida yang menarik bagi para remaja Muslim. Najib Kailani juga mengungkapkan bahwa gerakan tarbiyah kontemporer lewat terbitan-terbitan FLP telah mengenalkan istilah-istilah ‘baru’ misalnya penggunaan istilah ‘ikhwan’ untuk menggantikan istilah ‘cowok’, dan ‘akhwat’ untuk menggantikan ‘cewek’. Pelabelan ini digunakan untuk referensi budaya atau sebagai kode moral yang membedakannya dari majalah-majalah populer sekuler lainnya yang ditujukan untuk remaja. Kode moral itu menunjukkan bahwa istilah ‘ikhwan’ dan ‘akhwat’ dibangun sebagai pembedaan remaja laki-laki dan remaja perempuan yang shaleh (‘baik dan beriman’). [6]


Peran Aktivis Dakwah Perempuan dalam Gerakan Tarbiyah

Metode dakwah yang dikenalkan gerakan tarbiyah mengacu pada metode pendidikan, indoktrinasi dan kaderisasi Ikhwanul Muslimin (ikhwani). Metode ini menerapkan kegiatan bimbingan keagamaan yang diajarkan di dalam lingkaran yang disebut ‘usrah’ untuk mempersiapkan para remaja muslim untuk menjadi ‘Muslim yang ka’afah’ (sempurna). Kegiatan bimbingan ini juga dibedakan berdasarkan gender di dalam lingkaran kecil atau yang disebut sebagai ‘halaqah’ yang dalam bahasa Arab berarti ‘lingkaran’. Biasanya dalam kegiatan bimbingan ini ada seorang ‘murabbi’ (pembimbing/mentor) dan lima sampai sepuluh ‘muttarabbi’ (murid/pengikut). Murabbi merupakan seseorang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang ajaran Islam, sejarah Nabi Muhammad dan Salaf al Salih atau sahabat para nabi, serta sejarah peradaban dan gerakan Islam.[1]

Ketika setiap murid berhasil menyelesaikan proses pembelajaran atau mentoring, mereka diharapkan bisa menjadi murrabi baru dan membuat halaqoh lain, kemudian memiliki otoritas untuk merekrut muttarabi (kader) yang baru. Yon Machmudi (2006) menjelaskan bahwa anggota halaqah diwajibkan untuk memperkuat kapasitas keagamaan dan ketakwaan mereka dengan menyeru kepada yang lain termasuk teman dan kerabat mereka untuk mencermati semua kewajiban keagamaan.[2] Sebagian besar bahan ajar mengacu pada materi yang disusun oleh Ikhwanul Muslimin, terutama yang berasal dari imam Hasan al Banna yang menekankan pembentukan moralitas individual, ketakwaan dan disiplin. Sebagai tambahan bahan ajar tersebut, acapkali berlangsung indoktrinasi untuk menolak ideologi lain diluar Islam. Artinya, kegiatan pendampingan tersebut tidak hanya ditujukan untuk pemurnian Islam, namun juga sebagai sarana untuk merekrut kader baru bagi gerakan tarbiyah. Perekrutan kader-kader baru tersebut dilakukan menurut prinsip-prinsip utama yang berasal dari ajaran Hasan al Banna yang dikenal sebagai Arkan al Bayah (Prinsip-prinsip Kesetiaan). Para anggota para kader dan simpatisan diuji melalui beberapa proses pendampingan sehingga mereka meraih kualifikasi yang sudah ditentukan. Antara lain yakni: keyakinan yang tidak terkontaminasi (salim al a’qidah), beribadah yang benar (salim al ‘ibadah), moralitas yang sempurna (matin al khulq), kemampuan untuk bekerja keras atau produktif (qadirun ‘ala-al kasb), pengetahuan yang luas (muthaqqafah al fikr), tubuh yang sehat dan kuat (qawiyy al jism), ulet (mujahidun li nafsih), kemampuan untuk menunjukkan kepemimpinan yang baik di segala bidang (munazzam fi shu’nih), ketepatan dalam bertindak (harisun ‘ala waqtih), dan menunjukkan bahwa dirinya mampu bermanfaat bagi orang lain (nafi’un li ghayrih).[3] Melalui prinsip ajaran ikhwani itulah gerakan tarbiyah terbentuk sebagai suatu gerakan yang memiliki militansi di dalam tindakan sosial. Meskipun demikian, gerakan tarbiyah di Indonesia bukanlah suatu bentuk “fotokopian” yang sama persis seperti gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang secara historis melegitimasi penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik mereka yang bersifat pragmatis.[4] Di dalam kerangka pengajaran individu melalui gerakan tarbiyah, perubahan individual menjadi lebih Islami berarti bahwa seseorang bukan hanya menerima nilai-nilai moral ajaran Islam dengan tegas, namun juga mengadopsi identitas baru yang membedakan jati dirinya dengan jelas dari yang orang atau kelompok lain (termasuk Muslim lainnya).

