Islamisasi berlangsung secara pesat di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Suatu perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik selama dua dekade yang hampir tidak
dapat dibantahkan lagi. Sudah banyak penelitian dilakukan mengenai bagaimana
proses Islamisasi tersebut berlangsung. Tesis akademik mengenai Islamisasi
pasca Orde Baru di Indonesia yang paling populer merujuk pada tersedianya
keleluasaan berekspresi termasuk dalam kemudahan di dalam memproduksi dan
mendiseminasikan (menyebarluaskan) media Islam yang bermuatan dakwah ajaran
Islam tertentu yang secara hegemonik interpretasinya bermuara pada
pendisiplinan moralitas publik (Fealy and White, 2008; Andrew Weintraub, 2011;
Ariel Heryanto, 2014).
Dalam tesis
Islamisasi pasca Orde Baru tersebut, ada tiga aspek sosial – budaya utama Islam
sebagai suatu kekuatan politik yang dibahas yakni :
- sebagai basis gerakan sosial dan politik dan implikasinya pada politik identitas dalam ranah politik dan sosial, termasuk di dalamnya kemunculan kelompok-kelompok berpaham Islam radikal
- sebagai pengorganisasian komunitas-komunitas Muslim dan dampaknya dalam hubungannya dengan negara dan “pasar”
- sebagai transformasi budaya masyarakat Indonesia dari masyarakat yang “majemuk” (plural) menuju masyarakat yang cenderung terpolarisasikan berdasarkan sekat-sekat identitas budaya, agama, orientasi seksual, dan orientasi atau ideologi politik.
Meski
demikian, tesis akademik yang populer tentang “Islamisasi di Indonesia” masih sedikit yang membahas bagaimana proses itu
berlangsung melalui
perubahan landskap sosial, ekonomi, dan budaya yang juga difasilitasikan
melalui praktik ekonomi neoliberal kapitalisme secara global.
Dalam
konteks ini, agensi sosial yang terlibat bukan hanya agensi masyarakat sipil
dan negara, melainkan juga oleh agensi yang terbentuk melalui terciptanya
“budaya konsumsi” dan pembentukan “ruang publik Muslim” yang secara dominan
dikelola oleh beragam “kepentingan” , baik yang bersifat ideologis, maupun yang
semata-mata bersifat transaksional (kapital) melalui jejaring sosial baik yang
berbasis pada komunitas maupun yang tersedia di dalam relasi antara negara dan
pasar secara global (Pamungkas, 2018; Gauthier dan Martikainnen, 2018). Oleh
karena itu penting untuk menjabarkan proses Islamisasi khususnya di Indonesia di dalam konteks praktik kapitalisme neoliberal.
Secara
akademik, setidaknya ada tiga mainstream (pengarusutamaan) dalam tesis
akademisk mengenai apa yang dimaksud dengan Islamisasi, yaitu sebagaimana yang dijabarkan berikut ini.
Pertama, tesis mengenai Islamisasi sebagai
konstruksi politik “benturan peradaban” dan ancaman bagi praktik demokrasi
liberal yang sekuler. Tesis ini melihat Islamisasi sebagai ancaman bagi
kemajuan masyarakat yang ingin mencapai kedaulatan individual di dalam ruang
sosial, ekonomi, budaya dan politik. Cara pandang semacam ini berakar dalam
gagasan-gagasan Orientalisme Barat dalam memandang wilayah jajahan dan
masyarakatnya sebagai masyarakat yang “terbelakang” (backwards) dan karenanya
memiliki kecenderungan untuk mengabaikan fakta bahwa terdapat keragaman praktik
budaya dan pelembagaannya baik secara sosial, ekonomi dan politik di kalangan
masyarakat Muslim sendiri di seluruh dunia. Tesis ini juga memiliki
kecenderungan untuk melihat Islam seakan-akan tidak setara dengan ‘modernitas”
sebagaimana yang dianggap dimiliki dalam ajaran Judaeo-Christianity – dimana
‘Barat’ mengalami pencerahan dan membentuk masyarakat moderen yang sekuler.
