Tuesday, April 13, 2010

Identitas Politik dan Multikulturalisme dalam Proses Re-Imajinasi Indonesia

Identitas Politik dan Multikulturalisme dalam Proses Re-Imajinasi Indonesia 

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas 

Latar Belakang 

Bayangkanlah ketika kita menjadi seorang warga dunia (cosmopolitan) dan terpaksa meninggalkan ‘tanah air’ merantau ke negeri orang. Ini misalnya dimungkinkan karena peperangan, masalah ekonomi, atau kehendak untuk mencari kehidupan yang jauh lebih baik seperti memperoleh pendidikan dan juga lapangan kerja, telah memisahkan kita dari sanak keluarga dan rumah dimana kita pernah lahir dan dibesarkan. Pertanyaan yang sering datang pada kita sebagai “orang asing” di negeri orang adalah, “Where are you from?”, maka kita akan menjawabnya dengan, “Indonesia”. Ikatan kita pada apa yang kita sebut sebagai suatu “bangsa” seringkali dikonotasikan dengan ikatan darah (blood), tempat kelahiran (birth), atau keturunan (ancestry). Ikatan semacam inilah yang membatasi kita mendefinisikan suatu bangsa dalam suatu lingkup teritorial atau lingkup budaya tertentu (a sense of territorial fixity and cultural limits). Studi Ben Anderson (1983) menegaskan bahwa ikatan-ikatan semacam inilah yang kemudian menjadi embrio lahirnya sebuah “bangsa”, apa yang kemudian disebutnya sebagai “imagined communities”. Karenanya rasa kebangsaan seseorang seringkali merupakan suatu ikatan atas kelangsungan hidup suatu komunitas dalam jangka waktu yang panjang (a sense of longevity), ikatan atas sejarah bersama yang terjadi di masa lampau (a sense of belonging to a history drawn from ancient times). Rasa kebangsaan semacam inilah yang oleh Anderson menandai lahirnya suatu negara-bangsa (nation-state) dimana ikatan dan keanggotaan seseorang pada negara-bangsa bukan hanya dikonstruksikan secara politis, tetapi lebih merupakan suatu konstruksi kebudayaan yang dipraktekkan melalui ritual dan simbol-simbol seperti; bendera nasional, upacara bendera, lagu kebangsaan, peringatan hari nasional, semuanya tujukan untuk menyampaikan makna, yakni ikatan-ikatan sebagai satu bangsa. Tesis Ben Anderson memperkaya diskursus dalam studi mengenai negara-bangsa (nation-state) yang semula hanya memfokuskan analisis negara-bangsa sebagai suatu instusi politik dimana didalamnya ada suatu pemerintahan yang berdaulat atas suatu ruang teritorial yang didiami oleh suatu komunitas bernama bangsa . Anderson memperluas daya jangkau analisisnya dari sekedar suatu pengamatan empirik sebuah komunitas berwujud negara-bangsa menuju suatu kajian yang bersifat antropologis dan sosiologis. Anderson menjelaskan bahwa ada hal-hal yang membatasi proses “mengimajinasikan suatu bangsa”. Ini berkenaan dengan batasan-batasan untuk membedakan “kita” dan “mereka”, yakni yang kemudian menjadi kategori untuk mengatakan “siapa yang menjadi milik atau anggota suatu komunitas bernama bangsa dan siapa yang bukan.” Sehingga dapat dikatakan bahwa proses “othering” atau “membedakan yang lain”, merupakan suatu proses yang inheren dalam perkembangan suatu bangsa. Menurutnya, pengertian mengenai bangsa juga mengindikasikan suatu identitas kolektif yang membedakan satu bangsa dengan bangsa yang lainnya. Selain memberi “penanda” yang membedakan, proses mengimajinasikan suatu bangsa juga dilakukan melalui wujud “berdaulat (sovereign)”, dimana tidak ada legitimasi kekuasaan yang tertinggi, kecuali klaim atas nama “Tuhan” yang seringkali dilegitimasi dalam suatu komunitas bangsa sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, sebagaimana tercantum dalam berbagai konstitusi nasional. Berbasis pada legitimasi inilah, kemudian negara melakukan berbagai tindakan yang diatasnamakan sebagai kepentingan nasional (acts for national interests). Penjelasan Anderson mengenai “nation” ini, membantu kita memahami kekuatan (power) nasionalisme sebagai salah satu kekuatan besar (force) di dunia. Rasa kebangsaan (nasionalism) kemudian dibangun berdasarkan emosi dan komitmen yang menyatukan orang, khususnya di masa-masa krisis (perang atau tragedi), atau berbagai kejadian yang memberikan suatu status khusus bagi identitas nasional (momentum sejarah tertentu). Secara umum, bagi kebanyakan kita yang hidup di dunia modern, bangsa dimana kita dilahirkan juga menjadi bagian identitas bagi diri kita sendiri. Dapat dikatakan, bahwa pengertian “nation” bervariasi dari konstruksi sosial dan politik ke konstruksi ikatan-ikatan sejarah dan primordial. Ketika pengertian mengenai bangsa kemudian dilekatkan pada negara, maka ini mengacu paka pengaturan-pengaturan politik (political arrangements) dimana sekelompok orang diikat oleh ideologi, persamaan-persamaan, penciptaan dan memelihara identitas yang kemudian dipraktekkan melalui norma-norma internal dan sistem organisasi. Dari praktek kultural semacam ini, maka makna yang dilahirkan menciptakan suatu semangat kebangsaan (nasionalisme) dan dari situlah kemudian kita mengidentifikasikan diri secara personal ke dalam suatu komunitas negara-bangsa. Karenanya, ketika kita mendefinisikan diri kita pada orang asing, maka kita akan memulainya dengan mengatakan semacam ini, “I am Indonesian”, sebelum kita mendeskripsikan hal-hal lain mengenai diri kita sendiri.

