Sunday, December 29, 2019

Penghujatan/Pengkafiran, Kebebasan Berpendapat, Kekritisan sekuler (tafsir Talal Asad)



Oleh Tia Pamungkas 
(pernah dipostingkan di Facebook pada tanggal 27 April 2011)


Tulisan ini merupakan resensi 'pembacaan saya' terhadap pemikiran Talal Asad, seorang antropolog yang memfokuskan diri pada kajian mengenai ' kebudayaan masyarakat Muslim'. Secara ringkas saya ingin memaparkan pandangan Asad mengenai gagasannya mengenai fokus antropologi terhadap 'Islam', yakni bahwasanya para intelektual (scholars) tidak dapat meniadakan atau mengabaikan 'teological teaching' karena disanalah titik awal pembelajaran seorang Muslim mengenai ajaran Islam. Disinilah letak penting memahami 'fokus utama' terhadap teks suci (Al Qur'an dan Hadist). Asad berargumen sbb:

" Islam is neither a distinctive social structure nor a heterogenous collection of beliefs,artefacts, customs, and morals. It is a tradition. A tradition is conceptually linked to a past (that is marking the formation of tradition), a future (that is marking the strategy of 'survival' of the tradition), and a present (that is marking the interconnection of the tradition with the social strata)."
(Asad, 1986)

sehingga, menurut Asad, mengkaji 'Islam' adalah:
"To observe and explain the tension (i.e. : the relation of power) that exists between historical, political, economic, and social dynamics, which through orthopraxy try to change tradition and the tradition itself which tries to resist through orthodoxy." (Asad, 1986)

Tanpa memahami "Islam" sebagai sebuah tradisi, menurut Asad akan sangat mudah melabel-kan Islam sebagai kategori 'liyan' (the Others) modernitas. Menurutnya, pengkategorian ini adalah sebuah 'fallacy' .

Respon ini menurut Asad diargumentasikan oleh kebanyakan intelektual yang menggunakan kategori biner dalam meneliti tentang tradisi 'penghujatan' atau 'pengkafiran' (Blasphemy) dalam Islam. Menurutnya, dalam pandangan 'eurocentric' terhadap Islam, 'penghujatan (Blasphemy) seakan2 merupakan anti-tesis dari kebebasan berpendapat yang merupakan anak kandung dari tradisi kekritisan 'sekuler'.

"Free speech it is said, is central to democracy, it is often claimed that democracy is rooted in Christianity and is therefore 'alien' to Islam. Widespread conviction that Christian doctrine has been receptive to democracy because in Christendom (unlike Islam) church and state began as separate entities. The notion of historical origins is more problematic than is popularly supposed; when did Christianity begin? or Islam?"
(Asad, 2009)

Asad mengatakan bahwasanya tradisi kekritisan Barat bukanlah bersumber dari doktrin Kristen, melainkan tradisi sekulerisme itu sendiri. Dengan merujuk pada Karl Marx yang membedakan 'criticism' dengan 'critique' Asad memberikan landasan argumentasinya sbb:

'Criticism' (Kekritisan) menurut Marx didefinisikan pada kemampuannya dalam:
1. memahami 'the real order of thing' (tatanan yg riil/nyata-sesuatu benda atau wujud yang nyata)
2. memberi penjelasan mengapa 'tatanan yg riil' tersebut tidak termanifestasikan melainkan membutuhkan 'critique' untuk diungkapkan secara nyata.
3. menjelaskan kira-kira bagaimana masa depan manusia yang dibayang-bayangi oleh ilusi religius.]

Masih merujuk pada Marx, Asad melanjutkan:
"Critique is premised upon a historically necessary mystification of reality, a mystification required by the unfree, inegalitarian, and unhappy nature of existence, and its promises to scientifically decode that mystification."
(Asad, 2009)

Intinya, Marx menggarisbawahi pengertian mengenai 'Critique' (kritik) sebagai pemahaman yang sepenuhnya dapat diidentifikasikan melalui perwujudan yang nyata atau yang dapat dimanifestasikan secara riil.

Oleh karena itu, menurut Asad, tradisi kekritisan Barat (eurocentric) sebenarnya merujuk pada bentuk-bentuk kritik yang selalu berwujud material secara eksplisit. Sesuatu yang sebenarnya bukanlah sepenuhnya warisan dari doktrin Kekristenan. Di abad pertengahan, emperium Kristen Roma memformulasikan konsep 'DIGNITAS' tetapi konsep ini tidak merujuk pada kesetaraan bagi semua manusia. Asad mengatakan, "Christianity does have a notion of universal spiritual worth but that has been compatible with great social and political inequality" (Asad, 2009 p. 22).

Menurut Asad, pada awal abd ke-19, sejumlah sarjana Barat seperti misalnya George Grote mulai melacak asal mula 'demokrasi moderen' yang sebenarnya berakar pada tradisi Yunani dan bukan dilahirkan melalui tradisi Kristen. Pre-Christian Athens, jelas memiliki konsep mengenai 'kesetaraan' mencangkup praktek-praktek awal demokrasi termasuk konsep kewarganegaraan dan sistem perwakilan yang kesemuanya itu berkaitan dengan 'hak kebebasan berpendapat'; meskipun hak ini tidak menunjuk pada pengertian 'universal dignity of men'.