Pengadopsian identitas baru di antara para anggota gerakan tarbiyah tampak dengan jelas pada kewajiban kaum perempuan untuk mempraktikkan hijab., salah satunya dengan mengenakan jilbab ‘syar’i’ yang menutup seluruh tubuh. Suzanne Brenner (1996) berpendapat bahwa pemakaian jilbab terutama di Jawa menyiratkan suatu kesadaran historis baru, yang dengan sengaja menjauhkan diri dari sejarah lokal sebagai ‘orang Jawa’ di masa lalu. Masih menurutnya, sejarah lokal di masa lalu merupakan kombinasi antara pengaruh Islam dengan budaya Jawa atau budaya yang sudah ada sebelumnya, sesuatu yang bersifat ‘sinkretis’ dan oleh kebanyakan aktivis dakwah dianggap tidak sesuai dengan konsep mereka dalam mempraktikkan pemurnian ajaran Islam. Menurut Suzzane Brenner upaya untuk memisahkan diri dari konteks sejarah masa lalu dengan mempraktikkan hijab di kalangan para aktivis dakwah perempuan mewakili suatu metafora atas gambaran kelahiran diri kembali sebagai seseorang yang sejalan dengan kesaradaran baru atas doktrin-doktrin Islam yang dianggap mampu memberikan kepastian tujuan hidup (dianggap lebih visioner). Dengan kata lain, kesadaran visioner untuk membentuk diri kembali lewat ketaatan dan disiplin pada doktrin-doktrin Islam yang bersifat politis. Pencarian identitas moderen justru dilakukan dengan mempraktikkan hijab dan menandai rekonstruksi diri dan rekonstruksi sosial melalui disiplin diri (disiplin tubuh maupun mental) secara individual dan kolektif.[5] Gerakan tarbiyah yang dimulai di pulau Jawa dan akhirnya berkembang di seluruh Indonesia justru lebih banyak didukung oleh kalangan masyarakat kelas menengah urban terpelajar daripada kelas bawah tradisional. Hijab karenanya dianggap sebagai suatu hijrah (peralihan – perpindahan diri) sesuatu yang bukan hanya bersifat istimewa, tetapi juga menjadi identitas moderen alternatif untuk melawan modernitas sekuler. Gagasan Suzzane Brenner yang dilandasi oleh paradigma Foucauldian ini menunjukkan bahwa proses pendisiplinan tubuh yang membatasi kaum perempuan untuk mengekspresikan identitas dan seksualitas mereka melalui praktik hijab di kalangan para aktivis dakwah perempuan di Indonesia lebih merupakan suatu keputusan mandiri yang bersifat sukarela, bukan suatu paksaan. Meskipun pengkondisian untuk mempraktikkan hijab menjadi bagian dari kewajiban utama para kader gerakan tarbiyah.[6] Mengenakan jilbab di ruang publik di masa kekuasaan Orde Baru justru menjadi sesuatu yang problematik seperti misalnya di sekolah dan tempat kerja. Larangan untuk mengenakan jilbab di sekolah umum oleh rezim pemerintah Orde Baru terjadi pada tahun 1990 dan memancing perlawanan atau sentimen anti pemerintahan Soeharto di kalangan umat Muslim di seluruh Indonesia pada saat itu. Suatu momentum yang akhirnya juga membuat rezim Soeharto pada gilirannya bersedia mengakomodasi bentuk keshalehan Islam sejak awal 1990an. Meskipun larangan berjilbab tersebut kemudian akhirnya dicabut pemerintah Orde Baru, Suzzane Brenner (1996) menemukan bahwa norma sosial untuk menghindari memakai jilbab masih tetap dijalankan oleh sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa pada masa itu.[7] Robert Hefner (1993) berpendapat bahwa rezim Soeharto melihat ‘jilbab’ sebagai salah satu bentuk adopsi dari ‘identitas Islam radikal’. Sehingga, memakai jilbab merupakan salah satu cara simbolik untuk melawan kontrol otoriter Orde Baru terhadap identitas Islam yang ditindas oleh negara. Sesuatu yang justru semakin menumbuhkan rasa simpati di kalangan terdidik seperti mahasiswa dan terutama kaum perempuan muda yang kemudian bergabung menjadi aktivis dakwah perempuan dalam gerakan tarbiyah.