 

Imagined Communities dan Tantangan Baru bagi Nasionalisme Indonesia

Meskipun thesis Anderson telah membuka cakrawala baru bagi studi yang lebih dinamis mengenai nation-state, muncul sebuah perdebatan baru dalam menerjemahkan fenomena mutakhir tentang “nation” atau yang oleh Anderson disebut sebagai “imagined communities”. Jika Anderson menegaskan bahwasanya rasa kebangsaan (a sense of nationalism) kemudian berwujud pada identifikasi yang membedakan suatu komunitas negara-bangsa, maka proses identifikasi ini dibatasi oleh batasan-batasan teritorial (territorial landscape), dikarenakan nasionalisme kemudian dipraktekkan sebagai wujud dari komitmen individu kepada negara. Perdebatan ini muncul dipertengahan tahun 1990-an yang diinisiasi oleh Ulf Hannerzt (1996) dan juga oleh Arjun Appadurai (1997). Kedua-duanya mengatakan bahwa proses mengimajinasikan bangsa (the process of imagining nation) tidak lagi dapat dibingkai oleh batasan-batasan teritorial Hannerzt berargumen bahwa nasionalisme yang dibangun dari basis ikatan primordial dan karenanya menjadi sumber legitimasi bagi suatu negara (state), sebagaimana yang dikemukakan oleh Anderson, tidak dapat lagi terus dipertahankan. Ini dikarenakan eksistensi “nation-state” tidak lagi dapat menjadi sumber bagi proses mengimajinasikan suatu komunitas dikarenakan efek ambigu yang diciptakan oleh globalisasi dan juga struktur transnasional, yang disatu sisi tetap memperluas dan mempertahankan ikatan-ikatan kolektif atas masa lalu (enduring collective past), tetapi juga sekaligus berdampak pada proses penterjemahan kembali ikatan-ikatan tersebut, dimana makna baru yang muncul melampaui batasan-batasan mengenai kebangsaan (nationhood). Pemaknaan baru ini seringkali menimbulkan konflik klaim atas wujud nasionalisme seperti loyalitas pada negara atau loyalitas pada bangsa (kemanusiaan). Dengan demikian, persoalan identitas nasional menjadi jauh lebih kompleks daripada sebelumnya. Appadurai melanjutkan thesis Hannerzt, bahwa kemunculan masyarakat transnasional (transnational society) yang beroperasi melampaui batas-batas geografis nasional kemudian mengeksplorasi legitimasi negara dan mempertanyakan pengertian apa yang dimaksud sebagai ‘bangsa’. Praktek ketidakadilan politik, kesenjangan sosial dan ekonomi yang berlangsung di tempat asal tanah air bagi sekelompok orang yang tercerabut dari tanah air-nya tersebut telah menggalang suatu komunitas politik tanpa negara dimana mereka menjalankan suatu organisasi pemerintahan di negara lain. Kelompok-kelompok seperti ini mengorganisir isu dan menggalang diplomasi bagi tekanan internasional yang seringkali menggunakan isu dan klaim atas praktek pelanggaran kemanusiaan (human rights violation) yang berlangsung di tanah air asal mereka. Ini misalnya dicontohkan bagi komunitas transnasional dari suku bangsa Kurdi di Jerman, atau kelompok India Tamil di pengungsian, dan bahkan komunitas imajiner (immagined communities) orang-orang Cina perantauan (Huaqio / Huaaren) yang tersebar di pelosok dunia dan menggalang kampanye menentang praktek rasisme terhadap minoritas etnis Cina di Indonesia pada tahun 1998, misalnya. Masyarakat transnasional semacam ini pada awalnya muncul dikarenakan situasi yang terpaksa (forcibly reason) seperti akibat perang atau pertikaian politik, maupun juga secara sukarela (voluntary diaspora), sehingga mereka seringkali tercerabut dari tanah airnya (uprooted) dan melakukan perpindahan diasporik ke berbagai tempat di dunia. Karenanya menurut Appadurai, bentuk-bentuk masyarakat imajiner (imagined communities) baru yang bukan berwujud institusi negara (stateless) dalam situasi global sekarang ini merupakan tantangan baru bagi setiap nation-state yang tetap memelihara legitimasinya melalui penciptaan mitos-mitos tentang nasionalisme dan juga praktek kultural dalam mempertahankan kohesi sosial dan politiknya. Penjelasan Appadurai menarik untuk menjelaskan bagaimana fenomena tentang kohesi sosial dan politik nation-state saat ini di berbagai tempat di dunia telah mengalami apa yang disebut sebagai “krisis legitimasi nasional”. Di Indonesia misalnya, konflik separatis yang muncul di beberapa tempat, misalnya di Aceh atau di Papua, ditengarai oleh gerakan kelompok-kelompok diasporik seperti; kelompok Hasan Tiro di Swedia yang memimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua New Guinea dan di Australia. Lepasnya Timor-Timor (East Timor) dari kedaulatan RI, merupakan salah satu contoh dimana gerakan diasporik yang bersifat transnasional, bukan hanya mampu mendorong tekanan internasional atas praktek politik yang berlangsung di sebuah negara, tetapi sekaligus memunculkan sebuah wujud solidaritas baru dari komunitas tersebut dan memunculkan