Thursday, April 15, 2010

Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik Poskolonial*

Oleh
Arie Setyaningrum Pamungkas








Pengantar

Kemenangan kelompok konservatif, partai Republik dalam Pemilu di Amerika Serikat tahun 2004 yang memilih kembali George W Bush sebagai presiden cukup mengejutkan sebagian orang. Bagi mereka, kemenangan Bush merupakan suatu ironi dalam demokrasi Amerika yang berumur lebih dari dua abad itu. Salah satu argumen mereka karena sebagian besar dari pemilih (voters) yang memberikan suara-nya bagi Bush justru datang dari kelompok kelas pekerja (working class) yang selama ini justru kurang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan Bush yang dulu merupakan pemilih tradisional bagi partai yang pro-terhadap pergerakan buruh, yakni partai Demokrat, oposisi Bush. Hal yang sama juga terjadi di Australia dimana Partai Buruh kalah dalam pemilu yang dimenangkan kembali oleh John Howard dan partai Liberal berhasil mempertahankan kekuasaannya selama hampir satu windu. Di Inggris, meskipun partai Buruh memenangkan kembali Pemilu, akan tetapi banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa Partai Buruh Inggris sudah tidak lagi mencerminkan karakteristik partai politik-kiri. Hal ini ditandai dengan berbagai kebijakan yang berorientasi pada pasar, yang dulu justru diperjuangkan oleh kelompok konservatif. Sementara di belahan bumi selatan, negara-negara Dunia Ketiga baru mulai merayakan ‘demokrasi’ liberal di tengah-tengah ketidak-pastian dalam peta politik-ekonomi global yang secara potensial membawa resiko di dalam relasi vertikal antara ‘state-citizens’, maupun resiko sosial lainnya yang bersifat horisontal (seperti misalnya, konflik antar anggota masyarakat).
Resiko sosial baik dalam relasi vertikal maupun horisontal suatu negara- bangsa kini juga ditandai oleh tuntutan bagi ruang politik yang lebih luas bagi praktek-praktek multikulturalisme. Meskipun, praktek multikulturalisme bukan berarti tidak melahirkan resiko sosial lain yang tersendiri, misalnya potensi konflik dalam kemunculan politik etnisitas, hegemoni budaya-kelompok mayoritas atau sebaliknya, opresi (penindasan) budaya-kelompok minoritas, dan lain-lain. Kemenangan rezim politik di berbagai belahan dunia masa kini merupakan wujud dari kemenangan ‘politik representasi’ (the politics of representation). Politik representasi merupakan konstruksi politik yang memungkinkan sekelompok orang mengidentifikasikan diri mereka secara simbolik sebagai bagian dari suatu kolektivitas tertentu dimana praktek dalam proses identifikasi itu dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politik. Kemenangan rezim Bush dan sekutu-sekutunya bukan hanya merupakan kemenangan simbolis melainkan juga kemenangan politik secara riil dari sekelompok orang yang mengusung wacana politik persebaran ketakutan melalui isu ancaman-ancaman baru bagi terjadinya benturan dalam peradaban manusia, sebagaimana yang direpresentasikan melalui praktek terorisme (Noam Chomsky, 2004). Bekerjanya politik representasi juga kita saksikan di Indonesia, khususnya dalam kesempatan Pemilu dimana SBY memenangkan citra-nya sebagai ‘representasi orang-biasa’ dan meruntuhkan citra Megawati sebagai ‘representasi Wong-Cilik’.
Politik representasi merupakan suatu konsep yang dikembangkan dari pemikiran (ide) mengenai ‘representasi’ oleh Stuart Hall (1997). Konsep ini dipahami sebagai suatu rekayasa konstruksi sosial yang dimungkinkan melalui bekerja-nya sirkuit kebudayaan dalam melahirkan produksi dan reproduksi makna atau pencitraan yang mampu menciptakan suatu opini publik, atau menentukan posisi subyektivitas seseorang di dalam ruang dan relasi sosialnya. Hall, melanjutkan bahwa bekerja-nya sirkuit kebudayaan yang melahirkan ‘representasi’ merupakan suatu relasi sinergis (timbal-balik) antara komponen-komponen yang melibatkan regulasi (pengaturan-pengaturan) dan siklus konsumsi-produksi di dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, serta interaksi ketiganya (regulasi-produksi-konsumsi) dalam membentuk identitas kita.
Dalam konteks di Amerika Serikat pasca tragedi 11 September 2001, dukungan para kelas pekerja bagi rezim Bush diperoleh melalui politik representasi atas isu-isu yang dianggap ‘mengancam’ identitas kolektif sekelompok orang, misalnya ancaman terhadap nasionalisme Amerika dan ancaman-ancaman yang dianggap dapat mengikis otoritas kolektivitas tradisional lainnya (keluarga atau agama/gereja). Hal ini misalnya ditandai dalam persaingan kampanye kandidat presiden antara John Kerry (partai Demokrat) dan George Bush (partai Republik) dalam menyikapi isu-isu pro-kontra terhadap gerakan politik kaum homoseksual, atau bahkan pro-kontra terhadap isu mengenai praktek aborsi yang selama ini banyak didukung oleh kelompok feminis yang melihat tubuh perempuan sebagai sarana bagi komodifikasi politik dan intervensi negara. Banyak kelas pekerja di Amerika saat ini menganggap bahwa ancaman bagi dominasi peradaban mereka dikarenakan ambiguitas yang dilahirkan oleh demokrasi liberal sehingga memungkinkan munculnya otoritas baru yang dianggap mengancam eksistensi otoritas lama seperti institusi agama maupun keluarga. Oleh karena itu, para pendukung Bush justru sebagian besar berasal dari latar belakang kelas pekerja-tradisonal (seperti petani) yang mendukung upaya untuk melanjutkan proyek penemuan kembali ‘patriotisme’ Amerika. Wacana mengenai ancaman terhadap kolektivitas (khususnya ancaman terhadap nasionalisme) di Amerika Serikat bukan hanya menjadi komoditas politik di dalam negeri mereka saja, melainkan juga diproyeksikan ke dalam hubungan luar negeri mereka.
Di Indonesia, transisi demokrasi yang salah satunya ditandai oleh Pemilu Presiden secara langsung juga telah memungkinkan ruang yang lebih luas bagi dimulainya suatu mekanisme bekerjanya politik pencitraan (politics of image) bagi dukungan populis untuk suatu kekuasaan yang dianggap mampu membuka ruang bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi publik. Sementara itu, agenda pembangunan demokrasi di banyak negara-negara Dunia Ketiga saat ini tidak bisa dilepaskan dari proyek globalisasi ekonomi yang dimotori oleh negara-negara maju (Barat), yang secara aktual semakin mempolarisasi dunia ke dalam ruang-ruang ketidakadilan dan ketidak-setaraan (global spaces of injustice and inequality). Berbagai rezim pemerintahan di Dunia Ketiga menyepakati kepentingan untuk memfasilitasi tumbuhnya institusi dan praktek demokrasi yang memungkinkan ruang yang lebih luas bagi intervensi negara-negara Dunia Pertama sebagai pemberi donor dari proyek pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga itu. Secara khusus intervensi ini mewakili kepentingan ekonomi untuk mengorientasikan negara-negara Dunia Ketiga berintegrasi ke dalam sistem pasar global meskipun kondisi yang memungkinkan bagi proses integrasi itu tidak setara. Menurut Noam Chomsky (1996), kondisi ketidaksetaraan dalam globalisasi ini merupakan suatu agenda imperialisme mutakhir yang secara ironis difasilitasi oleh kanal-kanal (saluran) demokrasi dimana rezim pemerintahan terpilih sebagai representasi dari konsituennya. Jadi dapat dikatakan, efek politik representasi sangat memungkinkan membuka peluang bagi praktek-praktek demokrasi yang distorsif.
Meskipun di dalam realitas politik kontemporer tersebut kita masih mendapati relasi kekuasaan yang bersifat ‘biner’ (dikotomis), akan tetapi komplesitas bekerjanya kekuasaan di dalam relasi sosial saat ini tidak dapat hanya secara sederhana dipahami sebagai dua polarisasi. Gambaran di muka menunjukkan bagaimana konstruksi mengenai identitas memiliki signifikansi untuk memobilisasi tujuan-tujuan politik. Dengan demikian, identitas menjadi bagian yang signifikan di dalam relasi yang berhubungan dengan kekuasaan, baik sebagai sarana dominasi maupun resistensi (artikulatif). Oleh karena itu artikel ini bertujuan untuk mencoba mengelaborasi bagaimana konstruksi identitas dapat memfasilitasi kepentingan-kepentingan artikulatif, meskipun di sisi lain juga dimobilisasi untuk tujuan politik praktis. Lebih lanjut artikel ini mencoba melihat kemunculan suatu ‘lokasi baru’ di dalam wacana politik mengenai batasan-batasan apa yang membentuk ‘identitas’ sebagai suatu sumber daya politik (political resources) dan sekaligus sebagai sarana politik (political means).


