Tuesday, October 27, 2015

Estetika Visual dalam Praktek Technoculture

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas (Tia Pamungkas)





“unlike the aesthetic of the simple man, unproblematic attachment to one coherent system of norms; the ‘popular aesthetic’ is defined and manifested (at least partially) in opposition to scholarly aesthetics, even if it’s never triumphantly asserted.

(Pierre Bourdieu, The Social Definition of Photography, 1999: 166)

Sebagai seorang pengamat budaya dan masyarakat, Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog yang memandang ‘estetika’ melalui sudut pandang ‘kecurigaan’ (suspicious). Menurutnya, ‘estetika’ bukan semata-mata suatu ekspresi subyektif yang prakteknya mendapat representasi di dalam diskursi publik; melainkan suatu mekanisme reproduksi sosial dimana pengetahuan dan cita-rasa terdistribusikan melalui sistem regeneratif yang berlangsung secara hierarkis dan sekaligus menstrukturkan agensi (pelaku-pelaku aktif) yang terlibat di dalam medan reproduksi budaya tersebut. Dalam konteks tersebut, Bourdieu menegaskan bahwa ‘kapital budaya’ berperanan di dalam medan budaya dimana ‘cita-rasa di-norma-kan’ dan menjadi mekanisme klasifikasi sosial. Kritik Bourdieu ini sejalan dengan pemikiran Max Horkheimer dan Adorno dari tradisi filsafat kritis yang memandang ‘estetika’ sebagai mekanisme represi yang terinternalisasikan melalui kekuatan sosial yang mengakar dalam, kemudian secara politis mengontrol cara-cara bekerjanya supremasi hegemoni praktek budaya sehingga berdampak efektif (Horkheimer dan Adorno, dipublikasikan kembali tahun 2001). Kecurigaan mereka dipahami dalam konteks dimana proyek modernisme dibawah logika ‘pencerahan’ (enlightenment), yang meskipun memberikan ruang kebebasan individual secara otonom ‘untuk memilih’ di dalam medan budaya, termasuk berkesenian, preferensi artistik orang pada umumnya sangat ditentukan oleh posisi mereka di dalam kelas sosial.

Mempersoalkan ‘estetika’ sebagai norma bagi saya menjadi suatu topik yang menarik khususnya ketika kita memasuki suatu ruang praktek budaya dimana teknologi mengubah bukan hanya kebiasaan hidup sehari-hari yang menjadi basis sosial kita, melainkan juga berpengaruh di dalam formasi struktur sosial, dimana klasifikasi ‘pembeda’ praktek budaya terus berlangsung di dalam medan sosial yang bersifat multidimensional. Pengertian multidimensional disini yang saya maksutkan adalah, medan  sosial kini tidak semata-mata berbasis pada bentuk-bentuk interaksi sebagai organisme sosial yang mensyaratkan setiap orang memperoleh ‘keanggotaannya secara formal’ di dalam kelas sosial (social membership) dimana identitas subyek menjadi prasyarat. Praktek budaya melalui teknologi multimedia canggih, memungkinkan beroperasinya medan budaya dimana ‘estetika’ tetap dimungkinkan berlaku sebagai ‘norma’ yang menstandarkan basis hierarki cita-rasa seni yang bersifat historis-generatif, tetapi praktek budaya teknologi tersebut juga sekaligus men-destabilisasi-kan atau bahkan men-dekonstruksi norma tersebut. Jikalau dalam praktek ‘berkesenian’ estetika merupakan bagian yang secara ekslusif menandai identitas seniman; maka dalam praktek technoculture relasi antara ‘estetika dan identitas’ bersifat ambigu. Misalnya, cyberculture memungkinkan kategori identitas di dalam ruang praktek teknologi virtual berdampak pada pudarnya basis-basis ‘struktur-kelas sosial’ sebagai penanda seberapa banyak kapital budaya yang dimiliki seseorang (individu), sekaligus mengaburkan ‘norma standar’ tentang keshahihan (legitimate) suatu ekspresi budaya. Dalam konteks ini, identitas tidak lagi merupakan suatu kategori yang bersifat ‘singular’, melainkan suatu ‘posisi temporer’ (temporarily occupied positions) yang bahkan bisa bersifat multiple ‘berganda’ di dalam komunitas yang luas dan beragam (multikultur).

Kebanyakan dari kita memahami budaya teknologi (technoculture) dalam pengertian yang sempit, yakni di dalam penggunaan perangkat elektronis (electronic devices). Pengertian semacam inilah yang selalu menjadi suatu stigma tentang medan teknologi (technological realm), sehingga terkesan bahwa teknologi lebih merupakan dunia yang bersifat ekslusif dan berhubungan dengan konsumsi yang berbasis pada sistem kelas sosial. Andrew Ross (1991) menerjemahkan budaya teknologi (technoculture) sebagai: “a circuit of cultural practices touched by advanced technology”. Pengertian ini dimaknai sebagai praktek budaya dimana sirkuit reproduksi budaya, sosial, ekonomi dan politik dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Pengertian mengenai teknologi sebagai suatu praktek kebudayaan (cultural practices) jauh sebelumnya telah dijelaskan oleh Walter Benjamin pada tahun 1939 dalam artikelnya, “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”. 

Karya Benjamin secara garis besar menjelaskan bagaimana transformasi di dalam konsepsi dan relasi antara self  (kesadaran/entitas diri) dengan realitas dimaterikan melalui reproduksi mekanis dan disimbolisasikan melalui kamera. Perubahan lingkungan sosial ekonomi masyarakat industri telah memungkinkan berlangsungnya produksi massa dan inovasi teknologi sehingga mengambil ruang yang lebih luas lagi di dalam praktek dan media kesenian. Walaupun, menurutnya pada gilirannya, proses ini memisahkan seni ritual-tradisional sehingga memiliki  muatan nilai yang baru dan memiliki nilai ekonomis dalam pasar yang khusus/terbatas. Argumen Benjamin yang paling mendasar menyatakan bahwa reproduksi mekanis secara definitif ‘tak dapat didefinisikan sebagai reproduksi otentisitas’. Menurutnya, reproduksi mekanis memungkinkan ‘emansipasi pengkaryaan seni tidak lagi semata-mata tergantung pada praktek ritual tradisional’. Dengan kata lain, Benjamin menandai lokasi penting di dalam transformasi budaya yang melibatkan peran teknologi yang mengubah praktek sosial, ekonomi dan politik, yakni munculnya ‘massa’ (masses) dan gerakan-gerakan massa (mass movements). Reproduksi mekanis memungkinkan aktor (kita sebagai pencetus gagasan dan penghasil karya atau wujud budaya) memiliki publik yang tak terbatas.

Bill Nichols (2000) menandai argumentasi Benjamin mengenai ‘reproduksi mekanis’ di dalam mencermati perkembangan technoculture mengenai cybernetic systems (sistem cybernetic). Sistem cybernetic meliputi seluruh rangkaian mesin dan piranti-piranti yang mengisi dan menggerakkan kemampuan komputasi. Sistem semacam ini bersifat dinamis bahkan jika sekalipun bersifat terbatas, memiliki kemampuan kecerdasan tinggi. Jaringan telpon, komunikasi satelit, sistem radar, video compact disk yang dapat diprogram, robot, rekayasa sel-sel biogenetik, sistem pengaturan roket, jaringan internet, seluruhnya yang mampu digerakkan melalui kinerja komputasi yang berisikan kapasitas untuk memproses informasi dan mengambil (mengeksekusi) tindakan (action). Seluruh piranti teknologi itu dapat kita sebut sebagai ‘cybernetic’ dikarenakan keseluruhan proses teknologi ini meliputi kemampuan mekanisme meregulasikan (mengatur) dirinya sendiri (self-regulating mechanism) atau sistem yang telah terlebih dahulu mendefinisikan keterbatasan-keterbatasannya (predefined limits) dan berkenaan dengan melaksanakan tugas-tugas yang telah terlebih dahulu didefinisikan (predefined tasks). Dengan mengacu pada tesis Walter Benjamin, Bill Nichols mengajukan pertanyaan serupa yakni, “bagaimana sistem cybernetic disimbolisasikan melalui kinerja komputasi merepresentasikan serangkaian transformasi-transformasi di dalam konsepsi mengenai self dan realitas.” Nichols menyatakan bahwa pertanyaan semacam itu merupakan suatu ambivalensi yang mengacu pada apa-apa saja yang membentuk imajinasi mengenai keberadaan yang liyan (other) karena sistem cybernetic merupakan ‘kecerdasan artifisial’.