identifikasi-identifikasi baru bagi ikatan komunitas ini. Tantangan baru bagi kohesi sosial dan politik menjadi persoalan yang problematik bagi kelangsungan suatu negara bangsa dimanapun di dunia. Ini tidak lain berkenaan dengan legitimasi yang digunakan bagi ikatan-ikatan primordial seringkali berbasis pada catatan atau dokumen-dokumen resmi yang kemudian dinamakan sejarah resmi (official history). Sedangkan klaim atas kebenaran relatif suatu sejarah dalam masyarakat yang mulai mengalami keterbukaan informasi menjadi perdebatan baru yang tidak kalah pentingnya bagi sumber mengimajinasikan kembali ikatan-ikatan nasional dan sekaligus juga ancaman bagi legitimasi negara atas ikatan-ikatan primordial sebelumnya. Runtuhnya Orde Baru di tahun 1998 menandai terbukanya iklim demokratis dan kemajuan teknologi telah memungkinkan sebagian besar masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi. Karenanya, sebagian legitimasi sejarah yang di masa rezim Soeharto merupakan sumber legitimasi bagi kekuasaan dan sekaligus menjadi interest nasional untuk menjaga kohesivitas sosial dan politik banyak dipertanyakan orang dan menjadi pembicaraan publik. Konstruksi identitas nasional bagi bangsa Indonesia sebagai sebuah negara bangsa moderen memang dalam kurun sejarahnya selalu bersifat paradoks. Sejarah moderen Indonesia sebagai negara bangsa memang merupakan produk yang lahir pasca kolonialisme di awal abad 20. Sebelumnya, imajinasi bahwa rangkaian pulau-pulau di Nusantara (archipelago) ini dapat bersatu menjadi suatu komunitas, berbahasa yang sama dan juga membagi sejarah pengalaman bersama merupakan hal yang mungkin tidak pernah terduga sebelumnya dalam benak bangsa-bangsa penjajah (the colonisers). Oleh karena itu, thesis Ben Anderson yang secara khusus mengamati proses nation-building di Indonesia menjadi amat menarik untuk menjelaskan munculnya negara-negara bangsa moderen pasca kolonialisme. Di era pasca kolonial memang banyak negara bangsa baru yang muncul, tetapi apa yang membedakan Indonesia dengan negara pasca kolonial semacam Cina atau India, adalah karena dokumen-dokumen resmi dalam catatan sejarah tidak pernah mengatakan adanya suatu negara atau komunitas bangsa bernama “Indonesia”. Ini tidak lain karena hegemoni kolonialisme pemerintah Hindia Belanda amat mempengaruhi apa yang konsumsi pengetahuan masyarakat dunia tentang sejarah apa yang berlangsung di serangkaian pulau di Nusantara ini. Oleh karena tujuan untuk melakukan proses nation-building menjadi basis bagi kepentingan politik yang amat kuat, maka dalam kelahirannya sebagai suatu negara bangsa moderen, proses identifikasi nasional dan sekaligus konstruksi mitologis dan praktek kebudayaan yang ditujukan bagi kepentingan nasional selalu diwarnai oleh “pertarungan-pertarungan” diantara elit politik, baik di kurun masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Apa yang menjadi basis bagi identitas nasional kemudian menjadi persoalan bagi pertarungan wacana dan karenanya, wacana yang dominanlah yang menjadi basis landasan bagi konstruksi identitas nasional Indonesia, sehingga seringkali apa yang menjadi wacana bagi kelas penguasa (rezim) selalu identik dengan proses melegitimasi sumber-sumber imajinatif bagi konstruksi rasa kebangsaan (nasionalisme). Dalam prakteknya, semua ritus dan simbol nasional secara tidak langsung memang ditujukan untuk mengabdi pada kepentingan elit penguasa. Runtuhnya rezim Soeharto menandai suatu krisis baru identitas nasional, dikarenakan maraknya berbagai konflik berbasis sentimen keagamaan, rasial, dan juga konflik etnis. Berbagai tantangan baru ini kemudian memunculkan perdebatan mengenai bagaimana memaknai kembali ikatan-ikatan kita pada negara-bangsa, atau bagaimana memunculkan sumber-sumber baru bagi legitimasi kelangsungan suatu negara bangsa. Sebagai respon atas pertanyaan tersebut, ada dua topik perdebatan yang kemudian muncul, yakni ideologi apa yang masih dapat dipertahankan sebagai sumber ikatan lama yang mempersatukan bangsa Indonesia, dan praktek nasional apa yang dapat mempertahankan kohesivitas sosial dan politik di Indonesia. Ideologi politik dan juga doktrin negara masih dianggap memiliki kontribusi yang relevan dalam menyediakan cara-cara mengorganisir dan mengontrol agenda publik sekaligus juga mengumpulkan dukungan publik untuk melegitimasi kepentingan nasional. Ideologi politik merupakan sekumpulan nilai-nilai ideal yang menjadi acuan bagi suatu tindakan (dalam pengertian institusi dan juga kebijakan). Ideologi politik juga sekaligus merupakan asumsi mengenai kapasitas manusia atau kondisi manusia atau juga identitas nasional. Dalam konteks Indonesia, Pancasila masih merupakan doktrin bagi ideologi politik yang tetap