Merepresentasikan Identitas Sebagai Kepentingan Artikulatif Poskolonial
Kebanyakan literatur baik politik maupun sosiologi secara umum membagi kategori identitas ke dalam dunia kategori utama, yakni: identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan-citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subyek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subyek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subyek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness). Dikarenakan identitas juga menyakut apa-apa saja yang membuat sekelompok orang menjadi berbeda dengan yang lainnya, maka konstruksi identitas berkaitan erat dengan konstruksi mengenai ‘perbedaan’ (difference). Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan ‘politik identitas’ (politics of identity), karena identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subyek di dalam ikatan suatu komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber daya dan sarana politik.
Dalam konteks dimana identitas dimobilisasi bagi kepentingan artikulatif, tersedia peluang-peluang bagi munculnya klaim-klaim terhadap ‘identitas sosial-politik baru’ yang secara politis memunculkan kondisi yang dilematis dari perkembangan masyarakat kontemporer. Disatu sisi, wilayah (ruang) politik bagi klaim identitas baru tersebut dapat melahirkan peluang-peluang konflik. Sementara di sisi yang lain, pengaturan-pengaturan politik yang menjamin berlangsungnya suatu proses kesetaraan melalui demokrasi liberal dapat membuka peluang yang lebih besar bagi pengakuan publik dan pengorganisasian politik dari klaim-klaim identitas baru tadi yang secara potensial memunculkan konflik. Situasi semacam inilah yang membuat kita perlu merefleksikan kembali kaitan antara identitas sosial dan identitas politik yang secara dinamis mempengaruhi upaya-upaya mengartikulasikan kepentingan politik sekelompok orang. Sehingga pengkategorian ‘identitas’ tidak dapat lagi secara sederhana kita pahami ke dalam polarisasi identitas ‘sosial atau politik’. Ini tidak lain dikarenakan identitas sosial atau budaya seseorang, misalnya yang didasari oleh sistem kelas (bawah, menengah, atas), seksualitas (heteroseksual, homoseksual), agama (islam, kristen dan lain-lain), merupakan sumber bagi pembentukan identitas politik dan karenanya signifikan bagi mobilisasi politik identitas.
Alasan mengapa kita perlu memproblematisasi konsep mengenai identitas dalam konteks poskolonial dilandasi oleh argumen bahwasanya formasi (pembentukan) identitas sebagai suatu kepentingan politik berakar di dalam agensi sosial yang dipengaruhi oleh efek-efek lanjutan poskolonial sebagai konsekuensi yang akibatkan oleh kolonialisme. Konsekuensi dari efek lanjutan kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Sebagaimana hal-nya efek kolonialisme, globalisasi juga melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita kenali melalui praktek dan struktur ‘dominasi serta resistensi’. Sama halnya dengan konsep yang dikembangkan mengenai kondisi-kondisi apa yang berlangsung di dalam ‘posmodernitas’, maka ‘poskolonialitas’ menandai suatu keadaan (situasi) dunia kontemporer yang menggarisbawahi ‘a movement beyond’-- suatu gerakan yang melampaui situasi (kondisi) masyarakat sebelumnya.
Studi (pendekatan) poskolonial yang diaplikasikan disini bukan dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (ex-colonies), meskipun penggunaan istilah ‘poskolonial’ sendiri diterjemahkan secara beragam dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Akan tetapi, kerangka konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan pada ‘analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik’ (Ashcroff, Griffith dan Tiffin, 1998:187). Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan poskolonial juga mentidak-stabil-kan wacana mengenai relasi ‘the West and the Rest’ (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner (contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain). Efek kolonialisme juga mewarisi suatu perasaan atau kesadaran atas ketidak-amanan (insecurity) dan ketidakstabilan yang melahirkan resistensi. Oleh karena itu, bangsa-bangsa dari Dunia Ketiga merupakan hasil dari tatanan internasional yang pondasinya dibangun dari kekuatan kolonial Eropa. Dengan kata lain, tidak ada satupun identitas yang tidak terkontaminasi oleh sistem Barat yang hegemonik. Identitas Dunia Ketiga tidak lagi bersifat otentik dan karenanya melahirkan ‘hibriditas sekaligus ambivalensi’ di dalam relasinya dengan Dunia Pertama (Barat). Penempatan istilah ‘hibrid’ menurut Homi Bhabha (1998) merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk sementara sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Bhabha menambahkan bahwa poskolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek hibriditas, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru sekelompok orang di dalam relasi sosial dan politik mereka.
Hibriditas sekaligus ambivalensi itu kita temukan dalam karakteristik masyarakat dan relasi sosial Dunia Ketiga yang dipengaruhi proyek-proyek modernitas Barat, misalnya attitude—penyikapan terhadap ‘pembangunan’ yang dimotori Dunia Pertama (Escobar, 1995:4). Arturo Escobar menggambarkan bahwasanya identitas Dunia Ketiga dibangun dibawah bayang-bayang hegemoni Dunia pertama. Khususnya ketika masyarakat di Dunia Ketiga memproyeksikan peradaban mereka melalui pencapaian-pencapaian material. Ia melanjutkan kritik-nya dengan melihat isu ‘kemiskinan’ sebagai proyek utama di dalam agenda pembangunan di Dunia Ketiga yang indikatornya memperoleh kategori pembeda dari pencapaian material Dunia Pertama, dimana intervensi yang dilakukan oleh Dunia Pertama (misalnya oleh Bank Dunia—World Bank) mengabaikan aspek-aspek perkembangan kultural yang berlangsung di Dunia Ketiga. Dalam konteks tersebut, bukan hanya ‘negara’ yang ditransformasikan ke dalam obyek pembangunan oleh kekuatan representasi wacana pembangunan, melainkan juga orang—manusia-nya. Meski demikian, pendekatan poskolonial tidak hanya semata-mata menilai efek negatif yang dilahirkan oleh modernitas global, tetapi juga melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi masyarakat di Dunia Ketiga untuk menegosiasikan posisi resistensi mereka di dalam struktur modernitas itu sendiri. Upaya pencarian semacam ini misalnya dipelopori oleh Vandana Shiva yang menggagas penemuan kembali nilai-nilai lokal yang menandangi efek negatif dari proyek modernitas Barat. Meskipun upaya yang dirintis oleh Vandana Shiva pada awalnya hanya merupakan gerakan yang bersifat lokal, akan tetapi globalisasi yang memungkinkan suatu gerakan ditransformasikan melalui disseminasi wacana dan difasilitasi oleh teknologi telah membuat gerakan alternatif semacam itu kini mulai melintasi batas-batas nasional (transnasional).
Identitas politik di dalam konteks poskolonial berkenaan dengan representasi subyek atau kesadaran seseorang yang dikonstruksikan oleh berbagai aspek di dalam relasi sosial misalnya seperti: kelas, gender, ras, seksualitas, dan etnisitas. Kelas, ras dan etnisitas misalnya dapat dikonspirasi untuk suatu proyek pembentukan identitas nasional. Gender juga memiliki pengaruh sinergis sebagai sumber imajer bagi konstruksi identitas nasional, misalnya lewat pengungkapan dan simbol-simbol gender yang dibagi bersama sebagai ikatan kolektif, misalnya konsep mengenai ‘Motherland-Fatherland’. Sehingga konstruksi identitas berawal dari sumber-sumber imajiner yang menentukan posisi atau lokasi kita dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, karena identitas berkenaan dengan ‘posisi—lokasi’ subyek di dalam lokus sosial, maka identitas bukanlah suatu obyek atau substansi yang bersifat esensial, melainkan situasional (Mendieta, 2003: 408). Menurut Michel Foucault (1980), kemunculan negara-bangsa moderen sebagai suatu unit identitas kolektif di dalam sistem dunia dimunculkan melalui domestifikasi dan regimentasi suatu organ sosial (social body) dimana nasionalisme dibangun dari kekuatan bio-politik, yakni politik dari organ sosial yang dibentuk oleh gender, kelas dan ras. Regimentasi organ sosial dialami (berproses) dalam transformasi struktural sebagai hasil interaksi dalam globalisasi dan kondisi poskolonial.

