Identitas Politik dan Multikulturalisme dalam Proses Re-Imajinasi Indonesia
Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas
Latar Belakang
Bayangkanlah ketika kita
menjadi seorang warga dunia (cosmopolitan) dan terpaksa
meninggalkan ‘tanah air’ merantau ke negeri orang. Ini misalnya dimungkinkan
karena peperangan, masalah ekonomi, atau kehendak untuk mencari kehidupan yang
jauh lebih baik seperti memperoleh pendidikan dan juga lapangan kerja, telah
memisahkan kita dari sanak keluarga dan rumah dimana kita pernah lahir dan
dibesarkan. Pertanyaan yang sering datang pada kita sebagai “orang asing” di
negeri orang adalah, “Where are you from?”, maka kita akan menjawabnya dengan,
“Indonesia”. Ikatan kita pada apa yang kita sebut sebagai suatu “bangsa”
seringkali dikonotasikan dengan ikatan darah (blood), tempat kelahiran (birth),
atau keturunan (ancestry). Ikatan semacam inilah yang membatasi kita mendefinisikan
suatu bangsa dalam suatu lingkup teritorial atau lingkup budaya tertentu (a
sense of territorial fixity and cultural limits). Studi Ben Anderson (1983)
menegaskan bahwa ikatan-ikatan semacam inilah yang kemudian menjadi embrio
lahirnya sebuah “bangsa”, apa yang kemudian disebutnya sebagai “imagined
communities”. Karenanya rasa kebangsaan seseorang seringkali merupakan suatu
ikatan atas kelangsungan hidup suatu komunitas dalam jangka waktu yang panjang
(a sense of longevity), ikatan atas sejarah bersama yang terjadi di masa lampau
(a sense of belonging to a history drawn from ancient times). Rasa kebangsaan
semacam inilah yang oleh Anderson menandai lahirnya suatu negara-bangsa
(nation-state) dimana ikatan dan keanggotaan seseorang pada negara-bangsa bukan
hanya dikonstruksikan secara politis, tetapi lebih merupakan suatu konstruksi
kebudayaan yang dipraktekkan melalui ritual dan simbol-simbol seperti; bendera
nasional, upacara bendera, lagu kebangsaan, peringatan hari nasional, semuanya
tujukan untuk menyampaikan makna, yakni ikatan-ikatan sebagai satu bangsa.
Tesis Ben Anderson memperkaya diskursus dalam studi mengenai negara-bangsa
(nation-state) yang semula hanya memfokuskan analisis negara-bangsa sebagai
suatu instusi politik dimana didalamnya ada suatu pemerintahan yang berdaulat
atas suatu ruang teritorial yang didiami oleh suatu komunitas bernama bangsa .
Anderson memperluas daya jangkau analisisnya dari sekedar suatu pengamatan
empirik sebuah komunitas berwujud negara-bangsa menuju suatu kajian yang
bersifat antropologis dan sosiologis. Anderson menjelaskan bahwa ada hal-hal
yang membatasi proses “mengimajinasikan suatu bangsa”. Ini berkenaan dengan
batasan-batasan untuk membedakan “kita” dan “mereka”, yakni yang kemudian
menjadi kategori untuk mengatakan “siapa yang menjadi milik atau anggota suatu
komunitas bernama bangsa dan siapa yang bukan.” Sehingga dapat dikatakan bahwa
proses “othering” atau “membedakan yang lain”, merupakan suatu proses yang
inheren dalam perkembangan suatu bangsa. Menurutnya, pengertian mengenai bangsa
juga mengindikasikan suatu identitas kolektif yang membedakan satu bangsa
dengan bangsa yang lainnya. Selain memberi “penanda” yang membedakan, proses
mengimajinasikan suatu bangsa juga dilakukan melalui wujud “berdaulat (sovereign)”,
dimana tidak ada legitimasi kekuasaan yang tertinggi, kecuali klaim atas nama
“Tuhan” yang seringkali dilegitimasi dalam suatu komunitas bangsa sebagai
pemilik kekuasaan tertinggi, sebagaimana tercantum dalam berbagai konstitusi
nasional. Berbasis pada legitimasi inilah, kemudian negara melakukan berbagai
tindakan yang diatasnamakan sebagai kepentingan nasional (acts for national
interests). Penjelasan Anderson mengenai “nation” ini, membantu kita memahami
kekuatan (power) nasionalisme sebagai salah satu kekuatan besar (force) di
dunia. Rasa kebangsaan (nasionalism) kemudian dibangun berdasarkan emosi dan
komitmen yang menyatukan orang, khususnya di masa-masa krisis (perang atau
tragedi), atau berbagai kejadian yang memberikan suatu status khusus bagi
identitas nasional (momentum sejarah tertentu). Secara umum, bagi kebanyakan
kita yang hidup di dunia modern, bangsa dimana kita dilahirkan juga menjadi
bagian identitas bagi diri kita sendiri. Dapat dikatakan, bahwa
pengertian “nation” bervariasi dari konstruksi sosial dan
politik ke konstruksi ikatan-ikatan sejarah dan primordial. Ketika pengertian
mengenai bangsa kemudian dilekatkan pada negara, maka ini mengacu paka
pengaturan-pengaturan politik (political arrangements) dimana sekelompok
orang diikat oleh ideologi, persamaan-persamaan, penciptaan dan memelihara
identitas yang kemudian dipraktekkan melalui norma-norma internal dan sistem
organisasi. Dari praktek kultural semacam ini, maka makna yang dilahirkan
menciptakan suatu semangat kebangsaan (nasionalisme) dan dari situlah kemudian
kita mengidentifikasikan diri secara personal ke dalam suatu komunitas
negara-bangsa. Karenanya, ketika kita mendefinisikan diri kita pada orang
asing, maka kita akan memulainya dengan mengatakan semacam ini, “I am
Indonesian”, sebelum kita mendeskripsikan hal-hal lain mengenai diri kita
sendiri.