Sistem tersebut berlawanan dengan cara-cara umum dimana biasanya kita cendrung menguji dan mengukur batasan-batasan tentang identitas yang kita miliki melalui penjelasan hermenetik ganda. Cara-cara pengujian ‘identitas’ semacam itu melibatkan unsur kecurigaan (suspicion) dan pengungkapan (confession) yang bertendensi ‘mengkritisi secara negatif (kebalikan)’ terhadap bentuk-bentuk dominasi, tendensi terhadap kontrol, dan potensi laten yang menuju pada kolektivitas yang artikulasinya berkarakter ‘singular’. Secara sederhana, identitas subyek selalu dijelaskan melalui konsepsi ‘menandai’ apa-apa yang membuat seseorang memiliki kesamaan atau bahkan perbedaan dengan orang lain. Dengan kata lain, konsepsi identitas dalam kajian budaya selama ini selalu mengacu pada ‘keterlibatan’ subyek  dalam asosiasi-nya dengan orang atau sekelompok orang yang lain (kolektivitas). Budaya teknologi melalui kemunculan komunitas maya (cyberculture) memungkinkan artikulasi identitas bukan lagi menjadi ruang dimana ‘subyektivitas’ tertundukkan oleh ‘kolektivitas’ sebagaimana yang berlangsung pada ‘ruang sosial fisik’ kita. 

Donna Harraway (1989, dipublikasi ulang tahun 2003) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi informasi melalui internet bukan sekedar transformasi teknologi melainkan transformasi kebudayaan yang di dalamnya memuat ideologi baru yakni: (1) teknologi merupakan elemen mesin yang menyesuaikan dan memperluas jangkauan kehadiran fisik kita ; (2) mesin itu sendiri sebenarnya adalah kita, kita sendiri yang menggerakkannya, dan karenanya merupakan perwujudan (embodiment) kita; (3) mesin tersebut bukan sesuatu yang semata-mata bersifat mekanis dan sepenuhnya menguasai kita. Ia menggarisbawahi bahwa persekutuan antara manusia dan mesin teknologi ini adalah metafora mengenai ‘cyborg’ yakni: ‘a cybernetic organism, a hybrid of machine and organism, a creature of social reality as well as a creature fiction’.  Pernyataan Donna Harraway ini memunculkan pertanyaan bukan lagi mengenai ‘apakah’ melainkan; ‘bagaimana persekutuan antara manusia dan mesin teknologi memiliki konsekuensi di dalam medan transformasi budaya yang semula berkarakter eksklusif menjadi suatu ruang praktek budaya yang bersifat inklusif, khususnya di dalam praktek visual sebagai ‘the art of everyday life’.

Sejarah visualisasi diri di dalam praktek technoculture pada awalnya sama sekali bukan ditujukan untuk praktek konsumsi-massa yang bersifat rekreatif, melainkan bermula dari suatu modul scientific pada pertengahan abad 20 yang dikenal dengan istilah ‘H-anim’ (Human-animation). Dimana aplikasi visual manusia digunakan untuk menguji secara matematis produksi obyek teknologi canggih seperti pesawat luar-angkasa, ruang pengujian arsitektural, aplikasi robotik sebelum uji-coba secara manual, bahkan aplikasi teknologi ‘surveilence’ seperti yang digunakan pada sistem perbankan, sirkulasi telekomunikasi-informasi dan pengujian persenjataan militer (Howard Rheingold: 2006). Dalam perkembangannya, jangkauan praktek visualisasi diri semacam ‘H-anim’ melalui teknologi internet diperluas melalui kinerja piranti software VRLM (Virtual Reality Markup Language, suatu aplikasi 3D dimana human model dianimasikan secara kompleks yang berakar pada software berbasis Object Oriented Programming Language semacam ‘Java’). Penggunaan aplikasi semacam ini yang kemudian mendorong munculnya MUDs (Multi-User Dungeons), suatu program game-komputer interaktif yang memiliki setting imajinasi sosial, dimana penggunanya dapat ‘mengkreasi’ karakter-karakter yang dapat mendiami suatu lingkup lingkungan sosial tertentu. 

Pada awalnya, hampir satu dasawarsa lalu keterkaitan seseorang di dalam praktek technoculture MUDs semacam ini memang bersifat ‘elitis’; akan tetapi kini, dikarenakan semakin banyaknya pengakses internet dan teknologi mobile, serta perluasan ‘multi-user virtual worlds’, serta dukungan modal kapital ekonomi melalui ‘kekuatan advertising’; aplikasi semacam itu tak perlu lagi mensyaratkan skills atau pengetahuan khusus yang berbasis pada bahasa program, melainkan lebih menekankan pada kualitas pengalaman dan intensitas subyek ke dalam interaksinya di dalam komunitas cyber-world.  Seseorang dengan mudah dapat menciptakan ‘realitas’ seperti yang diimajinasikannya dengan dilengkapi perangkat hardware khusus atau bahkan sama sekali tidak memerlukan perangkat hardware yang mensyaratkan metode ‘plug-in’ karena program ‘builder’ software-nya dapat dibeli dan atau bahkan gratis dapat diunduh melalui internet. Meskipun perlu dicatat, hal ini berlaku hanya pada pengguna internet yang memiliki kualitas yang berbeda tergantung pada kondisi hardware dan kapasitas jangkauan akses yang broadband; tentu saja!

Referensi:

Benjamin, Walter, 1999 (re. “The Work of art in the age of mechanical production”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Bourdieu, Pierre, 1999. “The Social Definition of Photography”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Bourdieu, Pierre, 1994. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, London: Routledge.
Carvin, Andy, 2002. “Mind the Gap: The Digital Divide as the Civil Rights Issue in the new Millenium”, dalam Erik Bucy, Living in the Information Age, Belmont-USA: Wadsworth.
Cowie, Elizabeth, 1999. “Fantasia”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Eagleton, Terry, 1990. The Ideology of Aesthetic, Malden-Massachussets: Blackwell Publishing.
Harraway, Donna, 2003 (recollected). “A Manifesto for Cyborgs: Science, Technology, and Socialist Feminism in the 1980s”, dalam Martin-Alcoff dan Mendieta, Identities: Race, Class, Gender and Nationality, Oxford: Blackwell Publishing.
Hiller dan Rooksby (ed), 2002. Habitus: A Sense of Second Place, London: Ashgate.
Horkheimer dan Adorno, 2001. “The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception”, dalam Durham dan Kellner, Media and Cultural Studies: keywords, Oxford: Blackwell Publishing.
Jessica, Evans dan Stuart Hall, 1999. “What is Visual Culture?”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage.
Massey, Doren, 1993. “Politics of Space/Time”, dalam Michael Keith dan Steve Pile, Place and the Politics of Identity, London: Routledge.
McLuhan, Marshall, 2001. “The Medium is the Message”, dalam Durham dan Kellner, Media and Cultural Studies: keywords, Oxford: Blackwell Publishing.
Nichols, Bill, 2000. “The Work of Culture in the Age of Cybernetic Systems”, dalam John Thorton Caldwell (ed), Electronic Media and Technoculture, New Brunswick: Rutgers University Press.
Rheingold, Howard, 2006. The Virtual Community (“Chapter 5: Multi-User Dungeons and Alternate Identities”), versi elektronik di akses melalui alamat situs: http://www.rheingold.com/vc/book, diakses (downloading) pada tanggal 1/11/2007.
Ross, Andrew, 1991. Strange Weather: Culture, Science and Technology in the Age of Limit, NY: Verso.