Globalisasi disini merupakan proses integrasi ekonomi, politik, sosial dan budaya sebagai ‘konstelasi pos-nasional’ dimana suatu komunitas menghadapi kekuatan dan tantangan dari dinamika konstelasi tersebut (Habermas, 2001). Appadurai Arjun (1997) bahkan lebih jauh mengatakan bahwa efek ambiguitas dari globalisasi telah memunculkan suatu ‘etnisitas baru’ khususnya dalam masyarakat trans-nasional yang menantang kondisi-kondisi maupun praktek politik di suatu negara (wilayah lain). Misalnya melalui kemunculan komunitas politik trans-nasional seperti international-NGO atau perjuangan politik kelompok diaspora (seperti: Gerakan Aceh Merdeka, atau Gerakan Papua Merdeka). Appadurai juga mengatakan bahwa efek ambigu dari globalisasi telah memperluas bentuk-bentuk resistensi baik secara lokal maupun yang bersifat global dikarenakan tidak semua kelompok dapat secara penuh terlibat (engaged) di dalam proses globalisasi. Hal ini misalnya kita temui dalam munculnya kelompok-kelompok anti globalisasi, kelompok-kelompok yang memperjuangkan penghapusan hutang Dunia Ketiga dengan asumsi bahwa kemakmuran Dunia Pertama diperoleh melalui penjarahan kolonialisme di Dunia Ketiga.
Jadi, dapat dikatakan bahwa globalisasi dan kondisi poskolonial telah menciptakan bukan hanya struktur dominasi tetapi juga resistensi. Pengorganisasian identitas (sosial-politik) oleh karenanya melibatkan suatu proses ‘negosiasi’ yang bersifat dinamis karena upaya semacam itu melibatkan fungsi memfasilitasi dan mengelola potensi-potensi perbedaan. Gagasan-gagasan yang diperoleh melalui pendekatan poskolonial dapat membantu kita mengungkap lebih lanjut dimensi-dimensi yang melingkupi kekuasaan dan bagaimana mekanisme kekuasaan tersebut dijalankan baik di dalam proses sosial yang melibatkan pola-pola interaksi antar orang dengan komunitas (lokal, nasional, maupun global), maupun di dalam proses budaya yang melibatkan pelembagaan aspek-aspek simbolik yang diperoleh melalui praktek sosial yang kemudian mempengaruhi relasi politik setiap orang di dalam komunitasnya. Melalui pendekatan poskolonial pula kita dapat mengembangkan dua unsur penting di dalam kekuasaan yakni dominasi dan resistensi. Respon terhadap dominasi dan resistensi merupakan karakteristik yang sangat menentukan di dalam proses mengartikulasikan identitas sebagai suatu medan negosiasi di dalam relasi kekuasaan.


