Oleh: Arie Setyaningrum Pamungkas
Mengapa Ummi?
“Mengapa Mbak Tia ingin
meneliti Ummi? Kami ini bukanlah perusahaan media besar seperti yang lainnya,
yang memiliki pengaruh pada jutaan masyarakat Indonesia!” ujar Meutia
Gemala, editor kepala Ummi. Pernyataan tersebut disampaikan secara langsung
kepada saya sebagai jawaban ketika redaktur majalah Ummi akhirnya memenuhi
permintaan saya untuk melakukan penelitian etnografi di kantor majalah Ummi di
Utan Kayu Jakarta pada suatu hari di bulan Januari 2010. Saya menjawab
alasannya adalah karena saya tertarik untuk mempelajari apa yang membuat
majalah Ummi berubah dari suatu majalah muslim ‘radikal’ menjadi majalah
Muslimah populer. Saya menambahkan suatu cerita padanya juga bahwa pada tahun
1993, ketika saya masih mahasiswi S1 di jurusan Sosiologi, Fisipol UGM di
Yogyakarta, saya pernah membaca salah satu terbitan majalah Ummi yang
diperlihatkan oleh kawan kos saya, seorang mahasiswi UGM yang menjadi
simpatisan gerakan tarbiyah.
Salah satu edisi Ummi yang pernah saya
baca di tahun 1993 tersebut, bersampul sederhana, tidak memuat foto atau gambar
perempuan sama sekali dan hanya berupa foto seikat bunga. Meski demikian, yang
membuat saya terkejut justru ada di dalam isi liputan majalah Ummi. Yakni suatu
foto mayat perempuan yang tidak utuh dengan keterangan bahwa foto itu adalah
tubuh seorang perempuan Muslim Bosnia yang terkoyak setelah diperkosa, disiksa
dan dibunuh secara brutal oleh tentara Serbia. Kenangan pertama saya membaca
majalah Ummi itu sangat traumatis dan emosional mengingat apa yang saya sudah
ketahui sebelumnya lewat media lain tentang perang Bosnia sebenarnya telah
membangkitkan rasa simpati saya terhadap kaum Muslim Bosnia. Akan tetapi,
melihat foto mayat perempuan secara vulgar di majalah yang ditujukan untuk kaum
Muslimah membuat saya merasa tidak nyaman dan sangat traumatis, apalagi saat
itu di masa Orde Baru dimana foto semacam itu tidak akan dimunculkan media
massa karena kontrol dan sensor pemerintah Orde Baru terhadap media sangat
kuat. Meski sebelumnya saya pernah mengalami satu-satunya kenangan visual
traumatis semacam itu (lewat media) yang mengingatkan saya pada adegan visual
film G.30.S /PKI di masa kanak-kanak pada tahun 1980-an saat para perempuan
(Gerwani) menyilet para Jenderal yang diculik di Lubang Buaya Jakarta pada
tahun 1965.
Empat belas tahun kemudian, pada awal
tahun 2007, saya melihat salah satu edisi Ummi dipajang di gerai toko buku
Gramedia di salah satu mal ternama di Yogyakarta. Saya cukup heran ketika
melihat majalah Ummi terpajang di toko buku besar dan terkenal itu. Seingat
saya, di masa Orde Baru, majalah Ummi tidak beredar secara mudah di publik.
Saya juga cukup terkejut ketika melihat perubahan tampilan majalah tersebut
yang menjadi lebih glamor dengan sampul foto seorang perempuan
cantik berjilbab. Tampilan baru Ummi sebagai majalah perempuan populer
mengingatkan saya pada majalah Muslimah populer lainnya di masa Orde Baru,
majalah Amanah yang terbit pada kisaran tahun 1980-an hingga 1990-an sebelum
akhirnya bangkrut justru di awal reformasi. Perjumpaan kedua saya dengan
majalah Ummi setelah sekian lama ini cukup mengejutkan. Karena Ummi, secara
sekilas, tampak seperti gambaran lugu saya di masa remaja tentang bagaimana
seharusnya suatu majalah perempuan (Muslimah) ditampilkan. Imajinasi saya
tentang majalah perempuan di masa Orde Baru merujuk pada majalah populer
lainnya yakni haruslah menampilkan visualisasi perempuan yang feminin pada
sampul dan harus menampilkan konten tentang kehidupan perempuan di dalamnya.
Kesimpulan awal setelah saya membaca
penampilan baru majalah Ummi edisi di tahun 2007 dan membandingkannya dengan
majalah Amanah edisi lama tahun 1993 adalah bahwa kedua majalah tersebut
sama-sama memberikan tekanan tentang pentingnya dakwah Islam. Melalui pemahaman
atas dakwah, para Muslim diharuskan untuk meyakini Islam dengan menerapkan
nilai-nilai Islam. Namun begitu, majalah Ummi versi ‘baru’ ini tidaklah
serta-merta meniru majalah Amanah begitu saja. Keduanya memberikan sudut
pandang yang berbeda tentang pentingnya dakwah terutama bagi dan oleh kaum
perempuan (Muslimah). Perbedaan penting yang mendasar adalah bahwasanya majalah
Ummi masih menjadi bagian dari gerakan tarbiyah dan terus berlanjut hingga saat
ini; sedangkan majalah Amanah sama sekali tidak menjadi bagian dari gerakan
Islam manapun. Kemunculan majalah Amanah di tahun 1990-an lebih merupakan
akomodasi identitas Islam oleh rezim Orde Baru yang didiktekan oleh penguasa
(elit) melalui industri media populer pada saat itu. Berdasarkan penilaian awal
ini, maka pengertian tentang dakwah memiliki arti yang berbeda dan beragam
secara kontekstual. Yakni tergantung pada siapa yang menyebarkannya dan siapa
yang menerimanya dan kemudian bagaimana mereka mempraktikkannya. Meski
demikian, diantara berbagai ‘majalah dakwah’ yang beredar di toko-toko buku
(khususnya toko buku Islam), majalah Ummi kini oleh publik luas justru dianggap
sebagai majalah Islam yang tidak radikal.