Catatan Membaca Nyai Ontosoroh: Resistensi dan Ambivalensi Identitas Dunia Ketiga*


Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas





Membaca dan menginterpretasi karya-karya Pramoedya dari berbagai sudut pandang kajian tak-kan pernah ada habisnya karena karakter utama dari novel-novel Pramoedya selalu bercirikan muatan kritik sosial dan pencarian esensi nilai-nilai kemanusiaan yang tak kan pernah ada batasnya. Karakter kritik sosial yang utama dalam karya Pram adalah representasi tentang bagaimana manusia selalu berhadapan dengan ‘ketegangan’ diantara struktur penindasan di satu sisi dan daya juang (survival) yang muncul sebagai respon subyektif bagaimana seseorang menempatkan kesadaran dan praktek sosialnya  di dalam struktur penindasan itu sendiri.

Struktur penindasan yang digambarkan Pram diibaratkan sebagai dua sisi mata uang. Pertama, ibarat suatu pola bineri (hitam-putih) Orientalisme yang menggambarkan Timur sebagai obyek yang pasif terhadap penundukan subyektivitas Barat (modernitas-rasionalitas) karena situasi kolonialisme yang menempatkan kategori pribumi sebagai warga negara kelas tiga (menurut pembagian strata sosial kolonial Belanda). Kedua, karya Pram bukan hanya bisa dibaca melalui model analisis struktural-Marxis yang masih menekankan pada pola-pola biner tentang relasi kekuasaan, tetapi menghadirkan situasi yang ambivalen ketika subyek yang mengalami pengalaman ketertindasan dilingkupi oleh nilai dan praktek menindas subyek yang lainnya yang sama-sama berada di dalam struktur penindasan kolonialisme.

Sisi yang kedua inilah yang mendorong eksplorasi tentang dimensi lain tentang esensi kemanusiaan kita, khususnya ketika ‘pengalaman kolonial’ yakni berupa penindasan dan pencarian bentuk kesetaraan antar manusia hingga kini masih terus berlanjut. Disini, karya Pram dapat dikatakan berkarakter ‘kosmopolitan’ karena dimensi mengenai wujud kesetaraan akan selalu bersifat dinamis karena perubahan peradaban manusia di dalam interaksi sosial termasuk gaya hidup, pergeseran nilai di dalam mengorientasikan idealisme dan tata-politik (pola dan hubungan kekuasaan).  Dari dua sisi pembacaan itu, maka karya-karya Pram bukan hanya sekedar ‘merekam’ setting sosial budaya di dalam sejarah kolonialisme, melainkan juga memberi ruang yang selalu bersifat ‘terbuka’ untuk eksplorasi tentang apa itu kekuasaan, bagaimana kekuasaan dijalankan melalui struktur penindasan politik berbasis pada orientasi material dan kehendak menguasai dan bagaimana manusia adalah subyek yang bersifat politis dan karenanya akan selalu mencari ruang untuk bertahan di dalam struktur itu sendiri dan menggunakan struktur yang melingkupinya sebagai legitimasi tindakannya.

Dari pemaparan dimuka, saya memilih untuk mencoba melihat sisi kedua dari pembacaan terhadap karya Pram untuk kemudian menarik suatu refleksi ke masa kini tentang bagaimana mengeksplorasi dimensi kesetaraan yang aktual. Upaya semacam ini dimulai dengan mencoba melihat relasi kekuasaan khususnya penindasan (opresi) juga sekaligus melahirkan ambivalensi baik di dalam struktur penindasan itu, maupun bagaimana mereka yang terlibat di dalam relasi ini membangun subyektivitasnya untuk menyikapi penindasan itu sendiri. Dari kisah yang dituturkan Pram, kita mendapati bahwa kolonialisme telah ‘melahirkan orientasi bagi praktek sosial yang yang terhierarki’  sebagai konsekuensi dari relasi ‘yang menguasai’ dan ‘yang dikuasai’. Akan tetapi, dalam kisah itu kita mendapati ambivalensi praktek sosial sebagaimana yang dikisahkan tentang seorang ayah yang tega ‘menjual’ anak gadisnya sendiri. Kisah mengenai sosok Nyai Ontosoroh dan Surati melahirkan suatu rumusan pertanyaan besar mengenai ‘apa dan bagaimana’ kesetaraan itu dapat memberi ruang artikulatif dan representasi bagi setiap orang yang terlibat di dalam relasi kekuasaan.

Catatan kecil ini merupakan pengantar diskusi untuk mengeksplorasi wilayah tentang ‘relasi kekuasaan’ yang juga menjadi tema sentral di dalam isu tentang kesetaraan gender. Tema mengenai ‘kesetaraan gender’ tidak menjadi catatan khusus saya disini karena saya ingin menunjuk pada bagaimana melihat pola relasi kekuasaan dibangun dan dijalankan dan karenanya dapat melintasi isu tentang kategori pembedaan struktur seperti kelas, gender, maupun etnisitas dan ras. Secara khusus eksplorasi ini menarik kita kaji dengan menggunakan perspektif pascakolonial yang memandang dimensi penindasan tidak hanya bersifat tunggal (a singular dimension of oppression) sebagaimana biasanya kita melihat dimensi penindasan di dalam struktur kelas, gender, etnisitas-ras. Hal ini karena dimensi kekuasaan juga bersifat kompleks yang melibatkan pula relasi antara berbagai dimensi penindasan dengan strategi-strategi resistensi.

Pendekatan pascakolonial difokuskan pada ‘analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik’. Kajian semacam ini melahirkan wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Sekaligus juga mentidak-stabil-kan wacana mengenai relasi ‘the West and the Rest’ (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner (contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain). Efek kolonialisme juga mewarisi suatu perasaan atau kesadaran atas ketidak-amanan (insecurity) dan ketidakstabilan yang melahirkan resistensi. 

Oleh karena itu, bangsa-bangsa dari Dunia Ketiga merupakan hasil dari tatanan internasional yang pondasinya dibangun dari kekuatan kolonial Eropa. Dengan kata lain, tidak ada satupun identitas yang tidak terkontaminasi oleh sistem Barat yang hegemonik. Identitas Dunia Ketiga tidak lagi bersifat otentik dan karenanya melahirkan ‘hibriditas sekaligus ambivalensi’ di dalam relasinya dengan Dunia Pertama (Barat). Hibriditas sekaligus ambivalensi itu kita temukan dalam karakteristik masyarakat dan relasi sosial Dunia Ketiga yang dipengaruhi proyek-proyek modernitas Barat, misalnya dalam menyikapi pencapaian-pencapaian material.

Identitas politik di dalam konteks pascakolonial berkenaan dengan representasi subyek atau kesadaran seseorang yang dikonstruksikan oleh berbagai aspek di dalam relasi sosial misalnya seperti: kelas, gender, ras, seksualitas, dan etnisitas. Kelas, ras dan etnisitas misalnya dapat dikonspirasi untuk suatu proyek pembentukan identitas nasional. Gender juga memiliki pengaruh sinergis sebagai sumber imajer bagi konstruksi identitas nasional, misalnya lewat pengungkapan dan simbol-simbol gender yang dibagi bersama sebagai ikatan kolektif, misalnya konsep mengenai ‘Motherland-Fatherland’. Sehingga konstruksi identitas berawal dari sumber-sumber imajiner yang menentukan posisi atau lokasi kita dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, karena identitas berkenaan dengan ‘posisi—lokasi’ subyek di dalam lokus sosial, maka identitas bukanlah suatu obyek atau substansi yang bersifat esensial, melainkan situasional.


*Disampaikan pada diskusi tentang Perempuan dan Gerakan Gemar Membaca Buku di Perpustakaan Kantor Wilayah DI Yogyakarta, 2009



Thursday, October 22, 2015

Kaum Muda dan Kebutuhan Atas Ruang Publik (Studi Kasus: Yogyakarta) *

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas** 




Pengantar 

Mengapa soal ruang publik perlu menjadi perhatian kita dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan peran kaum muda? Ruang publik menyediakan segala kesempatan bagi setiap lapisan masyarakat untuk saling mengenal, mengamati apa dan bagaimana suatu masyarakat berkembang. Di ruang publik hampir tak ada batasan kelas sosial yang mencolok – meskipun penanda kelas sosial tetaplah hadir di dalam ruang publik. Dalam presentasi ini saya akan menggunakan studi kasus dari hasil penelitian saya mengenai ruang publik, kaum muda dan produksi ruang sosial di kota Yogyakarta sebagai studi kasus yang saya ambil dari hasil penelitian saya pada tahun 2014. 