dipertahankan karena bersifat non-sektarian dan menjadi simbol bagi persatuan di dalam keberbedaan (bhinneka tunggal ika / unity in diversity). Meski doktrin ini masih tetap dipertahankan, seringkali praktek politik nasional yang bersifat hegemonik, distorsif dan karenanya menciptakan ketidakadilan telah memunculkan respon yang berbeda di dalam masyarakat. Bentuk-bentuk semacam ini memunculkan bukan hanya resistensi politik (khususnya di masa Orde Baru) tetapi juga sekaligus bentuk-bentuk perlawanan. Oleh karena kemunculan Indonesia sebagai suatu negara bangsa moderen dilatarbelakangi oleh unsur keberagamam latar belakang agama, suku, ras, budaya, dan bahasa, maka kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural menjadi basis paling penting untuk suatu proses konstruksi nasionalisme dan sekaligus pemaknaan kembali identitas nasional. Berbeda dengan negara-negara multikultural lainnya di dunia seperti di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, ataupun Singapura, Indonesia memiliki setting multikultural yang berbeda, meskipun ada beberapa persamaan di dalam praktek politik di negara-negara multikultural tersebut. Kanada, Australia dan Singapura, tidak memiliki sejarah perlawanan yang kuat terhadap kolonialisme, dikarenakan proses berdirinya mereka menjadi suatu negara-bangsa moderen merupakan bentuk kompromi politis dengan penguasa kolonial yakni Persemakmuran Inggris (the Commonwealth). Sehingga sejarah yang bersifat “konflik berdarah” tidak dilegitimasi di dalam catatan sejarah resmi yang sekaligus mewarnai proses nation-building. Sementara, baik Amerika Serikat dan juga Indonesia, memiliki sejarah atas konflik berdarah dengan penguasa kolonial. Yang membedakan Indonesia dari kelima negara multikultural tersebut adalah bahwasanya secara resmi (officially), Indonesia tidak menerapkan politik multikulturalisme. Setting masyarakat multikultural di Indonesia juga amat berbeda dengan setting masyarakat multikultural di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan bahkan Singapura. Di kelima negara tersebut, keberagaman latar belakang masyarakatnya diakibatkan karena adanya arus perpindahan berbagai unsur etnis dan ras (diasporic movement), baik dikarenakan alasan yang terpaksa (misalnya karena memindahkan kaum budak Afrika, yang menjadi cikal-bakal generasi Afro-American, atau dikarenakan sebagai lokasi pembuangan para kriminal, sebagaimana yang berlangsung di Australia), maupun perpindahan yang terjadi karena sukarela (sebagaimana etnis perantauan Cina di Singapura, Selandia Baru, dan Kanada). Sementara, Indonesia terdiri dari beberapa suku-suku yang secara mayoritas mendiami beberapa lokasi teritorial di berbagai pulau yang tersebar di seluruh Nusantara. Perbedaan setting multikultural ini, pada gilirannya akan memunculkan problema tentang bagaimana memelihara identitas nasional yang menyatukan seluruh elemen bangsa, tetapi juga berkenaan dengan akses politik suku-suku yang berbeda (di Indonesia) atau akses politik bagi kelompok minoritas (seperti kelompok indigenous di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan minoritas kelompok kulit hitam di Amerika, atau minoritas Melayu di Singapura). Di Indonesia, klaim atas akses politik bagi berbagai suku-suku yang berbeda menjadi lebih rumit dikarenakan praktek politik ini berkenaan dengan kedaulatan di wilayah-wilayah yang telah didiami oleh suku-suku tersebut dalam kurun waktu yang amat panjang. Oleh karena itu, ketika muncul perdebatan mengenai “hak-hak indigenous” di seluruh dunia, maka problema ini menjadi jauh lebih kompleks di Indonesia, dikarenakan pengertian hak-hak masyarakat indigenous seringkali menghubungkan klaim politik dengan unsur ‘longevity’ atau kelangsungan hidup terus-menerus suatu kelompok di dalam wilayah teritorial sebelum wilayah itu didiami oleh kelompok lainnya. Sedangkan di Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, mudah untuk mengidentifikasi kelompok manakah yang disebut sebagai indigenous. Politik multikulturalisme dan prakteknya menjadi suatu perdebatan yang menarik dikarenakan esensi dari tujuan diaplikasikannya politik ini adalah untuk menjaga kohesivitas politik dan kohesivitas sosial berkenaan dengan isu kesetaraan sosial dan keadilan sosial (social equality and social justice). Kesetaraan sosial dan keadilan sosial merupakan dua sisi fundamental yang melandasi keadilan politik bagi suatu komunitas negara-bangsa. Di dalamnya terkandung suatu basis konstitusi yang menjalankan prosedur keadilan untuk memenuhi persyaratan bagi kebebasan yang setara (equal liberty). Selain itu, keadilan politik juga dibingkai dalam pengaturan-pengaturan yang memungkinkan (feasible arrangements) dihasilkannya sebuah sistem