Imagined Communities dan Tantangan Baru bagi Nasionalisme Indonesia
Meskipun thesis Anderson
telah membuka cakrawala baru bagi studi yang lebih dinamis mengenai nation-state,
muncul sebuah perdebatan baru dalam menerjemahkan fenomena mutakhir tentang
“nation” atau yang oleh Anderson disebut sebagai “imagined communities”. Jika
Anderson menegaskan bahwasanya rasa kebangsaan (a sense of nationalism)
kemudian berwujud pada identifikasi yang membedakan suatu komunitas
negara-bangsa, maka proses identifikasi ini dibatasi oleh batasan-batasan
teritorial (territorial landscape), dikarenakan nasionalisme kemudian
dipraktekkan sebagai wujud dari komitmen individu kepada negara. Perdebatan ini
muncul dipertengahan tahun 1990-an yang diinisiasi oleh Ulf Hannerzt (1996) dan
juga oleh Arjun Appadurai (1997). Kedua-duanya mengatakan bahwa proses
mengimajinasikan bangsa (the process of imagining nation) tidak lagi dapat
dibingkai oleh batasan-batasan teritorial Hannerzt berargumen bahwa
nasionalisme yang dibangun dari basis ikatan primordial dan karenanya menjadi
sumber legitimasi bagi suatu negara (state), sebagaimana yang dikemukakan oleh
Anderson, tidak dapat lagi terus dipertahankan. Ini dikarenakan eksistensi
“nation-state” tidak lagi dapat menjadi sumber bagi proses mengimajinasikan
suatu komunitas dikarenakan efek ambigu yang diciptakan oleh globalisasi dan
juga struktur transnasional, yang disatu sisi tetap memperluas dan mempertahankan
ikatan-ikatan kolektif atas masa lalu (enduring collective past), tetapi juga
sekaligus berdampak pada proses penterjemahan kembali ikatan-ikatan tersebut,
dimana makna baru yang muncul melampaui batasan-batasan mengenai kebangsaan
(nationhood). Pemaknaan baru ini seringkali menimbulkan konflik klaim atas
wujud nasionalisme seperti loyalitas pada negara atau loyalitas pada bangsa
(kemanusiaan). Dengan demikian, persoalan identitas nasional menjadi jauh lebih
kompleks daripada sebelumnya. Appadurai melanjutkan thesis Hannerzt, bahwa
kemunculan masyarakat transnasional (transnational society) yang beroperasi
melampaui batas-batas geografis nasional kemudian mengeksplorasi legitimasi
negara dan mempertanyakan pengertian apa yang dimaksud sebagai ‘bangsa’.
Praktek ketidakadilan politik, kesenjangan sosial dan ekonomi yang berlangsung
di tempat asal tanah air bagi sekelompok orang yang tercerabut dari tanah
air-nya tersebut telah menggalang suatu komunitas politik tanpa negara dimana
mereka menjalankan suatu organisasi pemerintahan di negara lain.