[8] Berbeda dengan pada masa kepemimpinan rezim Soeharto (ketika ekspresi identitas Islam seperti jilbab diasosiasikan dengan ‘Islam radikal’), maka saat ini dalam lanskap budaya kehidupan sehari-hari, pemakaian jilbab justru meluas pemaknaannya dan juga semakin beragam. Meskipun esensi simbolisnya tetaplah sama, yakni mewakili suatu bentuk keshalehan personal. Gaya hidup baru yang berdasarkan pada kepatuhan dalam menerapkan nilai-nilai keagamaan saat ini menjadi fenomena urban dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Aktivisme Islam yang mewakili ideologi ikhwani di masa reformasi justru mencapai keberhasilan puncaknya dalam transformasi sosial budaya justru melalui industri media kapitalis moderen, bukan melalui domain aktivisme politik praktis atau melalui medan politik elektoral di parlemen atau pemerintahan. Justru melalui representasi media-lah para aktivis dakwah perempuan menjadi lokomotif utama perubahan ini. Kisah sukses kelompok penulis Forum Lingkar Pena (FLP) yang juga berkaitan dengan keberadaan majalah Ummi misalnya, mewakili keberhasilan aktivisme Islam sebagai suatu gerakan sosial yang secara revolusioner mengubah landskap budaya di Indonesia hanya kurang dari dua dekade saja. Beberapa tokoh terkemuka FLP seperti Helvy Tiana Rosa dan adiknya Asma Nadia, misalnya, pernah digembleng di dalam produksi majalah Ummi dan Annida (PT Insan Media Pratama). Helvy sendiri merupakan kepala editor di Annida ketika ia dan adiknya mendirikan FLP pada tahun 1997. Kemudian setelah sukses, Helvy dan Asma memilih berkarir secara independen dan membidani kelahiran genre baru kesusasteraan Indonesia yang dikenal sebagai genre sastra Islami. Baik Helvy maupun Asma menjadi populer di Indonesia lewat karya fiksi mereka yang ditulis dengan menggabungkan gaya bahasa populer dan ajaran-ajaran ikhwani dalam bentuk cerita pendek, novel, chick-lit dan berbagai essai untuk memotivasi perempuan muda supaya menjadi saleh dan gigih ketika mereka sendang mencari jati diri atau pencapaian diri, moderen dan kosmopolitan (mampu berkeliling dunia). Salah satu contoh karya Asma Nadia yang terkenal dan diangkat ke layar lebar adalah ‘Emak ingin Naik Haji’ (2009. Dengan adanya kesempatan yang terbuka untuk mempraktikkan dakwah melalui pendidikan dan media, peranan para aktivis dakwah perempuan menyumbang sesuatu yang penting dalam mewarnai dinamika baru gerakan tarbiyah, yakni mampu beradaptasi ke dalam sistem kapitalisme pasar bebas sehingga karya-karya mereka diadopsi bahkan oleh industri media sekuler dan karenanya bisa lebih menjangkau dan berpengaruh di masyarakat luas. Dalam konteks inilah media dakwah bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk memperoleh simpatisan yang mendukung gerakan tarbiyah, melainkan juga berfungsi untuk membentuk identitas Islam alternatif sehingga tersebar luar dan menjadi ‘panutan’ bagi publik Muslim. Identitas alternatif yang ditawarkan melalui media dakwah merepresentasikan gambaran untuk motivasi ‘memeluk Islam kembali secara benar’ (mengislamkan kembali para Muslim) melalui pembentukan kepribadian yang mengacu pada kemerdekaan diri untuk meraih masa depan berdasarkan prinsip nilai-nilai moral Islam. Kesadaran semacam itu yang ditawarkan oleh media dakwah dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi dikonstruksi lewat cara-cara konvensional, seperti misalnya terlibat langsung menjadi anggota gerakan tarbiyah seperti di masa lalu. Melainkan dikonstruksikan melalui ritual konsumsi dan pembelajaran Islam secara mandiri (self-help) dimana komodifikasi Islam berlangsung melalui media dan pasar turut berperan dalam mengkonstruksi proses internalisasi nilai-nilai Islam baru yang dominan tersebut di dalam keseharian banyak Muslim di Indonesia. Dengan menjadi konsumen dari ‘identitas Islam baru yang lebih murni’ ini, nilai-nilai moral Islam politik disosialisasikan melalui transformasi perilaku personal – dan diadopsi masyarakat khususnya publik Muslim sebagai cara pandang moralitas publik yang dominan.

