Tuesday, April 25, 2023

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022.

Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, sebagaimana hari itu ketika aku hanya bisa melihat Ibu mendekati ajal hanya melalui layar smartphone via WhatsApp adikku.

Aku sendiri tak bisa ke rumah sakit malam itu. Menjaga pesan ibu.

Tak semua dapat kutuliskan mengapa, tetapi pandemi Covid19 mulai awal 2020 semakin menunjukkan padaku bahwa "sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya" kami, kaum perempuan melawan penindasan, tetap semangat hidup tak dapat dipatahkan begitu saja. Meskipun aku sendiri mengalami banyak susah payah, dan masyarakat di sekitarku selalu menekankan, "perempuan tak boleh marah, perempuan tak boleh mengeluh, perempuan harus tabah dan kuat...."

Aku tak selalu kuat, sejak itu. Sejak aku mengantar jenazah almarhumah ibuku ke kuburan, naik "bus tua" yang mungkin asapnya kurang ramah lingkungan karena hanya bus itu yang paling murah ongkosnya untuk "Ibu-Ibu di lingkungan Rukun Warga 01 Karangwaru Lor."  Mereka semua mengantarku, mengantar almarhumah ibuku. Bus itu penuh, berisi lebih dari 70 orang. Semuanya perempuan, perempuan-perempuan sederhana yang mencintai almarhumah ibuku. 

Aku ingat, bagaimana ibuku menghapus penderitaan-penderitaan hidupnya. 

Menanam pohon-pohon kelor.

Menanam cabai.

Mengurus sampah yang dapat didaur-ulang,

Mengonsolidasikan perempuan-perempuan yang berlatar pendidikan rendah untuk tetap memperoleh bacaan yang lebih bermanfaat tentang kesehatan, tentang pendidikan bagi anak-anak mereka, tentang mengelola koperasi, tentang bagaimana membuat usaha kecil (UMKM). 

Semua itu dilakukannya tanpa memperoleh upah, terutama sejak ia pensiun sebagai guru SD di tahun 2004. Upahnya hanya ia tak merasa kesepian, tak merasa dicampakkan oleh masyarakat dimana kami hidup. 

Aku mencoba melakukan seperti yang dilakukannya. Meskipun, jelas tak sebanyak yang telah almarhumah ibuku lakukan.


(*)


Ku ingat pagi itu di tahun 1980, aku terbangun dari "tidur panjangku". Ibu ada di sebelahku, lalu memelukku erat. "Kamu bangun lagi, nduk, cepat sehat, teman-temanmu sudah kelas 3, kelas 2. Kamu tak apa tho kalau harus kelas 1 SD lagi?"

Aku hanya mengangguk, karena seingatku aku sulit bicara. Mataku melihat TV milik kami, merk "Gruendig" - warisan dari - "kakek hantu baik" - yaitu yang tak boleh kami sebut sebagai "kakek", karena anak-anak ibuku tak pernah bertemu dengan almarhum. Kabarnya almarhum "orang terkenal". 

Ibuku tiba-tiba menangis setelah ia melihat TV juga. Katanya, "Oh John Lennon, meninggal...ia lalu memeluk aku yang masih layu di tempat tidur sederhanaku.."

Aku ingat, lagu kami. Lagu yang sering dinyanyikan bapakku dan kawan-kawannya, juga ibuku..."My sweet Lord..." bagianku sebagai anak TK adalah membunyikan krincingan...lalu kami akan makan bersama setelah itu. Itu di Jakarta, malam tahun baru biasanya. Jelas di tahun 1970an.

Aku ingat, ketika SD dan liburan ke Yogya, menengok "simbah" dan saudara-saudara di desa, di Turi dan Pakem. Aku bertanya-tanya, "mengapa saudara-sauadara Ibu dan bapak tak bisa membaca not balok? Tak mampu bermain gitar apalagi piano, padahal sebagian dari mereka juga ada yang pergi ke gereja. Tapi, mereka semua mampu bermain gamelan. 

Aku ingat, waktu aku SD setelah 1980, pagi ke sekolah negeri dan teman-temanku lalu sekolah siang di madrasah. Mereka mampu main gitar, tapi tak mampu main piano karena harganya mahal. Teman-temanku waktu SD, tak ada yang dapat main gamelan. Mereka hanya main tanjidor. Bunyinya kadang bagus, kadang jelek, tergantung suasana hati mereka juga. Aku tidak dibolehkan ikut main tanjidor, karena kata teman-temanku, aku ini adalah "Cina Loreng" jadi mereka takut kalau aku ikut, nanti kami semua "Kena tempeleng". Takut dihukum bapak-bapak yang suka minta-minta duit lalu pergi ke bioskop murahan nonton film yang terutama dibintangi oleh "Suzanna". 

Piano ibuku, dirampas oleh bapak-bapak "berseragam". Ibu mengikhlaskannya, karena lebih baik tak punya piano karena kami bukan orang kaya. Bapak sering pergi, ditugaskan kantornya keluar kota bahkan keluar Jawa. Ibu sangat "takut" karena pernah rumah kami didatangi "segerombolan orang" (semuanya lelaki) berclurit dan mengaku-aku "jawara".  

(*)

2020 - 2021 - 2022 sudah kusampaikan di acara-acara secara daring, dimana almarhumah Ibuku setia menemaniku, hingga akhirnya ia "ambruk" di hari itu, Senin 4 Juli 2022 di sore hari tak ada RS yang mampu menerimanya dan hanya klinik terdekat saja. Ia baru dipindahkan ke suatu RS swasta 2 hari kemudian. Ibu bilang padaku.."Tunggu aku pulang, jangan kemana-mana....."

Tapi ibu, tak pernah pulang. 

Sayapku patah. Tapi sebaik-baiknya, aku ingat pesan almarhuman ibuku. Aku masih bernafas, tak perlu berputus-asa. 

(*)

Ibuku tak tergantikan. 

Thursday, December 16, 2021

Memahami Dakwah Islam dan Media Melalui Majalah Ummi

  Oleh: Arie Setyaningrum Pamungkas


Mengapa Ummi?

“Mengapa Mbak Tia ingin meneliti Ummi? Kami ini bukanlah perusahaan media besar seperti yang lainnya, yang memiliki pengaruh pada jutaan masyarakat Indonesia!” ujar Meutia Gemala, editor kepala Ummi. Pernyataan tersebut disampaikan secara langsung kepada saya sebagai jawaban ketika redaktur majalah Ummi akhirnya memenuhi permintaan saya untuk melakukan penelitian etnografi di kantor majalah Ummi di Utan Kayu Jakarta pada suatu hari di bulan Januari 2010. Saya menjawab alasannya adalah karena saya tertarik untuk mempelajari apa yang membuat majalah Ummi berubah dari suatu majalah muslim ‘radikal’ menjadi majalah Muslimah populer. Saya menambahkan suatu cerita padanya juga bahwa pada tahun 1993, ketika saya masih mahasiswi S1 di jurusan Sosiologi, Fisipol UGM di Yogyakarta, saya pernah membaca salah satu terbitan majalah Ummi yang diperlihatkan oleh kawan kos saya, seorang mahasiswi UGM yang menjadi simpatisan gerakan tarbiyah.

Salah satu edisi Ummi yang pernah saya baca di tahun 1993 tersebut, bersampul sederhana, tidak memuat foto atau gambar perempuan sama sekali dan hanya berupa foto seikat bunga. Meski demikian, yang membuat saya terkejut justru ada di dalam isi liputan majalah Ummi. Yakni suatu foto mayat perempuan yang tidak utuh dengan keterangan bahwa foto itu adalah tubuh seorang perempuan Muslim Bosnia yang terkoyak setelah diperkosa, disiksa dan dibunuh secara brutal oleh tentara Serbia. Kenangan pertama saya membaca majalah Ummi itu sangat traumatis dan emosional mengingat apa yang saya sudah ketahui sebelumnya lewat media lain tentang perang Bosnia sebenarnya telah membangkitkan rasa simpati saya terhadap kaum Muslim Bosnia. Akan tetapi, melihat foto mayat perempuan secara vulgar di majalah yang ditujukan untuk kaum Muslimah membuat saya merasa tidak nyaman dan sangat traumatis, apalagi saat itu di masa Orde Baru dimana foto semacam itu tidak akan dimunculkan media massa karena kontrol dan sensor pemerintah Orde Baru terhadap media sangat kuat. Meski sebelumnya saya pernah mengalami satu-satunya kenangan visual traumatis semacam itu (lewat media) yang mengingatkan saya pada adegan visual film G.30.S /PKI di masa kanak-kanak pada tahun 1980-an saat para perempuan (Gerwani) menyilet para Jenderal yang diculik di Lubang Buaya Jakarta pada tahun 1965.

Empat belas tahun kemudian, pada awal tahun 2007, saya melihat salah satu edisi Ummi dipajang di gerai toko buku Gramedia di salah satu mal ternama di Yogyakarta. Saya cukup heran ketika melihat majalah Ummi terpajang di toko buku besar dan terkenal itu. Seingat saya, di masa Orde Baru, majalah Ummi tidak beredar secara mudah di publik. Saya juga cukup terkejut ketika melihat perubahan tampilan majalah tersebut yang menjadi lebih glamor dengan sampul foto seorang perempuan cantik berjilbab. Tampilan baru Ummi sebagai majalah perempuan populer mengingatkan saya pada majalah Muslimah populer lainnya di masa Orde Baru, majalah Amanah yang terbit pada kisaran tahun 1980-an hingga 1990-an sebelum akhirnya bangkrut justru di awal reformasi. Perjumpaan kedua saya dengan majalah Ummi setelah sekian lama ini cukup mengejutkan. Karena Ummi, secara sekilas, tampak seperti gambaran lugu saya di masa remaja tentang bagaimana seharusnya suatu majalah perempuan (Muslimah) ditampilkan. Imajinasi saya tentang majalah perempuan di masa Orde Baru merujuk pada majalah populer lainnya yakni haruslah menampilkan visualisasi perempuan yang feminin pada sampul dan harus menampilkan konten tentang kehidupan perempuan di dalamnya.

Kesimpulan awal setelah saya membaca penampilan baru majalah Ummi edisi di tahun 2007 dan membandingkannya dengan majalah Amanah edisi lama tahun 1993 adalah bahwa kedua majalah tersebut sama-sama memberikan tekanan tentang pentingnya dakwah Islam. Melalui pemahaman atas dakwah, para Muslim diharuskan untuk meyakini Islam dengan menerapkan nilai-nilai Islam. Namun begitu, majalah Ummi versi ‘baru’ ini tidaklah serta-merta meniru majalah Amanah begitu saja. Keduanya memberikan sudut pandang yang berbeda tentang pentingnya dakwah terutama bagi dan oleh kaum perempuan (Muslimah). Perbedaan penting yang mendasar adalah bahwasanya majalah Ummi masih menjadi bagian dari gerakan tarbiyah dan terus berlanjut hingga saat ini; sedangkan majalah Amanah sama sekali tidak menjadi bagian dari gerakan Islam manapun. Kemunculan majalah Amanah di tahun 1990-an lebih merupakan akomodasi identitas Islam oleh rezim Orde Baru yang didiktekan oleh penguasa (elit) melalui industri media populer pada saat itu. Berdasarkan penilaian awal ini, maka pengertian tentang dakwah memiliki arti yang berbeda dan beragam secara kontekstual. Yakni tergantung pada siapa yang menyebarkannya dan siapa yang menerimanya dan kemudian bagaimana mereka mempraktikkannya. Meski demikian, diantara berbagai ‘majalah dakwah’ yang beredar di toko-toko buku (khususnya toko buku Islam), majalah Ummi kini oleh publik luas justru dianggap sebagai majalah Islam yang tidak radikal.