Menilai perubahan tampilan majalah Ummi
hanya pada sampulnya saja seakan suatu pandangan yang dangkal, namun perubahan
tersebut menurut saya justru mencerminkan berlangsungnya suatu transformasi
sosial budaya yang lebih luas. Hasil penelitian etnografi saya menunjukkan
bahwa perubahan majalah Ummi sebagai majalah perempuan juga dapat menjelaskan
tentang suatu proses perubahan sosial dalam reproduksi budaya sehari-hari
masyarakat Indonesia yang didominasi oleh konstruksi identitas keislaman formal
yang semakin menguat di ruang publik selama dua dekade era reformasi. Dalam
transformasi landskap budaya semacam itu, kaum perempuan menjadi subyek
penting perubahan sosial dan sekaligus obyektifikasi identitas Islam sebagai
suatu komoditas baru dalam reproduksi ekonomi kapitalisme yang bersifat
politis. Runtuhnya kekuasaan rezim Soeharto (Orde Baru) di tahun 1998 berdampak
pada peningkatan jumlah dan keragaman media baru, termasuk juga majalah-majalah
yang mengangkat tema tentang Islam politik dan gaya hidup Islami.
Dalam pembahasan ringkas ini saya akan menjelaskan awal kebangkitan
media dakwah dengan menelusuri sejarah gerakan Islam Politik sebelum dan
setelah momentum 1998 melalui studi kasus majalah dakwah seperti Ummi. Ummi
merupakan salah satu majalah dakwah yang menonjol di era Reformasi dan berakar
dari gerakan tarbiyah yang muncul dan berkembang pesat di masa Orde Baru.
Perubahan majalah Ummi sekaligus mewakili dinamika perubahan gerakan tarbiyah
melalui media dimana berlangsung pergeseran pandangan radikal tentang
bagaimana mempraktikkan dakwah Islamiyah khususnya jihad Islam dan implikasinya
terhadap kaum perempuan. Perubahan itu seakan-akan oleh khalayak terutama kaum
Muslim di Indonesia pada umumnya kini dianggap mewakili suatu pandangan yang
lebih moderat dimana apropriasi terhadap dakwah yang bermuatan
Islamisme populer yang dipengaruhi oleh media dakwah juga mewakili modernitas
(kehidupan moderen) sehingga diakomodasi oleh industri budaya populer di
Indonesia sejak masa reformasi sehingga kini menjadi budaya populer yang cukup
hegemonik.
Majalah Ummi tentu saja bukan milik salah
satu kelompok korporasi besar dalam media arus utama di Indonesia.[1] Meskipun majalah Ummi bukan bagian dari
korporasi media besar, tetapi memiliki pengaruh hegemonik dalam membentuk dan
menampilkan narasi dan visualisasi mengenai dakwah Islam khususnya Islamisme
populer yang didasari oleh cara pandang ideologi Islam politik sebagai
komoditas budaya. Hal ini terjadi karena pada pasca Orde Baru, gerakan tarbiyah
melalui peranan para aktivis dakwah perempuan telah berhasil memberikan pengaruh
dalam merepresentasikan dakwah Islam sebagai suatu kode moralitas publik
sehingga akhirnya diapropriasi melalui dan oleh media arus utama. Inilah yang
kemudian melahirkan suatu genre baru dalam sejarah budaya populer di Indonesia
khususnya sejak masa reformasi yakni genre budaya populer Islami atau
yang acapkali juga disebut sebagai ‘Islamisme populer’, baik dalam
literatur populer, kesusasteraan, film, acara-acara di televisi, dan konten
dakwah di media sosial. Oleh karena itu, penelitian saya ini ditujukan untuk
menelisik sejarah proses transformasi sosial dan budaya yang dipengaruhi oleh
gerakan Islam politik dimana majalah Ummi menjadi bagian penting dalam
mentransformasi Islamisme sebagai komoditas budaya populer di Indonesia. Di
sisi lain, budaya populer yang dibangun melalui industri media kapitalis
moderen pada gilirannya ternyata juga mempengaruhi pola dan bentuk gerakan
Islam politik khususnya di Indonesia sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998.
Secara umum, kajian budaya populer
biasanya terfokus pada upaya menelisik terbentuknya komoditas budaya massa,
misalnya proses penciptaan sebuah objek seni, hiburan atau rekreasi dan
kesenangan yang dikonsumsi oleh masyarakat luas.[2] Meski demikian,
hasil penelitian saya tentang majalah Ummi ini juga menunjukkan bahwa budaya
populer pada awalnya tidak selalu dikonstruksikan oleh industri kapitalis atau
oleh kepentingan para elit (kelompok yang berkuasa). Melainkan dapat muncul dan
disosialisasikan oleh kelompok yang sebelumnya berposisi subordinan. Dengan
kata lain, budaya populer merupakan ajang pertarungan kepentingan antara
kelompok yang dominan dengan kelompok yang subordinan yang baru muncul untuk
merebut ruang representasi budaya sehingga menjadi kekuatan yang dominan dalam
mempengaruhi perubahan sosial budaya. Berbagai kelompok yang berbeda dalam
percabangan kebudayaan akan terus-menerus memperebutkan ruang representasi
budaya sekaligus berebut jumlah penonton (konsumer) untuk menyampaikan ide dan
agenda mereka. Dalam perebutan ruang representasi budaya itu acapkali wujud
atau komoditas budaya yang ditawarkan berlawanan dengan kecenderungan arus
utama yang sebelumnya mendominasi produksi industri budaya.