Lokasi Bagi Politik Identitas
Realitas sebagaimana yang diungkapkan di muka, membawa kita pada suatu refleksi bahwasanya saat ini menteorisasi ‘kekuasaan’ sebagai suatu dimensi penindasan yang bersifat tunggal (a singular dimension of oppression) seperti penindasan di dalam struktur kelas, gender, atau ras, tidak lagi mampu menjelaskan komplesitas dalam dunia kontemporer. Oleh karena itu diperlukan suatu penjelasan mengenai relasi antara berbagai dimensi penindasan dengan strategi-strategi resistensi. Salah satu penjelasan mengenai kondisi dominasi dalam dunia kontemporer diajukan oleh Friedric Jameson (1991) yang menyarankan bahwa pola-pola dominasi dalam dunia kontemporer dapat kita bedakan dari pola-pola sebelumnya (masa lalu) melalui dominasi dalam kehidupan sosial maupun budaya oleh logika pengorganisasian yang bersifat ‘spatial’ (ruang/sekat-sekat), dan bukan karena waktu (time) atau perubahan zaman.
“I think that it is at least empirically arguable that our daily life, our psychic experience, our cultural language, are today dominated by categories of space rather than categories of time, as in the preceding of high modernism.”
(Jameson, 1991: 16)

Menurut Jameson, ada tiga fase mendasar dalam perkembangan ‘logika spatial’ suatu masyarakat di bawah kapitalisme. Fase pertama, market capitalism didominasi melalui logika spatial yang berlangsung di dalam jaringan (networks). Di dalam fase kedua yakni, monopoly capitalim, pengertian mengenai ‘ruang’ ternafikan (ditiadakan) dan digantikan oleh praktek riil yang menentukan relasi sosial. Sedangkan, dalam fase ketiga, multinational (postmodern) capitalism menunjuk kepada logika spatial yang secara simultan bersifat homogen dan terfragmentasi – semacam suatu ‘schizo-space’ (ruang/sekat dimana terjadi halusinasi/kontradiksi). Lebih jauh Jameson menambahkan bahwa ‘ruang/sekat schizo’ menjadi penanda dari zaman terkini dimana loyalitas lama terhadap kelas, atau gender, fragmentasi ras, dislokasi, kekacauan, keterpecahan, ketersebaran ‘bercampur-aduk’ dengan loyalitas baru terhadap kelas, gender, keterlibatan rasial, dan kemandegan sosial-budaya. Tidak ada seorang-pun meyakini, landasan macam apa yang mereka sedang perjuangkan, atau tujuan apa yang hendak mereka raih. Dalam keadaan semacam ini, Jameson mengatakan bahwa ‘subyek telah mati’. Sebagaimana yang dikatakan-nya:

“Apa yang sedang berlangsung kini merupakan suatu realitas politik praktis: sejak krisis yang menghancurkan internasionalisme kaum sosialis dan hambatan-hambatan strategis dalam mengkoordinasikan aksi-aksi politik di tingkat lokal-grassroot dengan nasional atau internasional. Dilema semacam inilah yang sedang berlangsung saat ini dalam mempertanyakan ruang internasional yang lebih kompleks.”
(Jameson, 1991:413)

