(Foto dalam narasi ini milik Lexy Lambadetta / Aliansi Jurnalis Indonesia)
Mei 1998 tidak akan pernah saya lupakan, mengapa? Karena peristiwa itu melekat
dan mengubah hidup saya, baik sebagai seorang perempuan maupun sebagai seorang
intelektual.
Dalam
sebuah diskusi kecil dengan mahasiswa-mahasiswa “kiri” di Yogya, pada 18 Mei
2019 lalu, sambil ngabuburit untuk berbuka puasa, saya memenuhi undangan teman
lama saya, seorang feminis dan aktivis PRD di tahun 90-an, Ernawati. Saya
berterimakasih Erna merancang acara itu, meskipun hanya sebuah forum kecil,
bersama Nining, seorang feminis yang juga aktivis PRD di tahun 90an, ia juga
seorang seniman. Catatan-catatan Nining tentang bagaimana pergerakan PRD di
masa Orde Baru begitu penting, sesuatu yang menurut saya seharusnya dibukukan,
diarsipkan. Itu penting sebagai suatu upaya merawat ingatan, terutama ingatan
kolektif tentang gerakan mahasiswa.
Berbeda
dengan Nining yang mengalami begitu dekat teror Orde Baru di masa mahasiswa di
UGM pada tahun 1990-an, saya pada saat itu tidak punya nyali “sebesar” mereka,
sebesar kawan-kawan lain di PRD (Partai Rakyat Demokratik). Saya hanya
simpatisan, pada mulanya. Itu karena ketika saya masuk ke UGM, kelompok pertama
yang meraih simpati saya justru kelompok “kanan” - di gerakan mahasiswa Islam.
Mungkin karena waktu muda pencarian identitas menjadi pertanyaan paling lugu,
dan karena kelompok-kelompok itu “lebih agresif” di UGM ketimbang
kelompok-kelompok kiri yang hanya berani sembunyi-sembunyi.
Tetapi,
“buah tidak jatuh dari pohonnya”. Misteri di dalam keluarga sayalah yang
mengalami “ambiguitas” sejak rezim Orde Baru menindas dan mencerai-beraikan
banyak anak bangsa semenjak peristiwa pembantaian 1965, yang membuat saya
akhirnya memilih menjadi “kiri” - hanya dua tahun sebelum Suharto jatuh. Yakni
setelah peristiwa penyerangan markas PDI di Jakarta, 27 Juli 1996 (Peristiwa Kudatuli). Pada momen-momen kritis itulah saya
menyaksikan sendiri dari dekat bagaimana perubahan sosial terjadi.
Dalam
catatannya dan juga presentasinya, Nining menyampaikan bahwa Peristiwa 98 tidak
bisa ia glorifikasikan sebagai “Reformasi”. Hal itu karena istilah tersebut
datang dari segelintir elit yang sebenarnya masih terkontaminasi oleh kapital
politik Orde Baru. Amien Rais, misalnya, adalah salah satu “tokoh” yang
mempopulerkan istilah tersebut. Bahkan dalam catatan Nining, PRD bahkan
menyatakan bahwa semua tokoh “Ciganjur” yang membawa lokomotif bernama
“Reformasi” terkontaminasi kapital Orde Baru. Saya sepakat dengan Nining.
