"Doing Wallraffa"
Etnografi dan Documentary Film Making dengan cara Mengintip*
(*Artikel ini pernah saya tuliskan di notes FB pada 2014)
oleh Arie Setyaningrum Pamungkas (Tia Pamungkas)
Mungkin nama jurnalis 'Guenther Wallraff' tidak lah
sepopuler Joshua Oppenheimer bagi publik di Indonesia termasuk para pengamat
media. Meskipun dalam kajian media (media studies) dan jurnalisme nama Guenther
Wallraff bukanlah nama yang 'asing' lagi bahkan metode yang dilakukannya
menjadi suatu cara yang provokatif sekaligus dilematis di dalam pembuatan film
dokumenter (documentary film making) yang didasari penelitian etnografis.
Metode yang dilakukan Wallraff inilah yang kemudian dikenal
dengan istilah "doing Wallraffa" - dimana seorang jurnalis melakukan
investigasi dan pendokumentasian melalui serangkaian metode etnografi - yang
seringkali juga dilakukan oleh kebanyakan 'etnografer' - dengan memasuki
wilayah dan lingkup sosial yang sedang diamatinya dan berusaha menjadi bagian
dari 'insider' dengan cara mengadopsi identitas suatu komunitas yang sedang
diamati itu sehingga kehadirannya diterima sebagai bagian dari komunitas itu
secara alamiah.
Wallraff melakukannya secara provokatif! Sebagai seorang
'undercover jurnalis' - Wallraff tidak segan-segan melalukan riset
bertahun-tahun, mempelajari bahasa dan aksen, menginvestasikan begitu
banyak energi untuk mempelajari budaya suatu komunitas yang hendak
diungkapkannya - dimana kebanyakan dari target komunitas ini adalah kelas
sosial marjinal di Jerman.
Film dokumenter Wallraff yang mengagetkan publik Jerman
(kira-kira mungkin sama kagetnya dengan publik Indonesia ketika pertama kali
menonton 'the Act of Killing' - nya Joshua Oppenheimer) adalah film-nya yang
berjudul "Ganz Unten" atau "Lowest of the Low" pada tahun
1985 - dimana ia selama beberapa tahun mempelajari kondisi kehidupan para
"Gastarbeiter" (Gast: Tamu, Arbeiter: Pekerja. Jadi semacam TKI -
lah) para migran Turki yang berperan membangun kembali Jerman dari keruntuhan.
Wallraff 'menyamar' secara fisik dengan menggunakan teknologi 'make-up' dan
mempelajari dengan sungguh-sungguh aksen bahasa orang Turki, sehingga ia nampak
secara natural seperti buruh migran Turki di Jerman yang mengalami eksploitasi
dari dua arah, yakni perlakuan yang tidak adil (rasis) dari Pemerintah Jerman
dan kondisi upah dan kerja yang amat buruk dari para pengusaha yang
mempekerjakan para "Gastarbeiter" ini.
Film Wallraff ini mengagetkan publik Jerman yang selama
berpuluh-puluh tahun pasca perang Dunia telah berusaha secara sistematis pasca
kekalahan Jerman di Perang Dunia ke II, baik karena tekanan internasional -
maupun tuntutan internal dari dalam masyarakat Jerman sendiri untuk melakukan
proses 'De-nazifikasi' dan isu mengenai 'Gleichbehandlung' atau semacam 'Equal
Opportunity' - kesempatan untuk menjadi setara menjadi isu dan polemik yang
cukup sengit di dalam negeri sendiri. Perlu dicatat, bahwa film
dokumenter yang dibuat Wallraff ini masih di dalam konteks dimana Jerman masih
belum bersatu, dan konteksnya mengambil kondisi di Jerman Barat dimana
kebanyakan buruh migran Turki didatangkan dalam jumlah yang besar untuk
membangun kembali reruntuhan Jerman sebagai kuli-kuli bangunan. Konteks ini
menjadi penting karena 'Jerman Barat' secara ekonomi dan budaya merupakan
'kloning' Amerika Serikat, bahkan institut yang dimiliki oleh pemerintah AS
yang secara strategis 'mendikte' kepentingannya pada Jerman Barat berada
disana.