Menilai perubahan tampilan majalah Ummi hanya pada sampulnya saja seakan suatu pandangan yang dangkal, namun perubahan tersebut menurut saya justru mencerminkan berlangsungnya suatu transformasi sosial budaya yang lebih luas. Hasil penelitian etnografi saya menunjukkan bahwa perubahan majalah Ummi sebagai majalah perempuan juga dapat menjelaskan tentang suatu proses perubahan sosial dalam reproduksi budaya sehari-hari masyarakat Indonesia yang didominasi oleh konstruksi identitas keislaman formal yang semakin menguat di ruang publik selama dua dekade era reformasi. Dalam transformasi landskap budaya semacam itu,  kaum perempuan menjadi subyek penting perubahan sosial dan sekaligus obyektifikasi identitas Islam sebagai suatu komoditas baru dalam reproduksi ekonomi kapitalisme yang bersifat politis. Runtuhnya kekuasaan rezim Soeharto (Orde Baru) di tahun 1998 berdampak pada peningkatan jumlah dan keragaman media baru, termasuk juga majalah-majalah yang mengangkat tema tentang Islam politik dan gaya hidup Islami.

Dalam pembahasan ringkas ini saya akan menjelaskan awal kebangkitan media dakwah dengan menelusuri sejarah gerakan Islam Politik sebelum dan setelah momentum 1998 melalui studi kasus majalah dakwah seperti Ummi. Ummi merupakan salah satu majalah dakwah yang menonjol di era Reformasi dan berakar dari gerakan tarbiyah yang muncul dan berkembang pesat di masa Orde Baru. Perubahan majalah Ummi sekaligus mewakili dinamika perubahan gerakan tarbiyah melalui media dimana berlangsung pergeseran pandangan radikal tentang bagaimana mempraktikkan dakwah Islamiyah khususnya jihad Islam dan implikasinya terhadap kaum perempuan. Perubahan itu seakan-akan oleh khalayak terutama kaum Muslim di Indonesia pada umumnya kini dianggap mewakili suatu pandangan yang lebih moderat dimana apropriasi terhadap dakwah yang bermuatan Islamisme populer yang dipengaruhi oleh media dakwah juga mewakili modernitas (kehidupan moderen) sehingga diakomodasi oleh industri budaya populer di Indonesia sejak masa reformasi sehingga kini menjadi budaya populer yang cukup hegemonik.

Majalah Ummi tentu saja bukan milik salah satu kelompok korporasi besar dalam media arus utama di Indonesia.[1] Meskipun majalah Ummi bukan bagian dari korporasi media besar, tetapi memiliki pengaruh hegemonik dalam membentuk dan menampilkan narasi dan visualisasi mengenai dakwah Islam khususnya Islamisme populer yang didasari oleh cara pandang ideologi Islam politik sebagai komoditas budaya. Hal ini terjadi karena pada pasca Orde Baru, gerakan tarbiyah melalui peranan para aktivis dakwah perempuan telah berhasil memberikan pengaruh dalam merepresentasikan dakwah Islam sebagai suatu kode moralitas publik sehingga akhirnya diapropriasi melalui dan oleh media arus utama. Inilah yang kemudian melahirkan suatu genre baru dalam sejarah budaya populer di Indonesia khususnya sejak masa reformasi yakni genre budaya populer Islami atau yang acapkali juga disebut sebagai ‘Islamisme populer’, baik dalam literatur populer, kesusasteraan, film, acara-acara di televisi, dan konten dakwah di media sosial. Oleh karena itu, penelitian saya ini ditujukan untuk menelisik sejarah proses transformasi sosial dan budaya yang dipengaruhi oleh gerakan Islam politik dimana majalah Ummi menjadi bagian penting dalam mentransformasi Islamisme sebagai komoditas budaya populer di Indonesia. Di sisi lain, budaya populer yang dibangun melalui industri media kapitalis moderen pada gilirannya ternyata juga mempengaruhi pola dan bentuk gerakan Islam politik khususnya di Indonesia sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998.

Secara umum, kajian budaya populer biasanya terfokus pada upaya menelisik terbentuknya komoditas budaya massa, misalnya proses penciptaan sebuah objek seni, hiburan atau rekreasi dan kesenangan yang dikonsumsi oleh masyarakat luas.[2] Meski demikian, hasil penelitian saya tentang majalah Ummi ini juga menunjukkan bahwa budaya populer pada awalnya tidak selalu dikonstruksikan oleh industri kapitalis atau oleh kepentingan para elit (kelompok yang berkuasa). Melainkan dapat muncul dan disosialisasikan oleh kelompok yang sebelumnya berposisi subordinan. Dengan kata lain, budaya populer merupakan ajang pertarungan kepentingan antara kelompok yang dominan dengan kelompok yang subordinan yang baru muncul untuk merebut ruang representasi budaya sehingga menjadi kekuatan yang dominan dalam mempengaruhi perubahan sosial budaya. Berbagai kelompok yang berbeda dalam percabangan kebudayaan akan terus-menerus memperebutkan ruang representasi budaya sekaligus berebut jumlah penonton (konsumer) untuk menyampaikan ide dan agenda mereka. Dalam perebutan ruang representasi budaya itu acapkali wujud atau komoditas budaya yang ditawarkan berlawanan dengan kecenderungan arus utama yang sebelumnya mendominasi produksi industri budaya.

Konsep tentang dominasi budaya oleh industri kapitalis, para elit (kelompok yang berkuasa), atau kelompok yang dominan terhadap bentuk-bentuk keyakinan atau kepercayaan, nilai dan adab kebiasaan tertentu yang kemudian diterima secara sukarela sebagai norma umum dikemukakan oleh Antonio Gramsci melalui konsep ‘hegemoni’. Menurut Gramsci, hegemoni tidak terjadi dengan begitu saja, namun merupakan sebuah proses negosiasi dimana berbagai kepentingan dan aspirasi saling berkompetisi untuk mencapai suatu keseimbangan (equilibrium) melalui strategi yang secara esensial menyuarakan kepentingan-kepentingan kelompok subordinan kepada kelompok dominan.[3] Stuart Hall merekonseptualisasi pendekatan Gramsscian untuk mengembangkan pemahaman baru tentang tentang budaya populer sebagai suatu proses yang terus-menerus berlanjut dan ditentukan oleh hubungan dinamis sebagai upaya mengontrol subordinasi dimana suatu kebudayaan tertentu dapat dimenangkan atau bahkan dikalahkan karena akomodasi kelembagaan. Karena itu, Hall berpendapat bahwa versi bentuk budaya baru bukanlah sesuatu yang menetap. Budaya baru itu akan selalu bergerak dan bertukar kepentingan dalam konstelasi gerakan dan relasi kekuasaan.[4] Melalui pendekatan Gramscian dalam kajian budaya (cultural studies), John Storey lebih jauh berpendapat bahwa budaya populer bukanlah suatu budaya otentik yang bersifat subordinatif, bukan pula suatu kebudayaan yang didiktekan oleh budaya dominan (khususnya budaya industri), melainkan lahir dari suatu ‘keseimbangan kompromis’ (a compromise equilibrium) yang mencampuradukkan keduanya (budaya subordinan dan budaya dominan)[5] Hal ini berarti bahwa mempelajari kebudayaan populer adalah suatu kerangka memahami keseimbangan yang dikompromikan, yakni melihat bagaimana komoditas kebudayaan disesuaikan dan dibuat bermakna melalui perilaku konsumsi (mengonsumsi komoditas).[6]

Praktik dan simbol Islam di masa reformasi lebih banyak muncul di media elektronik maupun media cetak. Fenomena inilah yang mendorong pembentukan budaya dominan si Indonesia menjadi ke arah yang dipengaruhi oleh interpretasi atas Islam moderen. Nilai-nilai dan simbol-simbol Islam semakin menguat di ruang publik daripada sebelumnya. Visualisasi atas interpretasi nilai Islam tersebut sekaligus membagi-bagi ruang sosial berdasarkan kategori gender atau ruang sosial tersebut tersegmentasikan berdasarkan gender. Pada saat yang bersamaan, ketika nilai-nilai dan simbol-simbol Islam tersebut dikomodifikasi dan dikonsumsi dalam skala luas –maka identitas Islam seakan menjadi ikon baru budaya populer di Indonesia. Dalam konteks inilah, upaya memahami media dakwah (melalui studi etnografi saya tentang majalah Ummi) ditujukan untuk menjelaskan bagaimana dakwah Islam yang berbasis pada gerakan Islam politik (Islamisme) mampu menjadi salah satu pendorong tercapainya ‘keseimbangan kompromis’ untuk menjadikan identitas Islam sebagai budaya populer yang dominan dan hegemonik di Indonesia kini.

Menurut Noorhaidi Hassan (2009), munculnya militansi ghirah (semangat) keislaman di Indonesia bertepatan dengan momentum semakin meningkatnya simbol-simbol religius dan penyebaran institusi-institusi Islam.[7] Gaya hidup baru yang berkiblat pada ketekunan beribadah secara formal di ruang publik telah menjadi fenomena keseharian khususnya bagi masyarakat urban di Indonesia masa kini. Pakaian muslim yang khas, seperti misalnya jilbab, saat ini dikenakan oleh banyak perempuan Muslim di Indonesia dengan gaya yang lebih trendi dan beragam sehingga memberikan warna tersendiri dalam kebudayaan Indonesia. Keshalehan Islami juga menjadi obyek komodifikasi yang dipopulerkan oleh para ustad/ustadzah di televisi, film-film bertemakan Islam, dan konten media sosial. Menurut Greg Fealy (2008), semakin meningkatnya komodifikasi Islam terjadinya karena perubahan yang besar dalam faktor sosial-ekonomi, perubahan teknologi dan budaya yang berlangsung selama lebih dari dua dekade terakhir di Indonesia dimana keshalehan formal menjadi identitas baru Muslim di Indonesia yang menganggap pelekatan identitas itu juga merupakan jaminan moralitas (yang dianggap lebih baik di masyarakat) melalui pengayaan spiritual dengan cara mengkonsumsi pengetahuan dan simbol-simbol Islam.[8]  


Perkembangan Media dan Gerakan Islam di Masa Reformasi

Pada masa Orde Baru majalah Ummi hanya beredar di kalangan anggota gerakan tarbiyah dan beredar tanpa ijin terbit remsi (beredah secara gerakan bawah tanah). Gerakan tarbiyah merupakan gerakan sosial dan politik yang terinspirasi dan dipengaruhi oleh kelompok Ikhwanul Muslimin yang berasal dari Mesir. Gerakan ini memperoleh simpati dari para mahasiswa terutama di kampus-kampus negeri yang sekuler pada pertengahan 1980-an. Gerakan tarbiyah merupakan sebuah gerakan politik dan sosial yang menekankan pentingnya ‘marhalah dakwah’ atau strategi dakwah untuk mendirikan suatu Daulah Islamiyah (pemerintahan yang berdasarkan pada penerapan syariat Islam). Gerakan ini muncul di Indonesia pada akhir 1970-an dan sangat dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin yang terbentuk melalui gagasan imam Hasan al-Banna (1906-1949) di Mesir. Di Indonesia, gerakan tarbiyah mulai berkembang pesat dan memperoleh banyak pengikut pada tahun 1980-an dan 1990-an melalui simpati dan dukungan dari para aktivis mahasiswa di beberapa universitas ternama sebagai dampak dari kebijakan Orde Baru yang melarang gerakan politik di kampus pada akhir tahun 1970-an. Pada akhir 1970-an tersebut, DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) ikut membidani perkembangan gerakan tarbiyah dengan memfasilitasi pelatihan bagi para aktivis dakwah kampus-kampus terkemuka.[1] DDII bahkan secara khusus memfasilitasi perkenalan para pemuda Muslim itu pada ajaran-ajaran ikhwani melalui penerbitan karya terjemahan salah satu buku tokoh ikhwani yang sangat berpengaruh, Sayyid Qutb, yang berjudul ‘Ma’alim fi Al Tariq (Petunjuk Jalan) pada tahun 1980. Pemikiran dan gagasan ikhwani pula yang membentuk gerakan tarbiyah dan kemudian turut membidani kemunculan beberapa majalah-majalah dakwah yang ditujukan untuk para mahasiswa di kampus-kampus di seluruh Indonesia.