yang adil (fair system). Dalam sejarah politik dan demokrasi di Amerika Serikat, isu mengenai praktek politik atas social equality and social justice hingga sekarang masih diperdebatkan. Sejarah mencatat, penghapusan diskriminasi sosial dan politik di Amerika Serikat selalu berkenaan dengan persoalan perbedaan distribusi keadilan sosial bagi seluruh warga negaranya. Perubahan konteks sejarah juga mempengaruhi apa yang dipraktekkan oleh setiap rezim penguasa. Ini misalnya dapat kita cermati dalam sejarah kelam di Amerika Serikat tentang penindasan rasial, begitupun di Australia dimana sejarah mengenai kebijakan rasial tentang “the White Australia Policy” atau kebijakan yang hanya membolehkan imigran kulit putih saja yang berhak menjadi warga negaranya dihapuskan pada tahun 1950-an. Praktek penghapusan diskriminasi semacam itu kemudian menjadi sumber bagi konstruksi ideologis dan identitas nasional. Meski secara formal, baik pemerintah di Amerika Serikat maupun di Australia telah menghapuskan bentuk-bentuk diskriminasi di dalam konstitusi politik mereka, tetapi praktek dominasi dalam transformasi bentuknya yang terbaru menunjukkan bertahannya praktek diskriminasi sosial dan politik. Di Indonesia sendiri, secara konstitusional tidak ada satupun konotasi yang mengarah pada bentuk-bentuk perlakuan diskriminatif. Ini misalnya dibuktikan dalam sejarah, melalui penghapusan beberapa kalimat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang sebelumnya mencantumkan pengertian bagi pemberlakuan syariat Islam bagi seluruh umat muslim Indonesia. Meski demikian, dikarenakan interpretasi atas praktek ideologi negara menjadi alat kepentingan bagi kekuasaan, maka praktek yang bersifat distorsif pun mulai menjadi tidak terhindarkan. Isu separatisme di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, ini misalnya ditandai oleh pergolakan politik elit penguasa saat itu (Orde Lama), misalnya dengan beberapa kelompok Islam (yang diidentifikasi sebagai DI/TII), kelompok nasionalis (PRI-Permesta), dan juga kelompok komunis (PKI).   Ketika rezim Soeharto berkuasa, maka agenda bagi stabilitas nasional menjadi urgensi bagi setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah pada saat itu. Proses nation-building untuk tujuan tersebut diperteguh di dalam praktek nasional melalui legitimasi peringatan hari-hari besar nasional, dan bahkan ke dalam muatan yang diajarkan di dalam pendidikan nasional, mulai dari tingkatan sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Suatu ilustrasi menarik mengenai praktek budaya yang hegemonik misalnya didapati dalam buku-buku pelajaran anak-anak Sekolah Dasar di era tahun 1970-an hingga awal 1990-an. Di dalam sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia, misalnya ada berbagai tokoh seperti: “Budi, Ibu Budi, Bapak Budi, Wati, Iwan, Arman, dan gambaran mengenai rumah, sekolah dan lingkungan tempat tinggal mereka yang kira-kira menggambarkan social landscape di Pulau Jawa”, kesemuanya diimajinasikan sebagai “keluarga Indonesia”. Sementara itu, tidak pernah terlintas di pikiran sebagian besar masyarakat Indonesia misalnya, ketika seorang anak di Papua kesulitan mengimajinasikan “Budi” dan juga gambaran tentang “rumah Budi” sebagai bagian dari social landscape-nya (daya jangkau sosial). Berbagai praktek kebijakan sosial seperti proyek transmigrasi, seringkali dilakukan tanpa memikirkan aspek-aspek social-cultural landscape suatu komunitas etnis atau suku tertentu, misalnya. Bahwa konflik antara suku Dayak dan Madura beberapa waktu lalu, bukan hanya ditengarai oleh persoalan struktural, seperti kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan ruang (spatial discrepancy) atau birokrasi yang bersifat sentralistis, tetapi juga dikarenakan mispersepsi kultural. Sensitivitas orang Dayak atas rasa aman-tidak aman (security-insecurity), misalnya terganggu oleh kebiasaan orang Madura yang sering berjalan-jalan dengan membawa clurit atau berbicara dengan intonasi yang keras. Berbagai gambaran tersebut menjelaskan praktek kultural dalam lingkup proses imajinatif suatu bangsa, tidak pernah kita bahas di dalam wacana kita mengenai pluralisme dan keberbedaan. Problema atas realitas bangsa kita yang multikultural ini menjadi tantangan baru bagi konstruksi nasionalisme yang menjadi basis legitimasi bagi terus berlangsungnya suatu eksistensi negara bangsa bernama Republik Indonesia. Oleh karena itu, tantangan baru bagi re-imajinasi Indonesia, bukan hanya datang dari tekanan-tekanan global dan dampaknya di dalam komunitas masyarakat Indonesia yang majemuk, tetapi juga tuntutan atas praktek politik yang menjamin terciptanya dan memungkinkannya suatu sistem bagi distribusi keadilan sosial dan kesetaraan sosial.