Konsep tentang dominasi budaya oleh
industri kapitalis, para elit (kelompok yang berkuasa), atau kelompok yang
dominan terhadap bentuk-bentuk keyakinan atau kepercayaan, nilai dan adab
kebiasaan tertentu yang kemudian diterima secara sukarela sebagai norma umum dikemukakan
oleh Antonio Gramsci melalui konsep ‘hegemoni’. Menurut Gramsci, hegemoni tidak
terjadi dengan begitu saja, namun merupakan sebuah proses negosiasi dimana
berbagai kepentingan dan aspirasi saling berkompetisi untuk mencapai suatu
keseimbangan (equilibrium) melalui strategi yang secara esensial
menyuarakan kepentingan-kepentingan kelompok subordinan kepada kelompok
dominan.[3] Stuart Hall
merekonseptualisasi pendekatan Gramsscian untuk mengembangkan pemahaman baru
tentang tentang budaya populer sebagai suatu proses yang terus-menerus
berlanjut dan ditentukan oleh hubungan dinamis sebagai upaya mengontrol
subordinasi dimana suatu kebudayaan tertentu dapat dimenangkan atau bahkan
dikalahkan karena akomodasi kelembagaan. Karena itu, Hall berpendapat bahwa
versi bentuk budaya baru bukanlah sesuatu yang menetap. Budaya baru itu akan
selalu bergerak dan bertukar kepentingan dalam konstelasi gerakan dan relasi
kekuasaan.[4] Melalui pendekatan
Gramscian dalam kajian budaya (cultural studies), John Storey lebih jauh
berpendapat bahwa budaya populer bukanlah suatu budaya otentik yang bersifat
subordinatif, bukan pula suatu kebudayaan yang didiktekan oleh budaya dominan
(khususnya budaya industri), melainkan lahir dari suatu ‘keseimbangan
kompromis’ (a compromise equilibrium) yang mencampuradukkan keduanya
(budaya subordinan dan budaya dominan)[5] Hal ini berarti
bahwa mempelajari kebudayaan populer adalah suatu kerangka memahami
keseimbangan yang dikompromikan, yakni melihat bagaimana komoditas kebudayaan
disesuaikan dan dibuat bermakna melalui perilaku konsumsi (mengonsumsi
komoditas).[6]
Praktik dan simbol Islam di masa reformasi
lebih banyak muncul di media elektronik maupun media cetak. Fenomena inilah
yang mendorong pembentukan budaya dominan si Indonesia menjadi ke arah yang
dipengaruhi oleh interpretasi atas Islam moderen. Nilai-nilai dan simbol-simbol
Islam semakin menguat di ruang publik daripada sebelumnya. Visualisasi atas
interpretasi nilai Islam tersebut sekaligus membagi-bagi ruang sosial
berdasarkan kategori gender atau ruang sosial tersebut tersegmentasikan
berdasarkan gender. Pada saat yang bersamaan, ketika nilai-nilai dan
simbol-simbol Islam tersebut dikomodifikasi dan dikonsumsi dalam skala luas
–maka identitas Islam seakan menjadi ikon baru budaya populer di Indonesia.
Dalam konteks inilah, upaya memahami media dakwah (melalui studi etnografi saya
tentang majalah Ummi) ditujukan untuk menjelaskan bagaimana dakwah Islam yang
berbasis pada gerakan Islam politik (Islamisme) mampu menjadi salah satu
pendorong tercapainya ‘keseimbangan kompromis’ untuk menjadikan identitas Islam
sebagai budaya populer yang dominan dan hegemonik di Indonesia kini.
Menurut Noorhaidi Hassan (2009), munculnya
militansi ghirah (semangat) keislaman di Indonesia bertepatan
dengan momentum semakin meningkatnya simbol-simbol religius dan penyebaran
institusi-institusi Islam.[7] Gaya hidup baru
yang berkiblat pada ketekunan beribadah secara formal di ruang publik telah
menjadi fenomena keseharian khususnya bagi masyarakat urban di Indonesia masa
kini. Pakaian muslim yang khas, seperti misalnya jilbab, saat ini dikenakan
oleh banyak perempuan Muslim di Indonesia dengan gaya yang lebih trendi dan
beragam sehingga memberikan warna tersendiri dalam kebudayaan Indonesia.