Pertumbuhan media massa setelah jatuhnya Soeharto di awal masa reformasi dilahirkan dari undang-undang yang dikeluarkan oleh Presiden B.J Habibie pada tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers. Sejak saat itu pula, media massa mulai terbebas dari kontrol negara seperti sensor dan propaganda. Akibatnya banyak sekali media massa bermunculan termasuk media Islam yang juga  menjamur, berkembang cepat, dan menjadi lebih beragam.[2] Berkenaan dengan keragaman media Islam, pengertian mengenai ‘media dakwah’ di sini bukan hanya mendefinisikan apa arti Islam, melainkan juga ‘mengonstruksi’ nilai dan praktik dakwah Islam sebagai suatu kepentingan yang bersifat politis. Dalam beberapa kasus, media dakwah bahkan secara terang-terangan menyebarluaskan agenda-agenda politiknya untuk membentuk suatu komunitas politis kaum Muslim untuk mendukung gagasan tentang berdirinya ‘Daulah Islamiyah’ (pemerintahan berdasarkan syariat Islam) atau ‘Khilafah Islamiyah’ (imperium Islam). Media dakwah semacam itu misalnya diwakili oleh Sabili, Ar-Rahmah, Voice of al Islam, dan lain-lain. Meskipun banyak media dakwah yang tumbuh dan berkembang dengan cepat di awal masa reformasi, hanya beberapa dari media itu yang masih bertahan hingga saat ini.[3] Majalah Ummi karenanya adalah salah satu contoh dari banyak ‘media dakwah’ yang bukan hanya mampu bertahan dari situasi politik yang penuh gejolak dan tidak stabil di era reformasi, melainkan juga memiliki pengaruh penting dalam revolusi kebudayaan di Indonesia yang mengutamakan pelekatan identitas Islam secara formal di ruang publik.

            Meskipun bangkitnya militansi Islam setelah runtuhnya Soeharto di Indonesia telah diulas oleh banyak cendekia, hanya beberapa dari mereka yang memperhatikan representasi media Islam. Sebelum masa reformasi, hanya ada tiga penelitian besar tentang media Islam yang dikerjakan oleh William Liddle (1993), Robert Hefner (1997), dan James T. Siegel (2000). William Liddle secara khusus mengulas tentang majalah ‘Media Dakwah’, suatu jurnal bulanan yang diterbitkan oleh DDII pada tahun 1967 dengan tujuan untuk menelusuri perkembangan tradisi scripturalis anti Kristen dan Yahudi di kalangan para aktivis dakwah. Sementara Robert Hefner mengkaji kemunculan surat-kabar nasional beridentitas Islam, Republika, untuk meneliti bagaimana Islam menjadi kekuatan politik dan sekaligus sebagai lawan ideologi politik rezim Orde Baru Soeharto. James Siegel – mengikuti jejak Liddle – meneliti diskursus anti Kristen dan Yahudi di beberapa media dakwah lainnya. DDII adalah lembaga dakwah yang didirikan pada tahun 1967 oleh Muhammad Natsir (1908-1993) yang sebelumnya pernah menjadi pemimpin Partai Masyumi. Masyumi merupakan Partai Islam yang sangat penting pada masa awal kemerdekaan Indonesia dan memperoleh suara yang banyak pada Pemilu 1955. Namun, pada tahun 1960, Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno karena dituduh melakukan percobaan kudeta. Semasa pemerintahan Soeharto, ajaibnya, majalah Media Dakwah justru diedarkan secara ‘legal’ (memiliki ijin resmi) untuk diedarkan ke khalayak umum. Hal itu dapat terjadi karena DDII dikooptasi oleh militer dan menjadi saluran intelijen untuk kepentingan politik Orde Baru dalam mengontrol kelompok-kelompok Islam (Liddle, 1993). Dalam konteks inilah DDII memiliki peran penting dalam penyebaran pemikiran Islam radikal di Indonesia, terutama melalui publikasinya. Meski demikian, William Liddle berpendapat bahwa penyebaran pandangan Islam radikal tersebut belum tentu dapat menjadi suatu kekuatan ‘politik radikal’ dikarenakan sikap DDII yang ambigu atau mendua terhadap rezim Soeharto.

            Setidaknya ada lima media dakwah populer yang menjadi arus utama di masa awal reformasi menurut Syamsul Rizal (2005) dan memiliki kesamaan idelogi Islam politik yaitu: Sabili, Ummi, Annida, Tarbawi, dan Saksi. Majalah Sabili – diterbitkan pertama kali pada awal 1980-an dan hanya bertahan satu edisi karena tekanan politik. Namun, Sabili bisa bertahan sebagai majalah komunitas dan diterbitkan kembali pada awal 1990-an sebelum akhirnya bangkrut hanya satu dekade setelah reformasi. Majalah ini dianggap sebagai majalah Islam politik (Islamis) yang pertama secara provokatif menyerukan perlunya melakukan kewajiban jihad secara global. Menurut survei media AC Nielsen pada tahun 2004, majalah Sabili yang terbit setiap bulan itu memiliki kurang lebih 80.000 pelanggan tetap. Angka ini menempatkan Sabili sebagai salah satu majalah bulanan nasional yang terkenal di Indonesia setara dengan majalah sekuler bulanan seperti Tempo. Majalah Ummi – diterbitkan pertama kali tahun 1989 dan majalah komunitas gerakan tarbiyah yang secara khusus ditujukan untuk kaum perempuan. Meskipun secara umum cakupan majalah ini mirip dengan majalah Sabili, majalah Ummi dianggap memiliki pendekatan yang lebih halus dalam menarasikan perlunya berjihad. Majalah Annida – pertama kali terbit pada tahun 1991, di bawah kepemilikan yang sama dengan Ummi. Majalah bulanan ini menyasar kaum muslim muda atau remaja. Cakupan utama Annida adalah pada pengembangan identitas Islam yang berdasarkan pada pandangan ikhwani tentang syariat Islam. Majalah Tarbawi – diterbitkan sesaat setelah kelahiran partai Islamis, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di tahun 1999. Tarbawi meliput bagaimana ‘gerakan tarbiyah’, melakukan pendidikan dan pelatihan untuk para aktivis dakwah. Majalah Saksi – merupakan majalah Islam politik yang menggarisbawahi pentingnya penerapan syariah Islam untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial di Indonesia. Menurut Syamsul Rizal (2005) media dakwah tersebut memiliki tiga kesamaan. Pertama, isu-isu dan pendapat-pendapat yang ditonjolkan sejalan dengan ideologi gerakan tarbiyah. Kedua, banyak penulis dan tokoh Muslim yang diliput memiliki latar belakang keterlibatan di dalam gerakan tarbiyah atau memiliki hubungan dengan PKS. Ketiga, kepemilikan media dakwah tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya.[4]

Budi Irawanto (2011) berpendapat bahwa beragamnya penerbitan media Islam di masa awal reformasi merupakan refleksi dari beragamnya organisasi Islam di Indonesia. Karena itu perlu untuk mencari berbagai kepentingan (politik, ekonomi, juga budaya) dari media Islam dan organisasi-organisasi Islam yang terlibat di dalamnya berkenaan dengan interaksi mereka dengan negara.[5] Di sisi lain, berbeda dengan di masa Orde Baru, para penganut ideologi ikhwani yang dimunculkan oleh gerakan tarbiyah saat ini justru mewakili ekspresi budaya Islam yang populer dan trendi. Penelitian Najib Kailani (2008) misalnya, menjelaskan tentang bagaimana revolusi budaya Islam di Indonesia diinisiasi oleh para aktivis gerakan tarbiyah melalui suatu organisasi bernama Forum Lingkar Pena (FLP) yang didirikan pada tahun 1997. Para pendiri dan anggota FLP bahkan secara aktif pernah ikut terlibat dalam produksi majalah Ummi dan Annida. FLP pada awalnya bertujuan untuk mengedukasi para penulis pemula untuk menjadi bagian dari gerakan tarbiyah. Mereka menyebarkan nilai-nilai Islam baru yang populer dengan menerbitkan cerita pendek, essai, dan komik terutama untuk diterbitkan di majalah Annida yang menarik bagi para remaja Muslim. Najib Kailani juga mengungkapkan bahwa gerakan tarbiyah kontemporer lewat terbitan-terbitan FLP telah mengenalkan istilah-istilah ‘baru’ misalnya penggunaan istilah ‘ikhwan’ untuk menggantikan istilah ‘cowok’, dan ‘akhwat’ untuk menggantikan ‘cewek’. Pelabelan ini digunakan untuk referensi budaya atau sebagai kode moral yang membedakannya dari majalah-majalah populer sekuler lainnya yang ditujukan untuk remaja. Kode moral itu menunjukkan bahwa istilah ‘ikhwan’ dan ‘akhwat’ dibangun sebagai pembedaan remaja laki-laki dan remaja perempuan yang shaleh (‘baik dan beriman’). [6]


Peran Aktivis Dakwah Perempuan dalam Gerakan Tarbiyah

Metode dakwah yang dikenalkan gerakan tarbiyah mengacu pada metode pendidikan, indoktrinasi dan kaderisasi Ikhwanul Muslimin (ikhwani). Metode ini menerapkan kegiatan bimbingan keagamaan yang diajarkan di dalam lingkaran yang disebut ‘usrah’ untuk mempersiapkan para remaja muslim untuk menjadi ‘Muslim yang ka’afah’ (sempurna). Kegiatan bimbingan ini juga dibedakan berdasarkan gender di dalam lingkaran kecil atau yang disebut sebagai ‘halaqah’ yang dalam bahasa Arab berarti ‘lingkaran’. Biasanya dalam kegiatan bimbingan ini ada seorang ‘murabbi’ (pembimbing/mentor) dan lima sampai sepuluh ‘muttarabbi’ (murid/pengikut). Murabbi merupakan seseorang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang ajaran Islam, sejarah Nabi Muhammad dan Salaf al Salih atau sahabat para nabi, serta sejarah peradaban dan gerakan Islam.[1]

Ketika setiap murid berhasil menyelesaikan proses pembelajaran atau mentoring, mereka diharapkan bisa menjadi murrabi baru dan membuat halaqoh lain, kemudian memiliki otoritas untuk merekrut muttarabi (kader) yang baru. Yon Machmudi (2006) menjelaskan bahwa anggota halaqah diwajibkan untuk memperkuat kapasitas keagamaan dan ketakwaan mereka dengan menyeru kepada yang lain termasuk teman dan kerabat mereka untuk mencermati semua kewajiban keagamaan.[2] Sebagian besar bahan ajar mengacu pada materi yang disusun oleh Ikhwanul Muslimin, terutama yang berasal dari imam Hasan al Banna yang menekankan pembentukan moralitas individual, ketakwaan dan disiplin. Sebagai tambahan bahan ajar tersebut, acapkali berlangsung indoktrinasi untuk menolak ideologi lain diluar Islam. Artinya, kegiatan pendampingan tersebut tidak hanya ditujukan untuk pemurnian Islam, namun juga sebagai sarana untuk merekrut kader baru bagi gerakan tarbiyah. Perekrutan kader-kader baru tersebut dilakukan menurut prinsip-prinsip utama yang berasal dari ajaran Hasan al Banna yang dikenal sebagai Arkan al Bayah (Prinsip-prinsip Kesetiaan). Para anggota para kader dan simpatisan diuji melalui beberapa proses pendampingan sehingga mereka meraih kualifikasi yang sudah ditentukan. Antara lain yakni: keyakinan yang tidak terkontaminasi (salim al a’qidah), beribadah yang benar (salim al ‘ibadah), moralitas yang sempurna (matin al khulq), kemampuan untuk bekerja keras atau produktif (qadirun ‘ala-al kasb), pengetahuan yang luas (muthaqqafah al fikr), tubuh yang sehat dan kuat (qawiyy al jism), ulet (mujahidun li nafsih), kemampuan untuk menunjukkan kepemimpinan yang baik di segala bidang (munazzam fi shu’nih), ketepatan dalam bertindak (harisun ‘ala waqtih), dan menunjukkan bahwa dirinya mampu bermanfaat bagi orang lain (nafi’un li ghayrih).[3] Melalui prinsip ajaran ikhwani itulah gerakan tarbiyah terbentuk sebagai suatu gerakan yang memiliki militansi di dalam tindakan sosial. Meskipun demikian, gerakan tarbiyah di Indonesia bukanlah suatu bentuk “fotokopian” yang sama persis seperti gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang secara historis melegitimasi penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik mereka yang bersifat pragmatis.[4] Di dalam kerangka pengajaran individu melalui gerakan tarbiyah, perubahan individual menjadi lebih Islami berarti bahwa seseorang bukan hanya menerima nilai-nilai moral ajaran Islam dengan tegas, namun juga mengadopsi identitas baru yang membedakan jati dirinya dengan jelas dari yang orang atau kelompok lain (termasuk Muslim lainnya).