 

Re-imajinasi Indonesia dalam Identitas Politik Multikultural

 

Untuk memahami bagaimana proses re-imajinasi dilakukan melalui konstruksi identitas nasional, maka pengertian identitas dalam konteks politik merupakan suatu proses dialogis dari penciptaan batasan-batasan mengenai tingkah laku kolektif, dimana identitas individual tidak dapat dilepaskan dari sense atau rasa kolektivitasnya. Menurut Derrida, konsep mengenai identitas selalu menunjuk pada suatu proses memberi penanda yang membedakan orang lain dengan diri kita dan apa yang menjadi penanda bagi persamaan kita dengan orang lain (identity is a dialogic process of signifying and sharing similarities with others). Konsep mengenai identitas ini sejalan dengan konsepsi Anderson mengenai imagined communities yang memisahkan kategori mengenai “kita” yakni yang menjadi bagian dari komunitas nation-state, dan “mereka” yang bukan menjadi bagian dari komunitas negara kita. Oleh karena proses identifikasi menunjuk pada pemberian tanda, maka sekaligus juga berarti ada suatu proses berbagi (sharing) persamaan-persamaan kolektif yang dilakukan untuk mengikat komunitas. Menurut Stuart Hall (1992), setidaknya ada lima elemen yang memungkinkan suatu komunitas berbagi persamaan bagi sebuah kesatuan, yakni: 1. Narasi mengenai suatu bangsa, sebagaimana yang diceritakan di dalam catatan resmi sejarah 2. Penekanan pada asal-usul, kelangsungan, tradisi dan keabadian 3. Penemuan-penemuan tradisi 4. Mitos yang bersifat fundamental 5. Ide mengenai rakyat jelata (folk or people) Menurut Hall, proses dari kategorisasi identitas memberi suatu bingkai pemikiran untuk menginterpretasikan dan sekaligus menghadirkan tingkah laku kolektif yang membedakan orang. Representasi dari identitas ini berisi suatu muatan substantif yang mengindikasikan batasan-batasan antara salah satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Wacana mengenai identitas selalu bersifat dinamis dan seringkali dikonstruksikan untuk mengikuti perubahan kebutuhan politik yang berbeda dari waktu ke waktu. Klaim atas identitas inilah yang kemudian menjadi basis rasional bagi ideologi politik nasional. Konstruksi mengenai “the others” atau “mereka yang lain” dalam proses identitas nasional ditekankan dalam narasi-narasi yang disebut sebagai ideologi nasionalis sehingga mampu memunculkan sifat-sifat yang esensial dan kokoh dari suatu kelompok masyarakat tertentu, dan karenanya seringkali meniadakan nilai-nilai kultural kelompok lain yang secara potensial dianggap berbahaya. Oleh karena itu, narasi-narasi politik seringkali lebih merupakan representasi dari pertarungan para elit penguasa daripada narasi-narasi rakyat kebanyakan. Menurut Pierre Bordieu, narasi-narasi politik semacam ini mendapatkan legitimasinya melalui penggunaan “symbolic power” (atau kekuatan simbolik) dimana “penggunaan kata-kata atau simbol-simbol” seringkali menjadi sumber bagi kekuasaan ketika semuanya itu dihubungkan dengan realitas. Runtuhnya rezim Soeharto dan munculnya elit-elit politik baru mulai dari pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati, juga menandai perubahan di dalam narasi-narasi politik. Dukungan politik bagi Megawati yang amat besar dalam Pemilu 1999, misalnya berhubungan dengan penggunaan symbolic power, dimana realitas ketertindasannya oleh Orde baru (khususnya dalam kasus PDI-P di bulan Juli 1997) memunculkan representasi image bagi kaum yang tertindas, dan karenanya “ia” digambarkan sebagai sosok yang dekat dengan rakyat jelata (wong cilik). Geliat perkembangan politik lokal sebagai wujud dari implementasi desentralisasi politik di Indonesia sebagai fenomena akhir-akhir