Tetapi ada perbedaan penjelasan mengapa. Pertama, Nining sebagai aktivis PRD
mengalami langsung tekanan dan teror terutama semenjak penangkapan -
penangkapan para aktivis mahasiswa (PRD) yang dituduh oleh rezim Suharto
sebagai “dalang kerusuhan” Juli 1996. Kedua, saya sebagai aktivis “bingung” pada saat itu di masa Orde Baru di
tahun 90-an menyaksikan sisi lain, bahwa peristiwa 1998 dan upaya
“menggulingkan Suharto” sudah lama dirancang, bahkan sebelum PRD berdiri di
tahun 1996. Saya menyebut diri saya “aktivis bingung” di tahun 1990-an itu
karena jejaring saya ada di dua kaki. Pertama jejaring kelompok-kelompok
mahasiswa Islam di Indonesia yang mayoritas didominasi kelompok-kelompok kanan,
dan kedua jejaring mahasiswa-mahasiswa kiri melalui pers kampus (saya pertama
di kader di pers mahasiswa Sintesa Fisipol UGM tahun 1994). Hal tersebut saya lakukan awalnya adalah pencarian jati diri meskipun pada akhirnya pilihan saya adalah untuk memperoleh jalan keselamatan. Bahkan di
organisasi Jamaah Shalahuddin pada saat itu pun masih ada “sayap kiri” -nya,
sesuatu yang justru musnah semenjak runtuhnya Orde Baru. Saya masih ingat, pada
tahun 1994, untuk pertama kalinya saya justru membawa tokoh-tokoh “kiri” musuh
Orde Baru ke acara kegiatan di Jamaah Shalahuddin dan di Fisipol UGM. Misalnya
mengundang Romo Mangun untuk bercerita tentang pengalamannya di Kedung Ombo,
acara di bulan Ramadhan di tahun 1994. Juga mengundang bang Coki (Bonar Tigor
Naispospos) di acara serupa, sampai-sampai untuk pertama kalinya, saya harus
mengalami “dikejar-kejar” intel semenjak acara-acara itu. Saya mencoba
mengingat, mengapa pada saat itu “tokoh-tokoh kiri musuh Orde Baru” juga
disukai teman-teman yang ada di komunitas mahasiswa Islam (seperti Jamaah
Shalahuddin). Menurut saya itu karena mereka pun mengalami “kebingungan”
tentang sejarah mereka masing-masing, terutama berkenaan dengan isu
ketidakadilan sosial, isu tentang identitas mereka sebagai “bangsa Indonesia”,
juga selain propaganda kelompok-kelompok Islamis pada saat itu juga yang “anti
Suharto” (misalnya lewat glorifikasi peristiwa Tanjung Priuk). Pada tahun 1995,
ketika saya masih di Jamaah Shalahuddin, saya mendapatkan tawaran untuk
membangun jaringan aktivis “anti Suharto” dari aktivis-aktivis mahasiswa Islam
di ITB dan UIN - Hidayatullah Jakarta (Formaci: Forum Mahasiswa Ciputat, yang
kemudian tokoh-tokohnya menjadi embrio Jaringan Islam Liberal, misalnya, Ahmad
Sahal). Kegiatan pertama yang dimulai pada saat itu, adalah “Pesantren Wawasan
Nasional” - di tahun 1995 yang diadakan di Ciputat - kampus UIN-Syarif
Hidayatullah Jakarta dimana kami mengadakan training dan pelatihan, termasuk
sesi kelas-kelas dan seminar yang bahkan Romo Frans Magnis ikut hadir sebagai
salah satu narasumbernya. Salah satu “agenda bawah tanah Pesantren 1995” justru
SAMA dengan agenda PRD, yaitu “menggulingkan Suharto” lewat gerakan mahasiswa.
Sayang, pada saat itu aktivis mahasiswa Islam di UI (Universitas Indonesia)
menolak bergabung. Jadi hanya kami dari UGM, ITB, UIN-Jakarta, UIN-Yogya, dan
ITS.
Tetapi
semenjak peristiwa 26 Juli 1996, aktivis-aktivis mahasiswa alumni Pesantren
Wawasan Nasional “TERPECAH” menjadi dua. Yaitu apakah akan mendukung
kawan-kawan PRD yang dipersekusikan Orde Baru ataukah “pura-pura” tidak tahu
alias “diam. Saya memilih yang pertama, yaitu “mendukung kawan-kawan PRD” dan
menolak represi Orde Baru pada kawan-kawan PRD yang diculik, dipenjarakan,
bahkan ada yang dibunuh atau hilang tanpa jejak. Pada momen kritis itulah hidup
saya berubah, semenjak 1997 - saya lebih sering “dikuntit intel-intel” -
terutama semenjak saya menolak bergabung dengan teman-teman Jamaah Shalahuddin
yang “pura-pura diam” dan bahkan lewat Forum Silaturahmi Dakwah Kampus (FS LDK)
di sekitar akhir 1996 dan awal tahun 1997 bersama beberapa aktivis HMI
bersepakat untuk membentuk “organisasi mahasiswa anti Suharto” untuk menyaingi
popularitas PRD di kalangan mahasiswa di PTN-PTN di Indonesia. Benar saja,
mereka akhirnya membuat “KAMMI” - Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia,
ormas mahasiswa Islam yang dipengaruhi ideologi Ikhwanul Muslimin Mesir,
sebagai embrio PK (Partai Keadilan) yang kemudian berganti nama menjadi PKS
(Partai Keadilan Sejahtera). Semenjak “konflik” dengan beberapa aktivis Jamaah
Shalahuddin di tahun 1997 itulah, akhirnya saya memutuskan untuk bergabung
dengan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) bersama beberapa
teman-teman yang lain, yang melihat bagaimana “sektarianisme” dan “dukungan
dana” cukup besar diberikan pada kelompok-kelompok mahasiswa Islam itu. Disini
catatan pentingnya, yaitu awal bagaimana “gerakan pro demokrasi yang digerakkan
mahasiswa-mahasiswa Indonesia dibajak” - bahkan hanya setahun sebelum Suharto
dijatuhkan. Merekalah yang sejak awal mula “dekat” dengan tokoh seperti Amien
Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan beberapa politisi Islam lainnya - yang juga
menentang Suharto, tetapi membawa agenda politik dan kepentingan yang berbeda.