Pengadopsian identitas baru di antara para anggota gerakan tarbiyah tampak dengan jelas pada kewajiban kaum perempuan untuk mempraktikkan hijab., salah satunya dengan mengenakan jilbab ‘syar’i’ yang menutup seluruh tubuh. Suzanne Brenner (1996) berpendapat bahwa pemakaian jilbab terutama di Jawa menyiratkan suatu kesadaran historis baru, yang dengan sengaja menjauhkan diri dari sejarah lokal sebagai ‘orang Jawa’ di masa lalu. Masih menurutnya, sejarah lokal di masa lalu merupakan kombinasi antara pengaruh Islam dengan budaya Jawa atau budaya yang sudah ada sebelumnya, sesuatu yang bersifat ‘sinkretis’ dan oleh kebanyakan aktivis dakwah dianggap tidak sesuai dengan konsep mereka dalam mempraktikkan pemurnian ajaran Islam. Menurut Suzzane Brenner upaya untuk memisahkan diri dari konteks sejarah masa lalu dengan mempraktikkan hijab di kalangan para aktivis dakwah perempuan mewakili suatu metafora atas gambaran kelahiran diri kembali sebagai seseorang yang sejalan dengan kesaradaran baru atas doktrin-doktrin Islam yang dianggap mampu memberikan kepastian tujuan hidup (dianggap lebih visioner). Dengan kata lain, kesadaran visioner untuk membentuk diri kembali lewat ketaatan dan disiplin pada doktrin-doktrin Islam yang bersifat politis. Pencarian identitas moderen justru dilakukan dengan mempraktikkan hijab dan menandai rekonstruksi diri dan rekonstruksi sosial melalui disiplin diri (disiplin tubuh maupun mental) secara individual dan kolektif.[5] Gerakan tarbiyah yang dimulai di pulau Jawa dan akhirnya berkembang di seluruh Indonesia justru lebih banyak didukung oleh kalangan masyarakat kelas menengah urban terpelajar daripada kelas bawah tradisional. Hijab karenanya dianggap sebagai suatu hijrah (peralihan – perpindahan diri) sesuatu yang bukan hanya bersifat istimewa, tetapi juga menjadi identitas moderen alternatif untuk melawan modernitas sekuler. Gagasan Suzzane Brenner yang dilandasi oleh paradigma Foucauldian ini menunjukkan bahwa proses pendisiplinan tubuh yang membatasi kaum perempuan untuk mengekspresikan identitas dan seksualitas mereka melalui praktik hijab di kalangan para aktivis dakwah perempuan di Indonesia lebih merupakan suatu keputusan mandiri yang bersifat sukarela, bukan suatu paksaan. Meskipun pengkondisian untuk mempraktikkan hijab menjadi bagian dari kewajiban utama para kader gerakan tarbiyah.[6] Mengenakan jilbab di ruang publik di masa kekuasaan Orde Baru justru menjadi sesuatu yang problematik seperti misalnya di sekolah dan tempat kerja. Larangan untuk mengenakan jilbab di sekolah umum oleh rezim pemerintah Orde Baru terjadi pada tahun 1990 dan memancing perlawanan atau sentimen anti pemerintahan Soeharto di kalangan umat Muslim di seluruh Indonesia pada saat itu. Suatu momentum yang akhirnya juga membuat rezim Soeharto pada gilirannya bersedia mengakomodasi bentuk keshalehan Islam sejak awal 1990an. Meskipun larangan berjilbab tersebut kemudian akhirnya dicabut pemerintah Orde Baru, Suzzane Brenner (1996) menemukan bahwa norma sosial untuk menghindari memakai jilbab masih tetap dijalankan oleh sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa pada masa itu.[7] Robert Hefner (1993) berpendapat bahwa rezim Soeharto melihat ‘jilbab’ sebagai salah satu bentuk adopsi dari ‘identitas Islam radikal’. Sehingga, memakai jilbab merupakan salah satu cara simbolik untuk melawan kontrol otoriter Orde Baru terhadap identitas Islam yang ditindas oleh negara. Sesuatu yang justru semakin menumbuhkan rasa simpati di kalangan terdidik seperti mahasiswa dan terutama kaum perempuan muda yang kemudian bergabung menjadi aktivis dakwah perempuan dalam gerakan tarbiyah.[8] Berbeda dengan pada masa kepemimpinan rezim Soeharto (ketika ekspresi identitas Islam seperti jilbab diasosiasikan dengan ‘Islam radikal’), maka saat ini dalam lanskap budaya kehidupan sehari-hari, pemakaian jilbab justru meluas pemaknaannya dan juga semakin beragam. Meskipun esensi simbolisnya tetaplah sama, yakni mewakili suatu bentuk keshalehan personal. Gaya hidup baru yang berdasarkan pada kepatuhan dalam menerapkan nilai-nilai keagamaan saat ini menjadi fenomena urban dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Aktivisme Islam yang mewakili ideologi ikhwani di masa reformasi justru mencapai keberhasilan puncaknya dalam transformasi sosial budaya justru melalui industri media kapitalis moderen, bukan melalui domain aktivisme politik praktis atau melalui medan politik elektoral di parlemen atau pemerintahan. Justru melalui representasi media-lah para aktivis dakwah perempuan menjadi lokomotif utama perubahan ini. Kisah sukses kelompok penulis Forum Lingkar Pena (FLP) yang juga berkaitan dengan keberadaan majalah Ummi misalnya, mewakili keberhasilan aktivisme Islam sebagai suatu gerakan sosial yang secara revolusioner mengubah landskap budaya di Indonesia hanya kurang dari dua dekade saja. Beberapa tokoh terkemuka FLP seperti Helvy Tiana Rosa dan adiknya Asma Nadia, misalnya, pernah digembleng di dalam produksi majalah Ummi dan Annida (PT Insan Media Pratama). Helvy sendiri merupakan kepala editor di Annida ketika ia dan adiknya mendirikan FLP pada tahun 1997. Kemudian setelah sukses, Helvy dan Asma memilih berkarir secara independen dan membidani kelahiran genre baru kesusasteraan Indonesia yang dikenal sebagai genre sastra Islami. Baik Helvy maupun Asma menjadi populer di Indonesia lewat karya fiksi mereka yang ditulis dengan menggabungkan gaya bahasa populer dan ajaran-ajaran ikhwani dalam bentuk cerita pendek, novel, chick-lit dan berbagai essai untuk memotivasi perempuan muda supaya menjadi saleh dan gigih ketika mereka sendang mencari jati diri atau pencapaian diri, moderen dan kosmopolitan (mampu berkeliling dunia). Salah satu contoh karya Asma Nadia yang terkenal dan diangkat ke layar lebar adalah ‘Emak ingin Naik Haji’ (2009. Dengan adanya kesempatan yang terbuka untuk mempraktikkan dakwah melalui pendidikan dan media, peranan para aktivis dakwah perempuan menyumbang sesuatu yang penting dalam mewarnai dinamika baru gerakan tarbiyah, yakni mampu beradaptasi ke dalam sistem kapitalisme pasar bebas sehingga karya-karya mereka diadopsi bahkan oleh industri media sekuler dan karenanya bisa lebih menjangkau dan berpengaruh di masyarakat luas. Dalam konteks inilah media dakwah bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk memperoleh simpatisan yang mendukung gerakan tarbiyah, melainkan juga berfungsi untuk membentuk identitas Islam alternatif sehingga tersebar luar dan menjadi ‘panutan’ bagi publik Muslim. Identitas alternatif yang ditawarkan melalui media dakwah merepresentasikan gambaran untuk motivasi ‘memeluk Islam kembali secara benar’ (mengislamkan kembali para Muslim) melalui pembentukan kepribadian yang mengacu pada kemerdekaan diri untuk meraih masa depan berdasarkan prinsip nilai-nilai moral Islam. Kesadaran semacam itu yang ditawarkan oleh media dakwah dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi dikonstruksi lewat cara-cara konvensional, seperti misalnya terlibat langsung menjadi anggota gerakan tarbiyah seperti di masa lalu. Melainkan dikonstruksikan melalui ritual konsumsi dan pembelajaran Islam secara mandiri (self-help) dimana komodifikasi Islam berlangsung melalui media dan pasar turut berperan dalam mengkonstruksi proses internalisasi nilai-nilai Islam baru yang dominan tersebut di dalam keseharian banyak Muslim di Indonesia. Dengan menjadi konsumen dari ‘identitas Islam baru yang lebih murni’ ini, nilai-nilai moral Islam politik disosialisasikan melalui transformasi perilaku personal – dan diadopsi masyarakat khususnya publik Muslim sebagai cara pandang moralitas publik yang dominan.

 

Catatan Kaki 


[1] Bruinessen, van (2002), Kailani (2010).

[2] Machmudi, Yon. (2006). Islamizing Indonesia: The Rise of Jamaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS). Canberra, Australian National University. PhD Thesis, hlm. 67.

[3] Mahmudi, Yon (2006). Op.cit hlm. 63

[4] Bruinessen, van (20020 dan Machmudi (2006), keduanya berpendapat bahwa gerakan tarbiyah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda yang menekankan pada pengembangan moral individu dan meningkatkan ketakwaan secara umum daripada membangun jejaring internasional atau kesetiaan terhadap Persaudaraan Muslim. Meski demikian, pernyataan tokoh Ikhwanul Muslimin terkemuka seperti Yusuf Qardhawi menunjukkan bahwa PKS – yang berasal dari gerakan Tarbiyah – memiliki hubungan erat dengan kader-kader Ikhwanul Muslimin di Mesir (lihat Qaradawi, Yusuf. 2001. Umat Islam Menyongsong Abad ke-21. Solo: Era Intermedia, hlm. 92).

[5] Brenner, Suzanne, 1996. ‘Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and the Veil.’ American Ethnologist 23 (4): hlm.256-266.

[6] Ibid.hlm. 673-97

[7] Brenner (1996). Op Cit. hlm. 685.

[8] Hefner, Robert. 1993. ‘Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle of Indonesian Middle Class’. Indonesia 56: hlm. 1-35.



[1] Bubbalo dan Fealy, 2005. Joinining the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia. Sydney: Lowly Institute for International Policy; Hefner, Robert. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press

[2] Rizal, Syamsul. 2005. Op Cit. hlm. 428.