ini merupakan salah satu tantangan yang lain di dalam proses mengimajinasikan nasionalisme Indonesia. Oleh karena desentralisasi politik berkenaan dengan aspek distribusi kekuasaan, maka persoalan mengenai distribusi keadilan sosial menjadi locus sumber nasionalisme baru Indonesia. Ini tentunya tidaklah mudah dikarenakan problema distribusi keadilan sosial berkenaan dengan bagaimana mengelola aspek keadilan distributif bagi berbagai wilayah yang secara ekonomis memiliki perbedaan-perbedaan potensial, karena seringkali aspek kesejahteraan menjadi basis bagi suatu klaim kekuasaan. Distribusi keadilan sosial juga berkenaan dengan bagaimana mengelola suatu identitas nasional yang dapat mengontrol suatu praktek dominatif dari kelompok-kelompok mayoritas. Hal ini misalnya berkenaan dengan konstruksi mitologis suatu bangsa yang melahirkan ideologi nasional, pengenaan simbol-simbol nasional dan bahkan praktek kultural yang diterapkan dalam sistem pemerintahan, kesemuanya diharapkan mampu merepresentasikan keanekaragaman latar-belakang masyarakat Indonesia. Multikulturalisme sebagai suatu kebijakan politik dan sebagai suatu praktek sosial seringkali justru saling berlawanan dan seringkali juga dapat memunculkan potensi-potensi ancaman baru bagi kohesivitas sosial dan integrasi politik. Di Kanada misalnya, pemberian wilayah administrasi politik bagi kelompok indigenous (suku Indian) menimbulkan problema tentang keadilan distributif bagi akses politik kelompok-kelompok minoritas lainnya, misalnya etnis perantauan Cina untuk pengorganisasian kelompok secara politis ke dalam bentuk kekuasaan administratif atas suatu teritorial tertentu. Praktek semacam ini seringkali dianggap hanya sebagai suatu kompromi politik yang dibangun dari kepentingan politik yang mengikuti perubahan wacana menurut setting waktu. Sementara itu, di Amerika Serikat, praktek multikulturalisme yang seringkali diistilahkan sebagai proses “melting-pot”, justru mengindikasikan suatu bentuk mengelola ideologi dan praktek kultural kelompok dominan (kulit putih) atas kelompok-kelompok minoritas, khususnya bagi kelompok kulit hitam. Di Australia, dan juga di Singapura, tidak jauh berbeda, kebijakan multikulturalisme ditujukan pada suatu bentuk-bentuk perayaan atas keberbedaan (the celebratory multiculturalism) yang hanya memberi ruang bagi penampilan (display) keberagaman latar belakang masyarakatnya, tetapi seringkali masih mempertahankan bentuk-bentuk hegemonik kelompok dominan dikarenakan masih berlangsungnya pembatasan akses bagi representasi kelompok-kelompok etnis minoritas. Di Amerika Serikat dan juga di Australia, pasca 11 September dan Bom Bali 2002 , bentuk-bentuk persebaran ketakutan (the diployment of fear) menjadi strategi baru untuk mempertahankan ideologi kelompok dominan dalam tujuan untuk mempertahankan kepentingan nasional (national interest), yang ditunjukkan dari bagaimana mereka mengelola isu tentang terorisme dan penanganan pengungsi (refugees), khususnya yang berasal dari Timur-Tengah. Sementara di Indonesia, multikulturalisme tidak pernah diwujudkan sebagai suatu kebijakan politik resmi, tetapi seringkali tersembunyi di dalam praktek nasional, sebagaimana proses asimilasi yang berlangsung baik pada era Orde lama ataupun Orde baru. Pada masa Orde baru, asimilasi seringkali merupakan suatu bentuk penindasan kultural, dimana kelompok-kelompok minoritas dipaksakan untuk memasuki suatu ruang nilai dan praktek budaya kelompok dominan. Isu semacam Jawanisasi dan Islamisasi di berbagai daerah di pelosok-pelosok Nusantara seringkali mengiringi suatu proses kebijakan nasional, misalnya di dalam proyek transmigrasi.