 

Catatan Kaki 


[1] Bruinessen, van (2002), Kailani (2010).

[2] Machmudi, Yon. (2006). Islamizing Indonesia: The Rise of Jamaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS). Canberra, Australian National University. PhD Thesis, hlm. 67.

[3] Mahmudi, Yon (2006). Op.cit hlm. 63

[4] Bruinessen, van (20020 dan Machmudi (2006), keduanya berpendapat bahwa gerakan tarbiyah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda yang menekankan pada pengembangan moral individu dan meningkatkan ketakwaan secara umum daripada membangun jejaring internasional atau kesetiaan terhadap Persaudaraan Muslim. Meski demikian, pernyataan tokoh Ikhwanul Muslimin terkemuka seperti Yusuf Qardhawi menunjukkan bahwa PKS – yang berasal dari gerakan Tarbiyah – memiliki hubungan erat dengan kader-kader Ikhwanul Muslimin di Mesir (lihat Qaradawi, Yusuf. 2001. Umat Islam Menyongsong Abad ke-21. Solo: Era Intermedia, hlm. 92).

[5] Brenner, Suzanne, 1996. ‘Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and the Veil.’ American Ethnologist 23 (4): hlm.256-266.

[6] Ibid.hlm. 673-97

[7] Brenner (1996). Op Cit. hlm. 685.

[8] Hefner, Robert. 1993. ‘Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle of Indonesian Middle Class’. Indonesia 56: hlm. 1-35.



[1] Bubbalo dan Fealy, 2005. Joinining the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia. Sydney: Lowly Institute for International Policy; Hefner, Robert. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press

[2] Rizal, Syamsul. 2005. Op Cit. hlm. 428.

[3] Irawanto, Budi. 2011. “Riding Waves of Change: Islamic Press in Post Authoritarian Indonesia”, dalam Krishna Sen and David T. Hill (ed), Politics and the Media in 21th Century Indonesia-Decade of Democracy. London: Routledge, hlm. 67-69.

[4] Rizal, 2005. ‘Media and Islamism in Post-New Order Indonesia: The Case of Sabili’, Studia Islamika, Vol. 12. No. 3: 431.

[5] Ibid.

[6] Kailani, Najib. 2008. ‘Budaya Populer Islam di Indonesia: Jaringan Dakwah Forum Lingkar Pena’, Sosiologi Reflektif  Vol. 2, No. 3. 


[1] Lim, Merliyna. 2011. @Crosroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia (http://participatorymedia.lab.asu.edu/files/Lim_Media_Ford_2011.pdf). Diakses 30 Oktober 2013

[2] Strinati, Dominic. 2004 (1995). An Introduction to Theories of Popular Culture (2nd Edition). London/New York: Routledge, hlm. 120-121

[3] Gramsci, Antonio. 1992 (1971). Selection from the Prison Notebooks (Transl. Hoare & Smith). New York: International Publisher, hlm.161.