"In European Christendom, it was only gradually, through continuous conflict, that many inequalities were eliminated and that secular authority replaced one that was ecclesiastical " (Asad, 2009 p.33)

Lantas, bagaimanakah Barat memahami 'Blasphemy' atau penghujatan/pengkafiran dalam sejarah mereka sendiri?

Dalam pemahaman Barat  'penghujatan/pengkafiran' adalah sebuah kehendak sadar untuk menghancurkan tanda (the willful destruction of signs), seperti menghancurkan simbol-simbol, menyerang perwujudan berupa karya visual ataupun literatur (kata-kata) yang digunakan sebagai alat untuk menanamkan apa yang ingin diakui sebagai 'kebenaran'. 

Asad merujuk pada gagasan Alain Cabantous, seorang sejarahwan Perancis yang mengasumsikan bahwa tradisi Kristen sendiri dilahirkan melalui sejarah penghujatan/pengkafiran kaum Yahudi terhadap Yesus Kristus. "When Jesus claimed himself a divine nature, his claim was condemned as 'blasphemy' that led to his dead and the dead was followed by resurrection." (p.33).

Asad di satu sisi membenarkan argumentasi Cabantous, meskipun di sisi lain tidak sepenuhnya mengamini teori ini. Menurutnya, adalah benar bahwasanya setiap tradisi baru entah itu tradisi relijius atau bukan, selalu dilandasi oleh 'discursive rupture' (keretakan diskursif) - dangan kata lain, memperoleh klaim entitasnya setidaknya dengan melibatkan unsur 'kekerasan'. (p.34)

Di sisi lain, tentunya bagi para penganut Kristen, tuduhan 'kafir' terhadap Yesus sendiri adalah bentuk 'disbelief' alias ketidakberimanan. Pada konteks inilah menurut Asad, tradisi Kristen berkembang besar bukan karena 'penghujatan atau pengkafiran' kaum lain, melainkan karena 'narasi mengenai Yesus Kristus sendiri' yakni narasi mengenai pengorbanan dan pertobatan (sacrifice and redemption), narasi mengenai kerajaan Kristus dan sejarah pengorbanannya (martyrdom) yang dipercayai sebagai jalan keselamatan menuju kehidupan abadi. 

Jadi Asad berargumen bahwasanya meskipun tidak semua 'tradisi baru' mendapatkan legitimasinya melalui 'keretakan diskursif' yang diperoleh melalui pengalaman menghadapi 'penghujatan/pengkafiran/pembid'ahan' tersebut, 'Blasphemy' itu sendiri sebenarnya hanyalah sebuah topeng kekerasan untuk menutupi 'keretakan kreatif'.
"Blasphemy may simply be violence masquerading as creative rupture " (p. 34)

Pertanyaan berikutnya, jika 'penghujatan/pengkafiran' adalah sesuatu yang memang tak bisa dipungkiri melekat pada tradisi 'Islam' yang dipahami oleh 'Barat' sebagai wujud menutupi 'kekerasan' secara kreatif untuk memperoleh legitimasi atas kebenaran,lantas bagaimanakah pandangan Islam terhadap tradisi 'Barat' yang mengklaim 'kebebasan berpendapat' sebagai basis peradaban?

Menurut Asad, Islam memandang adanya keterbatasan atau 'limits' dari 'Free Speech'.
Tidak semua Muslim di seluruh penjuru dunia memiliki pandangan yang sama mengenai tradisi 'penghujatan/pengkafiran', meskipun pertanyaan mengenai gagasan Islam tentang 'pengkafiran' merujuk pada tradisi moral. Meskipun begitu, di dalam tradisi Islam yang beragam itu sendiri terdapat beragam perbedaan pendapat serta ketegangan diantara kaum Muslimin sendiri mengenai 'pengkafiran'. Artinya, tidak semua Muslim sepakat dengan 'pengkafiran' kelompok tertentu oleh sebagian Muslim yang lainnya (Asad, 2009 p.36).

Adalah suatu kenyataan bahwasanya Islam membatasi kehendak bebas individu yang mutlak (sebagaimana juga agama-agama yang lain khususnya agama Samawi). Hal ini dikarenakan Islam memandang individu adalah 'wakil' Tuhan di muka bumi, sehingga perbuatan (manner) dan moralitas ditujukan sebagai bentuk 'ikhsan' - bahwa Tuhan mengawasi apa-apa saja yang diperbuat oleh manusia dan oleh karena itu manusia harus tunduk pada kehendakNya. Dalam konteks ini, individu dalam Islam menyerahkan sebagian kebebasannya di dalam 'pengawasan' Tuhan, untuk mendapatkan 'keridha-anNya'. 