Dalam menanggapi fenomena lumpuh-nya politik saat ini, Jameson mengembangkan suatu konsep mengenai ‘ruang dan tindakan politik’ yang disebut sebagai ‘cognitive mapping’ (pemetaan kognitif). Pemetaan kognitif merupakan suatu bentuk dari budaya politik radikal dimana obyek fundamental-nya adalah ‘the world space of multinational capital’ (ruang dunia kapital multinasional). Pemetaan kognitif merupakan suatu kesadaran terhadap proses-proses global yang sedang berlangsung, sekaligus ketidakmampuan subyek di dalam meraih totalitas (seperti nilai-nilai atau ideologi yang mutlak). Pemetaan kognitif pula yang memungkinkan orang menyadari posisi mereka di dunia, dan karenanya memberikan sumber bagi resistensi dan penciptaan sejarah diri mereka sendiri. Jadi, logika kapital-lah yang menciptakan suatu perkembangan di dalam ruang ketidak-adilan. Oleh karena itu, menurut Jameson, diperlukan ‘pemetaan terhadap ruang-ruang ketidakadilan semacam itu’, sehingga dapat menciptakan peluang bagi tumbuhnya ‘budaya-budaya oposisi’ (oppositional cultures) dan gerakan sosial baru melawan kepentingan kapital sebagai suatu ‘situs (ruang) resistensi’.
Masalahnya, di dalam budaya oposisi, setiap orang ‘merepresentasikan’ sekelompok orang yang lainnya pada saat yang bersamaan. Artinya, identitas dari posisi subyek dan gerakan politik dipahami secara simultan. Pada bagian awal digambarkan suatu ketak-keterkaitan di dalam perilaku pemilih dalam Pemilu, dimana sekelompok orang yang distereotipe-kan sebagai ‘kelas pekerja’ justru memberikan suara bagi kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan kelas mereka. Disini, identitas menggantikan posisi subyek karena keadaan yang obyektif atas identitas kemudian diartikulasikan oleh para politisi, akademisi, dan rohaniwan. Oleh karena itu, Jameson lebih jauh menganjurkan pentingnya upaya untuk menemukan kembali ‘ruang resistensi’ yaitu sebagai:

“Suatu ruang imajiner yang mampu membenturkan masa lalu lewat cara-cara baru dan membacanya sebagai suatu misteri yang belum terpecahkan oleh ruang (sekat) struktural. Misteri ini sebagaimana yang dapat kita temukan dalam tubuh, kehidupan kosmis, realitas kehidupan perkotaan, dan berbagai struktur lainnya yang ditandai oleh pengorgarnisasian yang bersifat intagible (non-material) di dalam kebudayaan, dorongan ekonomi, maupun dalam bentuk-bentuk linguistik.”
(Jameson, 1991: 364-5)

Disini Jameson menekankan spesifikasi ‘ruang atau sekat’ sebagai sesuatu yang melahirkan posisi kesadaran subyek secara berbeda-beda. Sementara itu, Edward Soja, seorang pemikir politik ber-aliran postmodernisme, melihat bahwasanya ‘ruang’ tersebut bukan sebagai sesuatu yang bebas dari kepentingan, melainkan dipenuhi oleh politik dan ideologi yang membawa konsekuensi kepada posisi kesadaran subyek:
“We must be insistently aware of how space can be made to hide consequences from us, how relations of power and dicipline are inscribed into the apparently innocent spatiality of social life, how human geographies become filled with politics and identity.”
(Soja, 1989: 6)

Baik Friedric Jameson maupun Edward Soja sama-sama berargumen bahwa ‘geografi dan sejarah kapitalisme’ saling bersinggungan (intersect) di dalam suatu proses sosial yang kompleks, yang menciptakan kelanjutan suatu proses historis dalam ruang (sekat-sekat) sosial yang kontradiktif. Jadi, menurut keduanya, ruang atau sekat sosial semacam inilah yang menentukan batasan-batasan dari suatu ‘identitas’. Kemudian, apa sesungguhnya yang kita maksutkan sebagai ‘identitas’ itu sendiri? Dan mengapa ‘identitas’ menjadi sesuatu yang signifikan bagi tujuan-tujuan politik?
Kata ‘identitas’ dan makna-nya di dalam konteks politik, sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang cukup baru di dalam wacana intelektual kontemporer. Identitas seseorang ‘mengkonstruksikan suatu proses dialogis yang menandai batasan-batasan apa saja mengenai diri-nya dan apa saja yang membuatnya sama atau berbeda dengan orang lain’ (Stuart Hall, 1992). Jadi, menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari ‘sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas’. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang ‘memiliki atau berbagi kesamaan’ dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan ‘otherness’ (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference). Oleh karena itu, menurut Judith Butler (1992), konstruksi mengenai identitas melibatkan seluruh peluang-peluang dari berbagai kategori pembedaan kolektif yang saling berkompetisi dan karena itu, kategori-kategori identitas tidaklah bersifat deskriptif, melainkan bersifat normatif.

“Identity categories constitute multiple competing possible identities in which particular groups define themselves in a distinctive sense of belonging, identity categories are never solely descriptive, but normative”
(Butler, 1992: 15).