Kelompok-kelompok seperti ini mengorganisir isu dan menggalang diplomasi bagi
tekanan internasional yang seringkali menggunakan isu dan klaim atas praktek
pelanggaran kemanusiaan (human rights violation) yang berlangsung di tanah air
asal mereka. Ini misalnya dicontohkan bagi komunitas transnasional dari suku
bangsa Kurdi di Jerman, atau kelompok India Tamil di pengungsian, dan bahkan
komunitas imajiner (immagined communities) orang-orang Cina perantauan (Huaqio
/ Huaaren) yang tersebar di pelosok dunia dan menggalang kampanye menentang
praktek rasisme terhadap minoritas etnis Cina di Indonesia pada tahun 1998,
misalnya. Masyarakat transnasional semacam ini pada awalnya muncul dikarenakan
situasi yang terpaksa (forcibly reason) seperti akibat perang atau pertikaian
politik, maupun juga secara sukarela (voluntary diaspora), sehingga mereka
seringkali tercerabut dari tanah airnya (uprooted) dan melakukan perpindahan
diasporik ke berbagai tempat di dunia. Karenanya menurut Appadurai,
bentuk-bentuk masyarakat imajiner (imagined communities) baru yang bukan
berwujud institusi negara (stateless) dalam situasi global sekarang ini
merupakan tantangan baru bagi setiap nation-state yang tetap memelihara
legitimasinya melalui penciptaan mitos-mitos tentang nasionalisme dan juga
praktek kultural dalam mempertahankan kohesi sosial dan politiknya. Penjelasan
Appadurai menarik untuk menjelaskan bagaimana fenomena tentang kohesi sosial
dan politik nation-state saat ini di berbagai tempat di dunia telah mengalami
apa yang disebut sebagai “krisis legitimasi nasional”. Di Indonesia misalnya,
konflik separatis yang muncul di beberapa tempat, misalnya di Aceh atau di
Papua, ditengarai oleh gerakan kelompok-kelompok diasporik seperti; kelompok
Hasan Tiro di Swedia yang memimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau kelompok
Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua New Guinea dan di Australia. Lepasnya
Timor-Timor (East Timor) dari kedaulatan RI, merupakan salah satu contoh dimana
gerakan diasporik yang bersifat transnasional, bukan hanya mampu mendorong
tekanan internasional atas praktek politik yang berlangsung di sebuah negara,
tetapi sekaligus memunculkan sebuah wujud solidaritas baru dari komunitas
tersebut dan memunculkan identifikasi-identifikasi baru bagi ikatan komunitas
ini. Tantangan baru bagi kohesi sosial dan politik menjadi persoalan yang
problematik bagi kelangsungan suatu negara bangsa dimanapun di dunia. Ini tidak
lain berkenaan dengan legitimasi yang digunakan bagi ikatan-ikatan primordial
seringkali berbasis pada catatan atau dokumen-dokumen resmi yang kemudian
dinamakan sejarah resmi (official history). Sedangkan klaim atas kebenaran
relatif suatu sejarah dalam masyarakat yang mulai mengalami keterbukaan
informasi menjadi perdebatan baru yang tidak kalah pentingnya bagi sumber
mengimajinasikan kembali ikatan-ikatan nasional dan sekaligus juga ancaman bagi
legitimasi negara atas ikatan-ikatan primordial sebelumnya. Runtuhnya Orde Baru
di tahun 1998 menandai terbukanya iklim demokratis dan kemajuan teknologi telah
memungkinkan sebagian besar masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi.
Karenanya, sebagian legitimasi sejarah yang di masa rezim Soeharto merupakan
sumber legitimasi bagi kekuasaan dan sekaligus menjadi interest nasional untuk
menjaga kohesivitas sosial dan politik banyak dipertanyakan orang dan menjadi
pembicaraan publik. Konstruksi identitas nasional bagi bangsa Indonesia sebagai
sebuah negara bangsa moderen memang dalam kurun sejarahnya selalu bersifat
paradoks. Sejarah moderen Indonesia sebagai negara bangsa memang merupakan
produk yang lahir pasca kolonialisme di awal abad 20. Sebelumnya, imajinasi
bahwa rangkaian pulau-pulau di Nusantara (archipelago) ini dapat bersatu
menjadi suatu komunitas, berbahasa yang sama dan juga membagi sejarah
pengalaman bersama merupakan hal yang mungkin tidak pernah terduga sebelumnya
dalam benak bangsa-bangsa penjajah (the colonisers). Oleh karena itu, thesis
Ben Anderson yang secara khusus mengamati proses nation-building di Indonesia menjadi
amat menarik untuk menjelaskan munculnya negara-negara bangsa moderen pasca
kolonialisme. Di era pasca kolonial memang banyak negara bangsa baru yang
muncul, tetapi apa yang membedakan Indonesia dengan negara pasca kolonial
semacam Cina atau India, adalah karena dokumen-dokumen resmi dalam catatan
sejarah tidak pernah mengatakan adanya suatu negara atau komunitas bangsa
bernama “Indonesia”. Ini tidak lain karena hegemoni kolonialisme pemerintah
Hindia Belanda amat mempengaruhi apa yang konsumsi pengetahuan masyarakat dunia
tentang sejarah apa yang berlangsung di serangkaian pulau di Nusantara ini.