Sementara hukum di dalam sistem demokrasi liberal menjamin hak warga negara atas kehidupan privasi mereka, dimana moral dan kebebasan sipil diletakkan sebagai pondasinya. 'Individualitas' harus mendapatkan ruang penghormatan yang berarti harus sepenuhnya diidentifikasi hak-haknya. Pada konteks inilah kerahasiaan kehidupan privasi Individu mendapatkan jaminannya. 

Pada konteks tentang kemerdekaan individu inilah Islam memiliki pandangan yang berbeda. Sesuatu yang sering disalahpahami oleh Barat. Kemerdekaan individu mutlak tidak diperbolehkan di dalam tradisi Islam, karena hal tersebut merupakan 'godaan' (seduction) duniawi. 

Barat memahami konsep 'seduction' secara berbeda dengan bagaimana tradisi Islam memahaminya.

Tradisi Kristen sebenarnya dekat dengan Islam ketika merujuk pemahaman 'seduction' atau godaan adalah sebagai: "to seduce someone is to connive at rendering him/her unfaithful and thus to make the other break an existing social commitment". Godaan adalah mengajak seseorang untuk menjauhi keimanan sehingga mereka melalaikan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya secara sosial (sebagai umat beriman).

Ironisnya kini, tradisi 'Barat' hanya merujuk 'seduction' (godaan) melulu sebagai sebuah konotasi seksual semata-mata. Dalam tradisi Islam, 'seduction' adalah suatu hal yang bermakna jauh lebih besar dari sekedar godaan berkonotasi seksual semata. 

Menurut Asad, Al Qur'an membedakan secara jelas apa yang dimaksud dengan 'seduction' itu dan mengidentifikasikan bentuk atau wujud 'godaan' dalam 3 kategori besar:
1. Fatana (kata kerja yang melahirkan kata benda 'Fitnah') 
2. Rawada (godaan seksual)
3. Gharra (godaan untuk membenarkan 'kekerasan' sebagai wujud cinta diri sendiri). (Asad, 2009, p.44)

Fatana, adalah godaan terbesar di dalam pemahaman Islam. Membuat kedengkian dan gairah untuk menyebarkan kebohongan untuk melampiaskan kedengkian tersebut adalah dosa yang sangat besar. Oleh karena itu, tradisi 'kebebasan berpendapat' haruslah diletakkan pada tujuan menjauhkan diri dari kehendak untuk memfitnah. Dalam konteks inilah 'kebebasan berbicara' dalam Islam dibatasi.

Sedangkan 'Gharra' adalah sebuah 'delusi' atau keyakinan palsu yang digunakan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan fascis (tak bisa dibantah dan memobilisasi kekerasan) yang dilandasi oleh gairah untuk menjadi  yang paling 'benar sendiri' dan pada gilirannya menimbulkan keresahan, ketidaktentraman bahkan konflik berdarah. Beberapa pakar hukum Islam bahkan merujuk bentuk konkret 'Gharra' adalah makar terhadap penguasa. Meskipun pandangan mengenai siapa penguasa yang berhak dianggap sebagai penguasa yang 'adil' dalam pengertian ini juga beragam.

Melalui pemaparan tersebut diatas, sebenarnya Talal Asad ingin menyampaikan pesan singkat bahwasanya sangat mudah, gampang sekali me-label-kan Islam sebagai identitas 'alien' dalam modernitas. Tetapi kecerobohan 'melabel' kan Islam adalah sama saja dengan  kecerobohan melabelkan 'Barat' identik dengan 'Kristianitas' atau sebaliknya. 

Menurut Asad, tradisi Barat moderen yang sekuler (tanpa mengkaitkannya dengan Kekristenan), juga membatasi ruang ekspresi 'individu', khususnya ketika negara merupakan 'Wali' dari penyelenggara 'kesejahteraan' di dalam sistem welfare state. Individu yang tak memiliki kapasitas untuk berproduksi akan kehilangan ruang privasinya, khususnya ketika itu berkenaan dengan relasi seksual. Banyak permasalahan 'privat' seperti hubungan romantis (pernikahan atau partnership), hubungan orang tua-anak dan hak asuh, yang terpaksa diintervensi oleh negara ketika itu melibatkan unsur perlindungan atas kehidupan individu yang lainyang berdampak oleh relasi-relasi tersebut. Artinya, negara sebagai 'Wali' juga mengambil alih ruang privasi itu sendiri.

Disinilah seharusnya pandangan 'eurocentric' (bias Barat) itu direfleksikan sehingga tidak serta merta bereaksi 'ngawur' menghadapi gejolak yang juga tengah dialami masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia. Muslim, sebagaimana masyarakat dunia yang lain juga mengalami komplesitas modernitas di dalam ruang kehidupannya.

Referensi:
Asad, Talal. 1986, The Idea of Anthropology of Islam. Washington DC: Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University
_____________2009. “Free Speech, Blasphemy, and Secular Criticism (a response to the controversial Danish's cartoon of Prophet Muhammad)”, in Asad, Brown, Mahmood, Butler (eds), Is Critique Secular? Blasphemy, Injury, and Secular Criticism. Berkeley: Townsend Paper of Humanities, UC Berkeley. 


No comments:

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...