Oleh Tia Pamungkas
(pernah dipostingkan di
Facebook pada tanggal 27 April 2011)
Tulisan
ini merupakan resensi 'pembacaan saya' terhadap pemikiran Talal Asad, seorang
antropolog yang memfokuskan diri pada kajian mengenai ' kebudayaan masyarakat
Muslim'. Secara ringkas saya ingin memaparkan pandangan Asad mengenai
gagasannya mengenai fokus antropologi terhadap 'Islam', yakni bahwasanya para
intelektual (scholars) tidak dapat meniadakan atau mengabaikan 'teological
teaching' karena disanalah titik awal pembelajaran seorang Muslim mengenai
ajaran Islam. Disinilah letak penting memahami 'fokus utama' terhadap teks suci
(Al Qur'an dan Hadist). Asad berargumen sbb:
" Islam is neither a
distinctive social structure nor a heterogenous collection of
beliefs,artefacts, customs, and morals. It is a tradition. A tradition is
conceptually linked to a past (that is marking the formation of tradition), a
future (that is marking the strategy of 'survival' of the tradition), and a
present (that is marking the interconnection of the tradition with the social
strata)."
(Asad,
1986)
sehingga,
menurut Asad, mengkaji 'Islam' adalah:
"To observe and explain
the tension (i.e. : the relation of power) that exists between historical,
political, economic, and social dynamics, which through orthopraxy try to
change tradition and the tradition itself which tries to resist through
orthodoxy." (Asad,
1986)
Tanpa
memahami "Islam" sebagai sebuah tradisi, menurut Asad akan sangat
mudah melabel-kan Islam sebagai kategori 'liyan' (the Others) modernitas.
Menurutnya, pengkategorian ini adalah sebuah 'fallacy' .
Respon
ini menurut Asad diargumentasikan oleh kebanyakan intelektual yang menggunakan
kategori biner dalam meneliti tentang tradisi 'penghujatan' atau 'pengkafiran'
(Blasphemy) dalam Islam. Menurutnya, dalam pandangan 'eurocentric' terhadap
Islam, 'penghujatan (Blasphemy) seakan2 merupakan anti-tesis dari kebebasan
berpendapat yang merupakan anak kandung dari tradisi kekritisan 'sekuler'.
"Free speech it is said,
is central to democracy, it is often claimed that democracy is rooted in
Christianity and is therefore 'alien' to Islam. Widespread conviction that
Christian doctrine has been receptive to democracy because in Christendom
(unlike Islam) church and state began as separate entities. The notion of
historical origins is more problematic than is popularly supposed; when did
Christianity begin? or Islam?"
(Asad,
2009)
Asad
mengatakan bahwasanya tradisi kekritisan Barat bukanlah bersumber dari doktrin
Kristen, melainkan tradisi sekulerisme itu sendiri. Dengan merujuk pada Karl
Marx yang membedakan 'criticism' dengan 'critique' Asad memberikan landasan
argumentasinya sbb:
'Criticism'
(Kekritisan) menurut Marx didefinisikan pada kemampuannya dalam:
1.
memahami 'the real order of thing' (tatanan yg riil/nyata-sesuatu benda atau
wujud yang nyata)
2.
memberi penjelasan mengapa 'tatanan yg riil' tersebut tidak termanifestasikan
melainkan membutuhkan 'critique' untuk diungkapkan secara nyata.
3.
menjelaskan kira-kira bagaimana masa depan manusia yang dibayang-bayangi oleh
ilusi religius.]
Masih
merujuk pada Marx, Asad melanjutkan:
"Critique is premised
upon a historically necessary mystification of reality, a mystification
required by the unfree, inegalitarian, and unhappy nature of existence, and its
promises to scientifically decode that mystification."
(Asad,
2009)
Intinya,
Marx menggarisbawahi pengertian mengenai 'Critique' (kritik) sebagai pemahaman
yang sepenuhnya dapat diidentifikasikan melalui perwujudan yang nyata atau yang
dapat dimanifestasikan secara riil.