Film-film Wallraff berikutnya pasca runtuhnya Tembok
Berlin-pun semakin menarik karena bersatu-nya Jerman melahirkan berbagai
komplesitas persoalan sosial dan budaya yang lain. Ia kemudian membuat film
dokumenter serupa dengan teknik serupa yang provokatif, misalnya untuk film
"Unter den Null" (Dibawah Nol) - suatu film dokumenter mengenai
'menjamurnya gelandangan dan fakir miskin yang hidup di jalanan pada musim
dingin. Wallraff secara provokatif mengkritik adaptasi ekonomi dan sistem
kesejahteraan sosial di Jerman (setelah periode unifikasi) yang semakin
jauh dari nilai-nilai berbasis komunal dan sosialisme yang merupakan 'identitas
khas Jerman'. Orang berakhir di Jalanan dan menjadi gelandangan yang mati
kedinginan bukan semata-mata karena ia 'pemalas' dan berbagai stigma lain dalam
masyarakat kapitalis moderen. Di film ini Wallraff menunjukkan berbagai
problema sosial yang rumit dan persoalan yang bukan semata-mata bersifat
institusional (soal bagaimana negara menyelenggarakan sistem kesejahteraan
sosial) - melainkan juga perubahan sikap masyarakat Jerman sendiri pada kaum
miskin dan gelandangan kota yang dianggap sebagai 'sampah masyarakat' (stigma
bahwa kebanyakan dari mereka jadi gelandangan karena suka mabuk dstnya).
Film Wallraff yang terakhir saya tonton di Jerman adalah
"Schwarz auf Weiss": Eine Reise Durch Deutschland (Hitam diatas
Putih: Suatu Perjalanan Mengelilingi Jerman). Disini Wallraff menyamar sebagai
seorang 'migran' Afrika dengan teknik make-up yang membuatnya benar-benar
'mirip' seperti seorang keturunan dari Ghana atau wilayah Afrika lainnya.
Dengan penampilan baru sebagai 'black man' Wallraff berkeliling kota-kota kecil
dan besar di Jerman dari utara ke selatan, dari barat ke timur untuk mengetahui
seperti apa rasanya 'mengalami perlakuan kurang menyenangkan sebagai orang
asing'; 'apakah rasisme di Jerman masih nyata sementara secara formal
masyarakat dan pemerintah Jerman menolak segala paham rasisme dan perlakuan
diskriminatif'; 'bagaimana generasi muda Jerman yang tak mengalami konstruksi
ideologis pasca perang dunia ke dua, dan semasa perang dingin melihat
keberadaan orang berkulit lain tetapi berbahasa Jerman dengan amat lancar dan
bahkan berperilaku sebagaimana umumnya orang Jerman. Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang ditelusuri oleh 'Wallraff'.
Catatan pribadi saya yang menarik adalah di dalam film ini
Wallraff menunjukkan bahwa 'resistensi penolakan atas orang asing - atau migran
kulit berwarna yang berkewarganegaraan Jerman' lebih merupakan suatu bentuk
'rasisme halus' yang tidak disadari oleh publik Jerman sendiri karena semua
orang menganut apa yang kita kenal sebagai TST-tahu sama tahu - tapi tak perlu
kita bincangkan secara terbuka di publik. Orang Jerman sendiri banyak yang
'lelah' dengan berbagai stigma dari masa lalu. Hampir setiap hari TV publik
memutar film tentang 'kekejaman rezim Hitler dan Nazi' nya - yang bahkan
mungkin hampir tak ada artinya lagi bagi setiap 'kaum muda' keturunan Arya di
Jerman, karena kebanyakan mereka menganggap 'terputus dari sejarah itu' dan tak
mau dibebani oleh dosa ideologis 'nenek moyang mereka'. Menarik-nya, kebanyakan
resistensi (rasisme halus) yang dialami Wallraff sebagai 'orang Afrika
berkewarganegaraan Jerman' di film ini justru datang 'kelompok tua-berumur' -
generasi yang mengalami konstruksi ideologis perang dingin dimana proses
de-nazifikasi juga mereka jalani di masa-masa sekolah mereka sejak tahun
1950-an hingga 1970-an baik di Jerman Barat maupun di Jerman Timur. Sementara
kelompok pemuda yang agak rasis adalah sekelompok pemuda yang 'marah' pada
pemerintah Jerman karena dianggap membuang banyak uang untuk memperhatikan para
pendatang ketimbang 'bangsa-nya sendiri'. Anak-anak muda pemarah ini sebetulnya
sama sekali tidak ideologis tetapi menjadi sasaran empuk para propagator
neo-nazi.