Keshalehan Islami juga menjadi obyek komodifikasi yang dipopulerkan oleh para
ustad/ustadzah di televisi, film-film bertemakan Islam, dan konten media
sosial. Menurut Greg Fealy (2008), semakin meningkatnya komodifikasi Islam
terjadinya karena perubahan yang besar dalam faktor sosial-ekonomi, perubahan
teknologi dan budaya yang berlangsung selama lebih dari dua dekade terakhir di
Indonesia dimana keshalehan formal menjadi identitas baru Muslim di Indonesia
yang menganggap pelekatan identitas itu juga merupakan jaminan moralitas (yang
dianggap lebih baik di masyarakat) melalui pengayaan spiritual dengan cara
mengkonsumsi pengetahuan dan simbol-simbol Islam.[8]
Perkembangan Media dan
Gerakan Islam di Masa Reformasi
Pada masa Orde Baru majalah Ummi hanya
beredar di kalangan anggota gerakan tarbiyah dan beredar tanpa ijin terbit
remsi (beredah secara gerakan bawah tanah). Gerakan tarbiyah merupakan gerakan
sosial dan politik yang terinspirasi dan dipengaruhi oleh kelompok Ikhwanul
Muslimin yang berasal dari Mesir. Gerakan ini memperoleh simpati dari para
mahasiswa terutama di kampus-kampus negeri yang sekuler pada pertengahan
1980-an. Gerakan tarbiyah merupakan sebuah gerakan politik dan sosial yang
menekankan pentingnya ‘marhalah dakwah’ atau strategi dakwah untuk
mendirikan suatu Daulah Islamiyah (pemerintahan yang berdasarkan pada penerapan
syariat Islam). Gerakan ini muncul di Indonesia pada akhir 1970-an dan sangat
dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin yang terbentuk melalui gagasan imam Hasan
al-Banna (1906-1949) di Mesir. Di Indonesia, gerakan tarbiyah mulai berkembang
pesat dan memperoleh banyak pengikut pada tahun 1980-an dan 1990-an melalui
simpati dan dukungan dari para aktivis mahasiswa di beberapa universitas
ternama sebagai dampak dari kebijakan Orde Baru yang melarang gerakan politik
di kampus pada akhir tahun 1970-an. Pada akhir 1970-an tersebut, DDII (Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia) ikut membidani perkembangan gerakan tarbiyah dengan
memfasilitasi pelatihan bagi para aktivis dakwah kampus-kampus terkemuka.[1] DDII bahkan secara
khusus memfasilitasi perkenalan para pemuda Muslim itu pada ajaran-ajaran
ikhwani melalui penerbitan karya terjemahan salah satu buku tokoh ikhwani yang
sangat berpengaruh, Sayyid Qutb, yang berjudul ‘Ma’alim fi Al Tariq (Petunjuk
Jalan) pada tahun 1980. Pemikiran dan gagasan ikhwani pula yang membentuk
gerakan tarbiyah dan kemudian turut membidani kemunculan beberapa
majalah-majalah dakwah yang ditujukan untuk para mahasiswa di kampus-kampus di
seluruh Indonesia.
Pertumbuhan media massa setelah jatuhnya
Soeharto di awal masa reformasi dilahirkan dari undang-undang yang dikeluarkan
oleh Presiden B.J Habibie pada tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers. Sejak
saat itu pula, media massa mulai terbebas dari kontrol negara seperti sensor
dan propaganda. Akibatnya banyak sekali media massa bermunculan termasuk media
Islam yang juga menjamur, berkembang cepat, dan menjadi lebih
beragam.[2] Berkenaan dengan
keragaman media Islam, pengertian mengenai ‘media dakwah’ di sini bukan hanya
mendefinisikan apa arti Islam, melainkan juga ‘mengonstruksi’ nilai dan praktik
dakwah Islam sebagai suatu kepentingan yang bersifat politis. Dalam beberapa
kasus, media dakwah bahkan secara terang-terangan menyebarluaskan agenda-agenda
politiknya untuk membentuk suatu komunitas politis kaum Muslim untuk mendukung
gagasan tentang berdirinya ‘Daulah Islamiyah’ (pemerintahan
berdasarkan syariat Islam) atau ‘Khilafah Islamiyah’ (imperium
Islam). Media dakwah semacam itu misalnya diwakili oleh Sabili, Ar-Rahmah,
Voice of al Islam, dan lain-lain. Meskipun banyak media dakwah yang tumbuh dan
berkembang dengan cepat di awal masa reformasi, hanya beberapa dari media itu
yang masih bertahan hingga saat ini.[3] Majalah Ummi
karenanya adalah salah satu contoh dari banyak ‘media dakwah’ yang bukan hanya
mampu bertahan dari situasi politik yang penuh gejolak dan tidak stabil di era
reformasi, melainkan juga memiliki pengaruh penting dalam revolusi kebudayaan
di Indonesia yang mengutamakan pelekatan identitas Islam secara formal di ruang
publik.
Meskipun
bangkitnya militansi Islam setelah runtuhnya Soeharto di Indonesia telah diulas
oleh banyak cendekia, hanya beberapa dari mereka yang memperhatikan representasi
media Islam. Sebelum masa reformasi, hanya ada tiga penelitian besar tentang
media Islam yang dikerjakan oleh William Liddle (1993), Robert Hefner (1997),
dan James T. Siegel (2000). William Liddle secara khusus mengulas tentang
majalah ‘Media Dakwah’, suatu jurnal bulanan yang diterbitkan oleh DDII pada
tahun 1967 dengan tujuan untuk menelusuri perkembangan tradisi scripturalis anti
Kristen dan Yahudi di kalangan para aktivis dakwah. Sementara Robert Hefner
mengkaji kemunculan surat-kabar nasional beridentitas Islam, Republika, untuk
meneliti bagaimana Islam menjadi kekuatan politik dan sekaligus sebagai lawan
ideologi politik rezim Orde Baru Soeharto. James Siegel – mengikuti jejak
Liddle – meneliti diskursus anti Kristen dan Yahudi di beberapa media dakwah
lainnya. DDII adalah lembaga dakwah yang didirikan pada tahun 1967 oleh
Muhammad Natsir (1908-1993) yang sebelumnya pernah menjadi pemimpin Partai
Masyumi. Masyumi merupakan Partai Islam yang sangat penting pada masa awal
kemerdekaan Indonesia dan memperoleh suara yang banyak pada Pemilu 1955. Namun,
pada tahun 1960, Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno karena dituduh
melakukan percobaan kudeta. Semasa pemerintahan Soeharto, ajaibnya, majalah
Media Dakwah justru diedarkan secara ‘legal’ (memiliki ijin resmi) untuk
diedarkan ke khalayak umum. Hal itu dapat terjadi karena DDII dikooptasi oleh
militer dan menjadi saluran intelijen untuk kepentingan politik Orde Baru dalam
mengontrol kelompok-kelompok Islam (Liddle, 1993). Dalam konteks inilah DDII
memiliki peran penting dalam penyebaran pemikiran Islam radikal di Indonesia,
terutama melalui publikasinya. Meski demikian, William Liddle berpendapat bahwa
penyebaran pandangan Islam radikal tersebut belum tentu dapat menjadi suatu
kekuatan ‘politik radikal’ dikarenakan sikap DDII yang ambigu atau mendua
terhadap rezim Soeharto.