Agenda itu adalah yang saya sebut sebagai “glorifikasi maskulinitas”.
Apakah
glorifikasi maskulinitas itu dalam konteks gerakan sosial termasuk gerakan
mahasiswa? Yaitu suatu perayaan dan bahkan “pemujaan” yang bersifat maskulin -
dimana gerakan sosial dengan sengaja “difragmentasikan” melalui hubungan
patronase termasuk dengan “dukungan dana” (uang) dan persebaran narasi yang
membenarkan maskulinitas beracun yang didasari oleh nilai moralitas “sektarian”
(terutama ideologi Islam politik yang menglorifikasikan konstruksi ideologi
kepemimpinan secara ‘maskulin’) sebagai satu-satunya cara untuk mendorong
perubahan politik. Dan benar saja, justru inilah yang mengemuka dan secara
hegemonik “punya ruang tumbuh” di masa pasca kejatuhan Suharto pada 21 Mei
1998.
Bahkan
21 tahun kemudian, peristiwa Mei 1998 yang sering diperingati sebagai “Mengenang
Reformasi” - itu pun diperingati dengan logika meneguhkan “glorifikasi
maskulinitas." Sebagian mahasiswa milineal bahkan ada yang “tidak tahu” bahwa
“demonstrasi menentang Suharto di akhir kekuasaannya yang pertama-tama, semenjak kerusuhan 26 Juli 1996 membuat banyak aktivis “bergerak" - adalah “Demonstrasi Suara Ibu Peduli” pada bulan November 1997 - dimana sekelompok feminis
memprotes “kenaikan harga susu” - untuk menentang rezim Orde Baru yang telah
membebankan ongkos ekonomi dan politik - pada bangsa Indonesia sehingga terjadi
krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1996 (dan sesudahnya). Generasi
milineal banyak yang hanya mengingat “peristiwa 1998” lewat gambaran tentang
“kerusuhan” - dan jatuhnya “korban” - mereka acapkali tidak cukup
terliterasikan dengan baik - mengapa hal-hal buruk tersebut dapat terjadi. Sebelumnya bahkan ketika saya pribadi mempertaruhkan jalan keselamatan yang saya ingin percayai, pengetahuan dan pembebasan bagi kesetaraan, masa depan yang lebih baik bagi kaum muda Indonesia. Saya mengalami tragedi yang saya alami sendiri, pada tanggal 13 Mei 1998 di UGM (lihat ilustrasi foto dalam artikel blog ini).
Setelah itu terjadi peristiwa yang lebih naas lagi di Jakarta. Dimana bahkan ada yang sama sekali tidak tahu bahwa pada Mei 1998 terjadi serangkaian “pemerkosaan” terhadap
kaum perempuan, terutama etnis Tionghoa! Sejarah yang menimpa kaum perempuan
seakan-akan “terlupakan” - yang muncul adalah “heroisme maskulin”.
Justru
disitulah poinnya. Pada aksi demo partisan pasca Pilpres 2019 di depan gedung
Bawaslu Jakarta dan sekitarnya (Tanah Abang) yang berakhir rusuh pada 21-22 Mei 2019 yang lalu, kita menyaksikan
“bagaimana glorifikasi maskulinitas” itu dirayakan secara ironis! Polarisasi
politik sebagai dampak menguatnya “politik identitas” - justru memberi ruang
bagi pelembagaan kontrol patronase yang militeristik!