Oleh
karena itu, menurut Asad, tradisi kekritisan Barat (eurocentric) sebenarnya
merujuk pada bentuk-bentuk kritik yang selalu berwujud material secara
eksplisit. Sesuatu yang sebenarnya bukanlah sepenuhnya warisan dari doktrin
Kekristenan. Di abad pertengahan, emperium Kristen Roma memformulasikan konsep
'DIGNITAS' tetapi konsep ini tidak merujuk pada kesetaraan bagi semua manusia.
Asad mengatakan, "Christianity does have a notion of universal spiritual
worth but that has been compatible with great social and political
inequality" (Asad, 2009 p. 22).
Menurut
Asad, pada awal abd ke-19, sejumlah sarjana Barat seperti misalnya George Grote
mulai melacak asal mula 'demokrasi moderen' yang sebenarnya berakar pada
tradisi Yunani dan bukan dilahirkan melalui tradisi Kristen. Pre-Christian
Athens, jelas memiliki konsep mengenai 'kesetaraan' mencangkup praktek-praktek
awal demokrasi termasuk konsep kewarganegaraan dan sistem perwakilan yang
kesemuanya itu berkaitan dengan 'hak kebebasan berpendapat'; meskipun hak ini
tidak menunjuk pada pengertian 'universal dignity of men'.
"In European
Christendom, it was only gradually, through continuous conflict, that many
inequalities were eliminated and that secular authority replaced one that was
ecclesiastical " (Asad,
2009 p.33)
Lantas,
bagaimanakah Barat memahami 'Blasphemy' atau penghujatan/pengkafiran dalam
sejarah mereka sendiri?
Dalam
pemahaman Barat 'penghujatan/pengkafiran' adalah sebuah kehendak sadar
untuk menghancurkan tanda (the willful destruction of signs), seperti
menghancurkan simbol-simbol, menyerang perwujudan berupa karya visual ataupun
literatur (kata-kata) yang digunakan sebagai alat untuk menanamkan apa yang
ingin diakui sebagai 'kebenaran'.
Asad
merujuk pada gagasan Alain Cabantous, seorang sejarahwan Perancis yang
mengasumsikan bahwa tradisi Kristen sendiri dilahirkan melalui sejarah
penghujatan/pengkafiran kaum Yahudi terhadap Yesus Kristus. "When Jesus
claimed himself a divine nature, his claim was condemned as 'blasphemy' that
led to his dead and the dead was followed by resurrection." (p.33).
Asad
di satu sisi membenarkan argumentasi Cabantous, meskipun di sisi lain tidak
sepenuhnya mengamini teori ini. Menurutnya, adalah benar bahwasanya setiap
tradisi baru entah itu tradisi relijius atau bukan, selalu dilandasi oleh
'discursive rupture' (keretakan diskursif) - dangan kata lain, memperoleh klaim
entitasnya setidaknya dengan melibatkan unsur 'kekerasan'. (p.34)
Di
sisi lain, tentunya bagi para penganut Kristen, tuduhan 'kafir' terhadap Yesus
sendiri adalah bentuk 'disbelief' alias ketidakberimanan. Pada konteks inilah
menurut Asad, tradisi Kristen berkembang besar bukan karena 'penghujatan atau
pengkafiran' kaum lain, melainkan karena 'narasi mengenai Yesus Kristus
sendiri' yakni narasi mengenai pengorbanan dan pertobatan (sacrifice and
redemption), narasi mengenai kerajaan Kristus dan sejarah pengorbanannya
(martyrdom) yang dipercayai sebagai jalan keselamatan menuju kehidupan
abadi.