Setidaknya
ada lima media dakwah populer yang menjadi arus utama di masa awal reformasi
menurut Syamsul Rizal (2005) dan memiliki kesamaan idelogi Islam politik yaitu:
Sabili, Ummi, Annida, Tarbawi, dan Saksi. Majalah Sabili – diterbitkan pertama
kali pada awal 1980-an dan hanya bertahan satu edisi karena tekanan politik.
Namun, Sabili bisa bertahan sebagai majalah komunitas dan diterbitkan kembali
pada awal 1990-an sebelum akhirnya bangkrut hanya satu dekade setelah
reformasi. Majalah ini dianggap sebagai majalah Islam politik (Islamis) yang
pertama secara provokatif menyerukan perlunya melakukan kewajiban jihad secara
global. Menurut survei media AC Nielsen pada tahun 2004, majalah Sabili yang
terbit setiap bulan itu memiliki kurang lebih 80.000 pelanggan tetap. Angka ini
menempatkan Sabili sebagai salah satu majalah bulanan nasional yang terkenal di
Indonesia setara dengan majalah sekuler bulanan seperti Tempo.
Majalah Ummi – diterbitkan pertama kali tahun 1989 dan majalah komunitas
gerakan tarbiyah yang secara khusus ditujukan untuk kaum perempuan. Meskipun
secara umum cakupan majalah ini mirip dengan majalah Sabili, majalah Ummi
dianggap memiliki pendekatan yang lebih halus dalam menarasikan perlunya
berjihad. Majalah Annida – pertama kali terbit pada tahun 1991, di bawah
kepemilikan yang sama dengan Ummi. Majalah bulanan ini menyasar kaum muslim
muda atau remaja. Cakupan utama Annida adalah pada pengembangan identitas Islam
yang berdasarkan pada pandangan ikhwani tentang syariat Islam. Majalah Tarbawi
– diterbitkan sesaat setelah kelahiran partai Islamis, Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) di tahun 1999. Tarbawi meliput bagaimana ‘gerakan tarbiyah’,
melakukan pendidikan dan pelatihan untuk para aktivis dakwah. Majalah Saksi –
merupakan majalah Islam politik yang menggarisbawahi pentingnya penerapan
syariah Islam untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial di Indonesia.
Menurut Syamsul Rizal (2005) media dakwah tersebut memiliki tiga kesamaan.
Pertama, isu-isu dan pendapat-pendapat yang ditonjolkan sejalan dengan ideologi
gerakan tarbiyah. Kedua, banyak penulis dan tokoh Muslim yang diliput memiliki
latar belakang keterlibatan di dalam gerakan tarbiyah atau memiliki hubungan
dengan PKS. Ketiga, kepemilikan media dakwah tersebut saling terkait satu
dengan yang lainnya.[4]
Budi Irawanto (2011) berpendapat bahwa
beragamnya penerbitan media Islam di masa awal reformasi merupakan refleksi
dari beragamnya organisasi Islam di Indonesia. Karena itu perlu untuk mencari
berbagai kepentingan (politik, ekonomi, juga budaya) dari media Islam dan
organisasi-organisasi Islam yang terlibat di dalamnya berkenaan dengan
interaksi mereka dengan negara.[5] Di sisi lain,
berbeda dengan di masa Orde Baru, para penganut ideologi ikhwani yang
dimunculkan oleh gerakan tarbiyah saat ini justru mewakili ekspresi budaya
Islam yang populer dan trendi. Penelitian Najib Kailani (2008) misalnya,
menjelaskan tentang bagaimana revolusi budaya Islam di Indonesia diinisiasi
oleh para aktivis gerakan tarbiyah melalui suatu organisasi bernama Forum
Lingkar Pena (FLP) yang didirikan pada tahun 1997. Para pendiri dan anggota FLP
bahkan secara aktif pernah ikut terlibat dalam produksi majalah Ummi dan
Annida. FLP pada awalnya bertujuan untuk mengedukasi para penulis pemula untuk
menjadi bagian dari gerakan tarbiyah. Mereka menyebarkan nilai-nilai Islam baru
yang populer dengan menerbitkan cerita pendek, essai, dan komik terutama untuk
diterbitkan di majalah Annida yang menarik bagi para remaja Muslim. Najib
Kailani juga mengungkapkan bahwa gerakan tarbiyah kontemporer lewat
terbitan-terbitan FLP telah mengenalkan istilah-istilah ‘baru’ misalnya
penggunaan istilah ‘ikhwan’ untuk menggantikan istilah ‘cowok’,
dan ‘akhwat’ untuk menggantikan ‘cewek’. Pelabelan
ini digunakan untuk referensi budaya atau sebagai kode moral yang membedakannya
dari majalah-majalah populer sekuler lainnya yang ditujukan untuk remaja. Kode
moral itu menunjukkan bahwa istilah ‘ikhwan’ dan ‘akhwat’ dibangun sebagai
pembedaan remaja laki-laki dan remaja perempuan yang shaleh (‘baik dan
beriman’). [6]
Peran Aktivis Dakwah Perempuan dalam
Gerakan Tarbiyah
Metode dakwah yang
dikenalkan gerakan tarbiyah mengacu pada metode pendidikan, indoktrinasi dan
kaderisasi Ikhwanul Muslimin (ikhwani). Metode ini menerapkan kegiatan
bimbingan keagamaan yang diajarkan di dalam lingkaran yang disebut ‘usrah’
untuk mempersiapkan para remaja muslim untuk menjadi ‘Muslim yang ka’afah’ (sempurna).
