Arab dan Pengaruhnya pada Kebudayaan Masyarakat Muslim Kontemporer*


*Dimuat di Jurnal  Biennale Jogja XII Equator #2 Edisi 3, Oktober 2013)

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas**


Ruang Alleppo 'Rumah Saudagar Kristen di Alleppo Syria' - di Pergamon Museum Berlin


Beberapa dekade terakhir ini kita menyaksikan transformasi sosial yang luar biasa melalui proses Islamisasi, yang memengaruhi landskap kebudayaan di Indonesia. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa masyarakat Muslim Indonesia mulai mengadopsi identitas yang identik dengan simbol kebudayaan ‘Arab.’

Proses tersebut berlangsung secara masif dan mengalami percepatan, khususnya pada masa Reformasi, ketika simbol-simbol identitas keislaman tersebut dikomodifikasikan secara massal, sehingga menciptakan pasar baru. Kontestasi atas klaim ‘Islam yang otentik’ terjadi melalui pencitraan dan konsumsi item-item yang diklaim sebagai wujud kesalehan sosial (public piety) masyarakat Muslim yang ingin mempraktekkan Islam secara ‘ka’afah’ (menyeluruh atau total).

Kebudayaan masyarakat Muslim (saya lebih suka menyebutnya demikian ketimbang ‘kebudayaan Islam,’ yang tidaklah identik dengan Arab) dan kebudayaan Arab tidak selalu serta-merta berkaitan dengan Islam. Talal Asad(2009), antropolog terkemuka di dalam kajian kebudayaan masyarakat Muslim,menjelaskan bahwa untuk mengkaji kebudayaan masyarakat Muslim harus disertai pemahaman basis teologi Islam.

Menurut Asad, secara teologis Islam adalah ‘satu’kesatuan entitas. Pada dasarnya, semua Muslim, baik bermazhab Sunni atau Syiah,memiliki dasar fundamen keimanan yang sama, yakni 5 pilar rukun Islam:menyatakan syahadat keimanan pada Allah dan Muhammad sebagai rasul-Nya,menunaikan shalat, memberi zakat, menjalankan puasa Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji jika mampu.

Sejarah perkembangan Islam selama beberapa abad sepeninggal Nabi Muhammad dan persebarannya ke berbagai wilayah, khususnya yang memiliki pre-existing culture, membentuk keragaman ekspresi keislaman kaum Muslim di berbagai penjuru dunia. Oleh sebab itu, pengertian atas ‘kebudayaan masyarakat Muslim’ lebih mewakili sebuahperspektif yang multi-dimensional, multikultural, dan bahkan pluralis (Gabrielle Marranci, 2008).

Sebagian besar publik mengasumsikan bahwa ‘Arab’ identik dengan ‘Islam’ dan sebaliknya. Asumsi ini tidak sepenuhnya keliru, meskipun merupakan generalisasi yang agak menyesatkan. Kita menyaksikan bahwa ekspresi budaya masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia saat ini, mengalami kecenderungan terhomogenisasi.

Sejak dua dekade lalu, muncul anggapan bahwa pengaruh Islam pada kebudayaan lokal, misalnya yang sudah berlangsung beberapa abad diJawa, tidaklah mewakili ekspresi keislaman yang ‘murni atau otentik.’ Ini mendorong sebagian besar Muslim di Indonesia untuk meninggalkan ekspresi kebudayaan lama di dalam kehidupan sehari-hari mereka, dengan motivasi untuk‘berislam’ dengan lebih benar.

Asumsi bahwa Islam kini identik dengan ‘Arab’ juga terjadi karena persepsi publik tentang representasi kebudayaan Arab cenderung didominasi oleh metafora kepentingan ‘Arab’ untuk mengislamisasi Indonesia. Publik lalu meniru apa yang selama ini muncul, terutama yang secara retoris danvisual dianggap mewakili kebudayaan Arab. Salah satunya adalah representasi bahwa Arab kontemporer identik dengan pembatasan ekspresi-ekspresi visual. Benarkah demikian?

Pemahaman yang generalistis semacam itu muncul di dalam benak kita (negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia) karena kita hanya mengenal ‘Arab’ melalui apa yang kita saksikan dan mendominasi memori kita tentang budaya Arab kini. Pengetahuan tentang sejarah kebudayaan masyarakat Arab yang beragam, termasuk pertautannya dengan Islam selama beberapa abad,seakan-akan lenyap atau tak pernah hadir.