Oleh karena tujuan untuk melakukan proses nation-building menjadi basis bagi
kepentingan politik yang amat kuat, maka dalam kelahirannya sebagai suatu negara
bangsa moderen, proses identifikasi nasional dan sekaligus konstruksi mitologis
dan praktek kebudayaan yang ditujukan bagi kepentingan nasional selalu diwarnai
oleh “pertarungan-pertarungan” diantara elit politik, baik di kurun masa
pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Apa yang menjadi basis bagi identitas
nasional kemudian menjadi persoalan bagi pertarungan wacana dan karenanya,
wacana yang dominanlah yang menjadi basis landasan bagi konstruksi identitas
nasional Indonesia, sehingga seringkali apa yang menjadi wacana bagi kelas
penguasa (rezim) selalu identik dengan proses melegitimasi sumber-sumber
imajinatif bagi konstruksi rasa kebangsaan (nasionalisme). Dalam prakteknya,
semua ritus dan simbol nasional secara tidak langsung memang ditujukan untuk mengabdi
pada kepentingan elit penguasa. Runtuhnya rezim Soeharto menandai suatu krisis
baru identitas nasional, dikarenakan maraknya berbagai konflik berbasis
sentimen keagamaan, rasial, dan juga konflik etnis. Berbagai tantangan baru ini
kemudian memunculkan perdebatan mengenai bagaimana memaknai kembali
ikatan-ikatan kita pada negara-bangsa, atau bagaimana memunculkan sumber-sumber
baru bagi legitimasi kelangsungan suatu negara bangsa. Sebagai respon atas
pertanyaan tersebut, ada dua topik perdebatan yang kemudian muncul, yakni
ideologi apa yang masih dapat dipertahankan sebagai sumber ikatan lama yang
mempersatukan bangsa Indonesia, dan praktek nasional apa yang dapat
mempertahankan kohesivitas sosial dan politik di Indonesia. Ideologi politik
dan juga doktrin negara masih dianggap memiliki kontribusi yang relevan dalam
menyediakan cara-cara mengorganisir dan mengontrol agenda publik sekaligus juga
mengumpulkan dukungan publik untuk melegitimasi kepentingan nasional. Ideologi
politik merupakan sekumpulan nilai-nilai ideal yang menjadi acuan bagi suatu
tindakan (dalam pengertian institusi dan juga kebijakan). Ideologi politik juga
sekaligus merupakan asumsi mengenai kapasitas manusia atau kondisi manusia atau
juga identitas nasional. Dalam konteks Indonesia, Pancasila masih merupakan
doktrin bagi ideologi politik yang tetap dipertahankan karena bersifat
non-sektarian dan menjadi simbol bagi persatuan di dalam keberbedaan (bhinneka
tunggal ika / unity in diversity). Meski doktrin ini masih tetap dipertahankan,
seringkali praktek politik nasional yang bersifat hegemonik, distorsif dan
karenanya menciptakan ketidakadilan telah memunculkan respon yang berbeda di
dalam masyarakat. Bentuk-bentuk semacam ini memunculkan bukan hanya resistensi
politik (khususnya di masa Orde Baru) tetapi juga sekaligus bentuk-bentuk
perlawanan. Oleh karena kemunculan Indonesia sebagai suatu negara bangsa
moderen dilatarbelakangi oleh unsur keberagamam latar belakang agama, suku,
ras, budaya, dan bahasa, maka kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat
multikultural menjadi basis paling penting untuk suatu proses konstruksi
nasionalisme dan sekaligus pemaknaan kembali identitas nasional. Berbeda dengan
negara-negara multikultural lainnya di dunia seperti di Amerika Serikat,
Kanada, Australia, Selandia Baru, ataupun Singapura, Indonesia memiliki setting
multikultural yang berbeda, meskipun ada beberapa persamaan di dalam praktek
politik di negara-negara multikultural tersebut. Kanada, Australia dan
Singapura, tidak memiliki sejarah perlawanan yang kuat terhadap kolonialisme,
dikarenakan proses berdirinya mereka menjadi suatu negara-bangsa moderen
merupakan bentuk kompromi politis dengan penguasa kolonial yakni Persemakmuran
Inggris (the Commonwealth). Sehingga sejarah yang bersifat “konflik berdarah”
tidak dilegitimasi di dalam catatan sejarah resmi yang sekaligus mewarnai
proses nation-building. Sementara, baik Amerika Serikat dan juga Indonesia,
memiliki sejarah atas konflik berdarah dengan penguasa kolonial. Yang
membedakan Indonesia dari kelima negara multikultural tersebut adalah
bahwasanya secara resmi (officially), Indonesia tidak menerapkan politik
multikulturalisme. Setting masyarakat
multikultural di Indonesia juga amat berbeda dengan setting masyarakat
multikultural di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan bahkan
Singapura. Di kelima negara tersebut, keberagaman latar belakang masyarakatnya
diakibatkan karena adanya arus perpindahan berbagai unsur etnis dan ras
(diasporic movement), baik dikarenakan alasan yang terpaksa (misalnya karena
memindahkan kaum budak Afrika, yang menjadi cikal-bakal generasi Afro-American,
atau dikarenakan sebagai lokasi pembuangan para kriminal, sebagaimana yang
berlangsung di Australia), maupun perpindahan yang terjadi karena sukarela
(sebagaimana etnis perantauan Cina di Singapura, Selandia Baru, dan Kanada).
Sementara, Indonesia terdiri dari beberapa suku-suku yang secara mayoritas
mendiami beberapa lokasi teritorial di berbagai pulau yang tersebar di seluruh
Nusantara. Perbedaan setting multikultural ini, pada gilirannya akan
memunculkan problema tentang bagaimana memelihara identitas nasional yang
menyatukan seluruh elemen bangsa, tetapi juga berkenaan dengan akses politik
suku-suku yang berbeda (di Indonesia) atau akses politik bagi kelompok
minoritas (seperti kelompok indigenous di Amerika Serikat, Kanada, Australia,
dan minoritas kelompok kulit hitam di Amerika, atau minoritas Melayu di
Singapura). Di Indonesia, klaim atas akses politik bagi berbagai suku-suku yang
berbeda menjadi lebih rumit dikarenakan praktek politik ini berkenaan dengan
kedaulatan di wilayah-wilayah yang telah didiami oleh suku-suku tersebut dalam
kurun waktu yang amat panjang. Oleh karena itu, ketika muncul perdebatan
mengenai “hak-hak indigenous” di seluruh dunia, maka problema ini menjadi jauh
lebih kompleks di Indonesia, dikarenakan pengertian hak-hak masyarakat
indigenous seringkali menghubungkan klaim politik dengan unsur ‘longevity’ atau
kelangsungan hidup terus-menerus suatu kelompok di dalam wilayah teritorial sebelum
wilayah itu didiami oleh kelompok lainnya. Sedangkan di Australia, Kanada,
Selandia Baru, dan Amerika Serikat, mudah untuk mengidentifikasi kelompok
manakah yang disebut sebagai indigenous. Politik multikulturalisme dan
prakteknya menjadi suatu perdebatan yang menarik dikarenakan esensi dari tujuan
diaplikasikannya politik ini adalah untuk menjaga kohesivitas politik dan
kohesivitas sosial berkenaan dengan isu kesetaraan sosial dan keadilan sosial (social equality and social justice).