Kegiatan bimbingan ini juga dibedakan berdasarkan gender di dalam lingkaran
kecil atau yang disebut sebagai ‘halaqah’ yang dalam bahasa Arab
berarti ‘lingkaran’. Biasanya dalam kegiatan bimbingan ini ada seorang ‘murabbi’ (pembimbing/mentor)
dan lima sampai sepuluh ‘muttarabbi’ (murid/pengikut). Murabbi
merupakan seseorang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang ajaran Islam,
sejarah Nabi Muhammad dan Salaf al Salih atau sahabat para
nabi, serta sejarah peradaban dan gerakan Islam.[1]
Ketika setiap murid
berhasil menyelesaikan proses pembelajaran atau mentoring, mereka diharapkan
bisa menjadi murrabi baru dan membuat halaqoh lain, kemudian memiliki otoritas
untuk merekrut muttarabi (kader) yang baru. Yon Machmudi (2006) menjelaskan
bahwa anggota halaqah diwajibkan untuk memperkuat kapasitas keagamaan dan
ketakwaan mereka dengan menyeru kepada yang lain termasuk teman dan kerabat
mereka untuk mencermati semua kewajiban keagamaan.[2] Sebagian besar
bahan ajar mengacu pada materi yang disusun oleh Ikhwanul Muslimin, terutama
yang berasal dari imam Hasan al Banna yang menekankan pembentukan moralitas
individual, ketakwaan dan disiplin. Sebagai tambahan bahan ajar tersebut,
acapkali berlangsung indoktrinasi untuk menolak ideologi lain diluar Islam.
Artinya, kegiatan pendampingan tersebut tidak hanya ditujukan untuk pemurnian
Islam, namun juga sebagai sarana untuk merekrut kader baru bagi gerakan
tarbiyah. Perekrutan kader-kader baru tersebut dilakukan menurut
prinsip-prinsip utama yang berasal dari ajaran Hasan al Banna yang dikenal
sebagai Arkan al Bayah (Prinsip-prinsip Kesetiaan). Para
anggota para kader dan simpatisan diuji melalui beberapa proses pendampingan
sehingga mereka meraih kualifikasi yang sudah ditentukan. Antara lain yakni:
keyakinan yang tidak terkontaminasi (salim al a’qidah), beribadah yang
benar (salim al ‘ibadah), moralitas yang sempurna (matin al khulq),
kemampuan untuk bekerja keras atau produktif (qadirun ‘ala-al kasb),
pengetahuan yang luas (muthaqqafah al fikr), tubuh yang sehat dan kuat (qawiyy
al jism), ulet (mujahidun li nafsih), kemampuan untuk menunjukkan
kepemimpinan yang baik di segala bidang (munazzam fi shu’nih), ketepatan
dalam bertindak (harisun ‘ala waqtih), dan menunjukkan bahwa dirinya
mampu bermanfaat bagi orang lain (nafi’un li ghayrih).[3] Melalui prinsip
ajaran ikhwani itulah gerakan tarbiyah terbentuk sebagai suatu gerakan yang
memiliki militansi di dalam tindakan sosial. Meskipun demikian, gerakan
tarbiyah di Indonesia bukanlah suatu bentuk “fotokopian” yang sama
persis seperti gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang secara historis
melegitimasi penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik mereka yang
bersifat pragmatis.[4] Di dalam kerangka
pengajaran individu melalui gerakan tarbiyah, perubahan individual menjadi
lebih Islami berarti bahwa seseorang bukan hanya menerima nilai-nilai moral
ajaran Islam dengan tegas, namun juga mengadopsi identitas baru yang membedakan
jati dirinya dengan jelas dari yang orang atau kelompok lain (termasuk Muslim
lainnya).
Pengadopsian identitas
baru di antara para anggota gerakan tarbiyah tampak dengan jelas pada kewajiban
kaum perempuan untuk mempraktikkan hijab., salah satunya dengan mengenakan
jilbab ‘syar’i’ yang menutup seluruh tubuh. Suzanne Brenner
(1996) berpendapat bahwa pemakaian jilbab terutama di Jawa menyiratkan suatu
kesadaran historis baru, yang dengan sengaja menjauhkan diri dari sejarah lokal
sebagai ‘orang Jawa’ di masa lalu. Masih menurutnya, sejarah lokal di masa lalu
merupakan kombinasi antara pengaruh Islam dengan budaya Jawa atau budaya yang
sudah ada sebelumnya, sesuatu yang bersifat ‘sinkretis’ dan oleh kebanyakan
aktivis dakwah dianggap tidak sesuai dengan konsep mereka dalam mempraktikkan
pemurnian ajaran Islam. Menurut Suzzane Brenner upaya untuk memisahkan diri
dari konteks sejarah masa lalu dengan mempraktikkan hijab di kalangan para
aktivis dakwah perempuan mewakili suatu metafora atas gambaran kelahiran diri
kembali sebagai seseorang yang sejalan dengan kesaradaran baru atas
doktrin-doktrin Islam yang dianggap mampu memberikan kepastian tujuan hidup
(dianggap lebih visioner). Dengan kata lain, kesadaran visioner untuk membentuk
diri kembali lewat ketaatan dan disiplin pada doktrin-doktrin Islam yang
bersifat politis. Pencarian identitas moderen justru dilakukan dengan
mempraktikkan hijab dan menandai rekonstruksi diri dan rekonstruksi sosial
melalui disiplin diri (disiplin tubuh maupun mental) secara individual dan
kolektif.[5] Gerakan tarbiyah
yang dimulai di pulau Jawa dan akhirnya berkembang di seluruh Indonesia justru