Tesis ini justru tidak melihat secara kritis bahwa baik Judaeo-Christianity
maupun Islam memiliki kesamaan akar teologis dimana subyek atau individu
dianggap memiliki kedaulatan dihadapan otoritas kuasa ‘Suci’ (divine) –
sekaligus mengabaikan bahwa ketiga agama Samawi (Abrahamic) tersebut bersifat
‘politis’ dan memiliki kecenderungan untuk mengekspansi societal-culture (eksistensi budaya suatu masyarakat termasuk
sistem politik) melalui cara-cara memaksa (coersion). Dengan kata lain, tesis
ini cenderung menganggap bahwa Judaeo-Christianity sajalah yang “setara” dengan
modernitas, sementara Islam tidak. Cara pandang inilah yang justru meneguhkan
logika berpikir kalangan Orientalis tentang “supremasi kulit putih” atas
dunia-dunia lain (the others).
Kedua, tesis mengenai Islamisasi sebagai
negosiasi budaya “Civil Islam”. Tesis ini memandang bahwa Islamisasi merupakan
suatu proses sosial-budaya pascakolonial yang berjalan hampir secara alamiah di
negara bangsa (nation-state) yang mayoritas berpenduduk Muslim sebagai respon
modernisasi yang juga didukung oleh khususnya gerakan-gerakan sosial, politik
dan budaya masyarakat lokal, sekaligus sebagai reaksi atas dominasi
proyek-proyek modernitas yang dianggap hanya mewakili kepentingan elit struktur
penguasa (yang dianggap sekuler). Dalam konteks ini, Islamisasi tidak selalu
dianggap sebagai ‘ancaman’ terhadap praktik demokrasi liberal yang dianggap
sekuler, melainkan memberi wujud baru bagi ‘praktik demokrasi’ dan interprestasinya
menurut komunitas-komunitas Muslim yang beragam. Meski demikian, tesis ini juga
melihat secara kritis dalam perkembangan terakhir khususnya menilik
kecenderungan interpretasi ajaran Islam mainstream (Sunni) secara global yang
berkelindan dengan transformasi kapitalisme di negara-negara mayoritas
berpenduduk Muslim sebagai suatu kecenderungan yang mengkuatirkan bagi
pelembagaan “Civil Islam” (Islam yang beradab) itu sendiri. Kekurangan dari
tesis ini adalah memiliki kecenderungan hanya mendasarkan pada praktik budaya
lokal dan hubungannya dengan ‘negara bangsa’ (nation-state) dan acapkali
mengabaikan dinamika kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi di tingkat
global.
Ketiga, tesis yang melihat Islamisasi sebagai
konstruksi pengetahuan dan pengorganisasian masyarakat politik di era
kapitalisme neoliberal melalui ‘ruang publik’ dengan mendasarkan pada cara
pandang (interpretasi) ajaran Islam (khususnya Sunni Islam) dan pelekatan
identitas Muslim. Tesis ini melihat bahwa pewacanaan dan pelembagaan Islam politik
terutama yang dipengaruhi oleh perubahan landskap ekonomi, sosial dan politik
secara global. Tesis utama ini menyadarkan pandangannya bahwa kebangkitan
wacana “revivalisme” Islam bukanlah hal baru – melainkan sesuatu yang mengakar
di masa atau era kolonialisme (khususnya kolonialisme Eropa) – pada awal abad
ke 20 dan mendapatkan ‘ruang resistensi’ di masa Perang Dingin (Cold War)
antara blok Barat (rezim kapitalisme) dan blok Timur (rezim sosialisme).
Berakhirnya perang dingin pada awal tahun 1990-an juga berdampak pada perubahan
landskap ekonomi, sosial dan politik di mayoritas negara-negara berpenduduk
mayoritas Muslim. Revivalisme Islam juga dipandang sebagai suatu “ancaman baru”
bagi praktik demokrasi liberal, atau yang oleh para filsuf Posmodernisme
dianggap sebagai suatu kegagalan proyek “pencerahan” dimana kapitalisme liberal
bersinggungan dengan identitas subyek politik yang mengalami ‘ketertindasan’.