Kesetaraan sosial dan keadilan sosial merupakan dua sisi fundamental yang
melandasi keadilan politik bagi suatu komunitas negara-bangsa. Di dalamnya
terkandung suatu basis konstitusi yang menjalankan prosedur keadilan untuk
memenuhi persyaratan bagi kebebasan yang setara (equal liberty). Selain itu, keadilan politik juga dibingkai dalam
pengaturan-pengaturan yang memungkinkan (feasible arrangements) dihasilkannya
sebuah sistem yang adil (fair system). Dalam sejarah politik dan demokrasi di
Amerika Serikat, isu mengenai praktek politik atas social equality and social
justice hingga sekarang masih diperdebatkan. Sejarah mencatat, penghapusan
diskriminasi sosial dan politik di Amerika Serikat selalu berkenaan dengan
persoalan perbedaan distribusi keadilan sosial bagi seluruh warga negaranya.
Perubahan konteks sejarah juga mempengaruhi apa yang dipraktekkan oleh setiap
rezim penguasa. Ini misalnya dapat kita cermati dalam sejarah kelam di Amerika
Serikat tentang penindasan rasial, begitupun di Australia dimana sejarah
mengenai kebijakan rasial tentang “the
White Australia Policy” atau kebijakan yang hanya membolehkan imigran kulit
putih saja yang berhak menjadi warga negaranya dihapuskan pada tahun 1950-an.
Praktek penghapusan diskriminasi semacam itu kemudian menjadi sumber bagi
konstruksi ideologis dan identitas nasional. Meski secara formal, baik
pemerintah di Amerika Serikat maupun di Australia telah menghapuskan
bentuk-bentuk diskriminasi di dalam konstitusi politik mereka, tetapi praktek
dominasi dalam transformasi bentuknya yang terbaru menunjukkan bertahannya
praktek diskriminasi sosial dan politik. Di Indonesia sendiri, secara
konstitusional tidak ada satupun konotasi yang mengarah pada bentuk-bentuk
perlakuan diskriminatif. Ini misalnya dibuktikan dalam sejarah, melalui penghapusan
beberapa kalimat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang sebelumnya
mencantumkan pengertian bagi pemberlakuan syariat Islam bagi seluruh umat
muslim Indonesia. Meski demikian, dikarenakan interpretasi atas praktek
ideologi negara menjadi alat kepentingan bagi kekuasaan, maka praktek yang
bersifat distorsif pun mulai menjadi tidak terhindarkan. Isu separatisme di
Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, ini misalnya ditandai oleh pergolakan
politik elit penguasa saat itu (Orde Lama), misalnya dengan beberapa kelompok
Islam (yang diidentifikasi sebagai DI/TII), kelompok nasionalis (PRI-Permesta),
dan juga kelompok komunis (PKI). Ketika rezim Soeharto berkuasa,
maka agenda bagi stabilitas nasional menjadi urgensi bagi setiap kebijakan yang
dilakukan pemerintah pada saat itu. Proses nation-building untuk tujuan
tersebut diperteguh di dalam praktek nasional melalui legitimasi peringatan
hari-hari besar nasional, dan bahkan ke dalam muatan yang diajarkan di dalam
pendidikan nasional, mulai dari tingkatan sekolah dasar hingga ke perguruan
tinggi. Suatu ilustrasi menarik mengenai praktek budaya yang hegemonik misalnya
didapati dalam buku-buku pelajaran anak-anak Sekolah Dasar di era tahun 1970-an
hingga awal 1990-an. Di dalam sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia, misalnya
ada berbagai tokoh seperti: “Budi, Ibu Budi, Bapak Budi, Wati, Iwan, Arman, dan
gambaran mengenai rumah, sekolah dan lingkungan tempat tinggal mereka yang
kira-kira menggambarkan social landscape di Pulau Jawa”, kesemuanya diimajinasikan
sebagai “keluarga Indonesia”. Sementara itu, tidak pernah terlintas di pikiran
sebagian besar masyarakat Indonesia misalnya, ketika seorang anak di Papua
kesulitan mengimajinasikan “Budi” dan juga gambaran tentang “rumah Budi”
sebagai bagian dari social landscape-nya (daya jangkau sosial). Berbagai
praktek kebijakan sosial seperti proyek transmigrasi, seringkali dilakukan
tanpa memikirkan aspek-aspek social-cultural landscape suatu komunitas etnis
atau suku tertentu, misalnya. Bahwa konflik antara suku Dayak dan Madura
beberapa waktu lalu, bukan hanya ditengarai oleh persoalan struktural, seperti
kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan ruang (spatial discrepancy) atau
birokrasi yang bersifat sentralistis, tetapi juga dikarenakan mispersepsi