[3] Irawanto, Budi. 2011. “Riding Waves of Change: Islamic Press in Post Authoritarian Indonesia”, dalam Krishna Sen and David T. Hill (ed), Politics and the Media in 21th Century Indonesia-Decade of Democracy. London: Routledge, hlm. 67-69.

[4] Rizal, 2005. ‘Media and Islamism in Post-New Order Indonesia: The Case of Sabili’, Studia Islamika, Vol. 12. No. 3: 431.

[5] Ibid.

[6] Kailani, Najib. 2008. ‘Budaya Populer Islam di Indonesia: Jaringan Dakwah Forum Lingkar Pena’, Sosiologi Reflektif  Vol. 2, No. 3. 


[1] Lim, Merliyna. 2011. @Crosroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia (http://participatorymedia.lab.asu.edu/files/Lim_Media_Ford_2011.pdf). Diakses 30 Oktober 2013

[2] Strinati, Dominic. 2004 (1995). An Introduction to Theories of Popular Culture (2nd Edition). London/New York: Routledge, hlm. 120-121

[3] Gramsci, Antonio. 1992 (1971). Selection from the Prison Notebooks (Transl. Hoare & Smith). New York: International Publisher, hlm.161.

[4] Hall, Struart. 1997 (1981). ‘Notes on Desconstructing the Popular’. Dalam Storey, John (ed). 1997. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. Athens: University of Georgia Press, hlm.442-453.

[5] Storey, John. 2010. Culture and Power in Cultural Studies: The Politics of Signification. Edinburg: Edinburg University Press, hlm. 50

[6] Ibid.

[7] Hasan, Norhaidi. 2009. “The Making of Public Islam: Piety, Agency and Commodification on the Landscape of the Indonesia Public Sphere”, Journal of Contemporary Islam Vol. 3: 230.

[8] Fealy, Greg. 2008. “Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia”, dalam Fealy and White (ed), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS, hlm. 15-29.


Daftar Pustaka

Brenner, Suzanne, 1996. ‘Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and the Veil.’ American Ethnologist 23 (4): 256-266.

Bubbalo dan Fealy, 2005. Joinining the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia. Sydney: Lowly Institute for International Policy.

Fealy, Greg. 2008. “Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia”, dalam Fealy and White (ed), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS:15-29.

Gramsci, Antonio. 1992 (1971). Selection from the Prison Notebooks (Transl. Hoare & Smith). New York: International Publisher: 161.

Hall, Struart. 1997 (1981). ‘Notes on Desconstructing the Popular’. Dalam Storey, John (ed). 1997. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. Athens: University of Georgia Press: 442-453.

Hasan, Norhaidi. 2009. “The Making of Public Islam: Piety, Agency and Commodification on the Landscape of the Indonesia Public Sphere”, Journal of Contemporary Islam Vol. 3: 230.

Hefner, Robert. 1993. ‘Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle of Indonesian Middle Class’. Indonesia 56:1-35.

Hefner, Robert. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Irawanto, Budi. 2011. “Riding Waves of Change: Islamic Press in Post Authoritarian Indonesia”, dalam Krishna Sen and David T. Hill (ed), Politics and the Media in 21th Century Indonesia-Decade of Democracy. London: Routledge: 67-69.

Kailani, Najib. 2008. ‘Budaya Populer Islam di Indonesia: Jaringan Dakwah Forum Lingkar Pena’, Sosiologi Reflektif Vol.2, No. 3.

Lim, Merliyna. 2011. @Crosroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia (http://participatorymedia.lab.asu.edu/files/Lim_Media_Ford_2011.pdf). Diakses 30 Oktober 2013.

Machmudi, Yon. (2006). Islamizing Indonesia: The Rise of Jamaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS). Canberra, Australian National University. PhD Thesis: 67.

 Norma Permata, Ahmad. 2010. ‘The Prosperous Justice Party and the Decline of Political Islam in the 2009 Election in Indonesia’, dalam Medinier Remy, 2010 (ed.), Islam and the 2009 Indonesians Election, Political and Cultural Issues: the Case of Prosperous Justice Party (PKS). Bangkok: IRASEC.

Rahmat, Imdadun (2005). Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Surabaya: Erlangga.

Rizal, S. 2005. ‘Media and Islamism in Post-New Order Indonesia: The Case of Sabili’, Studia Islamika, Vol. 12. No. 3: 431.

Snow, David dan Benford, Robert. 2000. ‘Framing Process and Social Movements: An Overview and Assessment.’ Annual Review Sociology, 26: 611-639.

Strinati, Dominic. 2004 (1995). An Introduction to Theories of Popular Culture (2nd Edition). London/New York: Routledge: 120-121.

Storey, John. 2010. Culture and Power in Cultural Studies: The Politics of Signification. Edinburg: Edinburg University Press, hlm. 50.

van Bruinessen, Martin. 2002. ‘Genealogies of Islamic Radicalism in Post Suharto Indonesia’, South East Asia Research, 10,2;

Wiktorowicz, Quintan. 2004. Islamic Activism and Social Movement Theory, dalam Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press: 16.

Woodward, Mark et al. 2011. New Cultural Movement for Indonesia Islamist Party, PKS? Consortium for Strategic Communication Report #1102, Arizona State University.

Qaradawi, Yusuf. 2001. Umat Islam Menyongsong Abad ke-21. Solo: Era Intermedia:2

Wednesday, June 23, 2021

Apakah “Marxisme Buruk itu?” Rangkuman tentang Politik Akademik dan Kajian Budaya Kontemporer*

Oleh Tia Pamungkas (Arie Setyaningrum Pamungkas)

(*Artikel ini tidak dimuat di jurnal manapun dan saya posting ulang di blog milik saya https://arietia.blogspot.com/)

(Terimakasih pada Facebook Developer Community – dimuat pertama kali di Facebook pada tahun 2017)

 

Pendahuluan

Artikel ini merupakan suatu elaborasi awal mengenai reproduksi politik akademik di Indonesia khususnya dalam menempatkan posisi akademisi (baik mahasiswa, dosen maupun penelitik) – sebagai agen perantara budaya – yang terus melanggengkan praktik jahat ekonomi neoliberal – termasuk melalui komodifikasi kritik dari wacana-wacana yang diturunkan oleh varian teori-teori marxisme. Dalam penjabaran mengenai reproduksi akademik ini, kerangka teoritis yang digunakan ada tiga, yakni konsep ‘marxisme buruk’ dari John Hutnyk (2004), produksi ranah budaya dari Pierre Bourdieu (1993), dan politik keruangan dan kontrakdiksi kapitalisme dari David Harvey (2014).

Secara umum artikel ini menyimpulkan bahwa reproduksi politik akademik di Indonesia telah didesain untuk terus melanggengkan praktik ekonomi neoliberal – bahkan dilakukan melalui logika akumulasi melalui perampasan – dimana posisi subyek akademisi – ditentukan oleh suatu agensi sosial yang mampu memberikan dampak langsung berupa alienasi (secara ekonomi dan politis) – maupun eksklusi di dalam sistem pendidikan yang mensyaratkan kompetensi secara ketat berdasarkan sistem meritokrasi dari sudut pandang ideologi politik libertarian.  Pendahuluan: Mendefinisikan ‘Marxisme Buruk’.


Apa dan Bagaimana Marxisme Buruk dalam Konteks Politik Akademik

Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang bagaimana ‘kematian paradigma kritis ilmu sosial humaniora di Indonesia’ menjadi eulogia, atau suatu ironi yang dirayakan di dalam reproduksi akademik, saya akan menjelaskan terlebih dulu mengapa saya menggunakan terminologi ‘marxisme buruk’ ( bad marxism ). Saya menggunakan  terminologi ‘bad marxism’  dan menerjemahkannya menjadi ‘marxisme buruk’ ke dalam bahasa Indonesia ketimbang menerjemahkannya menjadi ‘marxisme jahat’, meskipun saya bukanlah seorang ahli etimologi bahasa, saya menggunakan pengertian  ‘bad’  dalam konteks ini sebagai sesuatu yang ‘buruk’ atau jelek meskipun itu tidak selalu bisa dirasakan sebagai sesuatu ‘kejahatan’ – tetapi dapat berpeluang untuk melegitimasi suatu kejahatan.

Dalam kamus bahasa Inggris Oxford yang kini juga tersedia secara online, kata ‘bad’ setidaknya merujuk pada sedikitnya 8 pengertian, meskipun asal-usul kata itu jika diperas hanya merujuk pada dua konteks saja. Yang pertama menjelaskan suatu proses yang menghasilkan kualitas materi yang rendah atau jelek, dan yang kedua adalah sesuatu yang tidak diharapkan atau tidak diinginkan.

Adalah John Hutnyk (2004) yang menggunakan terminologi mengenai ‘bad marxism’ sebagai tesis untuk menjelaskan bagaimana reproduksi gagasan-gagasan Marxisme dalam konteks kapitalisme tingkat lanjut  (late capitalism ) bersinggungan dengan gagasan-gagasan yang pada mulanya merupakan kritik terhadap Marxisme klasik dan kemudian justru mengapropiasi suatu rasionalitas yang mengabaikan esensi utama posisi ontologis Marxisme yaitu relasi individu dan kelompok (kelas sosial) di dalam sistem produksi. Dengan kata lain, kritik terhadap Marxisme klasik yang berkembang itu justru bermuara pada suatu bentuk legitimasi untuk menjauhkan wacana kritis dan praktik sosial yang cenderung abai pada aspek analisis kelas sosial sebagai suatu artikulasi intelektual dan karenanya bersifat ‘politis’ ( political) .

Tesis Hutnyk ini ditujukan pada dua konteks utama dimana legitimasi itu berlangsung. Pertama pada bagaimana teori-teori postmodernisme acapkali disalahpahami atau bahkan dengan sengaja mengalihkan diri dari pembahasan mengenai struktur dan reproduksi struktur kelas sosial untuk lebih memberi ruang artikulasi pada pembahasan mengenai ‘kesadaran subyektif’ yang muaranya justru pada memberi alternatif pada pilihan-pilihan individual yang bersifat rasional dibawah ‘penerangan’ masyarakat kapitalis pasca industri. Masyarakat kapitalis pasca industri disini menjelaskan bagaimana sistem produksi ekonomi tidak lagi sekedar bersandar pada tujuan akumulasi kapital semata, melainkan juga pada bagaimana distribusi ‘resiko dan peluang’ dibagikan di dalam masyarakat yang tetap ditujukan pada pencapaian-pencapaian individual untuk memaksimalkan keuntungan ( maximing profits ). Artinya, dalam konteks semacam itu, kritik terhadap kapitalisme tingkat lanjut bukanlah ditujukan pada bagaimana menjelaskan aspek politis dari sistem reproduksi sosial berjalan dalam sistem ekonomi neokapitalisme, melainkan mengisolasi individu dari ‘kesadaran kelas’ dan mendorong individu untuk kalkulasi pilihan-pilihan rasional sembari tetap menegosiasikan posisi subyektifnya di dalam reproduksi kelas sosial yang sangat kapitalis dan karenanya mereproduksi hierarki posisi kelas sosial yang semakin kompleks.

Dalam konteks ini politik akademik melembagakan ‘ambiguitas’ dimana kritik tidak bermuara pada partisipasi atau emansipasi sosial melainkan hanya sekedar ‘eulogia’ – basa-basi yang diucapkan secara formal ketika mendengar berita duka dari kerabat atau teman, tanpa pernah hadir untuk datang dan bahkan membantu ‘pemakaman’ dan kehidupan keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang mati itu.