lebih banyak didukung oleh kalangan masyarakat kelas menengah urban terpelajar
daripada kelas bawah tradisional. Hijab karenanya dianggap sebagai suatu hijrah (peralihan
– perpindahan diri) sesuatu yang bukan hanya bersifat istimewa, tetapi juga
menjadi identitas moderen alternatif untuk melawan modernitas sekuler. Gagasan
Suzzane Brenner yang dilandasi oleh paradigma Foucauldian ini menunjukkan bahwa
proses pendisiplinan tubuh yang membatasi kaum perempuan untuk mengekspresikan
identitas dan seksualitas mereka melalui praktik hijab di kalangan para aktivis
dakwah perempuan di Indonesia lebih merupakan suatu keputusan mandiri yang
bersifat sukarela, bukan suatu paksaan. Meskipun pengkondisian untuk
mempraktikkan hijab menjadi bagian dari kewajiban utama para kader gerakan
tarbiyah.[6] Mengenakan jilbab
di ruang publik di masa kekuasaan Orde Baru justru menjadi sesuatu yang
problematik seperti misalnya di sekolah dan tempat kerja. Larangan untuk
mengenakan jilbab di sekolah umum oleh rezim pemerintah Orde Baru terjadi pada
tahun 1990 dan memancing perlawanan atau sentimen anti pemerintahan Soeharto di
kalangan umat Muslim di seluruh Indonesia pada saat itu. Suatu momentum yang
akhirnya juga membuat rezim Soeharto pada gilirannya bersedia mengakomodasi
bentuk keshalehan Islam sejak awal 1990an. Meskipun larangan berjilbab tersebut
kemudian akhirnya dicabut pemerintah Orde Baru, Suzzane Brenner (1996)
menemukan bahwa norma sosial untuk menghindari memakai jilbab masih tetap
dijalankan oleh sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa pada masa itu.[7] Robert Hefner
(1993) berpendapat bahwa rezim Soeharto melihat ‘jilbab’ sebagai salah satu
bentuk adopsi dari ‘identitas Islam radikal’. Sehingga, memakai jilbab
merupakan salah satu cara simbolik untuk melawan kontrol otoriter Orde Baru
terhadap identitas Islam yang ditindas oleh negara. Sesuatu yang justru semakin
menumbuhkan rasa simpati di kalangan terdidik seperti mahasiswa dan terutama
kaum perempuan muda yang kemudian bergabung menjadi aktivis dakwah perempuan
dalam gerakan tarbiyah.[8] Berbeda dengan
pada masa kepemimpinan rezim Soeharto (ketika ekspresi identitas Islam seperti
jilbab diasosiasikan dengan ‘Islam radikal’), maka saat ini dalam lanskap
budaya kehidupan sehari-hari, pemakaian jilbab justru meluas pemaknaannya dan
juga semakin beragam. Meskipun esensi simbolisnya tetaplah sama, yakni mewakili
suatu bentuk keshalehan personal. Gaya hidup baru yang berdasarkan pada
kepatuhan dalam menerapkan nilai-nilai keagamaan saat ini menjadi fenomena
urban dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Aktivisme Islam yang
mewakili ideologi ikhwani di masa reformasi justru mencapai keberhasilan
puncaknya dalam transformasi sosial budaya justru melalui industri media
kapitalis moderen, bukan melalui domain aktivisme politik praktis atau melalui
medan politik elektoral di parlemen atau pemerintahan. Justru melalui
representasi media-lah para aktivis dakwah perempuan menjadi lokomotif utama
perubahan ini. Kisah sukses kelompok penulis Forum Lingkar Pena (FLP) yang juga
berkaitan dengan keberadaan majalah Ummi misalnya, mewakili keberhasilan
aktivisme Islam sebagai suatu gerakan sosial yang secara revolusioner mengubah
landskap budaya di Indonesia hanya kurang dari dua dekade saja. Beberapa tokoh
terkemuka FLP seperti Helvy Tiana Rosa dan adiknya Asma Nadia, misalnya, pernah
digembleng di dalam produksi majalah Ummi dan Annida (PT Insan Media Pratama).
Helvy sendiri merupakan kepala editor di Annida ketika ia dan adiknya
mendirikan FLP pada tahun 1997. Kemudian setelah sukses, Helvy dan Asma memilih
berkarir secara independen dan membidani kelahiran genre baru kesusasteraan
Indonesia yang dikenal sebagai genre sastra Islami. Baik Helvy maupun Asma
menjadi populer di Indonesia lewat karya fiksi mereka yang ditulis dengan
menggabungkan gaya bahasa populer dan ajaran-ajaran ikhwani dalam bentuk cerita
pendek, novel, chick-lit dan berbagai essai untuk memotivasi
perempuan muda supaya menjadi saleh dan gigih ketika mereka sendang mencari
jati diri atau pencapaian diri, moderen dan kosmopolitan (mampu berkeliling
dunia). Salah satu contoh karya Asma Nadia yang terkenal dan diangkat ke layar
lebar adalah ‘Emak ingin Naik Haji’ (2009. Dengan adanya kesempatan yang
terbuka untuk mempraktikkan dakwah melalui pendidikan dan media, peranan para
aktivis dakwah perempuan menyumbang sesuatu yang penting dalam mewarnai dinamika
baru gerakan tarbiyah, yakni mampu beradaptasi ke dalam sistem kapitalisme
pasar bebas sehingga karya-karya mereka diadopsi bahkan oleh industri media
sekuler dan karenanya bisa lebih menjangkau dan berpengaruh di masyarakat luas.