kultural. Sensitivitas orang Dayak atas rasa aman-tidak aman
(security-insecurity), misalnya terganggu oleh kebiasaan orang Madura yang
sering berjalan-jalan dengan membawa clurit atau berbicara dengan intonasi yang
keras. Berbagai gambaran tersebut menjelaskan praktek kultural dalam lingkup
proses imajinatif suatu bangsa, tidak pernah kita bahas di dalam wacana kita
mengenai pluralisme dan keberbedaan. Problema atas realitas bangsa kita yang
multikultural ini menjadi tantangan baru bagi konstruksi nasionalisme yang menjadi
basis legitimasi bagi terus berlangsungnya suatu eksistensi negara bangsa
bernama Republik Indonesia. Oleh karena itu, tantangan baru bagi re-imajinasi
Indonesia, bukan hanya datang dari tekanan-tekanan global dan dampaknya di
dalam komunitas masyarakat Indonesia yang majemuk, tetapi juga tuntutan atas
praktek politik yang menjamin terciptanya dan memungkinkannya suatu sistem bagi
distribusi keadilan sosial dan kesetaraan sosial.
Re-imajinasi Indonesia dalam Identitas Politik
Multikultural
Untuk memahami bagaimana
proses re-imajinasi dilakukan melalui konstruksi identitas nasional, maka
pengertian identitas dalam konteks politik merupakan suatu proses dialogis dari
penciptaan batasan-batasan mengenai tingkah laku kolektif, dimana identitas
individual tidak dapat dilepaskan dari sense atau rasa kolektivitasnya. Menurut
Derrida, konsep mengenai identitas selalu menunjuk pada suatu proses memberi
penanda yang membedakan orang lain dengan diri kita dan apa yang menjadi
penanda bagi persamaan kita dengan orang lain (identity is a dialogic process
of signifying and sharing similarities with others). Konsep mengenai identitas
ini sejalan dengan konsepsi Anderson mengenai imagined communities yang
memisahkan kategori mengenai “kita” yakni yang menjadi bagian dari komunitas
nation-state, dan “mereka” yang bukan menjadi bagian dari komunitas negara
kita. Oleh karena proses identifikasi menunjuk pada pemberian tanda, maka
sekaligus juga berarti ada suatu proses berbagi (sharing) persamaan-persamaan
kolektif yang dilakukan untuk mengikat komunitas. Menurut Stuart Hall (1992),
setidaknya ada lima elemen yang memungkinkan suatu komunitas berbagi persamaan
bagi sebuah kesatuan, yakni: 1. Narasi mengenai suatu bangsa, sebagaimana yang
diceritakan di dalam catatan resmi sejarah 2. Penekanan pada asal-usul,
kelangsungan, tradisi dan keabadian 3. Penemuan-penemuan tradisi 4. Mitos yang
bersifat fundamental 5. Ide mengenai rakyat jelata (folk or people) Menurut
Hall, proses dari kategorisasi identitas memberi suatu bingkai pemikiran untuk
menginterpretasikan dan sekaligus menghadirkan tingkah laku kolektif yang
membedakan orang. Representasi dari identitas ini berisi suatu muatan
substantif yang mengindikasikan batasan-batasan antara salah satu kelompok
dengan kelompok yang lainnya. Wacana mengenai identitas selalu bersifat dinamis
dan seringkali dikonstruksikan untuk mengikuti perubahan kebutuhan politik yang
berbeda dari waktu ke waktu. Klaim atas identitas inilah yang kemudian menjadi
basis rasional bagi ideologi politik nasional. Konstruksi mengenai “the others”
atau “mereka yang lain” dalam proses identitas nasional ditekankan dalam
narasi-narasi yang disebut sebagai ideologi nasionalis sehingga mampu
memunculkan sifat-sifat yang esensial dan kokoh dari suatu kelompok masyarakat
tertentu, dan karenanya seringkali meniadakan nilai-nilai kultural kelompok
lain yang secara potensial dianggap berbahaya. Oleh karena itu, narasi-narasi
politik seringkali lebih merupakan representasi dari pertarungan para elit
penguasa daripada narasi-narasi rakyat kebanyakan. Menurut Pierre Bordieu,
narasi-narasi politik semacam ini mendapatkan legitimasinya melalui penggunaan
“symbolic power” (atau kekuatan simbolik) dimana “penggunaan kata-kata atau
simbol-simbol” seringkali menjadi sumber bagi kekuasaan ketika semuanya itu
dihubungkan dengan realitas. Runtuhnya rezim Soeharto dan munculnya elit-elit
politik baru mulai dari pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati, juga
menandai perubahan di dalam narasi-narasi politik. Dukungan politik bagi Megawati