Perkembangan kota Yogyakarta yang pesat selain sebagai kota pariwisata juga sebagai kota tujuan pendidikan dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk khususnya bonus demografi yakni semakin bertambah besar jumlah generasi muda khususnya usia20-an yang menjadi pelajar (mahasiswa). Bonus demografi ini menjadi penting mengingat kaum muda khususnya mahasiswa memiliki dinamika kehidupan sosial yang menghubungkan aktivitas belajar mereka dengan kehidupan sehari-hari yang rutin dan aktivitas lainnya khususnya yang berkenaan dengan interaksi sosial mereka di luar maupun di dalam kampus yang mempengaruhi perubahan sosial. 

Bagi sekelompok generasi muda (khususnya mahasiswa) ‘ruang komunal’ menyediakan basis bagi solidaritas kaum muda (sebagai penggerak sosial di masa depan) tetapi juga berpotensi pada keretakan kohesi sosial. Ruang komunal tidak selalu identik dengan ‘ruang publik’. Yogyakarta yang dicitrakan sebagai kota pendidikan yang menyejarah ikut mempengaruhi bagaimana sikap mental para penghuni kota ini terhadap para pendatang khususnya generasi muda (mahasiswa) yang memiliki dinamika kehidupan moderen sekaligus berada di dalam kelas sosial menengah intelektual. Sebagai contoh dari aspek ‘ruang komunal’ generasi muda intelektual ini adalah apa yang menjadi infrastruktur dan suprastruktur di dalam Unit Kegiatan Mahasiswa di kampus. Bagaimana melalui UKM mahasiswa berinteraksi dan memahami apa yang menjadi kegelisahan bukan hanya kegelisahan para mahasiwa saja tetapi bahkan pada yang menjadi perhatian (concern) publik.Secara khusus misalnya bagaimana mahasiswa berbagi solidaritas baik sebagai warga kota Yogyakarta dan sekaligus sikap mental mereka atas pemanfaatan ruang publik di kota Yogyakarta sebagai suatu kesadaran intelektual yang mendorong arah perubahan sosial. 

Semakin menyempitnya ruang komunal yang tersedia untuk kepentingan publik di kota Yogyakarta terjadi dikarenakan banyak faktor, akan tetapi faktor utama yang paling menonjol adalah semakin besarnya alih fungsi ruang komunal yang semula berfungsi sebagai ruang publik bersama menjadi ruang yang cenderung bersifat komersial khususnya bagi tujuan pariwisata. Berubahnya fungsi ruang publik yang mempertemukan berbagai kelompok masyarakat yang plural ini terjadi di dalam proses ‘pendudukan’ ruang publik sebagai ruang komunal menjadi ruang komersial.Perubahan fungsi ini menjadi suatu penanda yang amat mencolok di kota Yogyakarta khususnya selama 5 tahun terakhir ini. Sebagai contoh, fungsi dari alun-alun baik di utara dan selatan, dioptimalisasikan lebih banyak bagi kepentingan komersial yakni atraksi dan hiburan bagi wisatawan khususnya wisatawan domestik yang dirasakan cukup mengganggu aktivitas sehari-hari wargakota Yogyakarta, khususnya berkenaan dengan kepadatan arus lalu lintas,kesemwarutan penggunaan fasilitas publik termasuk jalan raya dan lain sebagainya. Kecenderungan untuk menjadikan kota Yogyakarta lebih sebagai kota tujuan wisata memang mendorong pertumbuhan industri pariwisata lokal termasuk menumbuhkan geliat ekonomi usaha kecil dan menengah. Akan tetapi tujuan pembangunan wisata itu menjadi bersifat eksesif (berlebih-lebihan) dan telah menjadikan tata ruang di Kota Yogyakarta berjalan seakan akan tidak sesuai dengan perencanaan kota yang baik khususnya yang mempertimbangkan keberadaan kota Yogyakarta sebagai‘kota budaya’ dan juga sebagai 'kota pendidikan'. 

Menyempitnya ruang publik bagi pertemuan dan interaksi warga kota Yogyakarta secara komunal juga berdampak signifikan pada aktivitas kehidupan kota ini sebagai kota pendidikan. Di masa lalu, mahasiswa misalnya, merupakan elemen penting penggerak perubahan sosial dan politik di Indonesia tak terkecuali khususnya mahasiswa di kota Yogyakarta. Pertemuan para mahasiswa di ruang komunal –dimana ruang publik tidak mengenal kepemilikan personal – telah menjadikan mahasiswa yang belajar di kota Yogyakarta memiliki karakteristik keunikan,yakni membentuk berbagai komunitas – khususnya komunitas studi, komunitas belajar, komunitas berkesenian dan berorganisasi yang melintas batas-batas kampus, latar belatang sosial, kesukuan, agama dan kepercayaan. Kaum muda khususnya mahasiswa adalah bagian dari warga kota Yogyakarta yang menggerakkan dinamika di kota ini. Para mahasiswa yang datang dari luar kota Yogyakarta,luar pulau Jawa, bahkan dari luar negeri ikut membentuk dinamika kota Yogyakarta,memberi sumbangan pada pembangunan ekonomi, dan juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang multikultur di kota ini. Artinya, keberadaan kaum muda khususnya para mahasiswa ini menjadi bagian penting dari arah pergerakan kota Yogyakarta baik secara spasial – dikarenakan kebutuhan untuk memenuhi infrastruktur pendukung seperti akomodasi, tempat tinggal (kos-kos-an, asrama) maupun secara kultural. Perkembangan kota Yogyakarta dan modernitas yang semakin luas dan kompleks membuat para mahasiswa khususnya para pendatang semakin terisolasi dari dinamika komunitas dimana mereka tinggal (menetap sementara). Jika di masa lalu, dinamika di dalam kampung – di wilayah dimana para mahasiswa ini indekost, mahasiswa acapkali terlibat di dalam kegiatan yang diselenggarakan warga dan memiliki inisiatif seperti layaknya warga asal. Fenomena KKN (Kuliah Kerja Nyata) di dalam kota menunjukkan ironi sesungguhnya yang mencerminkan ‘ketercerabutan’ interaksi mahasiswa (khususnya para pendatang) dari dinamika secara internal sebagai bagian dari ‘warga kota’. Disisi lain, memang dikarenakan aktivitas yang lebih banyak diluangkan di dalam kampus, mahasiswa khususnya pendatang lebih cenderung dianggap sebagai warga kelas dua – dalam pengertian dikarenakan status mereka yang menetap hanya sementara dan mobilitas mereka dalam memilih lokasi tempat tinggal secara alamiah menjadikan halangan bagi para mahasiswa untuk lebih banyak berinteraksi secara sosial di wilayah dimana mereka tinggal. Ruang spatial dan produksi ruang sosial amat jarang diperhatikan sebagai bagian dari strategi pembangunan manusia – khususnya kaum muda. Saya akan membahasnya sebagai berikut. 

 a. Implikasi Sosial Tata Ruang Kota Yogyakarta 2008-2014 

Menurut Perdais Yogyakarta tahun 2013 mengenai Tata Ruang, secara umum dapat disimpulkan bahwa tata ruang Yogyakarta bukan hanya meliputi pola – perencanaan tata ruang (tata ruang wilayah perkotaan dan tata ruang wilayah pedesaan )melainkan juga tata ruang lindung dan tata budidaya. Dalam perdais Yogyakarta2013 yang terbaru ini, warga masyarakat Yogyakarta diperkenankan untuk melaporkan pembangunan yang tidak sesuai dan dianggap merugikan kepentingan masyarakat umum serta dinilai tidak bersesuaian dengan nilai-nilai keistimewaanYogyakarta. Perdais Yogyakarta mengenai tata ruang sebelumnya di tahun 2010 misalnya, banyak dikritisi kalangan publik dan masyarakat Yogyakarta dikarenakan banyak pelanggaran atas implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Yogyakarta. Hal ini misalnya, nampak pada pembangunan hotel-hotel baru, apartemen-apartemen mewah dan kondominium serta mal-mal yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan masyarakat umum sehingga bukan hanya menambah beban kepadatan ruang di kota Yogyakarta bahkan berdampak secara signifikan misalnya pada persediaan air bersih dari sumur-sumur di wilayah pemukiman masyarakat di kota Yogyakarta khususnya. Oleh karena itulah, Perdais Yogyakartatahun 2013 mengenai Tata Ruang membuka peluang partisipasi warga masyarakat (publik) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya untuk mengajukan saran bahkan keberatan pada pembangunan yang dianggap merugikan kepentingan umum. 