Suatu dialog menarik yang saya 'catat' dan membuat saya
'meringis' adalah ketika Wallraff sebagai orang keturunan Afrika mendatangi
suatu motel di pinggir kota Berlin, disana ia muncul sebagai orang Jerman
keturunan Afrika "berduit" - tetapi ditolak masuk menginap di dalam
motel meskipun di muka motel ditulis "masih ada kamar". Pemilik hotel
dengan berbelit-belit berbohong dengan halus sekedar untuk menolak kehadiran
Wallraff sebagai tamunya. Dan Wallraff-pun pergi. Seorang crew Wallraff lainnya
(orang jerman berkulit putih) selang beberapa detik kemudian masuk ke
motel itu dan mendaftar sebagai tamu, dan diterima. Ketika sedang melakukan
proses cek in, si pemilik motel 'curhat' pada crew Wallraff ini..bahwa baru saja
dia menolak seorang keturunan Afrika dan meskipun sepertinya orang itu sudah
jadi 'Jerman' dan punya banyak uang (karena Wallraff menunjukkan banyak kartu
kredit dan uang cash di muka pemilik motel sebelumnya) - si pemilik motel tetap
tak berkenan. Crew Wallraff yang menyamar sebagai 'tamu berikutnya' bertanya:
"lho kenapa kamu menolak dia, bukankah yang penting dia punya uang dan
mampu membayar?" Jawaban si pemilik hotel mengejutkan: " Ja..wir
brauchen Geld aber nur von unserem Geld!" (Ya kita butuh uang, tapi uang
yang berasal dari 'kita' sendiri!).
Gerakan-gerakan TST dan sunyi seperti inilah yang terjadi
menurut Wallraff dimana sebagian orang Jerman tak mau berbelanja di toko Turki,
tak mau bertransaksi dengan kelompok migran. Dan Wallraff melakukannya secara
provokatif dan metode ini acapkali diserang dan dikritik sebagai metode
peliputan yang tidak etis (unethical) - karena dianggap "mengintip secara
ilegal" dan tidak adil bagi subyek pelaku yang terlibat di dalam
pendokumentasian film2nya. Benarkah yang dilakukan Wallraff adalah 'unethical'?
Bagaimana dengan kerja para peneliti, para etnografer yang masuk ke dalam
kebudayaan komunitas lain dan menjadi 'insider'? Wallraff selalu menggunakan
argumen ini untuk menekankan pentingnya 'mengintip secara ilegal' untuk
mengungkap fakta kebenaran. Persoalannya, siapa dan untuk siapa 'kebenaran' itu
dijustifikasi-kan? Itu persoalan lain.
Referensi:
Braun, Ina. 2007. "Guenther Wallraff: Leben, Werk,
Wirken, Methoden". Koeningshaussen und Neumann
Kriesse, Wilfrid. 2010. "Guenther Wallraff in my eyes:
A Report". Abe books.
Eriksson, Erik. 2009. "The Legendary Guenther
Wallraff" - online paper, bisa diunduh di alamat
Sumber Lain di Youtube:
Hitam
di Atas Putih (schwarz auf weiss) http://www.youtube.com/watch?v=d1cZkO8nbT4
Di
bawah titik Nol (unter Null) https://www.youtube.com/watch?v=n8Ec94B6RS0
Ganz
Unten (Di bagian Kerak: Terbawah dari yang terbawah) https://www.youtube.com/watch?v=VxMkXcypdUc