Arab, sebagaimana juga Indonesia, adalah masyarakat yang beragam dan masih terus mencari identitasnya sebagai ‘bangsa Arab.’ Sejak runtuhnya Dinasti Ottoman (kekhalifan Islam terakhir), yang menguasai JazirahArab hampir seabad lalu, pertarungan ideologi keislaman bermunculan—yang sebelumnya memang sudah mengalami kontestasi di kalangan sebagian masyarakat Arab. Pada saat bersamaan, kontestasi politik berbasis nasionalisme sekuler juga memengaruhi bentuk tatanan sosial, politik, ekonomi, dan budaya bangsaArab.

Kekosongan pengetahuan kita misalnya bisa saya gambarkan melalui pengalaman saya menyaksikan jejak pertautan kebudayaan Arab yang beragam, ketika mengunjungi museum-museum seni Islam di beberapa kota di Eropa selama masa studi doktoral saya. Saya takjub menyaksikan beragam ekspresivisual kebudayaan Arab, berupa peninggalan dari masa dinasti-dinasti kekhalifan Islam yang pengaruh kekuasaannya bahkan sampai ke Eropa.

Ketakjuban itu semakin menggelora ketika saya menjelajahi dokumentasi manuskrip-manuskrip kuno yang penuh dengan gambar-gambar mengenai narasi kebudayaan masyarakat Arab, bahkan yang mewakili narasi jauh sebelum persebaran Islam. Pengetahuan ini tidak pernah saya peroleh sebelumnya dan sangat mengesankan, serta memengaruhi minat dan gairah studi saya untuk mengeksplorasi‘visualisasi’ di dalam tradisi Islam dan kebudayaan masyarakat Muslim.

Pada Oktober 2011 saya menemani beberapa tokoh publik Indonesia, beberapa tokoh pemimpin dan ulama Muslim serta rohaniwan Katolik dan Kristen Protestan, di Berlin. Mereka datang atas undangan pemerintah Jermanuntuk dialog antariman. Di sana, kami berkunjung ke Islamic Art Museum Pergamon, bersama beberapa staf KBRI Berlin.

Ada kejadian yang menggelitik saya tentang betapa ‘kosongnya’pengetahuan kita tentang keragaman masyarakat Arab. Seorang staf museum,perempuan Jerman bergelar doktor bidang sastra Arab, sedang menjelaskan tentang sebuah artefak berupa dinding rumah kaum Kristen Allepo di Suriah pada abad ke-16. Dinding itu terbuat dari kayu, dengan ukiran bermotif floral, binatang,dan manusia, disertai kaligrafi Arab. Pada bagian muka pintu rumah ada tulisan “Assalammu’alaikum wa rahmatullah’I wabbarakatuh” dan “Bismillah ir Rahman irRahim.”

Seorang staf KBRI yang kebetulan Muslim dan bisa membaca tulisan Arab (sebagaimana sebagian besar Muslim Indonesia, yang bisa membaca dan atau menulis huruf Arab untuk melafalkan kitab suci Al Quran, tetapi kurang mengerti bahasa Arab) terkejut dan menanyakan keasliannya. Staf museum itu tersenyum dan memastikan artefak ituauthentic,lalu menjelaskan pentingnya bagi orang-orang Kristen di Allepo pada masa Kekaisaran Ottoman untuk menempatkan simbol Islam pada muka pintu rumah mereka.

Pertanyaan tentang cultural authenticity atau semacam itu acapkali mengisi ruang bawah sadar kita. Pengetahuan tentang representasi Arab yang beragam tidak selalu bisa kita peroleh hanya dengan menelusuri jejak masa lalu sejarah budaya bangsa Arab. Pengetahuan mengenai keragaman budaya Arab bahkan juga bisa diamati melalui sejarah diaspora bangsa Arab di luar Jazirah Arab.

Di Indonesia, misalnya, kedatangan bangsa (etnis) Arab sejak berabad yang lalu memang dimovitasi oleh persebaran Islam melalui misi perdagangan dan pendidikan, yang memperoleh puncaknya justru di masa pemerintahan kolonial Belanda, pada abad ke-18 dan 19 (Michael Laffan, 2003). Migrasi etnis Arab ke Asia Tenggara, yang dikenal sebagai keturunan Hadrami, bahkan mengalami pembauran dengan kebudayaan lokal, termasuk di Indonesia.