Pengenaan identitas kolektif sebagai sumber daya sekaligus sarana politik di dalam realitas moderen, secara sederhana kita temukan di dalam fenomena terbentuknya ‘negara-bangsa’ (nation-state) dalam era post-kolonial, dimana beragam latar belakang komunitas ras, suku-bangsa (etnis), agama, membentuk komunitas negara-bangsa. Konsepsi semacam inilah yang dikembangkan oleh Bennedict Anderson (1983) melalui tesis-nya mengenai ‘imagined communities’ atau komunitas imajiner dimana ikatan-ikatan kolektif dalam suatu komunitas politik bukan hanya suatu konstruksi politik semata, melainkan juga sebagai konstruksi budaya. Disini, ikatan terhadap kolektivitas bukan lagi didasari oleh kontak-kontak langsung secara fisik sebagaimana yang membuat kita terikat dengan komunitas di lingkungan sekitar (neighbourhood) atau di dalam suatu organisasi. Melainkan ‘diciptakan’ oleh makna yang diproduksi melalui simbol-simbol dan praktek-praktek budaya yang saling dibagi bersama. Seperti misalnya, penulisan sejarah, lagu-lagu kebangsaan, bendera, atau pengakuan bagi hari-hari besar nasional.
Klaim terhadap identitas merupakan kategori-kategori pembedaan kolektivitas yang peluang-peluangnya dapat kita temukan di dalam struktur kelas, gender dan seksualitas, orientasi budaya, atau bahkan dalam gaya hidup (bentuk-bentuk konsumsi). Perkembangan di dalam dunia kontemporer saat ini menunjukkan bahwasanya identitas politik sangat-lah beragam dan klaim-klaim terhadap identitas ‘bukan’ lagi menjadi monopoli bagi rezim kolektif tradisional (seperti ikatan paternalistik dalam relasi etnisitas, agama, struktur kelas sosial) atau bahkan negara. Tetapi juga menjadi wilayah bagi muncul-nya rezim-rezim ‘klaim-klaim kolektivitas baru’ lintas kelas, ras, etnis, atau agama misalnya, kelompok homoseksual. Klaim kolektivitas bahkan dapat diciptakan melalui diskursus politik-kebudayaan, misalnya pembedaan kelompok-kelompok liberal-fundamentalis, dan sebagainya.
Kaitan antara signifikansi identitas sebagai sumber daya dan sarana yang memobilisasi ‘perbedaan’ oleh Stuart Hall (1992) dirumuskan melalui pertanyaan sederhana: “Siapa saja yang membutuhkan identitas? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?” Pertanyaan sederhana akan tetapi amat sulit untuk mencari jawaban yang dapat menjelaskan komplesitas di dalam kaitan antara identitas sebagai sumber daya dan sarana politik secara komprehensif. Ini tidak lain karena terminologi mengenai identitas politik tidak pernah definitif, apalagi konstruksi mengenai kategori-kategori di dalam identitas bersifat ‘cair dan fleksibel’. Rosalind Brunt mendeskripsikan politik identitas sebagai:

“politik sekelompok orang yang berangkat dari penekanan terhadap pengakuan (dalam derajad tertentu) terhadap aktivitas politik dan upaya yang melibatkan suatu proses terus-menerus untuk menandai siapa diri kita dalam relasi kita dengan orang lain” (Brunt, 1989: 151).