Pembangunan sektor pariwisata yang pesat di kota Yogyakarta khususnya dalam jangka waktu lima tahun terakhir ini, yakni 2008-2014 semakin menunjukkan peningkatan jumlah arus wisatawan domestik dari dalam negeri ketimbang sebelumnya, yakni jumlah arus turis dari luar negeri. Hal ini berdampak secara signifikan pada pola bisnis di sektor pariwisata di kota Yogyakarta misalnya, yang juga mengutamakan pelayanan bagi wisatawan domestik yang datang berkunjung ke Yogyakarta bukan dalam rangka liburan sebagaimana kebanyakan kecendrungan wisata secara konvensional – melainkan pada kepentingan untuk mengadakan pertemuan bisnis,workshop, konferensi – dengan kata lain, keberadaan wisatawan non ‘liburan’ kekota Yogyakarta juga semakin besar sehingga mendorong pembangunan untuk akomodasi dan kebutuhan untuk wisata semacam konferensi, workshop dan pertemuan bisnis tersebut. Meskipun sebagaimana yang seringkali diliput oleh koran-koran(harian) lokal maupun nasional, justru pertumbuhan hotel berbintang yang pesat di kota Yogyakarta berdampak kurang baik pada hotel-hotel kelas melati untuk kelas menengah bawah – yang selama ini ‘survive’ di kota Yogyakarta. Jika hotel-hotel berbintang tetap penuh meskipun bukan pada musim liburan, maka hotel-hotel kelas melati ini justru sangat merugi juga karena banyak hotel hotel berbintang yang ‘banting harga’ – yakni memberi diskon yang cukup murah bagi pelanggan mereka. Sementara itu disisi lain, pembangunan mal-mal baru dikota Yogyakarta secara signifikan juga mempengaruhi pola budaya masyarakat. Masyarakat umum khususnya kelas menengah atas dan kaum muda seakan-akan didorong untuk melakukan pola konsumsi dan aktivitas lain di dalam mal yang dianggap lebih nyaman ketimbang pasar-pasar tradisional misalnya. Meskipun keberadaan pasar – pasar tradisional di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk kota Yogyakarta khususnya, saat ini dapat dianggap sebagai sarana aktivitas berbelanja yang cukup nyaman – kebersihan pasar-pasar tradisional dan infrastruktur pendukungnya secara relatif jauh lebih baik ketimbang pada masa Orde Baru di tahun 90-an misalnya. Artinya, keberadaan ruang-ruang yang tetap mencirikan sifat budidaya – dan nilai-nilai tradisional di Yogyakarta secara terus-menerus juga tetap diupayakan untuk terus diperbahurui. Dalam konteks inilah, seakan-akan pembangunan tata ruang khususnya di kota Yogyakarta –seperti berjalan masing-masing tanpa koordinasi yang cukup baik. 

Sensitivitas publik khususnya di kota Yogyakarta berkenaan dengan implementasi pelaksanaan tata ruang kota sepanjang tahun 2013 dan 2014 semakin meningkat ditandai oleh munculnya gerakan-gerakan sosial yang pada intinya mengkritisi pembangunan hotel-hotel berbintang dan mal mewah yang dianggap tidak bersesuaian dengankepentingan masyarakat umum. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk wilayah KotaYogyakarta juga memiliki kekhususan pola sosial budayanya tersendiri sebagai dampak dari pola pembangunan ruang yang selama ini berjalan khususnya yang masih mempertimbangkan nilai-nilai filosofi dan budaya lokal (Jawa). Dalam pengertian ini, ruang budidaya meliputi segala aspek sosial budaya masyarakat Yogyakarta yang mempertimbangkan harmoni dan kohesi sosial, tenggang rasa, gotong-royong dan kebersamaan serta sikap toleran dan terbuka pada warga pendatang yang multikultural. Artinya,sejak awal mula perencanaan ruang, termasuk Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) seharusnya mempertimbangkan pula aspek-aspek selain aspek ekologis juga aspek sosial dan budaya. Keresahan yang muncul di masyarakat kota Yogyakarta akhir-akhir ini, misalnya ditandai oleh gerakan-gerakan sosial seperti ‘YogyaAsat’ – yang memprotes pemerintah kota Yogyakarta yang dianggap membiarkan pembangunan sarana fisik khususnya perhotelan, apartemen mewah dan kondominium serta mal – yang berdampak pada menyusutnya persediaan air dari dalam tanah (air sumur) di wilayah pemukiman warga sekitar di kota Yogyakarta. Perkembangan sarana fisik itu bukan hanya berdampak secara ekologis, melainkan juga secara sosial – sehingga menimbulkan segregasi sosial – yang nampak mencolok,khususnya bagi warga yang berada di kelas menengah bawah. Selama ini, selain terkenal sebagai kota tujuan wisata, Yogyakarta juga merupakan kota tujuan melangsungkan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Sehingga tidak mengherankan jika banyak warga pendatang dari luar kota Yogyakarta yang menginginkan untuk melanjutkan pendidikan tingginya di kota ini, selain dianggap sebagai kota yang nyaman dan mendukung pendidikan – dimana setiap orang memiliki waktu untuk belajar dengan tenang serta sikap dan toleransi warga Yogyakarta yang dianggap ramah dan menerima kedatangan para pelajar dan mahasiswa-mahasiswa dari luar daerah Yogyakarta. 

Sementara itu, pemerintah seharusnya lebih bijaksana menanggapi keresahan publik khususnya di wilayah kota Yogyakarta berkenaan dengan implementasi Rencana Tata Ruang Kota (RTRK)sehingga kepentingan publik tidak terabaikan. Hingga saat ini, sepertinya komunikasi berjalan masih kurang baik antara perencana RTRK yakni pemerintah kota Yogyakarta dan warga masyarakat. Pada banyak implementasi pembangunan fisik di kota Yogyakarta misalnya selama tahun 2008-2014, koefisiensi dasar bangunan, koefisiensi lantai bangunan masih belum mempertimbangkan bagaimaina memberi ruang representasi yang cukup memadai bagai koefesiensi dasar hijau. Artinya,pembangunan fisik selama lima tahun terakhir di kota Yogyakarta cenderung mengabaikan pemeliharaan dan pemanfaatan wilayah hijau dan zona ekologis yang nyaman dari polusi baik polusi udara dikarenakan kepadatan lalu lintas sertapolusi suara – yakni kebisingan. 