yang amat besar dalam Pemilu 1999, misalnya berhubungan dengan penggunaan
symbolic power, dimana realitas ketertindasannya oleh Orde baru (khususnya
dalam kasus PDI-P di bulan Juli 1997) memunculkan representasi image bagi kaum
yang tertindas, dan karenanya “ia” digambarkan sebagai sosok yang dekat dengan
rakyat jelata (wong cilik). Geliat perkembangan politik lokal sebagai wujud
dari implementasi desentralisasi politik di Indonesia sebagai fenomena
akhir-akhir ini merupakan salah satu tantangan yang lain di dalam proses
mengimajinasikan nasionalisme Indonesia. Oleh karena desentralisasi politik
berkenaan dengan aspek distribusi kekuasaan, maka persoalan mengenai distribusi
keadilan sosial menjadi locus sumber nasionalisme baru Indonesia. Ini tentunya
tidaklah mudah dikarenakan problema distribusi keadilan sosial berkenaan dengan
bagaimana mengelola aspek keadilan distributif bagi berbagai wilayah yang
secara ekonomis memiliki perbedaan-perbedaan potensial, karena seringkali aspek
kesejahteraan menjadi basis bagi suatu klaim kekuasaan. Distribusi keadilan
sosial juga berkenaan dengan bagaimana mengelola suatu identitas nasional yang
dapat mengontrol suatu praktek dominatif dari kelompok-kelompok mayoritas. Hal
ini misalnya berkenaan dengan konstruksi mitologis suatu bangsa yang melahirkan
ideologi nasional, pengenaan simbol-simbol nasional dan bahkan praktek kultural
yang diterapkan dalam sistem pemerintahan, kesemuanya diharapkan mampu
merepresentasikan keanekaragaman latar-belakang masyarakat Indonesia.
Multikulturalisme sebagai suatu kebijakan politik dan sebagai suatu praktek
sosial seringkali justru saling berlawanan dan seringkali juga dapat
memunculkan potensi-potensi ancaman baru bagi kohesivitas sosial dan integrasi
politik. Di Kanada misalnya, pemberian wilayah administrasi politik bagi
kelompok indigenous (suku Indian) menimbulkan problema tentang keadilan
distributif bagi akses politik kelompok-kelompok minoritas lainnya, misalnya
etnis perantauan Cina untuk pengorganisasian kelompok secara politis ke dalam
bentuk kekuasaan administratif atas suatu teritorial tertentu. Praktek semacam
ini seringkali dianggap hanya sebagai suatu kompromi politik yang dibangun dari
kepentingan politik yang mengikuti perubahan wacana menurut setting waktu.
Sementara itu, di Amerika Serikat, praktek multikulturalisme yang seringkali
diistilahkan sebagai proses “melting-pot”, justru mengindikasikan suatu bentuk
mengelola ideologi dan praktek kultural kelompok dominan (kulit putih) atas
kelompok-kelompok minoritas, khususnya bagi kelompok kulit hitam. Di Australia,
dan juga di Singapura, tidak jauh berbeda, kebijakan multikulturalisme
ditujukan pada suatu bentuk-bentuk perayaan atas keberbedaan (the celebratory
multiculturalism) yang hanya memberi ruang bagi penampilan (display)
keberagaman latar belakang masyarakatnya, tetapi seringkali masih
mempertahankan bentuk-bentuk hegemonik kelompok dominan dikarenakan masih
berlangsungnya pembatasan akses bagi representasi kelompok-kelompok etnis
minoritas. Di Amerika Serikat dan juga di Australia, pasca 11 September dan Bom
Bali 2002 , bentuk-bentuk persebaran ketakutan (the diployment of fear) menjadi
strategi baru untuk mempertahankan ideologi kelompok dominan dalam tujuan untuk
mempertahankan kepentingan nasional (national interest), yang ditunjukkan dari
bagaimana mereka mengelola isu tentang terorisme dan penanganan pengungsi
(refugees), khususnya yang berasal dari Timur-Tengah. Sementara di Indonesia,
multikulturalisme tidak pernah diwujudkan sebagai suatu kebijakan politik
resmi, tetapi seringkali tersembunyi di dalam praktek nasional, sebagaimana
proses asimilasi yang berlangsung baik pada era Orde lama ataupun Orde baru.
Pada masa Orde baru, asimilasi seringkali merupakan suatu bentuk penindasan
kultural, dimana kelompok-kelompok minoritas dipaksakan untuk memasuki suatu
ruang nilai dan praktek budaya kelompok dominan. Isu semacam Jawanisasi dan
Islamisasi di berbagai daerah di pelosok-pelosok Nusantara seringkali
mengiringi suatu proses kebijakan nasional, misalnya di dalam proyek
transmigrasi.