Dengan kata lain, tesis ketiga ini berupaya memperbaiki tesis pertama yang cenderung berakar dari
sudut pandang “kolonialis” Eropa dan kelemahan tesis kedua yang cenderung
mengabaikan perubahan landskap ekonomi, politik dan budaya secara global.
Referensi
Bayat, Asef. 2007. “Making
Islam Democratic: Social Movement and the Post Islamist Turn. Standford:
Standford University Press.
Eickelman, Dale and Anderson, Jon. 2003. “New Media in The
Muslim World: The Emerging Public Sphere.” Bloomington and
Indianapolis: Indiana University Press.
Fealy, Greg. 2008. “Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational
Piety in Indonesia”. In Fealy and White (eds). Expressing Isalm: Religious Life
and Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS.
Gauthier, Francois,
Martikainnen, Tuomas. 2018. “Introduction: The Marketization of Religion.”
Religion 28 (3): 361-366.
Hefner, Claire Marie.
2016.”Achieving Islam: Women Piety and Moral Education in Indonesian Muslim
Boarding Schools.” Emory University. PhD thesis.
Hefner, Rober. 2008.
“Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia.”
Honolulu: University of Hawaii Press.
Heryanto, Ariel. 2014. "Indentity and Pleasure." Singapore: NUS Press
Lacroix, Stephane. 2011.
“Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Contemporary Saudi
Arabia.” Cambridge, Massachusett, London: Harvard University Press.
Madinier, Remmy. 2015.”Islam and Politics in Indonesia: The
Masyumi Party between Democracy and Integralism.” Singapore: NUS Press.
Nashir, Haedar. 2013.
“Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,” Jakarta: Maarif
Institute – Mizan.
Nef-Saluz, Claudia. 2012.
“Living for the Caliphate: Hizbut Tahrir Student Activism in Indonesia.”
University of Zurich. PhD Thesis.
Noor, Srikand, Van
Bruinessen. (eds). 2008. “The Madrasa in Asia: Political Activism and
Transnational Linkages”. Amsterdam: ISIM and Amsterdam UOP.
Pamungkas, Arie Setyaningrum. 2015. “The Dakwah Media in Post Suharto
Indonesia: From Politics of Identity to Popular Culture (the case of Ummi)”. Humbolt
University of Berlin. PhD
Thesis.
Pamungkas, Arie Setyaningrum, 2018. “Mediatisasi Dakwah, Moralitas Publik, dan
Komodifikasi Islam di Era Neoliberal Kapitalisme.” Jurnal Maarif Vol 13 (1):
55-75
Rachmani, Inaya. 2014.
“The Commercialization of Da’wah: Understanding Indonesian Sinetron and Their
Potrayal of Islam.” International Communication Gazette Vol 76 (4-5): 340-359
Rachmat, Muhammad Imdadun.
2005. “Arus Balik Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke
Indonesia.” Jakarta: Penerbit Erlangga.
Roy, Olivier. 2003. “The
Failure of Political Islam.” Harvard: Harvard University Press.
Salvatore, Armando,
LeVine, Mark. 2005. “Religion, Social Practices, and Contested Hegemonies”. New
York, Houndmills, Basingstokes, Hampshire: Palgrave MacMillan.
Tibi, Bassam. 2008.
“Political Islam, World Politics: Democratic Peace, Euro Islam Versus Global
Jihad.” London: Routledge.
Van Bruinessen, Martin. 2002. “Genealogies of Islamic Radicalism in Post
Suharto Indonesia”. Southeast Asian Research 10 (2)
Marranci, Gabrielle.(ed).
2010. “Muslim Societies and the Challenges of Secularization: An
Interdiciplinary Approach.” Singapore:
Springer.
Wictorowiz. (ed). 2004. “Islamic Activism: A Social Movement
Theory Approach.” Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Weintraub, Andrew. 2011.
“Introduction: the Study of Islam and Popular Culture in Indonesia and
Malaysia.” In Weintraub (ed). Islam and Popular Culture in Indonesia and
Malaysia. London: Routledge: 2-17
No comments:
Post a Comment