Pembangunan fisik yang begitu pesat khususnya dalam lima tahun terakhir ini secara ironis justru sedikit sekali melibatkan partisipasi warga masyarakat Yogyakarta secara umum. Keberadaan para investor bagi pembangunan hotel-hotel berbintang,apartemen dan kondominium mewah serta mal-mal, seakan-akan berjalan terus tanpa kendali yang nyata dari peran pemerintah lokal yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat luas. Sebagaimana yang telah diketahui oleh publik, banyak warga setempat khususnya di wilayah kota Yogyakarta dan wilayah penyangga di sekitar kota Yogyakarta yang menjalankan usaha selama berpuluh-puluh tahun melalui bisnis kos-kos-an yang secara relatif jauh lebih murah dan terjangkau, sehingga menjadi salah satu alternatif daya tarik bagi para pendatang khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Oleh karena itulah, Perdais Yogyakarta tahun 2013 yang juga memuat Rencana Detil Tata RuangKota (RDTRK) diharapkan mampu untuk menata kembali kesemrawutan pembagian zonasi – wilayah di dalam tata ruang kota Yogyakarta sehingga nampak jelas batasan bagi wilayah zona industri, ekonomi dan bisnis, zona wisata dan herritage, zona pendidikan, dan zona pembangunan pemukiman-pemukiman baru seperti perumahan, apartemen dan kondominium. Selama ini, keberadaan pembagian zonasi semacam itu tidak berjalan dengan baik khususnya sepanjang waktu 2008-2014 sehingga muncul keresahan di masyarakat dan publik Yogyakarta berupa protes sosial pada pemerintah. Pembangunan tata ruang kota yang semrawut dikota Yogyakarta inilah yang kemudian pada gilirannya justru mencederai citrakota Yogyakarta sebagai kota yang nyaman dan ramah. Keberlangsungan bisnis pariwisata misalnya, sebenarnya tetap berjalan dengan baik – meskipun misalnya tanpa harus dimaknai sebagai kebutuhan untuk terus membangun hotel-hotel mewah apalagi yang berada di zonasi pemukiman penduduk lokal dan peruntukan bagi zonasi hijau. Justru keistimewaan Yogyakarta juga terletak pada aspek pembangunan sosial dan budayanya, yang seakan-akan timpang dalam lima tahun terakhir ini, sehingga kenyamanan lingkungan ekologis dan sosial justru banyak sekali diabaikan. Dalam konteks inilah, rencana tata ruang kota (RTRK) menjadi sangat penting untuk mempertimbangkan pula kelangsungan (continuity) dan daya keberlangsungan(survival) aspek sosial budaya yang ikut menggerakkan dinamika atas pemanfaatan ruang khususnya di kota Yogyakarta, tak terkecuali bagi wilayah zonasi yang diperuntukkan bagi pendidikan. 

b. Bonus Demografi dan Dinamika Kaum Muda di Kota Yogyakarta 




Keberadaan pertumbuhan penduduk generasi muda produktif di Indonesia merupakan asset bagi pembangunan nasional yang penting dan sangat mempengaruhi masa depan Indonesia.B iro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa pada tahun 2015 Indonesia akanmemperoleh ‘bonus demografi’ yakni pertumbuhan yang sangat besar golongan penduduk berusia muda produktif – usia sekolah dan berpendidikan menengah tinggi antara 16 hingga 30 tahun sejumlah lebih dari 63 juta jiwa. Jumlah inilah yang mempengaruhi peningkatan usia produktif. Artinya, dalam waktu dekat dan mendesak inilah, baik pemerintah maupun publik luas harus mempertimbangkan perencanaan pembangunan manusia yang mempertimbangkan keberlanjutan kualitas hidup manusia ke arah yang lebih baik dan manusiawi. Dengan kata lain, bonus demografi seharusnya menjadi pertimbangan tersendiri yang secara khusus juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pola pembangunan ruang secara fisik (spatial). 

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Daerah Istimewa Yogyakarta 2005-2025 juga memuat visi dan misi RPJPD Kota Yogyakarta yang yakni melandaskan pembangunan Kota Yogyakarta sebagai, “Kota pendidikan berkualitas, Kota pariwisata berbasis budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa yang berwawasan Lingkungan”. Jadi secara ideal, sebenarnya pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memang memberikan prioritas perhatian pada pembangunan kota Yogyakarta sebagai ‘kota pendidikan yang berkualitas’; secara khusus hal ini seharusnya juga mempertimbangkan bagian dari pembangunan manusia bukan hanya pembangunan secara fisik. Dengan kata lain pertumbuhan jumlah penduduk usia produktif di Indonesia yakni bonus demografi generasi muda merupakan faktor penunjang yang seharusnya mampu untuk diserap bagi pembangunan manusia – dan penataan wilayah yang secara signifikan berdampak pada aspek perbaikan kualitas termasuk didalamnya adalah melalui pendidikan. 

Untuk pembangunan manusia yang berkualitas itulah, generasi muda ini yang jumlahnya sangat besar dan menjadi sumber daya manusia (SDM) bagi masa depan Indonesia sudah selayaknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangunan tata ruang dan wilayah. Selama ini, rencana pembangunan wilayah hanya mempertimbangkan aspek pembangunan sarana fisik serta pembangunan fisik yang hanya semata-mata menguntungkan segelintir orang saja seperti para investor (penanam modal baik besar maupun menengah) yang mengembangkan usaha bisnis properti termasuk di Kota Yogyakarta untuk keuntungan mereka saja dan cenderung mengabaikan aspek lingkungan hidup dan lingkungan sosial budaya. Terkait dengan pembangunan manusia yang berkualitas khususnya dengan mempertimbangkan bonus demografi inilah perencanaan strategis bagi tata ruang kota di Kota Yogyakarta yang mengedepankan tujuan pembangunan sebagai kota pendidikan yang berkualitasmenjadi bukan hanya penting, melainkan juga merupakan kebutuhan yang mendesak. Semakin berkurangnya ruang publik dan zonasi hijau serta pemukiman yang nyaman dan mendukung aktivitas belajar merupakan tantangan tersendiri di kotaYogyakarta, yang jika terus terabaikan dikuatirkan akan menimbulkan gejolak sosial dan bahkan ancaman bagi kohesi sosial (disintegrasi). 

Pembangunan kota yang ramah bagi publik merupakan salah satu prasyarat utama bagi pencapaian tujuan pembangunan manusia yang berkualitas. Mau tidak mau,pemerintah daerah Istimewa Yogyakarta memiliki beban khusus yang berkenaan dengan pembangunan pendidikan – bukan semata-mata melihat aspek ini sebagai industri semata yang memang selama ini banyak memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang tinggi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta di luar pemasukan daerah yang berbasis pada pembangunan ekonomi, industri dan bisnis, bahkan termasuk pariwisata. Artinya, kontribusi dari sektor pendidikan bagi keberlangsungan ekonomi di DIY menjadi bukan hanya penting tetapi juga merupakan hal yang berkenaan dengan eksistensi dan citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Disisi lain, meskipun banyak peningkatan sarana pendidikan di Yogyakarta,termasuk juga sarana dan prasarana yang dikembangkan oleh beberapa perguruantinggi baik negeri maupun swasta, tetapi hal ini lagi-lagi tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang lain bagi perbaikan mutu kualitas pembangunan manusia,sebagaimana yang dapat ditemui dalam implementasi RTRK (rencana tata ruangkota). Keberadaan pemukiman yang nyaman (kondusif) bagi para pelajar dan mahasiswa misalnya, kini bukan hanya dipandang sebagai sarana yang mempertimbangkan aspek kemanusiaan – melainkan menjadi ‘magnet baru’ di dunia bisnis properti. Pembangunan apartemen dan kondominium mewah yang mahal misalnya, hanya dipandang sebagai investasi ekonomi yang dianggap menguntungkan oleh banyak spekulan dan pengembang (developer). Selain jauh dari interaksi sosial, keberadaan apartemen-apartemen mewah semacam itu pula yang secara ironis justru membuat semacam segregasi sosial – ketimpangan sosial antar kelas masyarakat yang tinggi – khususnya antara warga pendatang (yang menjadi target pasar dari bisnis properti semacam itu) – dan warga penduduk lokal (aseli).Interaksi sosial yang plural juga semakin terbatas apalagi dengan minimnya fasilitas yang mendukung bagi ruang publik yang dapat mempertemukan setiap orang tanpa status sosial yang mencolok. 