Jadi
Asad berargumen bahwasanya meskipun tidak semua 'tradisi baru' mendapatkan
legitimasinya melalui 'keretakan diskursif' yang diperoleh melalui pengalaman
menghadapi 'penghujatan/pengkafiran/pembid'ahan' tersebut, 'Blasphemy' itu
sendiri sebenarnya hanyalah sebuah topeng kekerasan untuk menutupi 'keretakan
kreatif'.
"Blasphemy may simply be
violence masquerading as creative rupture " (p. 34)
Pertanyaan
berikutnya, jika 'penghujatan/pengkafiran' adalah sesuatu yang memang tak bisa
dipungkiri melekat pada tradisi 'Islam' yang dipahami oleh 'Barat' sebagai
wujud menutupi 'kekerasan' secara kreatif untuk memperoleh legitimasi atas
kebenaran,lantas bagaimanakah pandangan Islam terhadap tradisi 'Barat' yang
mengklaim 'kebebasan berpendapat' sebagai basis peradaban?
Menurut
Asad, Islam memandang adanya keterbatasan atau 'limits' dari 'Free Speech'.
Tidak
semua Muslim di seluruh penjuru dunia memiliki pandangan yang sama mengenai
tradisi 'penghujatan/pengkafiran', meskipun pertanyaan mengenai gagasan Islam
tentang 'pengkafiran' merujuk pada tradisi moral. Meskipun begitu, di dalam
tradisi Islam yang beragam itu sendiri terdapat beragam perbedaan pendapat
serta ketegangan diantara kaum Muslimin sendiri mengenai 'pengkafiran'.
Artinya, tidak semua Muslim sepakat dengan 'pengkafiran' kelompok tertentu oleh
sebagian Muslim yang lainnya (Asad, 2009 p.36).
Adalah
suatu kenyataan bahwasanya Islam membatasi kehendak bebas individu yang mutlak
(sebagaimana juga agama-agama yang lain khususnya agama Samawi). Hal ini
dikarenakan Islam memandang individu adalah 'wakil' Tuhan di muka bumi,
sehingga perbuatan (manner) dan moralitas ditujukan sebagai bentuk 'ikhsan' -
bahwa Tuhan mengawasi apa-apa saja yang diperbuat oleh manusia dan oleh karena
itu manusia harus tunduk pada kehendakNya. Dalam konteks ini, individu dalam
Islam menyerahkan sebagian kebebasannya di dalam 'pengawasan' Tuhan, untuk
mendapatkan 'keridha-anNya'.
Sementara
hukum di dalam sistem demokrasi liberal menjamin hak warga negara atas
kehidupan privasi mereka, dimana moral dan kebebasan sipil diletakkan sebagai
pondasinya. 'Individualitas' harus mendapatkan ruang penghormatan yang berarti
harus sepenuhnya diidentifikasi hak-haknya. Pada konteks inilah kerahasiaan
kehidupan privasi Individu mendapatkan jaminannya.
Pada
konteks tentang kemerdekaan individu inilah Islam memiliki pandangan yang berbeda.
Sesuatu yang sering disalahpahami oleh Barat. Kemerdekaan individu mutlak
tidak diperbolehkan di dalam tradisi Islam, karena hal tersebut merupakan
'godaan' (seduction) duniawi.
Barat
memahami konsep 'seduction' secara berbeda dengan bagaimana tradisi Islam
memahaminya.
Tradisi
Kristen sebenarnya dekat dengan Islam ketika merujuk pemahaman 'seduction' atau
godaan adalah sebagai: "to seduce someone is to connive at rendering
him/her unfaithful and thus to make the other break an existing social commitment".
Godaan adalah mengajak seseorang untuk menjauhi keimanan sehingga mereka
melalaikan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya secara sosial
(sebagai umat beriman).
Ironisnya
kini, tradisi 'Barat' hanya merujuk 'seduction' (godaan) melulu sebagai sebuah
konotasi seksual semata-mata. Dalam tradisi Islam, 'seduction' adalah suatu hal
yang bermakna jauh lebih besar dari sekedar godaan berkonotasi seksual
semata.