Meski demikian, pandangan semacam itu ditentang oleh Jenny Bourne (1987) yang melihat pengertian politik identitas sebagai suatu kemunduran proyek politik yang bersifat emansipatoris karena politik identitas merupakan suatu wujud eksploitasi keluar (mobilisasi individu) dan penindasan ke dalam diri subyek (manipulasi kesadaran), sebab yang dipentingkan dalam relasi sosial adalah upaya untuk menekankan “Who I am--Siapa Saya!” (Bourne, 1987:1). Pandangan yang dikemukakan oleh Bourne ini sebenarnya secara implisit menafikan konsepsi mengenai individu sebagai subyek atau manusia yang rasional, yang memiliki pengetahuan yang bukan hanya disituasikan (dikonstruksikan), melainkan juga pengetahuan untuk menciptakan situasi (konstruksi), dan memiliki kehendak bagi dirinya sendiri. Suatu perdebatan yang sebenarnya sudah lama berlangsung, yakni berkenaan dengan posisi subyektivitas sebagai suatu konstruksi sosial ataukah sebagai suatu esensi dari kondisi yang sudah ada dan tak terbantahkan (pre-given essence). Misalnya, apakah homoseksualitas-heteroseksualitas merupakan konstruksi sosial atau diwarisi secara natural?
Posisi subyektivitas dalam relasi-nya dengan kondisi obyektif sesungguhnya bersifat dialektis, sesuatu yang gagal dipahami oleh Marx dalam penjelasannya mengenai ‘alienasi’ (keterasingan) yang dialami oleh kaum buruh dengan barang-barang telah mereka produksi. Kegagalan analisis Marx baru dapat dibuktikan hampir satu abad kemudian, ketika proses ambigu di dalam kapitalisme juga melahirkan kelas-kelas sosial baru, dimana kapitalisme bukan hanya mengubah ‘mode of production’ atau cara-cara memproduksi, tetapi juga mengubah ‘mode of consumption’ atau cara-cara mengkonsumsi (George Ritzer, 2000). Menurut Liz Bondi (1993), kegagalan diagnosis Marx termuat di dalam penjelasannya mengenai posisi subyektif di dalam relasinya dengan kondisi obyektif, dimana kesadaran (conscioussness) merupakan suatu produk dari kondisi-kondisi yang diciptakan oleh relasi-relasi kelas, dan bukan sebagai suatu tindakan manusia (human action) yang rasional. Liz Bondi juga melanjutkan bahwa gagasan yang diusung oleh Sigmund Freud memiliki asumsi yang setara (paralel) dengan gagasan Marx. Menurutnya, Freud melihat kesadaran (consciousness) sebagai sesuatu yang ‘dikonstruksikan’ sebagai suatu respon atas ketidak-sadaran (un-consciousness), dimana ketidak-sadaran merupakan produk dari tekanan (represi) dari harapan atau kehendak-kehendak, khususnya yang kita alami di masa kanak-kanak. Jadi, dalam pemikiran Freud, ketidak-sadaran individu ‘tidak dapat sepenuh-nya kita kenali secara langsung’, sehingga keberadaannya melahirkan bentuk-bentuk kesadaran yang manipulatif, tidak pernah sepenuhnya rasional, atau tidak pernah merasa betul-betul aman (secure). Liz Bondi menyimpulkan bahwa pandangan Marx dan Freud telah menempatkan individu sebagai suatu makhluk yang tidak dapat utuh, dan selalu tercerabut (Bondi, 1993: 87-91).
Meski demikian, Liz Bondi menegaskan bahwa pandangan semacam itu menjadi ‘tantangan’ bagi formulasi perspektif humanisme liberal Barat yang didasari oleh filsafat Cartesian mengenai ‘cogito’, yang menempatkan individu sebagai makhluk yang sepenuhnya mandiri (autonomous), subyek yang sepenuhnya berdaulat (sovereign subject) dan karenanya manusia memiliki kestabilan dan sulit teralienasi. Perspektif tersebut melihat kesatuan yang utuh dan mandiri di dalam diri individu, yang menciptakan basis bagi setiap orang (manusia) untuk mengidentifikasikan diri mereka satu sama lainnya sebagai makhluk yang ‘setara’- equals (ibid:85-7). Konsekuensi dari pandangan humanisme-liberal ini kemudian menjadi dasar argumentasi bagi ‘tuntutan emansipatorik’ (emansipatory necessities) sebagai ‘nilai-nilai kesetaraan’ bagi seluruh manusia, dan karena itu pula mendorong upaya ‘hak-hak bagi kesetaraan’ (equal rights). Perspektif semacam inilah yang dominan di dalam sudut pandang ‘Demokrasi Liberal Barat’. Akan tetapi, sudut pandang semacam ini justru telah menjadi suatu mekanisme subordinasi, karena menganjurkan bentuk-bentuk universalitas yang menindas keberbedaan. Sedangkan bentuk-bentuk ‘keberbedaan yang tertindas ’ (suppressed differences) itu sendiri adalah perbedaan-perbedaan yang dilahirkan sebagai konsekuensi dari ‘siapa yang menduduki posisi kekuasaan dan siapa saja yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan pengetahuan’.
Ien Ang (2001), melihat pandangan demokrasi liberal-Barat sebagai suatu kualifikasi bagi kualitas kesetaraan yang memuat unsur-unsur di dalam hegemoni budaya Barat yang lahir dari sudut pandang kelas menengah (borjuis) kulit putih, sehingga klaim universalitas di dalam kesetaraan itu meniadakan peran politik kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan. Sementara itu, melanjutkan pemikiran yang dikembangkan oleh Liz Bondi; menurutnya, pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Marx dan Freud justru dapat membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk mempertahankan klaim-klaim normatif bagi humanisme liberal, ketimbang sebagai suatu proyek egalitarian yang ambisius (1993: 86). Menurutnya, ‘identitas’ yang membentuk kesadaran tentang diri kita sebagai individu maupun makhluk sosial dikonstruksikan melalui proses-proses kultural dan bukan bersifat ‘pre-given’. Konstruksi ini menyiratkan suatu proses kultural yang tidak memerlukan atribut-atribut kemanusiaan universal , melainkan suatu diferensiasi dan gerakan dimana identitas merupakan karakteristik masyarakat moderen. Kelompok-kelompok yang tersub-ordinasi dapat menggunakan pemikiran semacam ini untuk membuka tabir kepalsuan yang ditawarkan oleh pemikiran mengenai otoritas ‘individu’ yang mutlak, untuk mempertahankan posisi mereka sebagai ‘the other’ atau minoritas. Dengan demikian, maka konstruksi bagi identitas alternatif merupakan bagian dari politik resistensi atau politik oposisi yang memberikan suatu konstruksi ‘tandingan’ bagi kelompok-kelompok dominan.
Batasan-batasan di dalam menentukan lokasi bagi identitas di dalam ruang politik kemudian merupakan sesuatu yang tidak dapat bersifat mutlak (fix), tidak bersifat pasif, dan bersifat dialektis. Michael Keith dan Steve Pile (1993), menyarankan tiga lokasi bagi batasan-batasan dalam ‘politik identitas baru (postmodern)’ yakni: (1) lokasi bagi perjuangan (location of struggle); (2) komunitas resistensi (communities of resistance); (3) ruang-gerak politik (political spaces). Lokasi bagi perjuangan (location of struggle) merupakan suatu ruang dimana individu memasuki politik . Ruang ini dapat bersifat riil (real space), imajiner (imaginary space), atau simbolik (symbolic space). Dalam konteks ini, penentuan lokasi bagi masuknya individu ke dalam politik haruslah ditempatkan di dalam relasi-nya dengan masyarakat. Yakni berkaitan dengan:
“relasi-relasi sosial macam apa yang mereka bagi bersama; apakah mereka saling berbagi pengalaman di bawah suatu penindasan; apakah perlu bagi kita untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan dalam rangka membentuk suatu aliansi melawan hegemoni kekuasaan; Perbedaan-perbedaan manakah yang perlu diartikulasikan dan mana yang tidak perlu bagi suatu perjuangan lebih lanjut” (Keith dan Pile, 1993: 5-36).