Kedua, pada bagaimana kajian budaya khususnya ‘cultural studies’ yang sebenarnya merupakan anak kandung yang lahir dari Marxisme itu sendiri justru ‘berkembang pesat’ dan sekaligus ‘mereduksi’ emansipasi sosial yang menjadi basis ontologis paradigma cultural studies itu sendiri. Secara khusus, cultural studies berbeda dengan postmodernisme, dikarenakan kajian ini memiliki aspek “keruangan” yang memiliki sejarah material yang bersifat “spesifik” terutama dalam kaitannya dengan kolonialisme. Oleh karena itu, mendefinisikan aspek “keruangan” akan selalu bersifat politis dimana reproduksi agensi sosial yang membentuk ruang itulah yang menentukan bagaimana bentuk-bentuk emansipasi melalui politik kebudayaan dapat dilakukan. Kenyataannya, cultural studies justru menjadi komoditas akademik yang dikomodifikasikan sebagai ‘obyek fethis’ yang nampak  desirable diinginkan-dikehendaki sebagai sekedar ‘ panacea’  – obat penghilang nyeri – tanpa mengobati ‘penyakitnya’ itu sendiri – karena tidak mengagendakan pola-pola pengorganisasian emansipasi sosial, sesuatu yang hampir serupa dengan posisi politis teori-teori postmodernisme dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut.  Tesis Hutnyk tentang ‘ bad marxisme’  bukannya tidak melahirkan protes dan kritik dari kalangan akademisi khususnya.

Para pengkaji teori-teori postmodernisme dan pascakolonialisme misalnya, menganggap tesis Hutnyk itu cenderung ‘emosional’ dan karenanya dianggap ‘gagal secara ilmiah’ – atau suatu tesis yang prematur mengenai khususnya bagaimana komodifikasi kajian-kajian kritis dilegitimasikan secara akademik, terutama khususnya cultural studies. Mike Gane (2005) dan Don Mitchel (2006) misalnya menganggap bahwa tesis Hutnyk itu juga “buruk” bukan pada bagaimana Hutnyk menunjuk pada bentuk-bentuk praktik sosial dimana komodifikasi kritik itu dilakukan dan berjalan secara empiris, melainkan pada bagaimana meta narasi yang dikembangkan oleh Hutnyk dianggap mengingkari sejarah paradigma ilmu-ilmu kritis yang melembaga dan selalu merespon gagasan-gagasan tentang ‘pencerahan’ – bahkan termasuk yang menginsipirasi marxisme itu sendiri.

Gane (2005) misalnya mengkritik Hutnyk yang mencoba mengelaborasi kembali hal-hal ‘positif’ yang pernah berlangsung di masa pemerintahan Lenin di Uni Sovyet dan Mao Tse Tung di RRC dimana masyarakat dikonstruksikan secara politis untuk mengabaikan politik identitas dan karenanya menjadi alternatif menghadapi bentuk-bentuk baru fascisme (seperti ultra nasionalisme)  – yang selama ini ‘tidak pernah sampai’ wacananya ke dalam  ‘scholarship’  (jejaring intelektual dan akademik) marxisme barat. Menurut Gane (2005), tesis Hutnyk ini terlalu prematur mengingat sejarah legitimasi atas komunisme semacam itu dianggap sebagai tabu dan sudah terbukti sebagai produk ideologi politik yang gagal karena reproduksi kekuasaan dalam tafsir Marxisme-Leninisme melegitimasi bentuk-bentuk blok-blok otoritarianisme yang menindas subyek. Sementara Mitchel (2006) menganggap bahwa tesis Huytnik hanya merupakan suatu bentuk ‘ad hominem’ yaitu menyerang karakter yang bersifat personifikasi dari para teoritisi budaya, postmodernisme, poskolonialis dan cultural studies (seperti Clifford, Malinowski, Foucault, Derrida, Battaile, Negri, Spivak , dan Zizek) – ketimbang berfokus pada mengurai substansi ontologis dari tradisi akademik dimana masing-masing teoritisi itu berpijak pada argumentasinya masing-masing.

Mitchel (2005) bahkan cenderung menuduh Hutnyk sedang memprovokasi suatu revolusi akademik yang mengabaikan tradisi akademik yang bersifat diskursif dikarenakan kekuatiran yang berlebih-lebihan terhadap politik identitas yang melahirkan bentuk-bentuk baru fascisme yang dilegitimasi oleh wacana akademik.  Bagi saya, kedua kritik diatas terhadap Hutnyk lebih cenderung berposisi pada pembelaan kalangan ‘libertarian’ – terhadap tradisi akademik yang mengamankan posisi politis atas logika ‘rasionalitas pencerahan’ – suatu rasionalitas yang selalu membenarkan praktik kapitalisme dalam memaksimalkan keuntungan ( maximizing profits ). Kalangan libertarian memegang prinsip bagaimana optimalisasi demokrasi hanya dapat dijalankan melalui optimalisasi kebebasan individual secara mutlak termasuk dalam mengakses sistem reproduksi ekonomi, sosial dan politik. Pertanyaan rhetoris – dalam logika marxisme yang selalu tidak akan pernah mati – dimana kapitalisme masih eksis – adalah, “ apakah setiap individu dapat memperoleh kesempatan yang benar-benar setara karenanya?” “Kesetaraan semacam apa yang memungkinkan optimalisasi demokrasi itu berjalan tanpa menindas subyek?”  Itu adalah pertanyaan dasar hampir semua varian di dalam percabangan teori-teori marxisme. Tesis Huytnik sendiri di mata saya sebagai seorang sosiolog memang cenderung melupakan aspek penting tentang ‘politik keruangan’ di dalam reproduksi akademik khususnya – terutama bahwa tidak semua wacana yang dibangun dalam tradisi ‘cultural studies’ termasuk postcolonialisme itu “buruk” - tetapi bukan berarti tesis Hutnyk tidak menunjuk pada suatu kebenaran dan praktik diskursif dalam wacana akademik itu sendiri. Dengan kata lain, bagi saya tesis Hutnyk memiliki kebenarannya secara empiris – dan hal itu dapat dilegitimasikan sebagai basis ontologis marxisme kritis. Kita melihat sekarang, apa yang menjadi ‘kekuatiran’ Hutnyk pada saat itu (ia menerbitkan buku itu tahun 2004 – dan kritik atasnya disampaikan tak lama kemudian) menjadi kenyataan. 

Far right politics  dan populisme yang didasari oleh politik identitas, kebangkitan ultra nasionalisme secara global di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan dimana isu-isu tentang kelas sosial dan akses bagi kesetaraan harus berhadap-hadapan dengan legitimasi neo-fascisme seperti rasisme misalnya. Oleh karena itulah, mengapa penting bagi saya untuk mengangkat kembali tesis Hutnyk tentang ‘marxisme buruk’ ini karena komodifikasi kritik sebagaimana yang diungkapkan oleh Hutnyk itu juga berlangsung bukan hanya di dalam masyarakat yang sepenuhnya telah berada di dalam konteks pasca industri, melainkan justru sedang “gencar” berlangsung di dalam masyarakat dimana pola-pola reproduksi ekonomi masih menggabungkan pola-pola industri manufaktur dan jasa – dimana konteks budaya masyarakat industri (dalam sistem produksi ekonominya) tumpang-tindih dengan budaya masyarakat pasca industri (dalam sistem reproduksi konsumpsinya).

Untuk kepentingan itu, saya mencoba untuk meredefinisikan kembali tesis Hutnyk tentang ‘marxisme buruk’ dengan menyandarkan kerangka teoritis pada konsepsi Pierre Bourdieu tentang ‘reproduksi sosial’ dan pentingnya agensi sosial dalam mendefinisikan ‘ranah perjuangan kelas sosial’ dan konsepsi David Harvey tentang ‘politik keruangan – dan reproduksi politik keruangan’ yang tidak pernah bersifat obyektif dalam mereproduksi struktur material – dan relasi antar agensi sosial di dalamnya. Aspek reproduksi agensi sosial menjadi sangat penting menurut saya, dalam menjelaskan mengapa ‘percabangan aliran dalam marxisme’ sebagaimana yang dikritisi oleh Hutnyk hanya berakhir sekedar sebagai ‘komoditas akademik’ belaka – yang kematiannya dirayakan setiap saat di ruang-ruang kelas, di dalam bacaan jurnal dan buku-buku textbook termasuk di dalam kolom-kolom jurnalisme – sementara signifikansinya bagi perubahan sosial lenyap dalam kesunyian gegap gempita masyarakat kapitalis neoliberal – termasuk di Indonesia. Artikel ini adalah usaha awal yang bisa saya upayakan.


Marxisme Buruk dalam Reproduksi Politik Akademik di Indonesia

Samuel dan Sutopo (2013) menjelaskan peran intelektual di Indonesia dalam kaitannya dengan produksi pengetahuan ilmu sosial humaniora (khususnya sosiologi) dengan relasi kekuasaan sejak pertengahan tahun 60an. Tipologi itu menjelaskan bagaimana sosiologi berkembang sebagai suatu disiplin ilmu di Indonesia dan bagaimana para intelektual memandang ‘Indonesia yang moderen’ dan karenanya penjelasan tersebut juga merupakan suatu analisis pascakolonial yang memiliki aspek ‘keruangan’ geopolitis dalam sejarah modernitas dan modernisasi Indonesia.

Ada empat tipologi wacana intelektual yang dijabarkan oleh Samuel dan Sutopo (2013) yakni; (1) sentimen primordial, (2) tahapan transisional, (3) historis dan struktural, (4) imperialisme kultural. Berangkat dari asumsi formulasi tesis postcolonialisme – yang menempatkan kajian tentang Indonesia dalam tradisi intelektual yang bersinggungan dengan modernisme pengetahuan barat tetapi memiliki sejarah keruangan geopolitis yang bersifat spesifik - keduanya menjabarkan sebagai berikut. Tipologi pertama, wacana intelektual yang didasari oleh sentimen primordial – dimana konteks memandang Indonesia tidak bisa dilepaskan dari asumsi sejarah tentang bagaimana kolonialisme lah yang telah membentuk ‘Indonesia’ sebagai satu kesatuan masyarakat yang bersifat plural.

Dalam wacana ini, nasionalisme di Indonesia menjadi suatu subyek kontestasi yang penting, termasuk di dalamnya juga wacana-wacana tentang akomodasi politik identitas. Tipologi kedua, wacana yang berada dalam tahapan transisional, yakni yang memandang Indonesia masih berada dalam transisi menuju masyarakat yang moderen – dan karenanya melihat aspek wacana developmentalisme sebagai suatu implikasi politis atas wacana ini. Tipologi ketiga,  wacana historis dan struktural yang menjelaskan bagaimana formasi kapital juga turut mempengaruhi cara pandang tentang Indonesia sebagai produk negara bangsa – di pinggiran peradaban kapitalisme liberal – dimana para intelektualnya lebih banyak memandang Indonesia sebagai subyek analisis melalui kacamata kajian ekonomi politik. Tipologi keempat, wacana imperialisme budaya – dimana kondisi dan konteks ‘Indonesia’ dalam keterpinggirannya itu bukan hanya suatu hasil dari praktik ekonomi politik semata – melainkan juga sebagai akibat dari imperialisme budaya yang terus mereproduksi hegemoni barat dalam mendikotomikan polarisasi  ‘the West and the Rest’. 

Menurut saya, artikel Samuel dan Sutopo (2013) ini cukup baik menjelaskan bentuk-bentuk tipologi wacana intelektual khususnya dalam kajian sosial-humaniora di Indonesia dalam memandang ‘Indonesia’ sebagai entitas budaya modernitas sekaligus sebagai subyek politik ‘negara bangsa’, meskipun menurut saya ada sesuatu yang hilang dan tidak nampak menonjol di dalam artikel ini. Yakni bagaimana dampak dari pewacanaan atas tipologi tersebut dalam pelembagaan agensi sosial baik secara akademik maupun secara non-akademik. Analisis tentang agensi sosial yang berada di dalam struktur sosial yang beragam di dalam produksi pengetahuan di Indonesia juga tidak muncul di dalam analisis tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hutnyk dimana para teoritisi “kritis” postmodernisme meminjam banyak kritik marxisme tetapi terus berada di dalam agensi sosial (terutama akademik bahkan termasuk politik) – yang membolehkan struktur ketimpangan kelas sosial terus berlanjut.