Dalam konteks inilah media dakwah bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk
memperoleh simpatisan yang mendukung gerakan tarbiyah, melainkan juga berfungsi
untuk membentuk identitas Islam alternatif sehingga tersebar luar dan menjadi
‘panutan’ bagi publik Muslim. Identitas alternatif yang ditawarkan melalui
media dakwah merepresentasikan gambaran untuk motivasi ‘memeluk Islam kembali
secara benar’ (mengislamkan kembali para Muslim) melalui pembentukan
kepribadian yang mengacu pada kemerdekaan diri untuk meraih masa depan berdasarkan
prinsip nilai-nilai moral Islam. Kesadaran semacam itu yang ditawarkan oleh
media dakwah dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi dikonstruksi lewat
cara-cara konvensional, seperti misalnya terlibat langsung menjadi anggota
gerakan tarbiyah seperti di masa lalu. Melainkan dikonstruksikan melalui ritual
konsumsi dan pembelajaran Islam secara mandiri (self-help) dimana
komodifikasi Islam berlangsung melalui media dan pasar turut berperan dalam
mengkonstruksi proses internalisasi nilai-nilai Islam baru yang dominan
tersebut di dalam keseharian banyak Muslim di Indonesia. Dengan menjadi
konsumen dari ‘identitas Islam baru yang lebih murni’ ini, nilai-nilai moral
Islam politik disosialisasikan melalui transformasi perilaku personal – dan
diadopsi masyarakat khususnya publik Muslim sebagai cara pandang moralitas
publik yang dominan.
Catatan Kaki
[1] Bruinessen, van (2002), Kailani (2010).
[2] Machmudi, Yon. (2006). Islamizing
Indonesia: The Rise of Jamaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS).
Canberra, Australian National University. PhD Thesis, hlm. 67.
[3] Mahmudi, Yon (2006). Op.cit hlm. 63
[4] Bruinessen, van (20020 dan Machmudi
(2006), keduanya berpendapat bahwa gerakan tarbiyah di Indonesia memiliki
karakteristik yang berbeda yang menekankan pada pengembangan moral individu dan
meningkatkan ketakwaan secara umum daripada membangun jejaring internasional
atau kesetiaan terhadap Persaudaraan Muslim. Meski demikian, pernyataan tokoh
Ikhwanul Muslimin terkemuka seperti Yusuf Qardhawi menunjukkan bahwa PKS – yang
berasal dari gerakan Tarbiyah – memiliki hubungan erat dengan kader-kader
Ikhwanul Muslimin di Mesir (lihat Qaradawi, Yusuf. 2001. Umat Islam
Menyongsong Abad ke-21. Solo: Era Intermedia, hlm. 92).
[5] Brenner, Suzanne, 1996. ‘Reconstructing
Self and Society: Javanese Muslim Women and the Veil.’ American
Ethnologist 23 (4): hlm.256-266.
[6] Ibid.hlm. 673-97
[7] Brenner (1996). Op Cit. hlm. 685.
[8] Hefner, Robert. 1993. ‘Islam, State and
Civil Society: ICMI and the Struggle of Indonesian Middle Class’. Indonesia 56:
hlm. 1-35.
[1] Bubbalo dan Fealy, 2005. Joinining
the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia. Sydney: Lowly
Institute for International Policy; Hefner, Robert. 2000. Civil Islam:
Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University
Press
[2] Rizal, Syamsul. 2005. Op Cit. hlm. 428.
[3] Irawanto, Budi. 2011. “Riding Waves of
Change: Islamic Press in Post Authoritarian Indonesia”, dalam Krishna Sen and David
T. Hill (ed), Politics and the Media in 21th Century Indonesia-Decade
of Democracy. London: Routledge, hlm. 67-69.
[4] Rizal, 2005. ‘Media and Islamism in
Post-New Order Indonesia: The Case of Sabili’, Studia Islamika,
Vol. 12. No. 3: 431.
[5] Ibid.
[6] Kailani, Najib. 2008. ‘Budaya Populer
Islam di Indonesia: Jaringan Dakwah Forum Lingkar Pena’, Sosiologi Reflektif Vol.
2, No. 3.
[1] Lim, Merliyna. 2011. @Crosroads:
Democratization and Corporatization of Media in Indonesia (http://participatorymedia.lab.asu.edu/files/Lim_Media_Ford_2011.pdf).
Diakses 30 Oktober 2013
[2] Strinati, Dominic. 2004 (1995). An
Introduction to Theories of Popular Culture (2nd Edition). London/New
York: Routledge, hlm. 120-121
[3] Gramsci, Antonio. 1992 (1971). Selection
from the Prison Notebooks (Transl. Hoare & Smith). New York:
International Publisher, hlm.161.
[4] Hall, Struart. 1997 (1981). ‘Notes on
Desconstructing the Popular’. Dalam Storey, John (ed). 1997. Cultural
Theory and Popular Culture: A Reader. Athens: University of Georgia Press,
hlm.442-453.
[5] Storey, John. 2010. Culture and
Power in Cultural Studies: The Politics of Signification. Edinburg:
Edinburg University Press, hlm. 50
[6] Ibid.
[7] Hasan, Norhaidi. 2009. “The Making of
Public Islam: Piety, Agency and Commodification on the Landscape of the
Indonesia Public Sphere”, Journal of Contemporary Islam Vol.
3: 230.
[8] Fealy, Greg. 2008. “Consuming Islam:
Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia”, dalam
Fealy and White (ed), Expressing Islam: Religious Life and Politics in
Indonesia. Singapore: ISEAS, hlm. 15-29.
Daftar Pustaka
Hasan, Norhaidi.
2009. “The Making of Public Islam: Piety, Agency and Commodification on the
Landscape of the Indonesia Public Sphere”, Journal
of Contemporary Islam Vol. 3: 230.
Lim, Merliyna. 2011. @Crosroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia
(http://participatorymedia.lab.asu.edu/files/Lim_Media_Ford_2011.pdf). Diakses
30 Oktober 2013.
Norma Permata,
Ahmad. 2010. ‘The Prosperous Justice Party and the Decline of Political Islam
in the 2009 Election in Indonesia’, dalam Medinier Remy, 2010 (ed.), Islam and the 2009 Indonesians Election,
Political and Cultural Issues: the Case of Prosperous Justice Party (PKS).
Bangkok: IRASEC.