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu-lah yang dapat menempatkan identitas ke dalam lokasi politik, sehingga politik identitas bukan secara sederhana dimaknai sebagai suatu pengorganisasian resistensi yang bersifat ‘biner’, yakni yang mengkategorikan “kita” dengan “mereka”, melainkan sebagai suatu pengelolaan bagi mobilisasi komunitas-komunitas resistensi. Komunitas resistensi memerlukan suatu landasan (baik yang bersifat riil, imajiner, ataupun simbolik) yang memungkinkan tumbuhnya formasi aliansi politik dan pemberdayaan aliansi dalam kelompok-kelompok marginal. Oleh karena itu komunitas resistensi memperjuangkan ruang gerak bagi politik identitas sebagai upaya penciptaan alternatif-alternatif kemungkinan-kemungkinan politis (the alternatives of political possibilities). Salah satu alternatif bagi kemungkinan-kemungkinan politis tersebut, misalnya dapat dimulai dari pendefinisian kembali atau pencarian konsep dan kebutuhan masyarakat atas ‘keadilan sosial’ (social justice) yang selama ini hanya termuat di dalam pengertian universal mengenai hak-hak manusia --- suatu pengertian yang melihat keadilan sosial semata-mata sebagai sesuatu yang secara aktual, melekat (embedded) di dalam kondisi material dan kondisi hegemonik. Sehingga pemahaman mengenai ‘keadilan sosial’ haruslah disituasikan.
Dengan kata lain, konsep keadilan sosial memerlukan batasan-batasan yang memungkinan bagi identifikasi aliansi-aliansi yang secara potensial menjadi basis dari persamaan-persamaan/kemiripan-kemiripan (similarities), dan bukan kesamaan-kesamaan/ keseragaman (sameness). Perluasan konsep keadilan sekaligus juga membuka peluang bagi perluasan artikulasi kesetaraan. Dengan kata lain, politik identitas bukanlah suatu persoalan mengenai penyikapan individu secara personal (personal attitude), melainkan lebih sebagai suatu penyikapan terhadap dilema struktural di dalam mengartikulasikan kesetaraan dan mendistribusikan keadilan sosial. Sehingga kemunculan berbagai rezim baru yang mengusung wacana politik identitas sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan peradaban manusia. Bahkan sebaliknya, membuka dimensi-dimensi baru mengenai keadilan dan kesetaraan.


Referensi:
Abu-Lughod, Lila. 1995. “Going beyond global-babble”, in A.D King (ed), Culture, Globalisation and the World-System. Basingstoke: Mac-Millan.
Anderson, Bennedict, 1983. Imagined Communities. London: Verso. Revised and extended edition, 1991.
Ang, Ien . 2001. On Not Speaking Chinese: Living Between Asia and the West. London: Routledge
Alcoff, Linda Martin. 2003. “Identities: Modern and Postmodern”, in Alcoff, L.M, and Mendietta, E. (eds), Identities: Race, Class, Gender and Nationality. Malden-MA: Blackwell Publishing
Appadurai, Arjun. 1996 .“Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, dalam Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalisation, Minneapolis: University of Minnesota Press
Ashcroft, B., Griffith, G., and Tiffin, H. 1998. Key Concepts in Post-colonial Studies. London: Routledge.
Bhabha, Homi. 1998. “Cultures in Between”, in Bennet, David (ed), Multicultural States, Rethinking Differences and Identity, London: Routledge
Bondi, Liz. 1993. “Locating Identity Politics”, in Keith and Pile (eds), Place and the Politics of Identity, London and New-York: Routledge.
Bourne, Jenny. 1987. Homelands of the mind: Jewish Feminism, and Identity Politics’, Journal of Race and Class Vol. 29:1-24
Brunt, Rosalind. 1989. “The Politics of Identity”, in Hall, S. and Jacques, M. (eds), New Times: The Changing Face of Politics in the 1990s. London: Lawrence and Wishart.
Butler, Judith. 1992. Contingent Foundation: Feminism and the Question of Postmodernism, in Butler, Judith and Scott, Joan (eds.), Feminists Theorize the Political. New York: Routledge.
Escobar, Arturo. 1995, Encountering Development, The Making and Unmaking of the Third World. Princeton-NJ: Princeton University Press.
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge,New York: Harvester Press.
Gupta, A. and Ferguson.J. 1997. “Beyond ‘culture’: Space, Identity, and the Politics of Difference”, in Gupta, A. and Ferguson, J. (eds), Culture, Power, Place: Explorations in Critical Anthropology. Durham-NC: Duke University Press.
Hall, Stuart. 1992. “Who needs identity”, in Hall, S and Du Gay, P (eds), Questions of Cultural Identity. London: Sage.
Hall, Stuart, 2002. “The West and the Rest: Discourse and Power”, in Haggis, Jane., and Schech, Susan (eds), Development: A Cultural Studies Reader. Oxford:Blackwell
Habermas, Jurgen. 2001. The Postnational Constellation: Political Essay. Cambridege-MA: The MIT Press.
Jameson, Friedric. 1991. Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism, London: Verso
Keith, Michael and Steve Pile. 1993. “The Politics of Place and the Place of Politics”, in Keith and Pile (eds), Place and the Politics of Identity, London and New-York: Routledge.
Mendieta, Eduardo. 2003. “Identities: Postcolonial and Global”, in Alcoff, L.M, and Mendietta, E. (eds), Identities: Race, Class, Gender and Nationality. Malden-MA: Blackwell Publishing.
Shiva, Vandana. 1997. Economic Globalisation, Ecological Feminism, Suistanable Development. Canadian Women’s Studies Vol. 17 (2)
Shohat, Ella. 1992. “Notes on the Post-Colonial Context”. Social Text, vol. 31/32:
Soja, Edward. 1989. Postmodern Geographic. London: Verso.
Spivak, Gayatri and Gunew, Sneja. 1993. Questions of Multiculturalism, in During, Simon (ed), the Cultural Studies Reader. London: Routledge.

* artikel ini pernah diterbitkan di Jurnal Mandatory IRE, 2005

No comments:

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...