Hal ini misalnya, menjadi pertanyaan dari banyak kalangan aktivis sosial terutama di negara-negara pascakolonial – yang misalnya mempertanyakan kontribusi konkrit dari pewacaan akademik tentang ‘subalternisme’ – yang justru menjustifikasi politik keruangan yang secara politis  ‘entails’  mempertautkan kebenaran logika libertarian tentang optimalisasi demokrasi yang hanya dapat dimungkinkan melalui optimalisasi kebebasan individual – dan karenanya dapat mengapropriasi logika-logika reproduksi ekonomi neokapitalisme liberal.  Berbicara tentang bagaimana ‘marxisme buruk’ ikut menyumbang pada reproduksi ketimpangan kelas sosial – khususnya di Indonesia, menurut saya, belum ada kajian ataupun riset mendalam tentang bagaimana agensi sosial bekerja di dalam medan perjuangan intelektual. Belum banyak riset yang mendalami tentang apa tema-tema yang paling mendominasi penulisan skripsi, tesis, bahkan disertasi – dalam ilmu sosial –humaniora. Belum banyak yang meneliti tentang apakah penulisan skripsi, tesis dan bahkan disertasi tersebut berkaitan dengan bagaiamana subyek intelektualnya melanjutkan hidupnya masing-masing di dalam sistem reproduksi ekonomi dan sosial. Bahkan belum ada penelitian etnografis mengenai – mengapa – seorang intelektual yang mewacanakan sesuatu yang kritis – mampu menggunakannya sebagai modal budaya (cultural capital) sebagai alat mobilitas sosial keatas – memasuki ruang atau ranah elit – dimana akses bagi reproduksi kapital ekonomi terbuka luas baginya. Semua itu terlintas di dalam benak saya, karena di dalam agensi sosial yang saya miliki, yakni di dalam agensi akademik – maupun di dalam agensi aktivisme sosial – wacana-wacana semacam itu sudah lama menjadi “rerasan” semata – tetapi tidak pernah menjadi sesuatu subyek kajian yang serius – menjadi suatu artikulasi politik tentang bagaimana reproduksi pendidikan di Indonesia dijalankan – melalui moda produksi kapitalisme liberal – itu memberikan peluang bagi munculnya wacana-wacana marxisme buruk – yang bukan hanya berakhir sebagai komoditas belaka – tetapi membenarkan logika kompetisi – yang melahirkan ketimpangan struktur sosial.

Hingga kini, misalnya, wacana tentang pentingnya ‘serikat dosen’ yang bekerja hampir serupa dengan ‘serikat buruh’ – adalah sesuatu yang dianggap tabu – sebagaimana politik akademik di Indonesia mengisolasi ‘marxisme’ hanya sebagai ‘marxisme buruk’ itu saja – yang hanya boleh dikaji sebagai subyek akademik – tetapi bukan sebagai alat dan mekanisme bagi perubahan sosial.  Dalam reproduksi akademik misalnya, kita menyaksikan bagaimana kurikulum pembelajaran di Indonesia terutama di perguruan-perguruan tinggi sejak hampir satu dekade ini – diarahkan untuk melegitimasi suatu ‘kemunduran’ – secara mental – demi asumsi pencapaian ‘kemajuan material’ – berbasis pada logika libertarian tentang ‘meritokrasi’ – yakni suatu penghargaan kepada individu yang dianggap memiliki ‘kompetensi’ – keahlian spesifik – dan karenanya dapat memperoleh aksesabilitas untuk mereproduksi struktur material yang melingkupinya. Hal ini yang berdampak pada semakin berkurangnya – irisan-irisan antar bidang keilmuan atau yang bersifat interdisipliner – dan multidisipliner dalam kurikulum pembelajaran akademik di perguruan tinggi – termasuk juga yang berdampak pada agensi sosialnya, baik pada mutu kualitas lulusan, pada orientasi reproduksi ekonomi mereka melalui pengembangan karir individual – termasuk di dalam ranah agensi sosial para dosen-dosennya.  Kurikulum akademik yang mensyaratkan ‘basis kompetensi’ secara ketat telah berdampak pada setiap rumusan target pencapaian (output) pembelajaran dan kualifikasi lulusan oleh program-program studi semakin terspesifikasikan oleh sekat-sekat disiplin keilmuan – tetapi disisi lain sekaligus kurikulum ini membekali hampir seluruh mahasiswa program studi apapun – untuk memiliki ketrampilan homogen yakni – ketrampilan menjalani atau menjalankan  “sociopreunership ” sebagai bagian dari implementasi pengabdian kepada masyarakat.

Konsep ‘sociopreunership’ yang menggabungkan kemampuan wirausaha dan melakukan jejaring sosial ini dilembagakan oleh hampir semua perguruan tinggi di Indonesia untuk menjawab alternatif peluang pembukaan lapangan kerja bagi para alumni-alumninya sehingga tidak tergantung sepenuhnya pada reproduksi ekonomi yang lapangan pekerjaannya disediakan oleh negara atau bahkan oleh korporasi baik di sektor manufaktur maupun jasa. Persoalannya adalah pada kurikulum tentang konsep dan praktik atas ‘sosiopreunership’ ini kurang diimbangi pada pengetahuan-pengetahuan kritis lainnya – akibatnya mahasiswa maupun dosen didorong untuk terus berinovasi – mengembangkan bentuk-bentuk produk baru – tanpa memahami ‘peta reproduksi ekonomi politik’ yang lebih luas – termasuk memahami bagaimana agensi sosial bekerja di dalamnya.

Hal ini seakan-akan mendorong semua agensi sosial di dalam ranah akademik untuk terus produktif tanpa tahu bagaimana melanjutkan kesinambungan – kelestarian kewirausahaan – karena struktur kekuasaan politik yang dominan tetaplah bermuara pada reproduksi ekonomi neoliberal – dimana pemilik-pemilik modal besar khususnya korporasi multinasional tetap menjadi agen ekonomi politik yang dominan hingga hari ini termasuk di Indonesia. Memang tidak semua mahasisw khususnya ilmu sosial dan humaniora harus menjadi “dosen” atau akademisi, tetapi dampak signifikan dari berlakunya kurikulum yang ketat berbasis pada kompetensi inilah yang membuat mahasiswa khususnya di tingkat sarjana didorong untuk semakin cepat lulus, pengurangan atau bahkan dihilangkannya subyek-subyek mata kuliah tertentu misalnya ilmu sosial dasar, serta persyaratan bagi mata kuliah untuk memiliki – keterkaitan dengan luaran (output) kompetensi yang spesifik – menjadikan banyak sarjana-sarjana ilmu sosial humaniora di Indonesia selama hampir satu dekade ini – kesulitan ketika harus membuat skripsi, bahkan tesis atau disertasi dalam jenjang belajar pendidikan mereka. Seakan-akan ketrampilan menulis atau bahkan meneliti bukan menjadi sesuatu yang bersifat ‘prestise’ lagi dalam atmosfir kehidupan di dunia akademik yang semakin materialistis.  Di sisi lain, agensi sosial di dalam ranah akademik yang berlaku bagi para staf pengajar (dosen) dan peneliti di perguruan tinggi juga semakin terdefinisikan oleh ‘politik keruangan’ di dalam menerjemahkan orientasi pengembangan karir mereka secara individual. Karir akademik yang didasari oleh kurikulum kompetensi mensyaratkan produktivitas berbasis pada kinerja-kinerja yang luarannya bersifat cenderung lebih individual – ketimbang sebagai suatu bentuk kerja berbasis pada kerjasama dan bagaimana pengetahuan dibagikan melalui komunitas pembelajaran bersama.

Untuk memperoleh perbaikan kesejahteraan, seorang dosen dituntut untuk selalu produktif – tetapi penghargaan atas kinerjanya melalui sistem meritokrasi lebih didasari pada pencapaian-pencapaian berbasis kompetisi individual dengan membangun semacam indeksasi bagi pengukuran-pengukuran prestasi akademik dosen. Seorang kolega saya di UGM pernah berseloroh pada saya yang masih memiliki H-indeks rendah,  “tak penting peranmu mengubah mahasiswa lewat isi papermu, apakah papermu itu kritis, bagus, pandai atau nggak, melahirkan paradigma baru atau nggak, memberikan alternatif bagi kebijakan atau nggak, yang penting artikelmu itu dimuat di jurnal TERAKREDITASI, atau kalau bisa malah yang internasional berindeks SCOPUS – karena dengan demikian, cepat naik pangkat, cepat lebih banyak dapat uang tunjangan.”  H indeks kini menjadi salah satu ukuran material untuk pencapaian karir seorang dosen atau peneliti – dimana  impact factor  seorang akademisi ditentukan oleh produktivitasnya secara individual yang direkam atau didokumentasikan oleh lembaga akademik yang memiliki “standar indeksasi” yang dianggap tinggi – dan punya daya jangkau global. Sama sekali tidak ada hubungannya ‘impact factor’ itu dengan perubahan sosial. Akibatnya, ribuan dosen berlomba-lomba mengirimkan artikel-artikel mereka ke jurnal-jurnal terutama yang terakreditasi – tidak jarang berdampak pada munculnya pasar gelap dimana – artikel-artikel yang gagal lolos di jurnal terakreditasi ditawarkan kepada jurnal-jurnal baru yang belum memiliki status terakreditasi oleh DIKTI. Hal lain juga memunculkan komodifikasi pada produksi artikel ilmiah – beberapa jurnal terakreditasi bahkan mensyaratkan para penulis yang artikelnya diterima untuk membayar biaya penerbitan – jumlahnya cukup banyak ada yang mencapai hingga lebih dari 100 USD untuk setiap artikel yang diterbitkan! Impact factor juga ditentukan oleh popularitas karya akademik seorang akademisi – dimana reproduksi atas gagasannya itu menjadi ‘sitasi’ ( citatio n) atau ‘kutipan’ ( quotation ) – meskipun hampir seluruh akademisi di seluruh dunia tahu politik kotor yang juga berlangsung di dunia politik akademik ini – misalnya seorang profesor mensyaratkan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya untuk melakukan sitasi dan kutipan atas karya akademiknya – tidak peduli apakah mahasiswa-mahasiswa itu setuju atau bahkan ‘menentang’ tesis yang dikemukakan profesornya. 

Kesepakatan-kesepakatan semacam ‘konsensus’ akademik semacam ini sekarang juga berlaku di Indonesia, bukan hanya di Barat! Dalam banyak kasus penulisan di beberapa jurnal-jurnal ilmiah terakreditasi misalnya, banyak mahasiswa terutama di tingkat doktoral yang menulis artikel dengan mencantumkan nama-nama ‘pembimbing’ mereka – padahal dalam praktiknya tidak semua pembimbing-pembing itu ikut menulis atau bahkan sama sama sekali tidak terlibat baik dalam penelitian, maupun dalam penulisan artikel di jurnal ilmiah itu – tetapi karena “ada namanya” maka secara otomatis akan berdampak pada kinerja indeksasi namanya dan impact factor yang akan diperolehnya. Tidak heran jika ada suatu universitas negeri di ibukota yang dengan sengaja membisniskan ‘program doktoral’ demi hal-hal semacam itu – akibatnya yang terjadi adalah plagiarisme liar – karena sesungguhnya tradisi akademik “liberal” yang memiliki tradisi ketat dalam penghargaan intelektual semacam hak cipta - sekalipun belum punya pondasi yang kokoh di Indonesia.