Menurut
Asad, Al Qur'an membedakan secara jelas apa yang dimaksud dengan 'seduction'
itu dan mengidentifikasikan bentuk atau wujud 'godaan' dalam 3 kategori besar:
1.
Fatana (kata kerja yang melahirkan kata benda 'Fitnah')
2.
Rawada (godaan seksual)
3.
Gharra (godaan untuk membenarkan 'kekerasan' sebagai wujud cinta diri sendiri).
(Asad, 2009, p.44)
Fatana,
adalah godaan terbesar di dalam pemahaman Islam. Membuat kedengkian dan gairah
untuk menyebarkan kebohongan untuk melampiaskan kedengkian tersebut adalah dosa
yang sangat besar. Oleh karena itu, tradisi 'kebebasan berpendapat' haruslah
diletakkan pada tujuan menjauhkan diri dari kehendak untuk memfitnah. Dalam
konteks inilah 'kebebasan berbicara' dalam Islam dibatasi.
Sedangkan
'Gharra' adalah sebuah 'delusi' atau keyakinan palsu yang digunakan untuk
membenarkan perbuatan-perbuatan fascis (tak bisa dibantah dan memobilisasi
kekerasan) yang dilandasi oleh gairah untuk menjadi yang paling 'benar
sendiri' dan pada gilirannya menimbulkan keresahan, ketidaktentraman bahkan
konflik berdarah. Beberapa pakar hukum Islam bahkan merujuk bentuk konkret
'Gharra' adalah makar terhadap penguasa. Meskipun pandangan mengenai siapa
penguasa yang berhak dianggap sebagai penguasa yang 'adil' dalam pengertian ini
juga beragam.
Melalui
pemaparan tersebut diatas, sebenarnya Talal Asad ingin menyampaikan pesan
singkat bahwasanya sangat mudah, gampang sekali me-label-kan Islam sebagai
identitas 'alien' dalam modernitas. Tetapi kecerobohan 'melabel' kan Islam
adalah sama saja dengan kecerobohan melabelkan 'Barat' identik dengan
'Kristianitas' atau sebaliknya.
Menurut
Asad, tradisi Barat moderen yang sekuler (tanpa mengkaitkannya dengan
Kekristenan), juga membatasi ruang ekspresi 'individu', khususnya ketika negara
merupakan 'Wali' dari penyelenggara 'kesejahteraan' di dalam sistem welfare
state. Individu yang tak memiliki kapasitas untuk berproduksi akan kehilangan
ruang privasinya, khususnya ketika itu berkenaan dengan relasi seksual. Banyak
permasalahan 'privat' seperti hubungan romantis (pernikahan atau partnership),
hubungan orang tua-anak dan hak asuh, yang terpaksa diintervensi oleh negara
ketika itu melibatkan unsur perlindungan atas kehidupan individu yang lainyang
berdampak oleh relasi-relasi tersebut. Artinya, negara sebagai 'Wali' juga
mengambil alih ruang privasi itu sendiri.
Disinilah
seharusnya pandangan 'eurocentric' (bias Barat) itu direfleksikan sehingga
tidak serta merta bereaksi 'ngawur' menghadapi gejolak yang juga tengah dialami
masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia. Muslim, sebagaimana masyarakat
dunia yang lain juga mengalami komplesitas modernitas di dalam ruang
kehidupannya.
Referensi:
Asad,
Talal. 1986, The Idea of Anthropology of
Islam. Washington DC: Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown
University
_____________2009.
“Free Speech, Blasphemy, and Secular Criticism (a response to the controversial
Danish's cartoon of Prophet Muhammad)”, in Asad, Brown, Mahmood, Butler (eds), Is Critique Secular? Blasphemy, Injury, and
Secular Criticism. Berkeley: Townsend Paper of Humanities, UC
Berkeley.
No comments:
Post a Comment