[4] Hall, Struart. 1997 (1981). ‘Notes on Desconstructing the Popular’. Dalam Storey, John (ed). 1997. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. Athens: University of Georgia Press, hlm.442-453.

[5] Storey, John. 2010. Culture and Power in Cultural Studies: The Politics of Signification. Edinburg: Edinburg University Press, hlm. 50

[6] Ibid.

[7] Hasan, Norhaidi. 2009. “The Making of Public Islam: Piety, Agency and Commodification on the Landscape of the Indonesia Public Sphere”, Journal of Contemporary Islam Vol. 3: 230.

[8] Fealy, Greg. 2008. “Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia”, dalam Fealy and White (ed), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS, hlm. 15-29.


Daftar Pustaka

Brenner, Suzanne, 1996. ‘Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and the Veil.’ American Ethnologist 23 (4): 256-266.

Bubbalo dan Fealy, 2005. Joinining the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia. Sydney: Lowly Institute for International Policy.

Fealy, Greg. 2008. “Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia”, dalam Fealy and White (ed), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS:15-29.

Gramsci, Antonio. 1992 (1971). Selection from the Prison Notebooks (Transl. Hoare & Smith). New York: International Publisher: 161.

Hall, Struart. 1997 (1981). ‘Notes on Desconstructing the Popular’. Dalam Storey, John (ed). 1997. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. Athens: University of Georgia Press: 442-453.

Hasan, Norhaidi. 2009. “The Making of Public Islam: Piety, Agency and Commodification on the Landscape of the Indonesia Public Sphere”, Journal of Contemporary Islam Vol. 3: 230.

Hefner, Robert. 1993. ‘Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle of Indonesian Middle Class’. Indonesia 56:1-35.

Hefner, Robert. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Irawanto, Budi. 2011. “Riding Waves of Change: Islamic Press in Post Authoritarian Indonesia”, dalam Krishna Sen and David T. Hill (ed), Politics and the Media in 21th Century Indonesia-Decade of Democracy. London: Routledge: 67-69.

Kailani, Najib. 2008. ‘Budaya Populer Islam di Indonesia: Jaringan Dakwah Forum Lingkar Pena’, Sosiologi Reflektif Vol.2, No. 3.

Lim, Merliyna. 2011. @Crosroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia (http://participatorymedia.lab.asu.edu/files/Lim_Media_Ford_2011.pdf). Diakses 30 Oktober 2013.

Machmudi, Yon. (2006). Islamizing Indonesia: The Rise of Jamaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS). Canberra, Australian National University. PhD Thesis: 67.

 Norma Permata, Ahmad. 2010. ‘The Prosperous Justice Party and the Decline of Political Islam in the 2009 Election in Indonesia’, dalam Medinier Remy, 2010 (ed.), Islam and the 2009 Indonesians Election, Political and Cultural Issues: the Case of Prosperous Justice Party (PKS). Bangkok: IRASEC.

Rahmat, Imdadun (2005). Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Surabaya: Erlangga.

Rizal, S. 2005. ‘Media and Islamism in Post-New Order Indonesia: The Case of Sabili’, Studia Islamika, Vol. 12. No. 3: 431.

Snow, David dan Benford, Robert. 2000. ‘Framing Process and Social Movements: An Overview and Assessment.’ Annual Review Sociology, 26: 611-639.

Strinati, Dominic. 2004 (1995). An Introduction to Theories of Popular Culture (2nd Edition). London/New York: Routledge: 120-121.

Storey, John. 2010. Culture and Power in Cultural Studies: The Politics of Signification. Edinburg: Edinburg University Press, hlm. 50.

van Bruinessen, Martin. 2002. ‘Genealogies of Islamic Radicalism in Post Suharto Indonesia’, South East Asia Research, 10,2;

Wiktorowicz, Quintan. 2004. Islamic Activism and Social Movement Theory, dalam Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press: 16.

Woodward, Mark et al. 2011. New Cultural Movement for Indonesia Islamist Party, PKS? Consortium for Strategic Communication Report #1102, Arizona State University.

Qaradawi, Yusuf. 2001. Umat Islam Menyongsong Abad ke-21. Solo: Era Intermedia:2

No comments:

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...