Budayawan dan akademisi ST Sunardi (2016) melihat perkembangan dalam reproduksi politik akademik di Indonesia sebagai suatu fenomena yang mencerminkan suatu logika ‘manajerialisme yang berlebih-lebihan’. Menurut Sunardi (2016), perguruan tinggi telah menjalankan sistem audit secara berlebih-lebihan yang mensyaratkan dosen untuk produktif dan mandiri secara individual tetapi minim dampak kinerja produktivitas tersebut bagi perubahan sosial. Kemandirian dosen mensyaratkan dosen untuk melengkapi segala keperluan administrasi yang harus dipenuhinya bagi persyaratan pengembangan karir pribadinya. Begitu banyak formulir yang harus diisikan, mulai dari laporan kinerja dosen, hingga mengisi laman-laman online bagi pembaharuan ( updating ) data prestasi dosen. Di satu sisi seorang dosen dituntut produktif secara akademik, di sisi lain seorang dosen harus mengurus semuanya secara mandiri – semua berkas kelengkapan yang rumit dan birokratis – termasuk memperbaharui terus ‘impact factor’ yang dimilikinya. Sungguh pekerjaan yang berstatus elitis – tetapi sesungguhnya berdampak pada penurunan kualitas waktu dan energi yang dimiliki oleh seorang intelektual untuk investasi pada sesuatu dampak yang jauh lebih signifikan, seperti perubahan sosial itu tadi. Secara khusus Sunardi (2016) mengkritisi standarisasi kompetensi sebagai suatu bentuk politik akademik yang dengan sengaja dilahirkan oleh rezim politik pada saat itu (SBY) – untuk mempersiapkan masyarakat agar “terbiasa” hidup di dalam sistem ekonomi pasar bebas. Sesuatu masih dilanjutkan oleh pemerintahan di masa presiden Joko Widodo.  Pierre Bourdieu (1993) menjelaskan bahwa politik akademik yang dijalankan seorang akademisi – bergantung pada bagaimana struktur reproduksi sosial dilakukan – dan karena posisi sosial seorang dosen di dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut – adalah sebagai seorang ‘cultural intermediaries’ – seorang perantara kultural – seorang makelar yang memiliki pengaruh besar bagi perubahan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik bagi suatu masyarakat.

Gagasan Bourdieu tentang reproduksi akademik (dengan melihat konteks politik akademik di Barat) – menjelaskan bagaimana ‘kelas sosial’ acapkali lenyap – ketika berhubungan dengan hierarki dan kuasa produksi kapitalisme liberal – dimana posisi sosial memberi status tinggi pada seorang akademisi – tetapi medan perjuangan yang dilakukannya tak ada bedanya dengan mereka yang bekerja di dalam industri manufaktur (buruh).  Hal serupa itu pula yang dialami oleh banyak mahasiswa yang baru saja diluluskan sebagai “sarjana” – bahkan “master” – atau bahkan “Doktor”, yakni mengalami kepanikan atas ketidakpastian masa depan penghidupan mereka selepas menyelesaikan pendidikan mereka. Sementara sociopreunership yang dikembangkan sebagai bagian dari pembelajaran hanya dianggap sebagai jalan pintas – belum dikembangkan pada suatu cara pandang (paradigma) yang berdimensi luas – menjadi bagian dari reproduksi perubahan sosial suatu negara bangsa – memperoleh jaminan keberpihakan oleh lembaga politik seperti negara.

Keberadaannya hanya bergantung pada daya usaha kreativitas individual – dan karenanya demikian pula pengembangan aksesabilitasnya bagi memasuki agensi sosial – ekonomi – atau stakeholders yang terlibat di dalam ruang lingkup sociopreunership itu sendiri.  Padahal struktur material yang dibangun oleh agensi-agensi sosial itulah yang menurut David Harvey (2014) bukanlah suatu struktur material yang obyektif – bangunan itu adalah suatu hasil dari reproduksi politik keruangan yang bersifat sangat subyektif – dimana prinsip inklusi dan ekslusi juga dilegitimasikan bahkan secara intelektual. Reproduksi politik akademik yang berlangsung di dalam konteks di Indonesia – dimana gagasan-gagasan kritis hanya merupakan eulogia – termasuk pembelajaran tentang varian teori-teori marxisme secara akademis – tidak memiliki perwujudan agensi sosial yang berarti bagi perubahan sosial. Dalam konteks ini sesungguhnya politik akademik telah dengan sengaja didesain untuk suatu praktik politik keruangan yang oleh David Harvey disebut sebagai  ‘accumulation by dispossession’ – dimana para intelektual – terutama akademisi – dengan sengaja dicerabut – diambilalih – dirampas modal akumulasi kapital yang dimilikinya (terutama kapital budaya, berupa pengetahuan dan ketrampilan) – dimana negara secara ironis telah memfasilitasi kontradiksi kapitalisme – demi mensukseskan praktik ekonomi neoliberal. 

 

Penutup dan Kesimpulan

Artikel ini memang belum memberikan suatu pembahasan berdasarkan kajian riset yang benar-benar secara spesifik telah dilakukan berdasarkan kajian secara empiris atas studi-studi kasus tertentu, sebagaimana yang sebenarnya menjadi harapan saya. Tetapi siapa yang mau mendanai penelitian tentang misalnya apa saja jenis-jenis skripsi, tesis, disertasi ilmu sosial humaniora di Indonesia dalam lima tahun terakhir misalnya? Siapa yang mau mendanai penelitian besar dan serius semacam itu karena tema semacam itu bersifat politis dan sama sekali tidak menguntungkan hirarki struktur politik akademik bahkan politik ekonomi global pada umumnya ini? Dalam beberapa skema pendanaan penelitian bagi kalangan akademisi saja misalnya, kompetensi yang ketat juga diukur pada bukan hanya berdasarkan pada ‘impact factor’ semata yang berdampak secara individual – melainkan bagaimana skema penelitian itu dapat bermuara pada bentuk-bentuk aplikasi sociopreunership yang dapat menopang ‘struktur kuasa’ hieraki yang dominan di dalam sistem ekonomi neoliberal. Akibatnya, tema-tema yang berkembang melalui logika akademik “marxisme buruk” – menyediakan peluang untuk secara potensial dimanipulasi sebagai suatu bentuk krisis – yang pada gilirannya membolehkan praktik jahat dari ‘accumulation of dispossesion’ (akumulasi melalui perampasan) – dimana ruang reproduksi akademik didefinisikan oleh kepentingan hegemonik kapitalisme neoliberal.  Dalam analisisnya mengenai ‘kontradiksi kapitalisme’, David Harvey (2014) menjelaskan bahwa akumulasi melalui perampasan itu berlangsung melalui empat mekanisme utama; (1) praktik privatisasi, (2) manipulasi keuangan, (3) pengelolaan dan manipulasi krisis, (4) kebijakan redistribusi yang dilakukan oleh negara. Dalam konteks reproduksi akademik di Indonesia, posisi seorang akademisi – baik mahasiswa maupun terutama dosen dan peneliti – yang merupakan agen ‘perantara budaya’ (dalam bahasa Bourdieu –  cultural intermediaries  agents) – secara signifikan diletakkan di dalam agensi sosial yang mereproduksi politik keruangan – yang membolehkan berlangsungnya akumulasi melalui perampasan sebagaimana yang dijabarkan oleh David Harvey. Perguruan tinggi sejak lebih dari satu dekade mengalami privatisasi yang luar biasa (melalui perangkat legitimasi formal maupun melalui kelembagaannya secara politis – moral – akademis) – dimana bentuk-bentuk manajerial menjadi sesuatu yang diutamakan sebagai bagian dari kualifikasi kompetensi akademik seorang ilmuwan – dimana minat kajian diarahkan pada situasi krisis – yang mengharuskan akademisi untuk menjadi bagian dari agensi sosial ‘akumulasi melalui perampasan’ – karena jika tidak – ia sebagai subyek harus mengalami ‘keterasingan’ (alienasi) – suatu eksklusi sosial, kultural bahkan politis – dimana produktivitasnya melulu dimaknai oleh sistem renumerasi berbasis meritokrasi yang sesungguhnya tidaklah obyektif – dan pada gilirannya menjadikan semua aktor dalam agensi akademik ini hanya sebagai “sekrup-sekrup” mesin ekonomi neokapitalisme liberal. 

 

 

Daftar Pustaka

 

Amian, Katrin. 2008.  Rethinking Postmodernism(s): Charles S Peirce and the Pragmatist Negotiations of Thomas Pyncon, Toni Morrison, and Jonathan Safran Froer . Amsterdam and NY: Rodopi.

Ashman, Sam, and Alex Callinicos. 2006. “Capital Accumulation and the State System: Assessing David Harvey’s ‘The New Imperialism’ .” Historical Materialism  14 (4): 107–131.

Bourdieu, Pierre. 1993.  The Field of Cultural Production . Cambridge and Oxford: Blackwell Publisher

Bourdieu, Pierre.  Outline of A Theory of Practice (transl. Richard Nice).  Cambridge: Cambridge University Press

Gane, Mike. 2005. “Book Review: Bad Marxism: Capitalism and Cultural Studies.” European Journal of Communication  Vol 20 (3): 407-410. 

Hall, Gary and Birchall, Claire (eds). 2006.  New Cultural Studies: Adventure in Theory.  Edinburgh: Edinburgh University Press.

Harvey, David. 2003.  The New Imperialism . Oxford: Oxford University Press.

Harvey, David. 2007. “Neoliberalism as Creative Destruction.”  Annals of the American Academy of Political and Social Science  610: 22–44.

Harvey, David. 2014.  Seventeen Contradictions and the End of Capitalism . Oxford: Oxford University Press

Hutnyk, John. 2004.  Bad Marxism: Capitalism and Cultural Studies . London and Ann Harbor, MI: Pluto Books

Hutnyk, John. 2012. “Proletarianisation.”  New Formation  77 (77): 127-149. DOI: 10.3898/NEWF.77.08.2012.

Kemristek Dikti. 2016.  Panduan Kurikulum Penyusunan Pendidikan Tinggi.  Jakarta: Direktorat Pembelajaran – Kemristek Dikti.

Lloyd, David and Thomas, Paul. 1998.  Culture and the State . NY and London: Routledge.

Marx, Karl. 1976.  Capital I: A Critique of Political Economy . London: Penguin.

Mitchell, Don. 2006. “Book Review: Bad Marxism: Capitalism and Cultural Studies.”  Progress in Human Geography  Vol. 30 (5): 685-686

Samuel, Hanneman and Sutopo, Oki Rahadianto. 2013. “The Many Faces of Indonesia: Knowledge Production and Power Relations”.  Asian Social Science ; Vol. 9, No. 13: 289-298

Sunardi, ST. 2016. “Surplus Laporan, Defisit Perubahan: Dilema Perguruan Tinggi dalam Otoritarianisme Manajerial.”  Retorika – Jurnal Humaniora Baru  Vol. 4 No. 1: 1-12. 

Suryajaya, Martin. 2016.  Mencari Marxisme: Kumpulan Esai (ed. Rio Apinino).  Tangerang: Marjin Kiri.

 

Sumber laman online

( https://en.oxforddictionaries.com/definition/bad ). Diakses 20 Oktober 2017

(https://id.wikipedia.org/wiki/Indeks-h)/  Diakses 20 Oktober 2017.

(http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2017/07/infografis-SISTER-01-1.jpg). Diakses 20 Oktober 2017. 

(https://tirto.id/temuan-plagiat-disertasi-di-universitas-negeri-jakarta-cvrZ ). Diakses 1 September 2017.

Ibu, bagaimana aku harus menghadapi dunia, tanpamu?

 Ibuku pergi ke haribaan Illahi pagi pukul 03.05 WIB di hari  Sabtu, 9 Juli 2022. Aku tidak ada di sisinya, tetapi selalu ada di hatinya, se...