Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari Sabtu, 9 Juli 2022.
Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, sebagaimana hari itu ketika aku hanya bisa melihat Ibu mendekati ajal hanya melalui layar smartphone via WhatsApp adikku.
Aku sendiri tak bisa ke rumah sakit malam itu. Menjaga pesan ibu.
Tak semua dapat kutuliskan mengapa, tetapi pandemi Covid19 mulai awal 2020 semakin menunjukkan padaku bahwa "sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya" kami, kaum perempuan melawan penindasan, tetap semangat hidup tak dapat dipatahkan begitu saja. Meskipun aku sendiri mengalami banyak susah payah, dan masyarakat di sekitarku selalu menekankan, "perempuan tak boleh marah, perempuan tak boleh mengeluh, perempuan harus tabah dan kuat...."
Aku tak selalu kuat, sejak itu. Sejak aku mengantar jenazah almarhumah ibuku ke kuburan, naik "bus tua" yang mungkin asapnya kurang ramah lingkungan karena hanya bus itu yang paling murah ongkosnya untuk "Ibu-Ibu di lingkungan Rukun Warga 01 Karangwaru Lor." Mereka semua mengantarku, mengantar almarhumah ibuku. Bus itu penuh, berisi lebih dari 70 orang. Semuanya perempuan, perempuan-perempuan sederhana yang mencintai almarhumah ibuku.
Aku ingat, bagaimana ibuku menghapus penderitaan-penderitaan hidupnya.
Menanam pohon-pohon kelor.
Menanam cabai.
Mengurus sampah yang dapat didaur-ulang,
Mengonsolidasikan perempuan-perempuan yang berlatar pendidikan rendah untuk tetap memperoleh bacaan yang lebih bermanfaat tentang kesehatan, tentang pendidikan bagi anak-anak mereka, tentang mengelola koperasi, tentang bagaimana membuat usaha kecil (UMKM).
Semua itu dilakukannya tanpa memperoleh upah, terutama sejak ia pensiun sebagai guru SD di tahun 2004. Upahnya hanya ia tak merasa kesepian, tak merasa dicampakkan oleh masyarakat dimana kami hidup.
Aku mencoba melakukan seperti yang dilakukannya. Meskipun, jelas tak sebanyak yang telah almarhumah ibuku lakukan.
(*)
Ku ingat pagi itu di tahun 1980, aku terbangun dari "tidur panjangku". Ibu ada di sebelahku, lalu memelukku erat. "Kamu bangun lagi, nduk, cepat sehat, teman-temanmu sudah kelas 3, kelas 2. Kamu tak apa tho kalau harus kelas 1 SD lagi?"
Aku hanya mengangguk, karena seingatku aku sulit bicara. Mataku melihat TV milik kami, merk "Gruendig" - warisan dari - "kakek hantu baik" - yaitu yang tak boleh kami sebut sebagai "kakek", karena anak-anak ibuku tak pernah bertemu dengan almarhum. Kabarnya almarhum "orang terkenal".
Ibuku tiba-tiba menangis setelah ia melihat TV juga. Katanya, "Oh John Lennon, meninggal...ia lalu memeluk aku yang masih layu di tempat tidur sederhanaku.."
Aku ingat, lagu kami. Lagu yang sering dinyanyikan bapakku dan kawan-kawannya, juga ibuku..."My sweet Lord..." bagianku sebagai anak TK adalah membunyikan krincingan...lalu kami akan makan bersama setelah itu. Itu di Jakarta, malam tahun baru biasanya. Jelas di tahun 1970an.
Aku ingat, ketika SD dan liburan ke Yogya, menengok "simbah" dan saudara-saudara di desa, di Turi dan Pakem. Aku bertanya-tanya, "mengapa saudara-sauadara Ibu dan bapak tak bisa membaca not balok? Tak mampu bermain gitar apalagi piano, padahal sebagian dari mereka juga ada yang pergi ke gereja. Tapi, mereka semua mampu bermain gamelan.
Aku ingat, waktu aku SD setelah 1980, pagi ke sekolah negeri dan teman-temanku lalu sekolah siang di madrasah. Mereka mampu main gitar, tapi tak mampu main piano karena harganya mahal. Teman-temanku waktu SD, tak ada yang dapat main gamelan. Mereka hanya main tanjidor. Bunyinya kadang bagus, kadang jelek, tergantung suasana hati mereka juga. Aku tidak dibolehkan ikut main tanjidor, karena kata teman-temanku, aku ini adalah "Cina Loreng" jadi mereka takut kalau aku ikut, nanti kami semua "Kena tempeleng". Takut dihukum bapak-bapak yang suka minta-minta duit lalu pergi ke bioskop murahan nonton film yang terutama dibintangi oleh "Suzanna".
Piano ibuku, dirampas oleh bapak-bapak "berseragam". Ibu mengikhlaskannya, karena lebih baik tak punya piano karena kami bukan orang kaya. Bapak sering pergi, ditugaskan kantornya keluar kota bahkan keluar Jawa. Ibu sangat "takut" karena pernah rumah kami didatangi "segerombolan orang" (semuanya lelaki) berclurit dan mengaku-aku "jawara".
(*)
2020 - 2021 - 2022 sudah kusampaikan di acara-acara secara daring, dimana almarhumah Ibuku setia menemaniku, hingga akhirnya ia "ambruk" di hari itu, Senin 4 Juli 2022 di sore hari tak ada RS yang mampu menerimanya dan hanya klinik terdekat saja. Ia baru dipindahkan ke suatu RS swasta 2 hari kemudian. Ibu bilang padaku.."Tunggu aku pulang, jangan kemana-mana....."
Tapi ibu, tak pernah pulang.
Sayapku patah. Tapi sebaik-baiknya, aku ingat pesan almarhuman ibuku. Aku masih bernafas, tak perlu berputus-asa.
(*)
Ibuku tak tergantikan.