Secara tak terhindarkan, banyak ruang –ruang untuk aktivitas berbelanja seperti mal –mal,menjadi ruang pertemuan itu – dimana orang justru diarahkan untuk melakukan aktivitas mengkonsumsi sesuatu – bukan untuk mendapatkan ketenangan dan relaksasi. Mau tidak mau, akhirnya banyak para mahasiswa yang melihat aktivitas mereka sehari-hari di dalam kampus sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan mereka atas ‘ruang publik’ – meskipun sesungguhnya ruang yang tersedia di dalam kampus itulah yang menjadi basis ‘ruang komunal’ mereka. Keberadaan ruang komunal di kampus dapat dimaknai secara positif, yakni memberikan ruang alternatif bagi interaksi mahasiswa – yang melintas antar kelas sosial, akan tetapi keberadaan ruang komunal ini juga justru dapat mengkerucut menjadi ruang yang sangat ekslusif – termasuk bagi pembiakan kelompok-kelompok yang memiliki basis ideologis radikalisme yang menjauh dari realitas masyarakat luas di sekitarnya. Jika ruang publik bersifat inklusif, yakni tidak mengenal keanggotaan secara khusus,maka keberadaan ruang komunal justru sebaliknya, yakni merupakan mekanisme dimana pemanfaatan atas suatu ruang fisik oleh sekelompok orang dijalankan melalui proses seleksi sosial yang juga berlangsung – khususnya berkenaan dengan sharing (saling berbagi) atas minat, kesamaan latar-belakang sosial (etnisitas, agama atau kepercayaan, dan atau ideologi). 

Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia secara umum memperbolehkan dan bahkan mendukung aktivitas ekstrakulikuler di luar jam kegiatan belajar bagi para mahasiswanya. Oleh karena itu UKM atau Unit Kegiatan Mahasiwa menjadi salah satu alternatif yang secara ideal mempertemukan banyak mahasiswa secara inklusif dalam melakukan aktivitas ekstrakulikuler sesuai minat yang ingin mereka kembangkan.UKM juga merupakan sarana perguruan tinggi yang diharapkan mampu untuk memfasilitasi atau menjembatani kehidupan akademik dan kehidupan sosial termasuk relasi dengan masyarakat atau publik di luar kampus. Akan tetapi tidak keseluruhan dari aspek ideal ini dapat mendukung mahasiswa sebagai salah satu sumber daya manusia yang penting bagi pembangunan manusia, untuk dapat mengenali keberadaan dan bahkan komplesitas lingkungan sosial mereka. Artinya,seringkali pula UKM lebih menjadi suatu ruang pertemuan bagi peer-grouping dimana mahasiswa mengembangkan identitas mereka – termasuk apakah melalui peergrouping ini mereka mampu untuk mengembangkan daya kritis mereka terhadap lingkungan sosial ataukah sebaliknya, justru mengembangkan ekslusivitas didalam kelompok itu sendiri (terutama yang dikarakteristikkan melalui kelas sosial). 

Ruang publik merupakan ruang yang memfasilitasi pertemuan banyak orang secara inklusif dan tak mengenal batasan-batasan latar belakang sosial seseorang. Sementara, ruang komunal adalah ruang yang mempertemukan sekelompok orang yang melalui seleksi atas keanggotaan setiap orang termasuk rasa memiliki (sense of belonging) seseorang pada keanggotaan mereka di dalam suatu kelompok. Hal yang membedakan keduanya adalah pada ‘seleksi sosial’. Meskipun misalnya, ruang komunal dapat berkembang menjadi ruang yang memfasilitasi setiap orang secara inklusif,tetapi tetap ruang komunal selalu memiliki ‘labelling sosial’ – yakni memiliki identitas yang berbasis pada komunalitas. Sementara ruang publik secara umum merupakan ruang dimana setiap orang dapat melakukan perjumpaan tanpa harus terikat pada proses seleksi sosial, dan menjadi alternatif bagi ekspresi bersama warga masyarakat – juga sebagai ruang yang memungkinkan setiap orang untuk memperoleh hak-hak yang setara di dalam mengakses fasilitas publik. 

Di dalam pembahasan sosiologi khususnya yang berkenaan dengan tata ruang dan pembangunan sosial, ruang publik dimaknai sebagai wujud dari otoritas publik untuk mendapatkan pemenuhan hak-hak sipilnya sebagai bagian dari masyarakat. Artinya,ruang publik dapat dimanfaatkan secara bersama-sama, meskipun ruang publik sesungguhnya juga membatasi kepentingan setiap orang khususnya ketika itu berkaitan dengan ekslusivitas. Sosiolog dari tradisi Kritik Sekolah Frankfurt,Habermas, misalnya, melihat keberadaan ruang publik (public space) secara ideal merupakan ruang bagi berlangsungnya komunikasi politik bagi warga masyarakat –dimana masyarakat dapat mengungkapkan ekspresi sosial mereka termasuk didalamnya mengkritisi aparat pemerintah yang menjalankankan kebijakan publik danberdampak pada masyarakat. Menurut Habermas, ruang publik tak mensyaratkan orang untuk memiliki status sosial tertentu atau kekhususan yang mengenal hierarki – sehingga keberadaannya menjadi sangat penting bagi suatu komunikasi politik – antar warga masyarakat sendiri maupun dengan pemerintah. Habermas menilai, seharusnya ruang publik dipelihara bagi kepentingan untuk memelihara daya kritis masyarakat – dan karena itu harus dijauhkan dari kepentingan-kepentingan yang mengeksploitasi kemanusiaan – termasuk kepentinganuntuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. 

Sementara,sosiolog dari tradisi kiri marxisme, Henry Lefebvre menilai bahwa ruang publik bukanlah suatu ruang alternatif – ruang publik adalah kebutuhan yang tak terhindari bagi berlangsungnya kohesivitas sosial. Dalam pengertian ini,Lefebvre menilai bahwa menjauhkan ruang publik dari agenda kepentingan ekonomi adalah sesuatu yang sangat naif dan hanya bisa berlangsung di dalam konteks masyarakat yang terkontrol penuh oleh pemerintah (seperti yang berlangsung didalam tata ruang di bawah otoritarianisme komunisme) atau masyarakat yang memiliki kesadaran politik penuh sehingga mampu menuntut pemerintahan untuk memenuhi kewajibannya atas hak-hak sipil. Akan tetapi, dalam pandangan Lefebvre, dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut (late capitalist society) atau masyarakat pasca industri yang terintegrasi dengan pasar bebas, hal tersebut hampir nyaris mustahil dapat dilakukan. Dalam konteks inilah, Lefebvre menilai bahwa kebutuhan ruang publik bukan hanya penting dan mendesak bagi keberlangsungan kohesi sosial, dan karenanya bukan semata-mata menjadi kewajiban dari pemerintah saja melainkan juga agensi sosial lainnya yang mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari publik – seperti agensi bisnis, korporasi dan industri – atau yang kini kita kenal sebagai bentuk dari pertanggungjawabansosial dari kalangan korporasi bisnis dan industri melalui CSR (CorporateSocial Responsibility). Dalam konteks inilah ruang publik merupakan ruang pertemuan bagi banyak orang dimana setiap orang memiliki kepentingannya masing-masing, akan tetapi tidak dapat secara individual mengklaim kepemilikanmereka atas ruang itu. Ruang publik di mata Lefebvre lebih merupakan ruang relaksasi yang membuat setiap orang menjauhkan kepentingan individualnya masing-masing dan bertemu untuk memperoleh ketenangan dari kebisingan dan beban hidup sehari-hari tanpa harus dibebani oleh prasangka-prasangka ideologis. Menurut Lefebvre, ruang publik dapat menjadi ruang representasional yang diduduki(di-okupasi) oleh sekelompok orang sebagai ruang ekspresi kritis – akan tetapi hal itu lebih merupakan sifat temporal dari keberadaan ruang publik, artinya ruang publik dapat pula memfasilitasi keberadaan berbagai macam komunitas yang beragam di dalam masyarakat. Dalam pengertian itulah, Lefebvre menyepakati sebagian argumen yang diajukan oleh Habermas, yakni bahwa kebutuhan atas ruang publik juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemenuhan kebutuhan warga atas hak-hak sipil mereka seperti kebebasan untuk mengutarakan pendapatdan gagasan mereka secara terbuka tanpa mengenal hierarki sosial. 