Hal
itu semua dimungkinkan karena sesungguhnya “Reformasi” tidak pernah
sungguh-sungguh terjadi di Indonesia, pun pasca jatuhnya Suharto. Meskipun
gerakan-gerakan pro demokrasi tetap punya ruang - tetapi yang memperoleh
kesempatan dan ruang tumbuh yang pesat justru “ideologi-ideologi kanan” yang
sektarian dan bahkan cenderung membenarkan “rasisme” - dimana etnisitas baru
dikerangkai dengan sentimen keagamaan. Ini semua karena sesungguhnya, justru
sejak jatuhnya Suharto, kita mengadopsi sistem ekonomi neoliberal - sehingga
berdampak pada setidaknya tiga elemen dasar sistem politik yaitu:
(1)
Sistem elektoral yang kaderisasinya bersifat elitis dan membolehkan masuknya
kapital untuk pembiayaan kegiatan Parpol sehingga membuka peluang terjadinya
praktik korupsi
(2)
Privatisasi di dunia pendidikan sehingga membuat reproduksi gerakan mahasiswa
seakan-akan “macet” secara alamiah - padahal sesungguhnya tidak. Perguruan
Tinggi berubah menjadi “korporasi’ - dan menerapkan sistem kinerja dan budaya
korporasi, sehingga jikapun masih ada kegiatan mahasiswa, maka makna “produktivitas”
harus dimaknai sebagai “upaya menumbuhkan kapital” - padahal manfaatnya hanya
menjangkau segelintir orang saja.
(3) Orientasi pada pencapaian material dan
individualisme sebagai “motivasi” beberapa mahasiswa memasuki “gerakan sosial”
- dimana medan aktivisme bukan dipandang sebagai ‘ranah belajar’ - apalagi
ranah pergerakan, melainkan sebagai bagian dari “membangun portofolio personal”
- sehingga mereka yang memasuki gerakan mahasiswa sejak awal bahkan sudah
membangun “impian” untuk menjadi “politisi” - yang mapan secara ekonomi dan
sukses (populer). Ini pula yang berlangsung di organisasi-organisasi mahasiswa
di kampus (baik kanan maupun kiri!).
Peristiwa
1998 sungguh membekas dalam untuk saya pribadi yang bahkan pada saat
demonstrasi bersama kawan-kawan lain, ketika UGM diserbu aparat keamanan pada
13 Mei 1998, saya pun mengalami peristiwa yang memilukan, yaitu mengalami kekerasan seksual. Sesuatu yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk
“melepaskan hijab” saya dan sejak saat itulah hidup saya berubah. Saya menolak
glorifikasi maskulinitas termasuk pada ingatan sejarah tentang 1998. Sejarah
1998 juga milik KAUM PEREMPUAN. Saya ingat betul, pada Desember 1998, dalam
keadaan saya masih berusaha untuk “pulih” - saya yang pada saat itu bekerja
untuk sebuah NGO internasional, menyempatkan untuk datang ke Konggres
Perempuan. Konggres yang baru diadakan kembali setelah jatuhnya pemerintahan
otoriter Suharto. Konggres itu menyepakati suatu poin penting yang hingga kini
masih kita perjuangkan, yaitu “bagaimana suara dan pengalaman hidup kaum
perempuan berpengaruh penting bagi perubahan politik di Indonesia dan masa
depan kita sebagai bangsa Indonesia?”
Saya
ingin mengucapkan terimakasih pada kawan-kawan aktivis perempuan di UGM
terutama yang generasinya mengalami 1998 seperti saya, mereka yang telah ikut
membawa perubahan: Dhyta Caturani, Damairia Pakpahan, Lita Anggraini, Didien
Tri Susdinarti, Nining Wahyuningsih, Ernawati, dan masih banyak lainnya.
Perjuangan kita belum selesai. Bagaimana kita mampu melampaui “romantisasi
subyek” untuk terus mengawal dan menumbuhkan gerakan-gerakan pro demokrasi.
Terimakasih saya ucapkan pada generasi berikutnya, alumni dan mahasiswa UGM
yang menumbuhkan gerakan perempuan.
Yogyakarta,
31 Mei 2019.
Tia
Pamungkas
(Disampaikan pada diskusi mahasiswa API KARTINI di Yogyakarta)
(Disampaikan pada diskusi mahasiswa API KARTINI di Yogyakarta)
***
Diedit-ulang pada Selasa 29 September 2020 (pk. 09: 18 WIB) di Yogyakarta
RIP guruku, Cornelis Lay (Wafat 05.08.2020 di Rs. Panti Rapih Yogyakarta, dimakamkan 06.08.2020 di Pemakaman Guru-Guru Besar UGM, Sawitsari Sleman Yogyakarta)