Kesimpulan
Berbagai kompleksitas yang menjadi tantangan baru bagi re-imajinasi Indonesia ke masa depan merupakan suatu proses yang sudah selayaknya dibangun dari suatu basis instrumen-instrumen dan mekanisme demokrasi, dan yang tak kalah penting adalah bagaimana kontrol atas berlangsungnya suatu praktek kekuasaan dapat memungkinkan representasi aspirasi dari berbagai kelompok-kelompok yang berbeda latar belakangnya. Karenanya, ideologi nasional Pancasila yang secara paradigmatik memuat semua pencapaian-pencapaian ideal tidaklah cukup dikarenakan persoalan konstruksi ideologis memerlukan settingnya pada perubahan kontekstual. Kita tidak mungkin lagi diikat oleh romantisme lama tentang Sriwijaya atau Majapahit, atau bahkan pahit-getirnya perlawanan para pahlawan nasional kita melawan penjajahan Belanda, misalnya. Konstruksi mitologis semacam ini tidak lagi dirasa cukup untuk membangun suatu basis sentimen emosi yang mewakili seluruh aspirasi masyarakat Indonesia yang multikultural. Persoalan distribusi keadilan sosial, representasi yang adil dalam narasi-narasi sejarah, meskipun itu merupakan bagian kelam dari sejarah kita berbangsa, dan juga tantangan-tantangan global seperti ekspansi kapital, perubahan gaya hidup masyarakat, pergolakan yang terjadi pada skala global, semuanya itu menjadi sumber-sumber baru bagi kita membangun suatu konstruksi mengenai “bangsa Indonesia di masa depan”. Persoalannya yang muncul kemudian adalah, darimana dan kapan kita harus memulainya. Untuk memulai itu semua, kiranya kita dapat memanfaatkan semua peluang yang disediakan di dalam institusi dan mekanisme demokratis, sekaligus memberi ruang belajar bagi seluruh elemen bangsa Indonesia, sehingga narasi-narasi nasional bukan hanya menjadi wilayah kekuasaan pertarungan politik kelas penguasa (elit), tetapi lebih jauh lagi merupakan narasi yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang seringkali telah lama diimpikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novel sejarahnya, tentang masyarakat Indonesia yang kosmopolitan tetapi juga sekaligus berpihak pada esensi kemanusiaan darimana kita semua berasal. Maka tidak heran, jika suatu saat nanti anak-anak di Pulau Jawa akan membaca buku mengenai kehidupan seorang John Mathias Ondawame, seorang anak Papua dari suku Amungme, misalnya, begitu pula Joko Priyanto di Bantul sana yang dapat mengerti bagaimana kehidupan Andreas Simatupang di Sumatera Utara. Memang kita mungkin masih perlu mempertahankan ikatan-ikatan lama kita atas kebersamaan kita sebagai suatu bangsa, tetapi yang jauh lebih penting dari itu semua adalah mengembangkan batasan-batasan imaginer kita (the boundaries of national imaginary) untuk menghadapi persoalan-persoalan kontekstual dan tantangan ke masa depan.
Daftar Pustaka
Aditjondro, George.
1985. Telex Dirjen dan tanggapan dari Ondoafi, Kabar dari Kampung vol..18/3
Anderson, Bennedict. 1983. Imagined Communities: Reflections on the origins and
spread of nationalism, Verso, London.
Anderson, Bennedict,
1990. Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, Cornell
University Press, Ithaca.
Anderson, Bennedict.
2002. The Spectre of Comparison: Nationalism, Southeast Asia and the World,
Verso, London and New York Anti Slavery Society, 1991. West Papua: Plunder in
Paradise, Anti-Slavery Society, London.
Appadurai, Arjun.1997,
Patriotism and its Future, dalam Modernity at Large: Cultural Dimension of
Globalisation, University of Minnesota Press, Minneapolis
Barton, Greg. 2000,
Issues Concerning Democracy and Citizenship in Indonesia, dalam Andrew
Vandenberg, Citizenship and Democracy in a Global Era, MacMillan, London.
Bordieu, Pierre. 1993.
The Field of Cultural Production, Polity Press, Cambridge.
Derrida, J.1992. The
Other Heading, Indiana University Press, Indianapolis.
Hall, Stuart.1992. Who
Needs Identity, dalam Stuart Hall dan Du Gay (editor), Questions of Cultural
Identity, Sage, London.
Hannerzt, Ulf.1996, The
Withering of the Nation?, dalam Transnational Connection: Culture, People,
Place, Routledge, New York.
Melluci, Alberto.1995.
The Process of Collective Identity, dalam H.Johnston dan B.Klandermans, Social
Movements and Culture, University of Minnesota Press, Minneapolis.
Pamungkas, Arie
Setyaningrum. 2003. The Australian Multiculturalism and the Global Challenges,
thesis (unpublished), University of Sydney, Australia.
Rawls, John. 1993,
Political Liberalism, Columbia University Press, New York.
Rawls, John.1971. Equal
Liberty, dalam A Theory of Justice, Oxford University Press, London, hal.
221.
Ricklefs, M.C, 1993. A
History of Modern Indonesia Since c 1300, Macmillan, London.
Turner, Bryan.S dan Ted
Hamilton.1994. Citizenship: Critical Concept, Routledge, London.
1 comment:
Tania's Wedding Band for Men - Titanium Art
Tania's Wedding Band has a wedding band and titanium ring an 4x8 sheet metal prices near me award tungsten titanium winning wedding titanium armor venue! Read our wedding proposal today! aftershokz trekz titanium
Post a Comment