Diaspora bangsa-bangsa Arab, khususnya pascakolonialisme dan pasca-Perang Dunia II, ke Eropa dan mayoritas masyarakat Barat di luar Eropa (seperti ke Amerika Serikat, Australia, bahkan ke Amerika Latin) juga menarik untuk diamati. Dibandingkan diaspora bangsa Arab ke Indonesia,misalnya, yang cenderung didominasi oleh salah satunya misi persebaran Islam,diaspora bangsa Arab ke ‘pusat’ peradaban modern bangsa-bangsa Eropa jauh lebih beragam, baik secara kesukuan, latar belakang kepercayaan, bahkan afiliasipolitik mereka.

Pertanyaan mengenai otentisitas kebudayaan bukan hanya menghantui para spectators(penyaksi atau penonton) kebudayaan Arab, melainkan juga menghantui benak orang-orang Arab diaspora. Menurut penelitian Engseng Ho (2006), kaum Hadrami Indonesia kini berusaha menelusuri kembali jejak otentisitas identitas kebudayaan nenek moyang mereka. Mereka berusaha membangun koneksi dengan tanah asal mereka, Hadramaut di Yaman, dan meningkatkan pertautan kebudayaan.

Generasi kedua dan ketiga imigran-imigran Arab di Eropa juga mengalami proses yang hampir serupa. Mereka berusaha untuk mencari‘tempat’ di mana kontestasi identitas kekinian mereka dibenturkan dengan sejarah masa lalu mereka. Hal ini khususnya dipicu peristiwa 11 September 2001,yang mempengaruhi konstelasi politik dan interaksi bangsa Arab diasporakhususnya di Eropa (dan atau Barat).

Pengetahuan mengenai keragaman budaya Arab khususnya yang diperoleh melalui peran gerakan diasporik (diasporicmovement) memberi kita gambaran lain mengenai ‘budaya Arab’ dari yang diwakili secara mainstream melalui media. Pengetahuan mengenai dinamika budaya kontemporer yang berlangsung di Jazirah Arab juga penting untuk mengetahui bagaimana kontestasi identitas bangsa Arab berlangsung di tanahnya sendiri. Kontestasi ini bukanlah suatu proses yang berlangsung secara tunggal. Hegemoni kekuatan budaya kelompok atau bahkan suku yang dominan saat ini tentu memengaruhi proses tersebut.

Demikianlah sedikit gambaran mengenai betapa beragamnya‘Arab,’ baik sebagai sebuah entitas kebudayaan yang terus bergerak maupun sebagai sebuah ‘bangsa’ yang mempengaruhi kebudayaan lain, termasuk Indonesia. Pengetahuan semacam ini membantu menjelaskan kepada kita tentang klaim yang mengadopsi identitas budaya yang dianggap sebagai ‘Islam Otentik.’ Islam tidak melulu identik dengan Arab, begitu pula sebaliknya.

Berlin, 20 Desember 2012

Referensi Utama:
Asad, Talal (2009). The Idea of an Athropology of Islam.Qui Parle Vol. 17 No. 2

Brenner, Suzanne (2011). Public Moralities in the PublicSphere: Democratization, Islam, and Gender in Indonesia. American Athropologist113 (3)

Ho, Engseng (2006). The Graves of Tarim: Genealogy andMobility Across the Indian Ocean. Berkeley: University of Californian Press.

Kailani, Najib (2010). ‘Muslimizing Indonesia Youths: The TarbiyahMoral and Cultural Movement in Contemporary Indonesia’, in Medinier Remy, 2010 (ed), Islam and the 2009 Indonesians Election, Political and Cultural Issues:The Case of Prosperous Justice Party (PKS). Bangkok: IRASEC.

Kuiper, Kathleen (2010). Islamic Art, Literature and Culture. New York: Encyclopedia Brittanica.

Laffan, Michael (2003). Islamic Nationhood and ColonialIndonesia: The Umma below the Winds. London: Routledge Curzor.

Marranci, Gabrielle (2008). The Anthropology of Islam.London, New York: Berg.

Arie Setyaningrum Pamungkas  (Tia Pamungkas) adalah Sosiolog UGM yang mengkaji kebudayaan, khususnya di bidang kajian media, seni dan kebudayaan masyarakat Muslim kontemporer. Menyelesaikan  studi S3 di Berlin Graduate School Muslim Culture and Societies / Institute for Asian and African Studies, Humboldt University, Berlin pada tahun 2015. 

No comments:

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...