Sementara itu, secara khusus Lefebvre juga melihat keberadaan komunitas dan bagaimana mereka memanfaatkan ruang – atau dalam pembahasaannya disebut sebagai‘pendudukan’ (okupasi) atas suatu ruang, dapat menjadi suatu faktor yang secara signifikan mendukung kohesivitas sosial selama pendudukan mereka atas ruang publik sebagai kepentingan ekspresi komunal mereka bersifat inklusif, akan tetapi ketika okupasi itu bersifat eksklusif maka pendudukan atas ruang itu justru akan menjadi faktor terjadinya disintegrasi sosial dan bahkan konflik antar warga masyarakat. Dalam kaitan itulah, Lefebvre menilai bahwa peranan pemerintah bukan hanya menyediakan ruang publik bagi masyarakat tetapi juga menjaga keberlangsungan ketertiban sosial di dalam lingkungan ruang publik tadi. Artinya, tertib sosial tetap dijalankan dengan mempertimbangkan hak-hak sipil seperti kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat atau gagasan. Dengan demikian, keberadaan ruang publik bukanlah semata-mata konsep ideal yang hanya bersifat utopia belaka, melainkan juga mempertimbangkan realitas sosial yang berlangsung di dalam konteks masyarakat kapitalis tingkat lanjut saat ini.



Kesimpulan 

Kajian kritis Lefebvre mengenai produksi ruang sosial berkenaan dengan suatu interaksi dinamis antara proses sosial dan proses spasial, misalnya tata ruang, perkembangan masyarakat urban, ruang publik, dan berbagai ekspresi budaya yang muncul atas berbagai praktek‘menghuni’ suatu ruang. Lefebvre tidak setuju pada upaya untuk melihat ‘ruang’semata-mata sebagai suatu ‘obyek konkret’ sebagaimana yang menjadi pandangan dasar dalam filsafat Cartesian, yakniyang memisahkan " ruang yang ideal" (ideal space) dari " ruangnyata" (real space). Menurutnya ‘ruang’ sebaiknya tidak semata-matadipahami sebagai suatu kategori biner (kategori yang saling berlawanan). Oleh karena itu Lefebvre berpendapat lebih lanjut bahwa ruang merupakan suatu produk yang diproduksi secara material - sementara itu pada saat yang bersamaan "hasil yang dimunculkan secara material itu beroperasi pula melalui proses mental atas pembentukan suatu ruang fisik. 

Sebagai kota tujuan wisata dan pendidikan, kota Yogyakarta merupakan target bagi para investor khususnya di dalam perluasan pembangunan sarana fisik yang mendukung aspek pariwisata dan pendidikan. Hasil penelitian saya menunjukkan perubahan ruang fisik yang begitu besar di kota Yogyakarta sepanjang tahun 2014 yang kemudian secara spasial membedakan kelas sosial tetapi sekaligus mengaburkan definisi atas identitas sosial mereka semisal; kategori penduduk asli atau pendatang. Berkenaan dengan produksi ruang sosial di kota Yogyakarta, hal yang menarik adalah seringkali praktek menghuni ruang komunal (publik) dimana tidak dikenal kepemilikan secara individual (sebagaimana yang menjadi basis bagi okupasi atas suatu ruang fisik menurut hubungan relasi produksi) seringkali menimbulkan ‘ketegangan’ atau bahkan ‘konflik’antar inhabitants (penghuni ruang) tersebut. Perkembangan kota Yogyakarta yang pesat selain sebagai kota pariwisata juga sebagai kota tujuan pendidikan dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk khususnya bonus demografi yakni semakin bertambah besar jumlah generasi muda khususnya usia 20-an yang menjadi pelajar (mahasiswa). 

Bonus demografi ini menjadi penting mengingat kaum mudak hususnya mahasiswa memiliki dinamika kehidupan sosial yang menghubungkanaktivitas belajar mereka dengan kehidupan sehari-hari yang rutin dan aktivitas lainnya khususnya yang berkenaan dengan interaksi sosial mereka di luar maupundi dalam kampus yang mempengaruhi perubahan sosial. Penelitian yang saya lakukan mengambil perbandingan dinamika kehidupan mahasiswa di empat Perguruan Tinggi di Kota Yogyakarta, yakni di UGM, USD, ISI, dan UMY. Pemilihan ke empat Perguruan Tinggi ini didasari oleh pertimbangan pemetaan ruang mengingat ke empat Perguruan Tinggi tersebut tersebar di wilayah Utara, Timur,Selatan, dan Barat kota Yogyakarta. Selain menggunakan data-data sekunder mengenai perkembangan wilayah kota Yogyakarta selama periode 10-5 tahunterakhir ini (2004-2014), penelitian juga dilakukan dengan wawancara mendalam dengan mengambil responden mahasiswa – mahasiswa di empat Perguruan Tinggi tersebut. 

Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa mahasiswa di Perguruan Tinggi di kota Yogyakarta memiliki persepsi yang hampir seragam mengenai kebutuhan atas ruang publik di kota yang dirasakan semakin tidak memadai untuk berinteraksi secara plural melintas antar mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda-beda. Oleh karena itu aktivitas internal di dalam kampus merupakan pilihan yang mereka jalani untuk mengisi rutinitas di luar kehidupan akademik(belajar). Banyaknya kegiatan di dalam kampus membuat mahasiswa di masing-masing perguruan tinggi tersebut jarang berinteraksi dengan mahasiswa dari perguruan tinggi lain. Di sisi lain, ruang yang disediakan di dalam kampus dan aktivitas melalui UKM menjadi pilihan bagi mereka untuk mengembangkan peer group nya dan membangun persepsi komunal cenderung hanya melalui kelompok ini.Dari keseluruhan responden yang menjadi fokus kajian penelitian menunjukkan kecenderungan semakin minimnya keberadaan ruang publik di kota Yogyakarta sehingga mengakibatkan generasi muda khususnya para mahasiswa semakin kurang berinteraksi secara plural. 

Dalam pengertian interaksi sosial dan pemanfaatan atas ruang komunal sebagaimana yang dibahas oleh Henri Lefebvre, mahasiswa hanya memiliki kesadaran secara kognitif pada keberadaan ‘Ruang Representasional’ yang dikonsepsikan khususnya yang tersedia bagi interaksi mereka sehari-hari di dalam kampus. Sementara itu hampir seluruh responden (para mahasiswa) sulit untuk mendefinisikan kebutuhan mereka atas praktek sosial bersama pada lingkup geografi yang lebih luas di dalam kota. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kebutuhan atas interaksi sosial yang mengedepankan respon dan sensitivitas atas problema tata ruang kota bagi masyarakat di kota Yogyakarta hampir sulit menjadi kesadaran secara kognitif bagi para mahasiswa ini secara komunal. Dengan kata lain, semakin banyak mahasiswa yang cenderung bersikap tidak peduli pada perubahan dinamika kota,bukan karena mereka tidak ingin peduli, melainkan dikarenakan menyempitnya ruang – ruang interaksi di luar kampus yang dapat mereka akses, sehingga cara pandang mereka lebih cenderung dipengaruhi oleh keberadaan peer-group yang berbasis dalam aktivitas rutin di dalam kampus. 

Daftar Pustaka 
Biro Pusat Statistik, 2014. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. 
BPS: Jakarta 
Habermas, Jurgen, 1992. TheStructural Reformation of Public Sphere. MIT Press: Massachusset Lefebvre, Henry, 2000. TheProduction of Space. Georgetown University Press:NY Pemda DIY, 2010. 
PerdaisTata Ruang DIY 2010 (tersedia secara elektronis melaluihttp://www.pemda-diy.go.id) Pemda DIY, 2013. 
PerdaisTata Ruang DIY 2013 (tersedia secara elektronis melaluihttp://www.pemda-diy.go.id) Pemda DIY, 2005. RPJPD2005-2025 (tersedia secara elektronis melalui http://www.pemda-diy.go.id)

*Paper disampaikan pada acara 'Seminar Nasional: Kebangsaan, Kepemudaan, dan Revolusi Mental' di Sekolah Pascasarjana UGM, 15 Juni 2015 yang diadakan oleh Pusat Studi Kebudayaan UGM. **Penulis adalah Sosiolog UGM (dosen dan peneliti)

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...