 

Kesimpulan

Berbagai kompleksitas yang menjadi tantangan baru bagi re-imajinasi Indonesia ke masa depan merupakan suatu proses yang sudah selayaknya dibangun dari suatu basis instrumen-instrumen dan mekanisme demokrasi, dan yang tak kalah penting adalah bagaimana kontrol atas berlangsungnya suatu praktek kekuasaan dapat memungkinkan representasi aspirasi dari berbagai kelompok-kelompok yang berbeda latar belakangnya. Karenanya, ideologi nasional Pancasila yang secara paradigmatik memuat semua pencapaian-pencapaian ideal tidaklah cukup dikarenakan persoalan konstruksi ideologis memerlukan settingnya pada perubahan kontekstual. Kita tidak mungkin lagi diikat oleh romantisme lama tentang Sriwijaya atau Majapahit, atau bahkan pahit-getirnya perlawanan para pahlawan nasional kita melawan penjajahan Belanda, misalnya. Konstruksi mitologis semacam ini tidak lagi dirasa cukup untuk membangun suatu basis sentimen emosi yang mewakili seluruh aspirasi masyarakat Indonesia yang multikultural. Persoalan distribusi keadilan sosial, representasi yang adil dalam narasi-narasi sejarah, meskipun itu merupakan bagian kelam dari sejarah kita berbangsa, dan juga tantangan-tantangan global seperti ekspansi kapital, perubahan gaya hidup masyarakat, pergolakan yang terjadi pada skala global, semuanya itu menjadi sumber-sumber baru bagi kita membangun suatu konstruksi mengenai “bangsa Indonesia di masa depan”. Persoalannya yang muncul kemudian adalah, darimana dan kapan kita harus memulainya. Untuk memulai itu semua, kiranya kita dapat memanfaatkan semua peluang yang disediakan di dalam institusi dan mekanisme demokratis, sekaligus memberi ruang belajar bagi seluruh elemen bangsa Indonesia, sehingga narasi-narasi nasional bukan hanya menjadi wilayah kekuasaan pertarungan politik kelas penguasa (elit), tetapi lebih jauh lagi merupakan narasi yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang seringkali telah lama diimpikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novel sejarahnya, tentang masyarakat Indonesia yang kosmopolitan tetapi juga sekaligus berpihak pada esensi kemanusiaan darimana kita semua berasal. Maka tidak heran, jika suatu saat nanti anak-anak di Pulau Jawa akan membaca buku mengenai kehidupan seorang John Mathias Ondawame, seorang anak Papua dari suku Amungme, misalnya, begitu pula Joko Priyanto di Bantul sana yang dapat mengerti bagaimana kehidupan Andreas Simatupang di Sumatera Utara. Memang kita mungkin masih perlu mempertahankan ikatan-ikatan lama kita atas kebersamaan kita sebagai suatu bangsa, tetapi yang jauh lebih penting dari itu semua adalah mengembangkan batasan-batasan imaginer kita (the boundaries of national imaginary) untuk menghadapi persoalan-persoalan kontekstual dan tantangan ke masa depan. 

 

 

Daftar Pustaka

Aditjondro, George. 1985. Telex Dirjen dan tanggapan dari Ondoafi, Kabar dari Kampung vol..18/3 Anderson, Bennedict. 1983. Imagined Communities: Reflections on the origins and spread of nationalism, Verso, London. 

Anderson, Bennedict, 1990. Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca. 

Anderson, Bennedict. 2002. The Spectre of Comparison: Nationalism, Southeast Asia and the World, Verso, London and New York Anti Slavery Society, 1991. West Papua: Plunder in Paradise, Anti-Slavery Society, London. 

Appadurai, Arjun.1997, Patriotism and its Future, dalam Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalisation, University of Minnesota Press, Minneapolis 

Barton, Greg. 2000, Issues Concerning Democracy and Citizenship in Indonesia, dalam Andrew Vandenberg, Citizenship and Democracy in a Global Era, MacMillan, London. 

Bordieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural Production, Polity Press, Cambridge. 

Derrida, J.1992. The Other Heading, Indiana University Press, Indianapolis. 

Hall, Stuart.1992. Who Needs Identity, dalam Stuart Hall dan Du Gay (editor), Questions of Cultural Identity, Sage, London. 

Hannerzt, Ulf.1996, The Withering of the Nation?, dalam Transnational Connection: Culture, People, Place, Routledge, New York. 

Melluci, Alberto.1995. The Process of Collective Identity, dalam H.Johnston dan B.Klandermans, Social Movements and Culture, University of Minnesota Press, Minneapolis. 

Pamungkas, Arie Setyaningrum. 2003. The Australian Multiculturalism and the Global Challenges, thesis (unpublished), University of Sydney, Australia. 

Rawls, John. 1993, Political Liberalism, Columbia University Press, New York. 

Rawls, John.1971. Equal Liberty, dalam A Theory of Justice, Oxford University Press, London, hal. 221. 

Ricklefs, M.C, 1993. A History of Modern Indonesia Since c 1300, Macmillan, London. 

Turner, Bryan.S dan Ted Hamilton.1994. Citizenship: Critical Concept, Routledge, London.

 


1 comment:

kalynmacgregor said...

Tania's Wedding Band for Men - Titanium Art
Tania's Wedding Band has a wedding band and titanium ring an 4x8 sheet metal prices near me award tungsten titanium winning wedding titanium armor venue! Read our wedding proposal today! aftershokz trekz titanium

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...